1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang berkualitas tinggi dalam pasaran internasional. Kayu jati termasuk kedalam kayu yang memiliki kelas keawetan II sehingga sangat cocok untuk segala jenis konstruksi bangunan (Muslich dan Sumarni 2005). Hampir semua bagian dari tanaman jati dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Jati merupakan salah satu jenis kayu yang telah lama dikenal luas dan dibudidayakan oleh masyarakat serta menjadi tanaman utama yang dikelola di Perhutani. Pohon jati memiliki pertumbuhan yang lambat dan daur yang panjang, sehingga mengakibatkan ketersediaan kayu jati di pasaran relatif terbatas. Selain itu
permasalahan
degradasi
lahan
menyebabkan
terjadinya
penurunan
produktivitas sehingga membuat Perhutani tidak dapat mencukupi pasokan permintaan kayu jati. Permasalahan degradasi tegakan yang disebabkan oleh beberapa faktor resiko seperti ilegal logging, kebakaran hutan dan gangguan hutan (Rohman et al. 2014). Riyanto dan Pahlana (2012) perubahan dinamika tegakan yang terjadi di Perhutani akibat gangguan yang ditimbulkan dari interaksi hutan dengan faktor sosial ekonomi maupun faktor pengelolaan. Beberapa faktor sosial ekonomi adalah adanya pencurian/penjarahan, penggembalaan liar dan kebakaran dan beberapa gangguan dari faktor pengelolaan diantaranya adalah
2
penanaman jati yang monokultur secara terus menerus sehingga terjadi pengurasan unsur hara tertentu oleh tanaman jati, kegiatan pemungutan kayu yang tanpa menyisakan sedikitpun biomassa tanaman untuk bahan dekomposisi sebagai input unsur hara dan kegiatan tumpangsari tanpa perlakuan konservasi tanah dan air. Gangguan gangguan tersebut menyebabkan degradasi kualitas lahan yang terindikasi melalui penurunan kesuburan tanah dan penurunan bonita (Riyanto dan Pahlana 2012). Kerusakan hutan sebagian besar telah menyebabkan adanya tegakan jati konvensional yang didominasi oleh kelas umur muda (kelas umur I dan II) dan susunan kelas hutan tersebut menimbulkan masalah berkaitan dengan tidak banyak tegakan yang siap untuk ditebang (Rohman 2008). Pada tahun 2005 permintaan jati adalah 2,4 juta m3 namun Perhutani hanya mampu memasok jati sebanyak 400.000 m3 (Iskak 2005). Ketika permintaan jati dari Perhutani terus meningkat sedangkan produksi jati masak tebang tidak mampu memenuhi pasokan permintaan, maka pasokan permintaan dipenuhi dengan cara menebang tegakan belum masak tebang yaitu umur dibawahnya. Hal ini berimplikasi pada kondisi tegakan jati di Perhutani telah mengalami penurunan yang terlihat dari semakin menurunnya umur tebang yang diterapkan. Penetapan umur tebang dimulai dari pengelolaan pada masa kolonial Belanda yang menetapkan umur tebangan jati 80 tahun sesuai dengan pendapat Cordes (1881) pada umur 80-100 tahun tanaman jati dianggap telah masak tebang yang didekati dari daur teknisnya, namun umur tebangan jati telah menurun bertahap hingga jati saat ini adalah 40 tahun.
