BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial budaya. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan perempuan. Perempuan secara langsung menunjukkan pada salah satu jenis kelamin dari dua jenis kelamin. Meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran perempuan (Abdulla, 2006: 3). Perbedaan perempuan dan laki-laki secara biologis membawa implikasi yang berbeda, baik dalam wacana maupun fenomena di masyarakat. Dalam wacana kesetaraan perempuan vis a vis laki-laki, masih menimbulkan kontroversi di kalangan para intelektual. Demikian pula, dalam fenomena sosiokultural, lakilaki masih dominasi memegang kendali kekuasaan, di nama kekuasaan dan kebijakan yang diperlakukannya hanya berlaku berdasarkan standar laki-laki (Nurhayati, 2012: 3). Perbedaan antara jenis kelamin adalah alamiah” atau merupakan fakta biologis yang telah terjadi berabab-abab lamanya. Alami di sini
1
tidak selalu diartikan sebagai fakta biologis, tetapi sering diartikan sebagai ketentuan Tuhan (Nugroho, 2008: 49). Perempuan dan laki-laki secara alamiah biologis dan genetik berbeda, akan tetapi yang melahirkan perbedaan adalah ketika perbedaan secara alamiah ini lalu kemudian menimbulkan pemahaman yang beragam pada masing - masing orang dan kelompok masyarakat. Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah perempuan adalah membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan penyifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu dan secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa di pertukarkan. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal dengan konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultur (Fakih, 1996: 8), misalnya stereotype perempuan yang dikenal dengan lemah lembut, keibuan, emosional atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukan kodrat. Perbedaan
jenis
kelamin
sering
dipergunakan
masyarakat
untuk
membedakan dan membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki yang mempunyai peran sebagai pencari nafkah (luar rumah) dan
peran perempuan sebagai
pengurus rumah tangga (dalam rumah), atas dasar perbedaan tersebut mengakibatkan terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan Peran
2
Publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat moderen, pekerjaan rumah tangga atau sektor rumah tangga tidak berkesempatan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan yang dapat meningkatkan kemampuan dirinya (Budiman, 1985 : 1-2).
Perjuangan emansipasi menyebabkan perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki, sehingga pada saat ini bukan lagi perempuan mesti berdiri di belakang laki-laki tetapi menjadi mitra sejajar, karena perempuan mempunyai peran, kontribusi dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Status sosial kaum perempuan perlahan-lahan berubah, perubahan terjadi dikarenakan adanya tokoh-tokoh penggerak emansipasi perempuan di antara : Indira Gandira Perdana Menteri India, Margaret Thatcher Perdana Menteri Britania Raya, R.A Kartini, Raden Dewi Sartika mereka adalah perempuan yang memperjuangkan persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan di masa kemerdekaan, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Indonesia, Endang Rahayu Setyaningsih Menteri Kesehatan, Linda Amalia Sari Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, demikian pula di lembaga DPR RI ada Meutya Hafid, Rooslynda Marpaung, Rida Zahara, Okky Asokawati, Wiryanti Sukamdani, di provinsi Papua barat Pahimah Iskandar sebagai Wakil Walikota Sorong, Meri Wogaje Ketua DPR antar waktu kabupaten Sorong Selatan, beberapa perempuan
3
ini memiliki peran yang cukup dominan bagi kemajuan bangsa, perjuangan mereka adalah mencerminkan peran dan kontribusi untuk membangkitkan semangat perempuan agar ikut adil dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perjuangan perempuan telah diwujudkan melalui dukungan peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Keberhasilan perjuangan perempuan justru menunjukkan representasi di DPR-RI mengalami peningkatan dari jumlah anggota pada periode sebelumnya. Adapun representasi perempuan di parlemen dapat di lihat melalui data jumlah perempuan di DPR-RI dari Pemilu Tahun 19992014.
Tabel 1.1 Data Jumlah Anggota Di DPR-RI Era Reformasi Tahun 1999-2014 Tabel Perempuan Di DPR-RI
Jumlah Anggota DPR-RI Pemilu
Perempuan
Laki-laki
1999-2004
44 (8,8 %)
455 (91,2 %)
2004-2009
65 (11 %)
485 (89 %)
2009-2014
103 (18 %)
457 (82 %)
Sumber: Puskapol FISIP, 2010
4
Pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa perempuan di DPR-RI mengalami meningkatkan pada tahun 2009-2014 mencapai 18%, tahun 2004-2009 mencapai 11% dan pada tahun 1999-2004 hanya mencapai 8.80%. Hal ini menunjukkan bahwa representasi politik perempuan di parlemen merupakan suatu keberhasilan, upaya ini menandakan bahwa peluang perempuan untuk terpilih sebagai anggota parlemen semakin terbuka. Peningkatan perempuan di parlemen mengalami peningkatan, namun peran perempuan di sektor publik masih menjadi isu dan persoalan di dalam masyarakat yang memiliki konstruksi budaya patriarkhi. Perempuan masih dianggap sebagai “Lyan” dan „pelengkap‟ (the second sexs dan the second position) dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial. Walaupun saat ini telah terjadi arus demokratisasi, keterbukaan informasi dan reformasi politik, namun kesenjangan akses PNS perempuan dalam pemerintahan masih belum seperti harapan. Hal ini dapat dilihat terutama dalam lembaga birokrasi pemerintah, di mana peran pegawai perempuan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan masih sangat minim dibandingkan dengan pegawai laki-laki (Herbet, 2001: 2). Adapun kendala yang mengakibatkan perempuan tidak dapat menduduki jabatan struktural pada birokrasi pemerintahan yaitu: rendahnya keterlibatan perempuan dalam mengikuti pendidikan formal maupun pendidikan non formal, kendala dari diri perempuan itu sendiri, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga misalnya, peran ganda yang dimiliki oleh pegawai perempuan yakni melakukan peran dan tanggung jawab sebagai pegawai negeri (publik) dan tidak terlepas dalam melakukan peran dan tanggung jawab sebagai istri (domestik), budaya 5
patriarkhi yang telah masuk dalam birokrasi pemerintahan sehingga menggagap bahwa pemimpin atau pengambil kebijakan identik dengan laki-laki, kurang adanya dukungan dari pemimpin, kurangnya pemahaman gender oleh pengambil kebijakan, lemahnya peran baperjakat dalam menilai kelayakan pegawai untuk menduduki jabatan, lemahnya kantor pemberdayaan perempuan yang belum mampu menjadi fasilitator yang dapat mengubah nasib kaum perempuan, kurangnya dukungan masyarakat adat, adanya kebijakan yang mengutamakan laki-laki sehingga perempuan tidak dapat memperoleh akses yang sama dengan laki-laki dalam menduduki jabatan eselon II di birokrasi pemerintahan, yang diakibatkan karena adanya pengaruh kultur sosial di masyarakat. Ketimpangan gender yang terjadi mengakibatkan terbatasnya wilayah kerja perempuan terutama pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan ketelitian yang tinggi, serta peluang untuk mencapai jabatan relatif terbatas hanya pada posisi jabatan yang rendah.
