1
I. PENDAHULUAN Hutan dengan keragaman hayatinya merupakan kekayaan alam Indonesia yang berharga. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut selain kayu adalah keberadaan jamur. Ribuan jenis jamur dapat ditemukan di hutan tropis Indonesia, berupa mikroflora tanah maupun berupa material lignoselulosik (Febrina, 2002). Jamur merupakan organisme eukariotik yang memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil dan mengambil nutrisi secara absorbsi. Umumnya reproduksi secara seksual dan aseksual, struktur somatik terdiri atas filamen yang bercabang-cabang, dinding sel terdiri atas kitin, selulosa atau keduanya (Alexopoulos et al., 1996). Jamur terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman atau bahan lignoselulosa (hemiselulosa, selulosa dan lignin), di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat menguraikan bahan lignoselulosa yaitu pelapuk coklat (brown rot), pelapuk lunak (soft rot), dan pelapuk putih (white rot). Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan selulosa dibandingkan dengan mikroorganisme lain (Sun dan Cheng, 2002). Secara alami jamur pelapuk putih banyak tumbuh pada kayu atau bahan lignoselulosa yang memiliki kemampuan mendegradasi lignin (Blanchette dan Burnes, 1988). Lignoselulosa adalah komponen yang banyak terdapat pada tumbuhan berkayu maupun pada bahan kayu yang telah mati. Hutan Indonesia diperkirakan terdapat kurang lebih 172 milyar ton/tahun kayu dengan kandungan material lignoselulosa sebesar 82%. Material lignoselulosa yang lain termasuk limbah pertanian, tanaman air, rumput-rumputan, dan substansi lainnya (Kurniatin, 2007).
2 Material lignoselulosa terdiri atas komponen utama selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Isroi et al., 2011). Kebanyakan jamur pelapuk putih merupakan kelas Basidiomycetes, tetapi ada beberapa jamur yang termasuk dalam Ascomycetes yang mampu mendegradasi lignin (Ohkuma et al., 2001; Fatriasari et al., 2009; Boyce, 1961; Siripong et al., 2009; Alexopoulos et al. 1996). Fengel dan Wegener (1995) juga menambahkan selain dari kelas Basidiomycetes, jamur pelapuk putih ada yang termasuk ke dalam kelas Ascomycetes dan Deuteromycetes. Griffin (1994) mengemukakan, umumnya jamur pelapuk putih yang berpotensi mendegradasi lignin termasuk kelompok mesofil yang hidup pada suhu antara 5-37ºC dengan suhu optimum 25-30ºC dan kisaran pH 4-7. Jamur pelapuk putih tidak dapat memproduksi makanannya sendiri dari substansi yang sederhana seperti karbon dioksida, air, dan mineral, oleh karena itu jamur pelapuk putih hidup dari bahan organik yang terdapat pada pohon-pohon tumbang, tanah, sampah (serasah daun) sebagai saprofit ataupun memperoleh makanan dari pohon hidup sebagai parasit (Ruqayyah et al., 2011). Djarwanto et al., (2004) dan Kurniatin (2007) menambahkan bahwa, serasah daun di hutan yang lembab dan sedikit cahaya matahari langsung yang sampai ke lantai hutan yang telah membusuk menyediakan banyak nutrisi untuk kehidupan jamur pelapuk putih. Metode untuk menentukan jenis jamur pelapuk putih dikembangkan oleh Bavendamm pada tahun 1928, karena itu uji ini sering disebut dengan Bavendamm test dan medium untuk mengujinya disebut dengan medium Bavendamm. Metode uji ini sangat sederhana, mudah, cepat, dan akurat. Medium bavendamm adalah medium jamur yang umum (PDA atau MEA) yang diberi tambahan Tannic Acid, Galic Acid, atau Guaiacol. Konsentrasinya bermacam-macam antara 0,01%-1,5% (Isroi et al.,
3 2011). Fungsi dari acid adalah untuk mempercepat pertumbuhan jamur, karena menurut Ferdiaz (1992) pertumbuhan jamur pelapuk putih akan lebih baik pada kondisi asam. Berdasarkan uji Bavendamm tersebut dapat ditentukan apakah jamur yang diperoleh adalah jamur pelapuk putih atau pelapuk coklat. Jamur yang telah ditumbuhkan pada medium Bavendamm sebaiknya disimpan di tempat gelap untuk mempercepat pertumbuhannya (Isroi et al., 2011), kemudian diamati koloni jamur yang tumbuh, jika terbentuk warna coklat pada medium berarti uji Bavendammnya positif (+), artinya jamur tersebut dapat mengoksidasi Tannin Acid, Galic Acid, atau Guaiacol sehingga jamur ini dapat dikelompokkan ke dalam jamur pelapuk putih. Apabila pada medium tidak terbentuk warna coklat berarti uji Bavendammnya negatif (-), artinya jamur tersebut tidak dapat mengoksidasi tannin Acid, galic Acid, atau guaiacol sehingga jamur ini dapat dikelompokkan ke dalam jamur pelapuk coklat (Musa et al., 2011). Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Barat termasuk dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Secara administratif, wilayah BKPH Gunung Slamet Barat meliputi 21 desa yang tercakup dalam 7 kecamatan yaitu Kutosari, Sumbang, Baturraden, Kedung Banteng, Karanglewas, Cilongok, dan Pekuncen. Luas wilayah pangkuan hutan BKPH Gunung Slamet Barat sebesar 14.808,40 ha, terdiri atas : (1) hutan lindung, 11.808,50 ha (2) hutan produksi, 2.526,10 ha (3) hutan wisata, 69,30 ha (4) kebun raya, 143,50 ha, (5) Ldti, 127,60 ha, dan (6) areal produksi benih, 105,40 ha. BKPH Gunung Slamet Barat dibagi pula menjadi 3 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yaitu Baturaden seluas 4.872,45 ha, Karanggandul seluas 5.122,05 ha, dan Lebaksiu seluas 4.785,95 ha (Wijayanti, 2008).