3
Mengatasi permasalahan tersebut Perhutani mengembangkan sebuah inovasi untuk tanaman jati yang jangka waktu pemanenannya lebih cepat berupa Jati Plus Perhutani (JPP). JPP adalah jati unggul produk Perhutani yang diperoleh dari program pemuliaan pohon. Kelebihan jati ini dibandingkan jati konvensional terletak pada ukuran batang pohon (diameter) dan tinggi batang bebas cabangnya (Sumarni dan Muslich 2008). JPP dapat tumbuh lebih cepat dari jati biasa, batangnya lurus dan berbentuk silindris (Anonim 2014). Selain itu memiliki rata rata riap awal yang lebih tinggi dibandingkan jati konvensional sehingga diharapkan dapat mengimbangi kemungkinan penurunan produksi (Perhutani 2011). JPP merupakan hasil program Direksi Perum Perhutani sejak Tahun 2002 dalam rangka percepatan pemanfaatan hasil-hasil pemuliaan pohon untuk pembuatan tanaman. Istilah JPP digunakan untuk semua benih yang berasal dari keturunan pohon plus, baik hasil perbanyakan generatif maupun vegetatif. JPP dikembangkan melalui proses pemuliaan pohon lalu diperbanyak melalui teknik kultur jaringan, kebun benih klonal (KBK) dan stek pucuk (Sumarni dan Muslich 2008). Pengelolaan hutan lestari adalah proses pengelolaan hutan permanen untuk mencapai suatu atau lebih tujuan pengelolaan yang terinci, meliputi produksi yang berkesinambungan dari hasil dan jasa hutan, tanpa banyak menyebabkan penurunan nilai dan produktifitas serta tanpa memberikan pengaruh yang merugikan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Pengelolaan hutan lestari memiliki tiga ciri, yaitu: (1) kesinambungan produksi kayu dan non kayu, (2)
4
kelestarian lingkungan fisik hutan berupa tanah, flora, hidrologi, dan iklim, serta (3) kelestarian masyarakat yang meliputi sosial, ekonomi dan budaya (ITTO 1992). Kelestarian hutan sangat dipengaruhi oleh kualitas tempat tumbuh, tindakan silvikultur, dan pengaturan hasil yang diterapkan. Untuk dapat mewujudkan kelestarian, informasi tentang pertumbuhan dan hasil tegakan sangat penting. Informasi kualitas tempat tumbuh merupakan informasi dasar untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan JPP agar estimasi potensi tegakan dapat dilakukan. Terdapat perbedaan keseragaman pertumbuhan tinggi antara hamparan tegakan JPP petak yang satu dengan yang lainnya pada tegakan JPP. Beberapa hal yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan itu adalah perbedaan kesuburan tanah, perlakuan pemeliharaan atau mungkin disebabkan pemupukan yang tidak seimbang atau takaran/dosis pemupukan yang tidak sesuai ketentuan. Pengaruh-pengaruh tersebut juga berlaku pada pertumbuhan riap pohon sehingga lilit hamparan pohon petak yang satu dengan yang lainnya juga bisa saja tidak merata (Anonim 2014). Tempat
tumbuh merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jati ketika perlakuan pemeliharaan telah dilakukan sama. Pertumbuhan dan kualitas kayu yang ditanam di dalam dan di luar daerah tempat tumbuh yang berbeda akan menghasilkan kualitas yang berbeda pula. Saat ini untuk mengetahui riap pertumbuhan JPP Perhutani menggunakan acuan tabel pertumbuhan tegakan menurut tabel Wolff von Wulfing (WvW). Namun dalam perkembangannya, beberapa penelitian menunjukkan perbedaan pertumbuhan tanaman JPP menurut tabel Wolff von Wulfing (WvW). Dari hasil pengukuran pertumbuhan tanaman JPP yang berasal dari benih pohon plus
5
diberbagai tempat diketahui pertumbuhannya secara umum lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan rata rata jati menurut tabel WVW (Siswamartana 2004 dalam Iskak 2005). Hasil evaluasi yang dilakukan di plot KPH Pemalang menunjukkan bahwa tanaman umur 5 tahun memiliki rata-rata tinggi 17,8 m dan diameter 18 cm yang melebihi pertumbuhan tegakan menurut tabel Wolff von Wulfing (WvW) pada Bonita 6 (Siswamartana dan Wibowo 2009). KPH Kendal telah membuat Petak Ukur Permanen (PUP) untuk mengamati pertumbuhan riap JPP (diameter, tinggi dan volume) yang dilaksanakan setiap tahun. Adapun hasil pengukuran awal PUP tanaman JPP tahun 2011 menunjukkan berdasarkan hasil PUP tersebut diketahui riap tanaman JPP untuk semua kelas umur dan bonita berada di atas Tabel WvW (Perhutani 2011). Terdapat perbedaan antara JPP dengan jati konvensional, di mana perbedaan itu meliputi performance pertumbuhan JPP yang mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jati konvensional dan jarak tanam yang digunakan. Jati konvensional menggunakan jarak tanam 3 m x 1 m sedangkan untuk JPP menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m. Dengan perbedaan performance pertumbuhan dan jarak tanam seharusnya teori penjarangan yang digunakan juga berbeda maka tabel acuan yang digunakan juga berbeda. Jika pertumbuhan tanaman JPP masih menggunakan acuan tabel Wolff von Wulfing (WvW), perbedaan penaksiran ini dapat menghambat pengelolaan hutan yang akan berpengaruh pada efisiensi perusahaan.