Pelibatan perempuan di bidang pemerintahan juga menjadi hal penting, bukan hanya dalam kerangka efektivitas pemanfaatan sumber daya pembangunan, akan tetapi juga dalam kerangka pemerataan kesempatan bagi perempuan dalam menduduki jabatan struktural di pemerintahan, kepentingan tersebut bukan hanya diperlukan upaya peningkatan jumlah perempuan yang masuk dalam bidang pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil, akan tetapi juga bagaimana peningkatan kualitas kesetaraan perempuan dengan laki-laki untuk dapat bersaing meraih jabatan-jabatan struktural di pemerintahan.
6
Perempuan dapat menjadi sumber daya manusia yang potensial bagi pembangunan dan pengembangan daerah, hal ini dapat terjadi dalam situasikondisi/lingkungan yang kondusif yang memang memungkinkan hal ini terjadi. Dalam kenyataannya, meskipun iklim yang berkembang mulai memberikan peluang, namun banyak aspek yang berkaitan dengan faktor kultur sosial yang masih menjadi penghambat bagi pegawai perempuan dalam menempati jabatan struktural di birokrasi pemerintahan. Ideologi tentang peran yang pantas bagi perempuan mempengaruhi dan diterjemahkan dalam aturan-aturan formal maupun tidak formal dalam kesempatan dan akses sosial yang berbeda-beda. Dalam berbagai aspek kehidupan budaya sehari-hari, keyakinan dan pandangan individu maupun dalam kesempatan dan akses untuk menduduki jabatan sebagai posisi strategis dalam lembaga-lembaga pemerintah (Poerwandari, 1995 dalam Munsira, 2009: 1) Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah berupa perangkat hukum untuk meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi realita yang dihadapi belumlah cukup untuk berfungsi sebagai peranti kekuatan yang mengantarkan kaum perempuan menjadi mitra sejajar kaum laki-laki. Untuk itu dipandang perlu melakukan
strategi
pengarusutamaan
gender
ke
dalam
seluruh
proses
pembangunan nasional melalui Instruksi Presiden (inpres) No 9 Tahun 2000. Dalam hal ini, pemerintah telah memberikan arah kebijakan yang sangat jelas bahwa pengarusutamaan gender merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
7
kegiatan pembangunan di semua instansi/lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dalam birokrasi pemerintahan masih memperlihatkan citra laki-laki dari pada memperlihatkan citra kesetaraan, sehingga perempuan ditempatkan pada urutan yang paling bawah. Rendahnya peluang yang dimiliki oleh pegawai perempuan dalam menduduki jabatan struktural, merupakan salah satu induksi bias gender dalam birokrasi pemerintah Kabupaten Sorong Selatan yang sudah berusia 12 tahun. Nampaknya terjadi ketidakmerataan dalam penempatan jabatan bagi pegawai laki-laki dan perempuan, sehingga baru terdapat satu orang perempuan yang menduduki jabatan pimpinan SKPD, satu orang perempuan kepala kantor pemberdayaan perempuan, satu orang perempuan sebagai direktur rumah sakit dan satu orang perempuan sebagai seorang kepala Distrik/Kecamatan (purna bakti), sedangkan jabatan-jabatan lainnya lebih didominasi oleh laki-laki. Kesenjangan akses perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan struktural di birokrasi dapat dilihat melalui data badan ke pegawai dan Diklat Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2015 menunjukkan bahwa dalam posisi jabatan struktural pada umumnya semakin tinggi jabatan semakin sedikit jumlah perempuan yang menduduki jabatan.
8
Tabel 1.2 Data Jumlah PNS Berdasarkan Pendidikan Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan Februari 2015 Pendidikan
Jumlah Orang
Total
%
Laki-Laki
%
Perempuan
%
S2
33
2.83%
4
0.34%
37
3.18%
S1
298
25.64%
123
10.58%
421
36.23%
D3
88
7.57%
77
6.62%
165
14.19%
SMA
347
29.86%
69
5.93%
416
35.80%
SMP
53
4.56%
15
1.29%
68
5.85%
SD
55
4.73%
-
-
55
4.73%
JUMLAH
874
75.20%
288
24.78%
1162
100%
Sumber: Bkd Sorsel Tahun 2015 Pada data tabel 1.2 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan PNS perempuan di Kabupaten Sorong Selatan jumlahnya masih sangat sedikit. Pendidikan bagi PNS perempuan sangatlah penting dalam mengukur kualitas sumber daya manusia perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai oleh seorang PNS akan berdampak melalui kualitas sumber daya aparatur dalam melaksanakan tugas kerja di pemerintah. Kondisi yang ada di kabupaten sorong selatan dapat dilihat dari tingkat pendidikan S1 jumlah mencapai 10.58%, disusul dengan D3 6.62%, SMU atau sederajat 5.93%, sedangkan pegawai perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu pada tingkat SMP 1.29% dan S2 0.34 %.