4 Kawasan hutan yang terbentang di wilayah BKPH Gunung Slamet Barat sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung yang terletak tepat pada lereng dan kaki gunung Slamet bagian selatan. BKPH Gunung Slamet Barat memiliki produksi hasil hutan yang relatif lebih kecil dibandingkan BKPH lain yang ada di wilayah KPH Banyumas Timur, tetapi memilki manfaat yang sangat besar bagi keanekaragaman flora dan fauna, menjaga kestabilan ekosistem serta memberikan iklim yang asri dan nyaman. Bedasarkan data Praktek Pengenalan Hutan, pada daerah ini curah hujan yang terjadi tiap tahunnya cukup tinggi hingga mencapai 5000 mm/th, hal ini nampak sekali dari keadaan tanah yang lembab dan seringnya turun hujan. Suhu udara 23oC, topografi lahan landai, tipe kelerangan B (8-16%), permukaan tanah ditutupi serasah setebal 5 cm, top soil 7,5 cm, tanah permukaan berwarna coklat kehitaman, pH tanah 5,5 (Wijayanti, 2008). Wilayah hutan di BKPH Gunung Slamet Barat terutama kawasan hutan lindung Baturraden memiliki tipe yang sama dengan hutan di bagian barat pulau Jawa, yaitu kondisi alamnya relatif lebih baik karena hutan produksi agathis tumbuh subur serta keadaan lingkungannya lebih lembab dan sejuk. Mata air masih mengalir meskipun di musim kemarau. Lantai hutan disela-sela banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis semak, paku-pakuan, serasah sehingga sangat memungkinkan akan adanya keberadaan jamur baik dari kayu lapuk, serasah (daun dan ranting), maupun tanah. Namun dikarenakan minimnya informasi mengenai jamur pelapuk putih di daerah hutan lindung ini terutama di daerah Kabupaten Banyumas belum banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan langkah awal dalam upaya menginventarisasi jamur yang termasuk ke dalam jamur pelapuk putih di hutan lindung RPH Baturraden BKPH Gunung Slamet Barat.
5 Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1.
Apakah jamur pelapuk putih dapat diinventarisasi dari material lignoselulosik terutama dari jamur makroskopis di hutan lindung RPH Baturraden.
2.
Ada berapa genus jamur pelapuk putih yang dapat diinventariasasi dari hutan lindung RPH Baturraden. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menginventarisasi jamur pelapuk putih dari hutan lindung RPH Baturraden.
2.
