BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bisnis merupakan hal yang tidak asing ditelinga masyarakat global pada era ini. Dengan akses yang mudah membuat lintas bisnis semakin bebas dan tak mengenal batas. Bisnis terkadang tak bisa lepas dengan kata saham yang dimana saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular. Saham merupakan salah satu modal dalam berbisnis, yang dimana saham merupakan suatu investasi modal yang akan memberikan hak atas dividen perusahaan yang bersangkutan.1 Perdagangan yang bebas dalam dunia bisnis terkadang tak berjalan sesuai yang telah direncanakan oleh para pengusaha. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha memicu terjadinya sengketa di dalam berbisnis baik sengketa yang kecil maupun sengketa yang besar yang tidak dapat diselesaiakan secara internal dan dirasa perlu campur tangan dari pihak luar. Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efesien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan biaya produksi yang meningkat.2 Dalam penyelesaian sengketa bisnis dapat diselesaiakn melalui litigasi maupun non litigasi, kedua cara penyelesian ini disesuaikan dengan kesepakatan
para
pihak.
Melihat
pernyataan
yang
menyatakan
bahwa
penyelesaian sengketa bisnis haruslah diselesaikan dengan sesegera mungkin 1
Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, 2009, Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18 2 Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.12.
1
2
dengan waktu yang lebih cepat, prosedur yang sederhana dan dirasa mampu mengakomodir rasa keadilan maka penyelesaian secara non litigasi merupakan hal yang baik untuk ditempuh dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Menurut M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono menyebutkan bahwa orang-orang dalam dunia bisnis cenderung memilih arbitrase yang merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa non litigasi dengan alasan sebagai berikut: 1. Pemilihan arbitrase memberikan prediktibilitas serta kepastian dalam proses penyelesaian sengketa. 2. Selama arbitrasenya seseorang yang memang ahli dalam bidang bisnis yang sedang disengketakan, maka para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan terhadap arbiter dalam memahami permasalahan yang disengketakan. 3. Privasi merupakan faktor penting dalam proses arbitrase dan masingmasing pihak memperoleh privasi tersebut sepanjang proses masih merupaka proses yang tertutup bagi umum dan putusan hanya ditujukan kepada para pihak yang bersengketa. 4. Peranan pengadilan dalam proses arbitrase pada umunya terbatas sehingga terjamin penyelesaiannya secara final. 5. Secara ekonomis proses arbitrase dianggap telah cepat dan lebih murah dibandingkan proses berpekara di pengadilan.3 Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU AAPS arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan rumusan pengertian dari arbitrase maka dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada perjanjian. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3
M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 142.
3
adanya dua perikatan, maka arbitase ini merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa perjanjian arbitase harus dibuat secara tertulis. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal
Menurut Yahya Harahap perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud menetukan cara dan pranata hukum dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU AAPS menyatakan bahwa kesepakatan para pihak dalam menyelesaiakn sengketanya melalui lembaga arbitrase dalam bentuk klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut: “penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul
4
arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.4 Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis tersebut. Bertolak pada rumusan mengenai perjanjian arbitrase tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa: 1. Klausula arbutrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa (pactum de compromittendo) 2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis). Kedua
bentuk
perjanjian
arbitrase
diatas,
baik
berbentuk
pactum
de
compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak lembaga arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan materi pokok perjanjian. Klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok, meskipun keberadannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok klausula arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat accesoir oleh karena itu
pelaksanaanya sama sekali tidak
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan
4
Hal. 208.
Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, cet. I, Rajawali Pers, Jakarta,
5
perjanjian pokok. Hal ini senada dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa, mantan ketua Mahkamah Agung yang menyatakan: ”suatu perjanjian yang didalamnya ada kalusula arbitrase tidak bisa dilihat klausula arbitrase itu bersifat accesoir karena di dalam suatu perjanjian yang didalamnya kalusula arbitrase memuat dua substansi perjanjian yaitu perjanjian yang menyangkut hukum materiil dan menyangkut hukum hukum prosedural (acara), keduanya sederajat, sehingga batalnya salah satu perjanjian tersebut tidak dengan sendirinya membatalkan isi perjanjian lainnya”.5 Berhubungan dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa maka dalam klausula arbitrase terkandung asas separabilitas, yaitu batalnya perjanjian pokok tidak menyebabkan perjanjian arbitrasenya batal dengan adanya hal ini yang termuat dalam ketentuan Pasal 10 huruf h dan f UU AAPS. Adanya ketentuan Pasal 10 UU AAPS mencegah timbulnya itikad buruk dari salah satu pihak yang bermaksud membatalkan klausula arbitrase dengan membatalkan perjanjian induknya (perjanjian pokok). Adanya pendapat dari Harifin A Tumpa dan adanya ketentuan Pasal 10 UU AAPS mengenai perjanjian arbitrase maka dirasa perlu adanya pembahasan yang signifikan mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase yang memuat kewenagan absolut lembaga arbitrase dalam memutus sengketa bisnis yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) menyebutkan mengenai pembagian lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung, yang memiliki pembagian bahwa peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, 5
Andi Julia Cakrawala, 2015, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, Hal.76.
6
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman badan peradilan tersebut memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sengketa bisnis merupakan salah satu perkara perdata yang diputus Peradilan Umum khusunya Peradilan Perdata, namun dengan adanya ketentuan Pasal 3 UU AAPS secara yuridis telah mencabut kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri dalam memutus sengketa bisnis tersebut. Dalam praktiknya suatu sengketa yang telah terikat akan kalusula arbitrase tidak bisa secara mudah diselesaikan melalui lembaga arbitrase, banyak pihak yang berusaha mencari celah agar klausula arbitrase tidak berlaku dalam sengketa yang sedang dihadapi. Salah satu bentuk pengabaian klausula arbitrase yang kerap terjadi dalam segketa bisnis adalah dengan mengajukan sengketa bisnis ke Pengadilan Negeri secara sepihak yang dimana sengketa tersebut sebenarnya sudah terikat perjanjian atau klausula arbitrase. Salah satu contoh sengketa yang mengabaikan klausula arbitrase oleh para pihak yaitu sengketa antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti Hardijanti Rukmana pada sengketa kepemilikan saham PT. Televisi Pendidikan Indonesia (disingkat PT. TPI), dimana bahwa sengketa ini telah terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat dalam bentuk pactum de compromittendo dalam investment agreement, namun dalam penyelesaian sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri dan telah diputus dengan Putusan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN Jkt.Pst.6 Dalam kasus ini pula terjadi kejanggalan yaitu dengan dikeluarkannya putusan
6
Lihat lebih lanjut Putusan Peninjauan Kembali, Nomor Putusan 238 PK/Pdt/2014.
7
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan Nomor 238 PK/Pdt/2014 yang dimana putusan Peninjauan Kembali tersebut menyatakan secara tidak langsung bahwa Pengadilan Negeri berhak untuk mengadili sengketa yang telah terikat perjanjian atau klausula arbitrase. Kasus antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti Hardijanti Rukmana merupakan cerminan nyata kegagalan pemahaman para pihak akan kekuatan mengikat klalusula arbitrase dalam suatu sengketa bisnis ditambah lagi sikap Pengadilan Negeri yang secara terang membenarkan kewenanagnnya dalam memutus sengketa yang telah terikat akan klausula arbitrase. Maka dari itu perlu dirasa adanya suatu pengaturan yang bisa memberikan suatu akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase oleh Pengadila Negeri sebagai bentuk kepastian hukum yang berfungsi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dalam mengadili suatu sengketa bisnis. Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut,
maka penulis tertarik untuk hal tersebut dengan mengidentifikasi instrumen hukum mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dan merumuskan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam sengketa yang telah terikat perjanjian arbitrase. Dari uaraian latar belakang di atas, maka permasalahan ini menjadi sangat menarik dan relevan jika dianalisa serta dibahas secara komperhensif dalam pembahasan penulis skripsi yang berjudul “KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA ARBITRASE DALAM SENGKETA BISNIS”.
8
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kekuatan mengikat dari klausula arbitrase ditinjau dari penyelesaian sengketa bisnis? 2. Bagaimanakah akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam sengketa bisnis? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenaimateri yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1.