6
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pengukuran, pengamatan dan analisis terhadap pertumbuhan dan hasil tegakan JPP oleh Rahmadwiati (2015). Namun penelitian tersebut belum cukup mewakili tegakan JPP yang ada dikarenakan terdapat banyak petak JPP dengan kriteria baik dan sangat baik yang belum dilakukan penelitian karena aksesibilitasnya yang cukup sulit. Selain itu dalam tahap analisis pertumbuhan pohon dominan untuk menduga site class indeks menggunakan model S yang belum standar untuk menduga model pertumbuhan pohon dominan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menyempurnakan penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan dan hasil tegakan Jati Plus Perhutani dengan menambah data pengukuran dan dengan menggunakan model untuk menduga site indeks yang standar untuk menduga pertumbuhan tinggi pohon dominan. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam kegiatan pengelolaan tegakan agar produksi kayu JPP dapat optimal.
1.2 Rumusan Masalah Tempat tumbuh merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jati ketika perlakuan pemeliharaan telah dilakukan sama. Pertumbuhan kayu yang ditanam di daerah tempat tumbuh yang berbeda akan menghasilkan kualitas yang berbeda pula. Untuk itu, informasi tentang pertumbuhan dan hasil tegakan sangat penting. Informasi kualitas tempat tumbuh merupakan informasi dasar untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan JPP agar estimasi potensi tegakan dapat dilakukan.
7
Secara teoritis terdapat perbedaan antara jati konvensional dan jati JPP dimana perbedaan itu meliputi performance pertumbuhan, jarak tanam dan penjarangan. Dengan adanya perbedaan tersebut maka seharusnya tabel acuan yang digunakan juga berbeda, sehingga tabel pertumbuhan tegakan menurut tabel Wolff von Wulfing (WvW) hanya cocok untuk acuan jati konvensional saja, sedangkan untuk JPP perlu ada tabel acuan yang baru. Untuk itu, diperlukan peninjauan kembali pertumbuhan dan kualitas tempat tumbuh tegakan JPP, dalam hal ini di lokasi penelitian yaitu SPH Madiun. Hal tersebut mendorong munculnya pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini, antara lain: 1. Model pendugaan pertumbuhan dan index kualitas tempat tumbuh seperti apakah yang baik diterapkan pada JPP? 2. Bagaimana tegakan JPP dilihat dari tabel tegakan dalam lingkup SPH Madiun?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan model pendugaan pertumbuhan dan index kualitas tempat tumbuh tegakan JPP di SPH Madiun. 2. Menyusun prototype tabel tegakan JPP umur 6-13 tahun dalam lingkup SPH Madiun.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada manajemen Perhutani terutama sebagai perbandingan dan pertimbangan untuk evaluasi dan
8
perbaikan sistem informasi tabel tegakan JPP dalam estimasi potensi tegakan sebagai dasar pengaturan kelestarian hasil tegakan JPP.
1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.
Pertumbuhan JPP akan membentuk kurva sigmoid antara tinggi pohon dominan dengan umur tegakan.
2.
Pada tegakan JPP umur 6-13 tahun model pertumbuhan dan hasil untuk tegakan jati yang lebih cocok menggunakan model persamaan anamorphic karena karena menurut Borders et al. (1984) kurva anamorpic lebih cocok diterapkan pada tanaman umur muda (dibawah 15 tahun)..
1.6 Batasan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada petak petak tanaman JPP dari perbanyakan generatif asal kebun benih klonal yang ada di SPH madiun yang meliputi KPH Madiun, KPH Saradan dan KPH Ngawi pada tanaman umur 6-13 tahun. Hasil tegakan JPP pada penelitian ini adalah volume batang bebas cabang kayu dengan kulit yaitu kayu batang dengan kulit yang terletak di antara tinggi tonggak normal (0,2 m) dan hingga tinggi bebas cabang atau permulaan tajuk. Volume tersebut dihitung dengan menggunakan rumus Smalian (West 2009) dan SNI 7533.2.2011. Rumus Smalian dipilih karena kesederhanaan dan kenyamanan pengukuran pada sampel pohon (Bermejo et al. 2004). Dibandingkan dengan penelitian Rahmadwiati (2015) penelitian ini menambahkan perhitungan volume dengan
9
rumus SNI karena untuk pengukuran kayu bundar jati pengukuran diameter dilakukan pada bontos ujung. Selain itu fakta di lapangan bahwa volume aktual pohon berdiri dengan volume pemanfaatan pohon seringkali tidak mencapai 100%. Kedua metode penaksiran volume ini, kemudian digunakan untuk menyusun tabel tegakan sementara JPP.