BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jati (Tectona grandis L.f) tumbuh secara alami di seluruh Asia Tenggara dan merupakan salah satu jenis kayu keras tropis yang paling berharga di pasar internasional. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, jati tumbuh pada ketinggian 100-700 mdpl. Pohon jati mencapai ketinggian 39-45 m pada kondisi yang menguntungkan tersebut, dapat dipanen setelah 60 tahun (Kaiser, 1989) dalam (Bailey, 2005). Di India, jati adalah spesies yang paling berharga untuk aplikasi struktural maupun non struktural, kayu selalu berada pada harga premium di pasar dan hal ini sudah mendarah daging dalam pola pikir konsumen India (Shukla, et al, 2014). Menurut Shukla, et al (2014) Jati (Tectona grandis L.f) merupakan salah satu jenis kayu mewah dan banyak diminati masyarakat hingga kini, nilai artistik pada garis lingkar tumbuh yang tinggi serta sifat-sifat kayu yang baik (kekuatan dan keawetan tinggi) dan mudah dalam pengerjaan menambah nilai plus bagi kayu jati karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Di Negara kita (India) jati merupakan salah satu jenis kayu yang paling disukai mungkin untuk semua penggunaan akhir, mengingat pentingnya keseluruhan masyarakat, perkebunan jati telah banyak mengangkat nilai ekonomi hampir di seluruh negeri (Shukla, et al, 2012).
1
2
Bhat (2000) dalam Longuetaud, et al, (2012) mengemukakan bahwa jati cocok digunakan untuk konstruksi, furniture dan almari, bantalan rel kereta api, vener hias, kapal dan bangunan badan kendaraan, pertambangan serta olahan kayu lainnya. Miranda (2011) pun menyatakan jati merupakan salah satu jenis kayu tropis yang paling berharga dan paling dikenal dan sangat dihargai untuk digunakan dalam pembuatan kapal, peralatan outdoor, furniture dan pertukangan umum. Kayu jati ini cukup keras dan berat, mudah mengering dengan baik dan memiliki sifat pengerjaan yang mudah. Hal ini berharga terutama untuk daya tahan alam dan stabilitas dimensi yang berkaitan dengan nilai estetika yang tinggi. Karena nilai estetika dan kualitas kayu yang unggul, jati menarik minat yang lebih besar dikalangan masyarakat umum daripada kayu keras tropis lainnya (Shukla et al., 2014). Meskipun jati memiliki nilai ekonomi tinggi, hal tersebut tidak menurunkan permintaan pasar. Namun di lain pihak, ketersedian kayu jati di pasaran belum bisa memenuhi semua permintaan konsumen akibat pertumbuhan pohon jati yang lambat, daur yang relatif panjang serta adanya kerusakan sumberdaya alam. Saat ini produksi kayu yang dihasilkan perhutani hanya mampu memenuhi kurang dari 30% dari permintaan yang ada (Kusuma, 2011). Penurunan produktivitas sumberdaya alam selalu menjadi pekerjaan rumah pokok bagi setiap pengelolanya. Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan di Pulau Jawa mengalami hal serupa. Penurunan potensi disebabkan adanya faktor gangguan dari aspek dalam maupun luar pengelolaan kawasan hutan, seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, perambahan hutan, permudaan kurang
3
berhasil dan manajemen kawasan yang kurang sesuai. Handhadari (2006) menyatakan bahwa penurunan potensi sumberdaya hutan yang dimiliki oleh Perum Perhutani mencapai rata-rata 8,4% per tahun. Jumlah tanah kosong pada tahun 2004 seluas ± 550.000 Ha, struktur tegakan didominasi oleh kelas umur muda serta produktivitas hutan yang rendah. Data deforestasi periode 2009-2010 menunjukkan laju deforestasi didalam dan luar kawasan mencapai 176.665,9 ha/tahun (Statistik kehutanan, 2011). Berdasarkan data Laporan Tahunan Perhutani tahun 2010 sampai tahun 2012, luasan tebangan kayu jati tiap tahun menurun berturut-turut dari tahun 2010-2012 adalah 35,301 ha, 39,679 ha dan 26,317 ha. Selain itu, perbandingan luas kawasan yang harus ditanami oleh pihak Perhutani dengan luas tebangan tiap tahun yang tidak seimbang akan berdampak pada penurunan produktivitas sumberdayanya. Adapun luas kawasan yang harus ditanami tiap tahun dari tahun 2010-2012 adalah 46,448 Ha, 55,796 Ha dan 54,519 Ha (Perhutani, 2012). Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan penurunan potensi di Perhutani adalah dengan kegiatan pemulian pohon. Pemuliaan pohon merupakan penerapan azas-azas genetika pada penanaman hutan untuk memperoleh pohon yang memiliki sifat/karakter/fenotif dan hasil yang lebih tinggi nilainya. Tujuan pemuliaan pohon adalah menyediakan materi genetik yang lebih baik dari materi yang ada sekarang dengan peningkatan riap yang dihasilkan. Pengembangan bibit unggul Jati Plus Perhutani (JPP) dipilih menjadi solusi peningkatan produktivitas. Keunggulan bibit JPP ini diantaranya adalah mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan bibit jati konvensional, serta lebih adaptif di berbagai