9
Dari data di atas dapat memperlihatkan bahwa PNS perempuan tidak mempunyai peluang dalam mengakses jabatan struktural di pemerintahan, karena tingkat pendidikan yang dimiliki oleh PNS perempuan lebih rendah dari PNS lakilaki. Tabel 1.3 Data Jumlah PNS Berdasarkan Golongan Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan Februari 2015 Jumlah Orang Golongan
Laki-Laki
%
Perempuan
%
Total
%
IV
89
5.45%
11
0.59%
100
8.60%
III
315
25.85%
143
11.13%
458
39.41%
II
370
33.64%
121
12.07%
491
42.25%
I
100
10.78%
13
1.45%
113
12.47%
JUMLAH
874
74.74%
288
25.25%
1162
100%
Sumber: Bkd Sorsel Tahun 2015 Pada tabel 1.3 di atas, menunjukkan bahwa jumlah pegawai perempuan berdasarkan golongan lebih rendah dibandingkan dengan pegawai laki-laki, dari golongan I- IV, ada pun kondisi golongan PNS perempuan yaitu: golongan II mencapai 12.07%, golongan III 11.13%, golongan I 1.45% dan golongan IV 0.59%. Melihat kondisi pegawai perempuan di Kabupaten Sorong Selatan, berdasarkan golongan masih sedikit dibandingkan dengan pegawai laki-laki. golongan bagi PNS sangatlah menentukan pegawai dalam menduduki jabatan struktural di birokrasi pemerintahan. Rendahnya golongan yang dimiliki oleh
10
PNS perempuan disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh PNS perempuan di struktural, hal ini akan berdampak pada penentuan jabatan eselon di lingkungan pemerintahan, membuat sehingga laki-laki lebih dominan dalam menduduki jabatan penting di pemerintahan. Tabel 1.4 Data Jumlah PNS Berdasarkan Eselon Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan Februari 2015 Jumlah Orang Eselon
Laki-Laki
%
Perempuan
%
Total
%
II
30
6.36%
1
0.21%
31
6.58%
III
112
23.77%
28
5.94%
140
29.72%
IV
210
44.58%
90
19.10%
300
63.69%
JUMLAH
352
74.73%
119
25.26%
471
100%
Sumber: Bkd Sorsel Tahun 2015 Pada tabel 1.4 di atas, menujukan bahwa pegawai perempuan yang menduduki jabatan eselon IV 19.10%, eselon III 5.94% dan eselon II 0.21%. Data di atas menunjukkan bahwa masih sedikitnya jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon baik dari eselon bawah sampai eselon yang tinggi, semakin tinggi eselon maka semakin sedikit atau hanya satu PNS perempuan yang menduduki jabatan tersebut. Berdasarkan kondisi faktual terlihat jelas bahwa terjadi ketidakseimbangan dan ketidakadilan gender dalam penempatan jabatan struktural bagi laki-laki dan perempuan pada birokrasi pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan, perempuan lebih banyak menjadi objek ketimbang menjadi subjek dalam segala hal. Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan 11
(BAPERJAKAT) yang bertugas mengatur dan mempertimbangkan kelayakan seorang PNS dalam menduduki jabatan nampaknya belum cukup adil dalam masalah penyetaraan gender, lemahnya peran kantor pemberdayaan perempuan dalam memberikan dukungan bagi perempuan, ini juga disebabkan karena budaya patriarkhi yang mengikis potensi rasa percaya diri dari perempuan, rendahnya pemahaman gender di dalam birokrasi pemerintahan, pengaruh lembaga masyarakat adat yang lebih berpihak kepada laki-laki, kapasitas perempuan yang masih terbatas dan adanya kebijakan yang kurang mendukung pegawai perempuan yang diakibatkan karena pengaruh kultur sosial yang telah masuk dalam birokrasi pemerintahan. Perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menduduki jabatan-jabatan struktural dalam birokrasi pemerintah, terutama pada jabatan puncak pimpinan atau sebagai pengambil kebijakan, namun di pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan perempuan masih kurang dalam menduduki jabatan pimpinan yaitu pada jabatan eselon II. Untuk melihat hambatan/kendala yang dihadapi oleh pegawai perempuan sehingga sulit untuk menduduki jabatan struktural sebagai pengambil kebijakan dalam pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan, maka peneliti tertarik untuk membahas masalah dengan judul “ Kesenjangan Akses Pegawai Negeri Sipil Perempuan Dalam Menduduki Jabatan Eselon II Di Birokrasi Pemerintahan (Studi Pada Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan) “
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus utama dalam penelitian ini yaitu melihat kesenjangan akses pegawai negeri sipil (PNS) perempuan dalam menduduki jabatan struktural di birokrasi pemerintahan yang ditinjau dari rendahnya jumlah PNS perempuan yang memenuhi kualitas pendidikan formal maupun nonformal, rendahnya peluang PNS perempuan untuk menduduki jabatan eselon II sebagai pemimpin, dan rendahnya pemahaman gender oleh pengambil kebijakan pada pemerintah Kabupaten Sorong Selatan sesuai dengan itu maka rumusan masalah yang diambil sebagai berikut : Mengapa terjadi kesenjangan akses PNS perempuan dalam menduduki jabatan eselon II pada pemerintahan Kabupaten Sorong Selatan ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui proses kesenjangan akses PNS perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan struktural ditinjau dari rendahnya kualitas pendidikan formal maupun nonformal, rendahnya peluang untuk menduduki jabatan eselon II dan rendahnya pemahaman gender oleh pengambil kebijakan di pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. D. Kerangka Teori 1. Gender Konsep penting yang harus dipahami dalam rangka membahas kesenjangan akses perempuan dalam menduduki jabatan eselon II pada birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari pemahaman gender atau pengertian gender.