Mengetahui genus jamur pelapuk putih yang dapat diinventarisasi dari hutan lindung RPH Baturraden. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
informasi ilmiah mengenai keragaman jamur pelapuk putih di hutan lindung RPH Baturraden dan untuk berbagai kepentingan terkait dengan pemanfaatan jamur pelapuk putih. Fengel dan Wegener (1995) menggolongkan beberapa jamur pelapuk putih di antaranya Candida sp., Coriolus versicolor, Fusarium solani, Fomes ulmarius, Ganoderma
applanatum,
Heterobasidium
annosum,
Ichoderma
resinosum,
Peniophora gigantea, Phanerochaeta chrysosporium, Polyporus anceps, Polyporus versicolor, Polyporus berkeleyi, Poria subacida, Pycnoporus coccineus, dan Stereum sanguinolentum. Fergus (1960) juga menggolongkan beberapa genus jamur pelapuk putih berdasarkan substrat hidupnya baik di kayu tebangan, pohon hidup ataupun di dasar hutan, cabang pohon, dan batang yang patah terdiri dari : Polyporus sp, Fomes sp., Fistulina sp., Daedalea sp., Trametes sp., Ganoderma sp., Flammula sp., Schizophyllum sp., dan Clitocybe sp.. Hasil dari penelitian Djarwanto et al., (2004), melaporkan jenis jamur pelapuk putih yang didapatkan melalui uji menggunakan medium PDA-Asam Galat
6 adalah Lentinus sp., Ganoderma sp., Polyporus sp., Volvariella sp., Dacryopinax sp., Marasmius sp., Trametes sp., Pycnoporus sp., sedangkan Lentinus sp., Ganoderma sp., Polyporus sp., Volvariella sp., Dacryopnax sp., Marasmius sp., Trametes sp., Pycnoporus sp., Auricularia sp. didapatkan melalui uji menggunakan medium PDAGuaiacol, serta Coprinus sp. yang didapatkan melalui uji menggunakan medium PDA-Asam Galat maupun pada PDA-Guaiacol, ditandai dengan timbulnya warna coklat pada medium, intensitas pewarnaan medium beragam menurut jenis jamur yang diinokulasikan yaitu mulai dari warna coklat terang hingga coklat keunguan. Menurut Musa et al., (2011), warna coklat yang terbentuk pada medium karena adanya reaksi pengoksidasian fenol yang terdapat pada medium oleh jamur dengan bantuan enzim fenol oksidase. Nishida et al., (1988) menyatakan bahwa perubahan warna coklat pada medium Bavendamm menunjukkan adanya enzim ekstraseluler fenol oksidase di sekitar miselium yang sedang tumbuh. Arif et al., (2008) melaporkan jamur pelapuk putih yang didapatkan dari hutan pendidikan Universitas Hasanudin terdiri atas Pycnoporus cinnabarinus, Pleurotus sp., Clavariadelpus truncatus, Amanita junguilea, Auricularia auricula, dan Amanita fuliginea. Musa et al., (2011), melaporkan 3 jamur pelapuk putih yang diperoleh dari Taman Hutan Raya Bukit Barisan yaitu Phanerochaete sp., Trametes sp., dan Asterostroma sp. Penelitian yang terdahulu dari Subowo (1992), juga mendapatkan 3 jamur pelapuk putih dari Habema yaitu Coriolus versicolor, Polyporus sulphureus, dan Ganoderma lucidum. Djarwanto et al., (2004), malaporkan bahwa sebagian besar jenis jamur yang ditemukan di Sumatera Selatan tumbuh pada pohon mangium yang telah mati yaitu berupa dolok kayu, kayu gergajian, dahan, ranting, dan tunggak. Beberapa jenis yang tumbuh pada serasah (daun dan ranting) dan campuran dengan kayu seperti tunggak,
7 antara lain Coprinus sp., Marasmius sp., dan Amauriderma. Beberapa jenis jamur tertentu seperti Polyporus spp., Dacryopinax sp., Pycnoporus sp., dan Schizophyllum ditemukan hampir di semua tempat dan tingkat umur pohon mangium. Hasil penelitian Liew et al., (2011), menambahkan beberapa jamur pelapuk putih seperti Heterobasidium annosum, Phanerochaete crysosporium, Phlebiopsis gigantea, Pleurotus ostreatus, Pycnoporus sanguineus, Schizophyllum commune, Nia vibrissa, Donkioporia expansa, Daldinia concentrica, Asterostroma ochroleucum, Phellinus contiguous, dan Ganoderma applanatum yang memiliki potensi untuk digunakan dalam aplikasi bioteknologi termasuk mendegradasi bahan kimia yang sangat tidak larut seperti lignin, remediasi limbah berbahaya pengolahan industri kertas dan tekstil, dan biokonversi makanan. Menurut Fatriasari et al., (2009) seluruh hasil penelitian menunjukkan bahwa pulping dengan menggunakan jamur pelapuk putih mampu mengurangi konsumsi energi, mengurangi polusi lingkungan, dan memperbaiki kekuatan kertas. Manfaat pentingnya kayu dan material lignoselulosik lainnya sebagai sumber terbarukan untuk produksi kertas, telah meningkatkan minat penelitian tentang degradasi lignin pada industri kertas oleh jamur pelapuk putih (Ruqayyah et al., 2011). Jamur pelapuk putih berpotensi digunakan dalam industri yang harus menghilangkan lignin atau berbagai komponen fenolik dalam proses pembuatan bahan baku pulp dan kertas yang selama ini dilakukan secara kimia (Liew et al., 2011). Peningkatan perhatian ke lingkungan oleh pencemaran industri pulp dan kertas disebabkan oleh pelarut senyawa lignin yang telah mengalami proses depolimerisasi, klorinasi dan oksidasi, sehingga untuk mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pemutihan pulp digunakan agen biologi yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) (Ohkuma et al., 2001).