Dalam
permasalahan
pertama, ruang lingkup permasalahannya
meliputi pembahasan mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase
yang termuat dalam ketentuan
UU AAPS. dalam
penyelesaian sengketa bisnis yang diatur dalam UU AAPS dikaitkan pula dengan pengaturan perjanjian dalam KUHPer. 2.
Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan dan perumusan mengenai akibat hukum pengabaian klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal ini akan lebih
9
banyak beriorentasi terhadap akibat hukum terhadap putusan yang dikeluarkan oleh para pihak dan Pengadilan Negeri yang belum diatur dalam UU AAPS. 1.4
Orisinalitas Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana maka penelitian dengan
judul
Kekuatan
Mengikat
Klausula
Arbitrase
Dalam
Menyelesaikan Sengketa Bisnis, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Namun pada Universitas lain ditemukan penelitian sejenis yang terkait dengan kekuatan mengikat kalusula arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut: 1.
Menemukan jurnal di Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara,
pada Tahun 2015, atas nama Daru Tyas Wibawa “Klausul Arbitrase Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis” dengan latar belakang sebagai berikut: “Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase mempunyai fungsi penting dalam penyelesaian sengketa bisnis yang pada hakikatnya merupakan bagian pengamanan dari kegiatan bisnis itu sendiri. Melalui pencantuman perjanjian arbitrase, ada suatu landasan hukum atau dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum dalam kegiatan bisnis serta memberikan rasa aman dari kemungkinan timbulnya pelanggaran terhadap isi perjanjian (kontrak) tersebut. Perjanjian dan perjanjian arbitrase adalah perbuatan hukum mengikatkan diri di antara para pihak
10
yang menimbulkan konsekuensi hukum, sehingga dipenuhinya persyaratan yang ditentukan, maka keabsahan dan kekuatan mengikatnya menjadi bagian penting dari keabsahan perbuatan hukum mengikatkan diri tersebut. Pengaturan perjanjian arbitrase pada perjanjian induk atau pokok memberikan keabsahan dan kekuatan mengikat untuk digunakan lebih lanjut perjanjian arbitrase tersebut di kemudian hari. Akan tetapi manakala hubungan bisnis berlangsung lancar dan memuaskan para pihak, tentunya perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak perlu digunakan lebih lanjut. Dari latar belakang tersebut dibuat rumusan masalah sebagai berikut:7 1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase? 2. Bagaimana kekuatan mengikat klausul arbitrase? 3. Sejauhmana akibat hukum pelanggaran klausul arbitrase? 2.
Menemukan skripsi di Universitas Sebelas Maret, pada Tahun 2009, atas nama Novi Kusuma Wardhani “Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation)” dengan latar belakang sebagai berikut:“Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dipaparkan bahwa akta arbitrase merupakan akta yang dibuat seseorang atau suatu
7
Daru Tyas Wibawa, 2015, Klausul Arbitrase Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis, Sulawesi Utara: Universitas Sam Ratulangi.
11
badan usaha dalam melakukan suatu hubungan dengan mitra usahanya yang mengatur mengenai cara penyelesaiannya bila timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi perjanjian
tersebut.
Akta
arbitrase
dapat
berbentuk
akta
compromise, yaitu akta perjanjian yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa maupun berbentuk pactum de compromittendo yang dibuat sebelum terjadinya sengketa. Akta arbitrase memiliki kekuatan mengikat apabila akta arbitrase sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata, selain itu juga memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah membuat akta arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa utang piutang biasa yang dimintakan ganti rugi, namun apabila sengketa utang piutang tersebut diajukan permohonan Pengadilan
pernyataan Niaga
pailit,
sepenuhnya
maka dan
menjadi arbitrase
kewenangan tidak
boleh
menyelesaikannya. Hal tersebut juga diperjelas dengan adanya ketentuan dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
12
Dari latar belakang tersebut ditarik rumusan masalah sebagai berikut:8 1. Bagaimanakah kekuatan mengikat akta arbitrase? 2. Bagaimanakah menyelesaikan
kewenangan perkara
pengadilan
kepailitan
dengan
niaga adanya
dalam akta
arbitrase? Dengan melihat beberapa judul dan pembahasan yang ada dalam dua judul tersebut maka menurut penulis tidak ada kesamaan yang signifikan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rumusan masalah pertama yang membahasa mengenai kekuatan mengikat klausula arbitrase memiliki kesamaan hanya saja yang membedakan arah dari pembahasaan setiap judul memiliki perbedaan. Dengan hal tersebutmaka judul penelitian ini berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya. 1.5
Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.5.1
Tujuan Umum Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu :
8
Novi Kusuma Wardhani, 2009, Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation)”, Jawa Tengah: Universitas Sebelas Maret.