13
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya jenis kelamin (sex), namun konsep gender berbeda dengan konsep jenis kelamin (sex). Pengertian jenis kelamin (sex) secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, yang meliputi perbedaan komposisi hormon dalam tubuh, anatomi, fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya yang bersifat kodrat (ketentuan Tuhan) yang tidak dapat berubah (Nugroho, 2008: 17-18, Sadli, 2010: 23). Konsep gender menurut Oakley dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender, And Society dalam (Nugroho, 2008: 32), diartikan sebagai konstruksi sosial, budaya, psikologi, dan aspek-aspek non biologis lainnya, di mana dapat berubah dan dapat dipertukarkan tergantung waktu dan budaya setempat. Gender berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, tetapi tidak semata-mata mempunyai pembedaan secara psikologis melalui teori Natur dan Nurture. Teori Natur, perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis dan teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor dari lingkungan (Budiman, 1984: 2). Jenis kelamin (sex) secara biologis adalah kodrat Tuhan, berbeda dengan gender. Gender merupakan (behavioral differences) perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan di ciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Jadi, perbedaan perilaku antara perempuan dan laki-laki bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses kultural dan sosial. Dengan demikian gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari
14
waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, melainkan pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku, yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat (Nugroho, 2008: 32-33). Konsep gender juga di terjemahkan dalam Women’s Studies Encyclopedia, di mana gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Nugroho, 2008: 34). Gender merupakan sistem kepercayaan di dalam masyarakat. Menurut pandangan masyarakat gender adalah hubungan antara laki-laki dan sifat kelakilakian (maskulin) dan antara perempuan dan sifat keperempuanannya (feminis). Gender disebabkan oleh banyak hal mengalami proses yang sangat panjang telah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui ajaran agama, sekolah, maupun negara, di mana, yang kemudian dianggap sebagai ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah lagi. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukan kodrat (Fakih, 1999: 9-10). Adanya konstruksi dan sosialisasi gender yang mengalami proses yang cukup panjang dalam masyarakat tersebut, secara perlahan-lahan terbentuk di mana kaum laki-laki dianggap kuat dan agresif sehingga mereka dilatih dan
15
tersosialisasikan sejak kecil untuk memenuhi harapan masyarakat agar dapat menjadi kuat dan agresif. Sebaliknya, kaum perempuan dianggap lemah, lembut dan cantik sehingga sejak kecil mereka dilatih untuk melakukan pekerjaanpekerjaan yang lembut yang tidak mengeluarkan tenaga besar dan juga terlatih dan tersosialisasikan untuk merawat tubuh atau berdandang sebagaimana tuntutan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka secara langsung telah memberikan dampak terhadap pembagian kerja secara seksual. Perbedaan gender (Gender differences) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities) (Nugroho, 2008: 40). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan pada perempuan. Dengan adanya sistem dan budaya patriarkhi yang sangat kental dalam masyarakat, maka kaum perempuanlah yang lebih banyak mengalami perlakuan tidak adil dalam kehidupan. Ketidakadilan gender ini terlihat dari adanya ketidaksetaraan peran yang berdampak pada keterbelakangan kaum perempuan, di mana hal tersebut terjadi baik dalam hak, sumber daya, maupun aspirasi politik yang ternyata tidak saja telah merugikan perempuan secara umum, tetapi juga secara tidak langsung akan menghambat proses pembangunan. Ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh berbagai norma dan kultur yang ada di masyarakat, di mana tanpa disadari hal tersebut telah menciptakan ketidakadilan gender yang berdampak pada adanya diskriminasi terhadap posisi perempuan dalam pembangunan. Diskriminasi tersebut termanifestasikan ke dalam bentuk-bentuk ketidakadilan seperti
16
terjadinya marginalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan dalam sistem yang ada di masyarakat (Fakih, 2008: 12 dan Nurhayati, 2012 : 4). Norma sosial dan nilai sosial budaya, di satu pihak menciptakan status dan peran perempuan di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peran laki-laki sektor publik yakni sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Menurut White dan Hastuti , 1980 dalam Munsira 2009: 12-13), bahwa dalam sistem kekerabatan patrilineal, ada adat dalam perkawinan (pernikahan) yang biasanya perempuan (istri) mengikuti laki-laki (suami) atau tinggal di kerabat suami, merupakan salah satu faktor yang secara relatif cenderung mempengaruhi status dan peran perempuan, yakni status perempuan semakin rendah dari pada laki-laki. Perempuan tidak bisa menjadi pemilik tanah dam kekayaan yang lain melalui hak waris, sehingga status perempuan menjadi lebih lemah. Hal ini menyebabkan sumber daya pribadi yang di sumbangkan oleh perempuan ke dalam perkawinan atau rumah tangga mereka menjadi sangat terbatas sehingga perempuan lebih lemah di bandingkan dengan laki-laki. Menurut Blood dan walfe,1960 dalam Munsira 20009: 13). Akibat masih berlakunya berbagai norma sosial dan nilai sosial budaya di masyarakat maka akses perempuan terhadap sumber daya menjadi terbatas. Untuk memperkecil keadaan yang merugikan perempuan, maka perlu adanya pemahaman dan penghayatan yang baik tentang akses perempuan dalam
17
menduduki jabatan pimpinan sehingga tidak hanya untuk laki-laki sendiri tetapi juga untuk perempuan. Dalam
hal
menjadi
pemimpin,
posisi
perempuan
masih
sering
diperhadapkan dengan posisi laki-laki. Perempuan dinilai belum pantas menduduki jabatan yang berhubungan dengan kekuasan, yang dianggap pantas “hanya” untuk laki-lak. Meskipun telah terjadi banyak perubahan, namun masih banyak pemikiran-pemikiran di masyarakat yang memandang perempuan tidak patut memposisikan dirinya sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan di sektor publik yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki. Ketika diperhadapkan dengan pilihan untuk menentukan laki-laki atau perempuan yang pantas menjadi pemimpin/pengambil kebijakan, maka pandangan yang muncul sering kali menafikan perempuan. Pandangan yang toleran adalah: “selamah masih ada lakilaki, maka laki-laki”. Anggapan bahwa perempuan masih irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, berakibat muncul sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Lenny, 2009: 12-13). Pandangan ini berawal dari kecenderungan tradisi yang mengakar di dalam masyarakat, di mana menduduki posisi laki-laki melebihi perempuan, sehingga peran publik yang seharusnya bisa juga dilakukan oleh perempuan seolah-olah hanya menjadi monopoli laki-laki . Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan, bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat, terlebih di pedesaan. Label dan cap yang di berikan yang di berikan pada sosok perempuan sangatlah
18
kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun (Lenny, 2009: 14). 2. Perempuan Di Sektor Publik Gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, di konstruksi secara sosial dan kultur sehingga dapat membentuk relasi sosial yang membedakan fungsi, peran, dan tanggung jawab masing-masing jenis kelamin. Dalam perkembangan yang positif, keadilan gender bisa terjadi ketika kedua belah pihak bisa saling mendukung untuk mencapai suatu konsensus dan kondisi kesetaraan (Stone, 1988 dalam Supramudyo, 2009: 2). Tetapi yang sering terjadi adalah kondisi ketidakadilan yang bersifat langsung, yaitu adanya perbedaan perlakuan secara langsung/terbuka yang disebabkan oleh perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku, bersifat tidak langsung seperti peraturan yang sama terhadap dua jenis kelamin tetapi pada pelaksanaannya lebih menguntungkan jenis kelamin tertentu, dan sifat yang berikut adalah sistemik yaitu ketidakadilan yang bertumbuh dan berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang dapat mewariskan keadaan sebagai sifat membedabedakan. Pembagian kerja secara seksual sudah berada sejak lama, namun dalam pembedaan lebih didominasi oleh salah satu pihak (Budiman, 1984: 1). Dalam menjalankan peran perempuanlah yang selalu memainkan peran lebih, peran perempuan sebagai pekerja di sektor publik, dan juga dapat menjalankan peran di sektor domestik, hal ini menunjukkan bahwa perempuanlah yang menanggung peran ganda. Bukan hanya peran ganda tetapi harus menjalan fungsi karier, baik
19
kariernya sendiri, karier suami, dan keberhasilan anaknya (Davis,1991 dalam Partini, 2013: 2). Perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dalam birokrasi pemerintah masih sedikit dibandingkan dengan laki-laki, ini membuktikan bahwa telah terjadi ketimpangan dari sisi jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin. Perempuan memiliki kesempatan yang semakin terbuka untuk menjadi pegawai negeri sipil, tetapi tidak mudah untuk menjadi pemimpin atau mendapat tempat yang sama dengan pegawai laki-laki dalam menduduki jabatan-jabatan penting. Perempuan yang dapat menduduki jabatan puncak jumlahnya masih sangat kecil (Partini, 2004: 320). Berdasarkan kondisi di atas dapat mengarah pada terjadinya fenomena glass ceiling dalam sebuah birokrasi maupun institusi yang mempekerjakan perempuan. Konsep glass ceiling menekankan pada penjelasan tentang persoalan mendasar yang dialami perempuan dalam upaya pencapaian maupun prestasinya dalam suatu karier tertentu. Pada fenomena glass ceiling ( Adair, 2009 dalam Herbet, 2001: 7) perempuan cenderung mengalami kesulitan untuk mencapai posisi tertinggi dalam prestasi kariernya. Ketidakmampuan ini bukan hanya semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan substansi individu dalam menjalankan proses selama dirinya bekerja. Namun lebih spesifik bahwa kegagalan tersebut justru disebabkan hanya karena dirinya adalah perempuan. Keberadaan sebagai perempuan itulah yang membuat ruang geraknya dalam rana publik atau dunia kerja menjadi lebih terbatas dari pada laki-laki.
20
“ Teh glass ceiling is not simply a barrier for an individual, based on the person’s inabiliti to handle a higher-lever job. The glass ceiling applies to women as a group who are kept from advancing higher because they are wome.”(Veilsor dalam Adair1999). Fenomena glass ceiling tersebut sering terjadi dalam organisasi maupun institusi yang memiliki sudut pandang yang bias terhadap perempuan. Perempuan sering mengalami kesulitan untuk mencapai karier tertinggi karena dirinya sering dianggap sebagai subjek yang berbeda dengan laki-laki. Laki-laki dalam hal ini sering diposisikan sebagai pemimpin atau subyek-subyek yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan karier dengan lebih mudah. Kebiasaankebiasaan tersebut lantas diadopsi sebagai sesuatu yang sewajarnya sehingga membentuk pandangan umum yang dikotomis di mana perempuan lebih sering dirugikan. Atas dasar pengertian the glass ceiling seperti tersebut di atas, terlihat bahwa perempuan akan dapat sampai kepada puncak pimpinan (Top leader) pada sebuah organisasi jika ia mampu memecahkan langit-langit kaca yang membatasi dirinya. Walaupun langit-langit hanya tampak samar, jika langit-langit kaca yang transparan tersebut tidak dapat ditembus, selamanya perempuan akan tetap berada dibawa langit-langit kaca yang melingkupinya. Menurut (Still, 1993 dalam Partini, 2013:23) menyarankan bahwa jika ingin berada pada posisi pimpinan atas, perempuan harus dapat memecahkan glass ceiling dan harus mengalokasikan waktu dan energi yang sama seperti laki-laki.
21
Teori the glass ceiling sangat tepat diterapkan pada kasus PNS. Bagi seseorang, langit-langit gelass dapat ditembus oleh pandangannya, namun merupakan penghalang sehingga sulit baginya untuk mencapai tempat di atas langit-langit, kecuali jika langit-langit tersebut dipecahkan. Di lingkungan PNS, secara formal atau menurut undang-undang maupun peraturan pemerintah, tidak ada penghalang bagi perempuan untuk sampai ke posisi pimpinan. Tetapi norma dan nilai budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat masih menjadi penghalang (Partini, 2013: 24). Birokrasi dalam hal ini dimaksudkan sebagai pegawai negeri sipil”. Kajian tentang birokrasi tidak saja memberikan fokus kepada perilakunya, melainkan lebih kepada tatanan formal yang mengingat arah kajian adalah membahas struktur formal birokrasi dari pada perilakunya. Untuk melihat struktur formal, penting untuk dipahami makna dari birokrasi itu. Menurut Max Weber, ciri-ciri dari organisasi ideal yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kehidupan publik agar lebih efisien dan efektif sebagi berikut: (1) Para anggotanya (staf) secara pribadi bebas, dan hanya melakukan tugas-tugas impersonal dari jabatanjabatannya, (2) Terdapat Hierarki jabatan yang jelas, (3) Fungsi-fungsi jabatan diperinci dengan jelas, (4) Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak, (5) Mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional yang secara ideal diperkuat dengan diploma yang diperoleh melalui ujian, (6) Mereka digaji dengan uang dan biasanya mempunyai hak-hak pensiun, (7) Pekerjaan pejabat ialah pekerjaannya yang satu-satunya, (8) terdapat suatu struktur karier dalam kenaikan pangkat adalah yang mungkin baik melalui senioritas ataupun prestasi dan sesuai dengan
22
penilaian para atasan, (9) Pejabat tidak boleh mengambil kedudukannya sebagai miliknya pribadi begitu pula sumber-sumber yang menyertai kedudukan itu, (10) Pejabat tunduk kepada pengendalian yang dipersatukan dan kepada sistem disiplin (Nugroho, 2008: 110). Konsep-konsep inilah yang dikenal sebagai teori klasis (classical theory) atau teori tradisional. Birokrasi adalah kata kunci utama yang dapat menghantarkan pada pemaknaan praktek classical theory. Namun yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan tidak berjalan sesuai dengan ciri-ciri organisasi yang ideal, hal ini disebabkan karena adanya kultur sosial di masyarakat yang telah masuk dalam birokrasi pemerintahan, diakibatkan karena adanya interaksi yang di bangun antara pejabat pembina kepegawaian dengan masyarakat setempat sehingga dalam promosi jabatan di birokrasi pemerintahan kultur sosial yang diprioritaskan sedangkan ciri-ciri yang berasal dari organisasi yang ideal tidak di laksanakan hal inilah yang mengakibatkan dalam jabatan lebih terlihat pegawai laki-laki dari pada pegawai yang perempuan. Menurut (Partini, 2004: 320), menyatakan bahwa nilai budaya patriarkhi yang hidup dalam masyarakat terserap masuk dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia khususnya pada masa rezim Orde Baru. Di dalam budaya patriarkhi perempuan berada pada struktur yang terhegemoni oleh laki-laki sehingga bentuk ini juga muncul dalam sistem birokrasi meskipun secara peraturan laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama. Keadaan ini bertambah kompleks dengan struktur birokrasi yang tidak hanya terdiri dari pejabat karier, melainkan pula pejabat politik. Pejabat politik ini
23
adalah orang yang mendapatkan wewenang untuk merumuskan kebijakan publik. Pejabat politik dipilih melalui pemilihan umum seperti gubernur, bupati/wali kota. Sedangkan pejabat karier adalah pegawai yang menduduki jabatan berdasarkan pertimbangan prestasi kerja dan jenjang kepangkatan. Misalnya, Sekretaris Daerah, Asisten, Kepala Dinas dan sebagainya. Namun secara umumnya jumlah perempuan yang menduduki jabatan karier penting di birokrasi masih sangat sedikit, (Partini, 1998 dalam Herbet 2001: 9). Permasalahan yang dihadapi perempuan dalam birokrasi pemerintah tidak hanya yang berkaitan dengan lingkungan kerjanya, tetapi perempuan belum berhasil menyelesaikan permasalahan internalnya sendiri (Inayatilla, 2008 dalam Herbet, 2001: 14). Salah satu syarat untuk menduduki posisi jabatan struktural adalah keikutsertaan dalam kursus penjenjangan (Partini, 2004: 320). Menjadi salah satu permasalahan mendasar pegawai perempuan yang menyebabkan mereka tidak memperoleh akses dan kedudukan yang sama dengan pegawai lakilaki. Posisi dan eksistensi perempuan di lingkungan kerja birokrasi pemerintahan daerah belum dianggap sebagai mitra sejajar laki-laki, perempuan justru diposisikan sebagai pesaing kompetitor para abdi negara yang berjenis kelamin laki-laki. 3. Faktor –faktor penghambat perempuan di sektor publik Perkembangan karier PNS perempuan untuk dapat meraih jabatan-jabatan penting di lembaga birokrasi pemerintah sering kali memenuhi berbagai hambatan yang bersifat kultur, sosial dan personal. Setidaknya terdapat tiga aspek mendasar
24
yang mempengaruhi perkembangan karier PNS perempuan dalam birokrasi, (Herbet, 2001: 4-5) yaitu: Pertama, Masih ada penerapan nilai budaya feodalisme di lingkungan birokrasi. Sebagian PNS laki-laki maupun perempuan masih memiliki pikiran bahwa pegawai perempuan masih sulit menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi karena faktor budaya kepemimpinan. Dalam masyarakat yang masih memiliki budaya patriarkhi, pimpinan identik dengan laki-laki. Kedua, adanya stereotype yakni pemikiran yang seolah-olah memberikan alasan pembenaran bahwa PNS perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Perempuan dianggap tidak memiliki karakter yang kuat, untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai pemimpin karena menjadi seorang pemimpin diperlukan sosok orang yang tegas, kuat secara fisik, mental dan berwibawa. Ketiga, peran domestik kaum perempuan. PNS perempuan dianggap memiliki kendala bila menjadi pemimpin karena adanya tugas-tugas perempuan sebagi istri dan ibu rumah tangga, sehingga curahan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan di kantor menjadi berkurang. Kondisi ini yang dianggap dapat menghambat peran PNS perempuan untuk berperan secara optimal di kantor karena adanya keterbatasan waktu kerja. Di sisi yang lain, sebagian dari PNS perempuan sendiri masih memiliki pandangan seperti kebanyakan orang, bahwa menjadi pemimpin di birokrasi akan membawa konsekuensi berkurangnya curahan waktu untuk keluarga di rumah.
25
Secara normatif, terdapat tiga aspek yang senantiasa menjadi pertimbangan dalam pengisian suatu jabatan di birokrasi, yaitu: (1) kepastian pegawai, ini terkait dengan pemenuhan aspek kompetensi pada tugas jabatannya; (2) persamaan akses, ini terkait dengan adanya kebijakan yang adil guna memberikan kesempatan yang sama bagi semua pegawai tanpa memandang jenis kelamin, suku, asal-usul, dan agama untuk dapat berkembang; dan (3) kondisi psikologis, ini
terkait
dengan
persepsi
dikalangkan
pengambil
keputusan
untuk
memilih/menentukan pegawai yang dinilai pantas dan cocok (fit and proper) untuk menduduki jabatan tersebut. Persepsi ini dipengaruhi oleh nilai, budaya, mindset yang telah dibentuk melalui lingkungan sosialnya. Pada konteks isu gender, sering kali kondisi psikologis ini telah membentuk konstruksi sosial dikalangkan sebagian pejabat birokrasi yang memandang pegawai perempuan kurang pantas dan cocok untuk menempati jabatan-jabatan strategis sebagai pengambil keputusan. Pegawai perempuan dipandang lebih cocok menduduki jabatan-jabatan administratif yang menuntut adanya ketelitian, kesabaran dan ketekunan. Keterlibatan perempuan dalam birokrasi masih menunjukkan adanya ketimpangan ini disebabkan oleh : (1) posisi perempuan dalam pemerintahan masih bersubordinasi dan termarginalisasi oleh laki-laki, (2) sumber daya perempuan dalam birokrasi yang belum siap, (3) perempuan yang jumlahnya sedikit sebagai pengambil kebijakan dalam birokrasi, (4) anggaran pemerintah (APBN dan PBD) belum banyak di arahkan untuk kepentingan perempuan (Partini, 2004: 323-324).
26
Menurut (Munandar, 2001 dalam Linandar 2009: 14) hal-hal yang mempengaruhi kendala bagi perempuan untuk mengembangkan kariernya dapat bersifat internal (tergantung pada diri pribadi perempuan itu sendiri) dan eksternal (tergantung kondisi lingkungan kerja dan lingkungan keluarga). Bagi setiap perempuan yang ingin mengembangkan karier pada tingkat tinggi maka, kendalakendala di atas merupakan suatu tantangan yang harus dilewati agar perempuan bisa mendapat posisi yang sama dengan laki-laki. Namun sebagian perempuan karier lainnya masih terperangkap dalam situasi dan kondisi eksternal yang terpaku pada konsep tradisional mengenai peran laki-laki dan perempuan, di mana mempunyai dampak terhadap kondisi internal perempuan. (Munandar, 2001 dalam Linandar, 2009: 14), menyatakan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi karier perempuan meliputi: rasa bersalah, peran ganda, dan ketakutan untuk sukses ( takut sukses). Sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi dukungan keluarga dan lingkungan kerja. Untuk penggunaan selanjutnya dalam penelitian ini, variabel takut sukses diubah menjadi berani sukses untuk memberikan pemaknaan yang lebih positif pada variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. (Safitri, 2007 dalam Linandar, 2009:14-17), merumuskan bahwa faktor internal meliputi: motivasi, peran ganda, rasa bersalah, pendidikan, dan pengalaman, serta faktor eksternal yang meliputi dukungan keluarga dan lingkungan kerja. Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut.
27
Faktor Internal
1. Motivasi Motivasi merupakan dorongan yang membuat pegawai dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak ada keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu tanpa adanya motivasi. Seorang pegawai yang termotivasi biasanya bersifat energik dan bersemangat dalam mengerjakan sesuatu secara konsisten dan aktif mencari peran dengan tanggung jawab yang lebih besar. Beberapa pegawai tidak takut kalau dihadapkan pada tantangan, bahkan justru termotivasi untuk mengatasinya. Sebaliknya, para pegawai yang memilik motivasi kurang, akan sering menampilkan rasa tidak senang akan tugas-tugas dan tujuannya dan cenderung masa bodoh. Akibatnya, kinerja mereka menjadi buruk dan sering melepaskan tanggung jawab. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perempuan bekerja, yaitu untuk menambah penghasilan keluarga, agar mempunyai penghasilan sendiri (keinginan untuk mandiri), memanfaatkan ilmu, mewujudkan cita-cita, dan merupakan hobi mereka (Mangkuprawira, dan Vitayala, 2007 Kelompok Studi Wanita FISIP-UI, 1990 dalam Linandar, 2009: 14). 2. Peran Ganda Peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi oleh perempuan bekerja. Dalam bentuknya yang ekstrem, terkadang perempuan harus memilih antara tidak menikah dan sukses berkarier, atau menikah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Meningkatnya peran perempuan sebagai pencari nafkah keluarga dan kenyataan bahwa mereka juga berperan meningkatkan kedudukan
28
keluarga (famili status production) menyebabkan jumlah masalah yang timbul menjadi bertambah. Peran tersebut sama-sama membutuhkan waktu, tenaga, dan perhatian. Jika peran yang satu dilakukan dengan baik dan yang lain terabaikan, maka akan menimbulkan konflik peran. Masalah ini timbul terutama bila yang bekerja adalah ibu rumah tangga dan pencari nafkah (berperan ganda) harus memenuhi tugas sebagai ibu rumah tangga dan diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai seorang istri sekaligus pencari nafkah (Kelompok Studi Wanita FISIP-UI, 1990, dalam Linandar, 2009: 15). 3. Rasa Bersalah Nilai-nilai tradisi yang menuntut perempuan hanya bergerak di kawasan domestik dan tidak boleh melebihi laki-laki, membuat perempuan akan menghadapi kesulitan psikologis dan kultur. Perempuan akan selalu bergelut dengan rasa bersalah, sikap yang selalu ragu-ragu, dan perasan takut untuk mencapai kesuksesan, karena takut dianggap durhaka” terhadap suami (Munandar, 2007 dalam Linandar, 2009: 16). Perempuan bekerja yang sudah menikah umumnya dihantui perasaan bersalah karena adanya perasaan telah melantarkan keluarga, terutama bila anakanaknya masih kecil. Nilai-nilai sosial yang membatasi perempuan untuk memilih peran sosialnya dapat berdampak negatif terhadap penggerbangan optimal dari potensi yang dimiliki oleh perempuan, sehingga perempuan akan merasa bahwa mengombinasikan karier dan tuntutan keluarga tidak akan berlangsung secara mulus. Meskipun saat ini semakin banyak perempuan yang memilih untuk bekerja
29
dan berprestasi di lingkungan politik, tetapi pilihannya justru dapat menimbulkan rasa bersalah dan cemas (Sadli, 2001 dalam Linandar 2009:16) 4. Berani Sukses Berani sukses adalah perasaan siap dan tidak takut/khawatir yang dirasakan oleh seorang perempuan untuk mencapai karier yang tinggi dalam pekerjaannya, serta memandang bahwa meraih kesuksesan itu bukanlah sesuatu yang sulit walaupun ditentukan oleh banyak pihak, terutama jika kedudukan dan penghasilan yang dimiliki lebih tinggi dari pasangannya (Linandar, 2009: 16) 5. Pendidikan Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini, perempuan mempunyai banyak kesempatan untuk memperoleh pendidikan, penempatan, serta kemajuan karier dari pada sebelumnya (dibandingkan dengan perempuan pada jaman dulu). Perempuan
tidak
terlalu
mengalami
rintangan
untuk
memanfaatkan
pendidikannya (Munandar, 1994 & kelompok studi wanita FISIP-UI 1990, dalam Linandar, 2009:16). Bertambahnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat, termasuk kaum perempuan, membuat semakin banyak perempuan yang memasuki lapangan kerja. 6. Pengalaman Menurut Ihromi dalam Safitri (2007), pengalaman kerja adalah pengalaman yang diperoleh seseorang sebagai pekerja di suatu perusahaan. Pengalaman perempuan sebagai sumber berharga dalam menekuni dunia karier yang lebih baik, karena perempuan yang berpengalaman akan lebih terampil dan menguasai sesuatu pekerjaan yang ditekuninya (Linandar, 2009:17).
30
Faktor Eksternal
1. Dukungan Keluarga Keluarga yang dimaksudkan adalah suami dan anak-anak dan orang tua. Menurut (Safitri, 2007 dalam Linandar, 2009:17), dukungan suami sebagai sikapsikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak-anak, serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karier atau pekerjaan istrinya. Dukungan orang tua terhadap anak perempuannya dalam mengembangkan karier juga tidak jauh berbeda dengan pengertian tersebut, yaitu ikut membantu dalam mengurus anak-anak . 2. Lingkungan kerja Perempuan dalam dunia kerja ditandai oleh pelecehan, diskriminatif, ketidakberdayaan, dan dominasi oleh laki-laki. Dalam berbagai lingkungan kerja, perempuan dihadapkan pada perlakuan diskriminatif di dalam dan antar organisasi. Sekalipun semakin banyak perempuan yang memasuki pasar kerja sektor formal, mereka sering kali menjadi sasaran perlakuan diskriminasi gender (Gardiner dkk, 1996 dalam Linandar, 2009: 18). Pekerjaan dapat menjadi sumber ketegangan dan stres yang besar bagi para perempuan bekerja. Peraturan kerja yang kaku, pemimpin yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, waktu kerja yang sangat panjang, atau ketidaknyamanan psikologis yang dialami di tempat kerja akan menyebabkan pekerja perempuan merasakan lingkungan kerja yang tidak kondusif.
31
Pada kenyataan yang menjadi masalah adalah walaupun semakin terbukanya peluang
di sektor publik, namun pengambilan keputusan masih
didominasi oleh laki-laki, sehingga perempuan belum mencapai posisi yang optimal. Hal tersebut disebabkan oleh pendidikan yang pada umumnya masih rendah walaupun saat ini dunia pendidikan semakin berkembang namun kesempatan perempuan tetap lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh ideologi gender yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Menurut Oey, 1999 dalam (Oktaviani, 2014: 2). Dewasa ini banyak perempuan yang mulai meninggalkan rumah mereka untuk bekerja. Alasan mereka bekerja bervariasi ada yang karena ingin mengembangkan karier dan cita-cita, ada yang ingin mengisi waktu luang, dan tidak sedikit yang bekerja untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Menurut Sugianto, 1978 dalam (Oktaviani, 2014: 4) mengembangkan bahwa pendidikan adalah satu-satunya yang menjadi urgensi dalam meningkatkan status perempuan. Semakin terbuka dan luasnya pendidikan bagi perempuan, maka kesempatan kerja bagi perempuan pun makin terbuka lebar.
32