4
kondisi dan mampu tumbuh sempurna baik di lahan kurus maupun di tanah yang subur. JPP juga mempunyai tingkat keseragaman tinggi, batangnya lurus, silindris, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Anonimous, 2003). KPH madiun merupakan salah satu unit manajemen sumberdaya hutan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur yang berkedudukan di Madiun. Wilayah hutan yang dikelola KPH Madiun berdasar RPKH jangka 2011-2020 adalah seluas 31.219, 70 Ha yang dibagi menjadi dua kelas perusahaan yakni jati dan kayu putih. KPH Madiun berada pada tiga kabupaten, yaitu kabupaten Madiun, Ponorogo dan Magetan. Pembagian kawasan Perum KPH Madiun didominasi oleh kawasan produksi. Kawasan produksi merupakan kawasan efektif yang diperuntukkan sebagai produksi kayu jati rimba maupun daun kayu putih. Berdasar data Hasil Avaluasi Potensi Sumberdaya Hutan tahun 2011 (Perum Perhutani, 2014), total kawasan produksi adalah 26.500,20 Ha (84,88%) dengan pembagian untuk produksi jati seluas 23.403,20 Ha (74,96%) dan kayu putih seluas 3.097 Ha (9,9%) (Perum Perhutani, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas kayu persatuan luas menjadi prioritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pengembangan JPP di KPH Madiun ini dilaksanakan hampir merata di seluruh kawasan KPH dan diharapkan dapat mengimbangi kemungkinan penurunan produksi diambang lestari usaha, karena produktivitasnya yang tinggi. Pengembangan tanaman JPP di KPH Madiun perlu dikelola dengan manajemen yang baik agar memperoleh produktivitas optimal. Data pendukung yang diperlukan dalam hal ini adalah potensi atau volume tegakan untuk JPP.
5
Salah satu keterangan penting yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengusahaan hutan, terutama yang menyangkut jatah tebangan produksi adalah keterangan mengenai potensi massa tegakan (Isdwinanto, 2011). Inventarisasi hutan merupakan bagian dari kegiatan perencanaan hutan yang paling penting. Hal ini karena data hasil inventarisasi tersebut dipakai sebagai dasar utama di dalam pemanfaatan hutan yang dilakukan. Data potensi tegakan pada umumnya diperoleh dari hasil kegiatan inventarisasi, dimana dalam inventarisasi tersebut massa tegakan ditaksir melalui pendugaan volume setiap pohon penyusun tegakan yang bersangkutan. Dalam kegiatan inventarisasi hutan untuk penaksiran massa tegakan, diperlukan perangkat kuantitatif berupa model pendugaan volume atau tabel volume pohon yang valid (Abdurachman, 2012). Model volume merupakan alat manajemen hutan yang baru dan berguna bagi setiap pihak yang berhubungan terhadap pengelolaan hutan (Rivas et al, 2014). Model
pendugaan
volume
pohon
dibutuhkan
untuk
menginformasikan
penggunaan berkelanjutan dari seluruh pohon (Flewelling, 2004; Zakrzewski, 2011; Planck 2014), bukan hanya batang yang dapat diperdagangkan. Sampai saat ini perangkat penduga volume batang bebas cabang JPP di KPH Madiun belum tersedia. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model pendugaan volume (Susila, 2012), yang akan bermanfaat untuk meningkatkan ketelitian dan keseksamaan dari hasil inventarisasi tegakan dari jenis pohon yang diusahakan serta digunakan sebagai bahan rujukan untuk penyusunan rencana-rencana pengusahaan hutan di KPH Madiun.
6
1.2 Rumusan Masalah Jati Plus Perhutani (JPP) asal Kebun Benih Klon (KBK) memiliki beberapa keunggulan dibanding jati konvensional, namun dalam pengelolaan JPP khususnya di KPH Madiun belum ditemui alat yang digunakan untuk mempermudah dan mendukung penyusunan rencana-rencana pengusahaan hutan. Untuk itu, diperlukan adanya pendugaan volume batang bebas cabang secara matematis pada jenis JPP umur 6 sampai 11 tahun yang menghasilkan model penduga volume. Model penduga ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi untuk menindaklanjuti kegiatan pengelolaan dan perencanaan hutan lestari, sehingga diperoleh hasil yang optimal dalam produktivitasnya.
1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memperoleh model penduga volume batang bebas cabang untuk jenis Jati Plus Perhutani pada umur 6 sampai 11 tahun di KPH Madiun.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan yang berguna dalam menentukan perencanaan dan pengelolaan hutan ke depannya. Selain itu berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi bagi civitas akademisi, untuk mendukung kegiatan operasional, pengelolaan, dan perencanaan hutan.