13
Adapun tujuan umum dari penulisan ini tidak lain untuk lebih memperdalam pemahaman mengenai penyelesesaian sengketa bisnis melalui lembaga Arbitrase. 1.5.2
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk mempertegas dan memberikan pemahaman mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dalam perjanjian arbitrase sesuai dengan UU AAPS. 2. Untuk mengetahui dan membentuk suatu rumusan akibat hukum ketika diabakannya klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang dimana akibat hukum tersebut belum diatur dalam UU AAPS.
1.6 Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1.6.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk acuan ataupun pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di Bidang Peradilan mengenai pemecahan permasalahan sengketa bisnis yang telah terikat dengan kaluasula arbitrase.
1.6.2
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh pihak dan Badan Peradilan dalam upayanya dalam menindak lanjuti suatu sengketa hukum yang dimana sudah terikat akan klausula Arbitrase. Penelitian ini
14
dalam implementasinya dapat berguna dalam pengekan keadilan dengan menghormati dan menaati proses penyelesaian sengketa yang dimana sengketa tersebut sudah terikat dengan perjanjian/klausula arbitrase.
1.7 Landasan Teoritis Pengkajian mengenai Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis, ada beberapa konsep atau teori yang nanti digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah ini. 1.7.1
Asas-Asas Umum Perjanjian Di dalam buku ke III KUHPerdata dikenal lima macam asas hukum, yaiut asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Dari kelima asas hukum itu, yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perancangan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda. a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksud dari asas kebebasan berkontrak adalah bahwa para pihak bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
15
perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaanya, persyaratannya dan menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.9 b. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau perjanjian berlaku sebagai undangundang, asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan, sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela maka segala sesuatu yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal perjanjian berlaku sebagai undang-undang, maka perjanjian ini harus dilaksanakan dengan adanya itikad baik.10
9
Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15. 10 Ibid, h.16.
16
1.7.2
Asas Separabilitas Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah “perjanjian menerbitkan perikatan”, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber lain. Menurut KUHPer dalam Pasal 1313 yang menyatakan: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Dari rumusan yang diberikan tersebut bahwa dari perjanjian dilahirkan
perikatan,
yaitu
kewajiban
untuk
melakukan
sesuatu,
menyerahkan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Pada praktiknya, sebagaimana juga dapat dilihat dari macam-macam perjanjian bernama yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, suatu perjanjian dapat melahirkan lebih dari satu perikatan. Misalnya dalam jual beli, penjual memiliki kewajiban untuk tidak hanya menyerahkan barang yang dijual, melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual, melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual, yaitu bahwa benda yang dijual adalah benar miliknya dan lepas dari cacatcacat tersembunyi. Bahkan lebih jauh lagi dimungkinkan terjadinya penggabungan berbagai macam kesepakatan dalam suatu perjanjian utuh. Perjanjian yang demikian dinamakan dengan “severable contract”, “severable contract” yang memuat lebih dari 1 (satu) kesepakatan dalam 1 (satu) perjanjian, praktik juga menunjukkan dikenalnya istilah “severbal clause” menurut Black’s Law Dicitonary, Severbal Clause ini adalah:
17
“a provision that keeps the remaining provision of a contract is any portion of that contract is judicially declare void”.11 Dimana dalam hal ini berarti di dalam suatu perjanjian dapat terdiri dari dua atau lebih perikatan. Apabila salah satu dari perikatan dalam perjanjian itu batal, maka bukan berarti perikatan yang lain menjadi batal tetapi perikatan yang lain harus tetap dilaksanakan. Dengan melihat pada penjelasan tersebut, maka jelas jika suatu perjanjian pun dapat terdapat severbal clause (asas separabilitas).12 1.7.4
Teori Perjanjian a. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk memberikan akibat hukum. dari definisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (timbul/lenyapnya hak dan kewajiban).13 b. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru : 1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan 2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak 11
Gunawan Widjaja, 2008, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis “Arbitrase vs Pengadilan Persoalan Kompetensi (Abolut) yang Tidak Pernah Selesai”, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.27. 12
Ibid. Salim, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h. 161.
13
18
3. Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.14 1.7.5
Doktrin Klausula Arbitrase 1. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai berikut:“Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelu sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.15 Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis tersebut.
1.7.6
Doktrin Mengenai Arbitrase 1.
Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.16
2.
Abdulkadir Muhammad memberi batasan yang lebih perinci bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan
14
Ibid. Huala Adolf, loc.cit 16 Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung,, Hlm.1. 15
19
peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.17 3. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitratiom Works disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang iingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secar final dan mengikat.18 1.8 Metode Penelitian Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk
17
Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 276. 18 Rachmadi Usman, op.cit, hal 138.
20
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul.19 Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.8.1
Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.20 Penelitian yuridis normatif dipilih
penulis karena penulis akan
menganalisis mengenai kekuatan mengikat kalusula arbitrase dalam UU AAPS. 1.8.2
Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain : 1. Pendekatan kasus (the case approach), 2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach), 3. Pendekatan Fakta (the fact approach), 4. Pendekatan
Analisis
Konsep
Hukum
(analytical
and
conceptual approach),
19.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 74. 20 Johny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 295.
21
5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach), 6. Pendekatan Sejarah (historical approach), 7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statutory Approach) Penulis menelaah segala undang-undang maupun dan regulasi terkait isu hukum yang sedang diteliti. Pendekatan ini peneleiti dapat melihat konsistensi anatara regulasi satu dengan yang lainnya. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum nasional, yakni
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv). 2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan konseptual penulis mengkaji pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, khusunya bidang Hukum Peradilan. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum seorang peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Pandangan akan doktrin tersebut dapat
22
digunakan sebagai dasar bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam isu hukum yang dihadapi. 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.21 Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi, yaitu : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundangundangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.22Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu : a. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa b. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman c. Herziene Indonesisch Reglement (HIR) d. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan e. Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv).
21
Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta. h. 51. 22 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 144.
23
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.23 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan kekuatan mengikat klausula arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase.
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini menggunakan metode bola salju (snow ball), yaitu bahan hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka yang satu ke pustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan sumber pustaka atau pendapat dari pustaka pertama. Metode kepustakaan sistematis, khususnya untuk undang-undang dilacak sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.24
1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:25 -
Teknik Deskripsi, analisa bahan hukum ini dilakukan dengan menguiraikan suatu kondisi hukum maupun non-hukum, dimana dalam hal ini penulis menguraikan mengenai kondisi hukum yang terjadi di Indonesia. Adapun urain tersebut adalah mengenai
23.
Ibid. Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH UNAIR, Surabaya,h. 14. 24
25.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit. h. 75.
24
mengenai kondisi hukum terkait penyelesaian sengketa bisnis melalai lembaga Arbitrase. Dimana penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase kemudian menguraikan mengenai akibat hukum diabaikannya kalusula arbitrase oleh para pihak dan Pengadilan Negeri. -
Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan. Dimana dalam hal ini penulis memberikan penilaian sah tidak sah suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis yang dimana hal ini berpengaruh terhadap terhadap kekuatan mengikat klausula arrbitrase. Dalam hal ini penulis juga memberikan penilaian salah atau benar maupun sah atau tidak sah putusan Pengadilan Negeri mengenai penerimaan sengketa yang telah terikat klausula arbitrase yang nantinya akan berimplikasi terhadap akibat hukum dari putusan tersebut.
-
Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi, dimana dalam hal ini penulis mencoba melakukan analogi terhadap Pasal yang memberikan arahan mengenai akibat hukum ataupun pertanggung jawaban perdata yang terdapat dalam KUHPerdata ataupun peraturan perundag-undangan terkait diabaikannya klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri.