Kecemasan sosial termasuk gangguan kecemasan yang paling lazim dan termasuk dalam gangguan yang merata ketiga di dunia, setidaknya di negaranegara berpenghasilan tinggi, dengan tingkat prevalensi seumur hidup antara 7 hingga 13% (Vriends., et.al., 2013; Yoshinaga, et.al., 2013; Russel & Shaw, 2009). Kecemasan sosial merupakan kondisi yang umum dan penuh tekanan, mempengaruhi lebih dari 12% populasi sehingga menduduki peringkat kedua dalam gangguan kecemasan secara umum dengan prevalensi seumur hidup sebesar 12,1%. Lebih lanjut, kecemasan sosial digolongkan ke dalam gangguan kejiwaan paling umum keempat setelah depresi berat 16,6%, penyalahgunaan alkohol 13,2%, dan fobia spesifik 12,5% (Kessler, et.al., 2005). Di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Vriends et.al (2013) menemukan bahwa tingkat kecemasan sosial dari hasil self-report 311 orang mahasiswa S1 Fakultas Psikologi UGM tergolong tinggi yaitu sebesar 15,8 %. Kecemasan sosial seringkali bersifat kronis dan tak henti-hentinya, serta dapat memiliki konsekuensi negatif yang cukup besar pada kualitas hidup (Parr & Cartwright-Hatton, 2009). Gangguan kecemasan sosial dikaitkan dengan gangguan kejiwaan komorbid, masalah kesehatan kronis, ketergantungan keuangan atau beban ekonomi, keinginan bunuh diri, masalah keluarga, serta fungsi umum sosial dan pekerjaan yang rendah. Sebagai gangguan kronis, kecemasan sosial sering berkembang selama masa kanak-kanak atau remaja menengah, biasanya mendahului gangguan lain seperti depresi dan gangguan kecemasan lain (Vriends et.al., 2013; Yoshinaga, et.al., 2013; Russel & Shaw, 2009; Memik et al., 2010). Akibat lain dari kecemasan sosial antara lain penyalahgunaan zat, putus sekolah, lebih rendahnya tingkat pencapaian pendidikan, mengalami pengangguran dan penipuan (Garcia-Lopez et al., 2008). Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kecemasan sosial. Kecemasan sosial terkait dengan rasa malu atau penghinaan (Reijntjes et al., 2011). Orang-orang dengan kecemasan sosial umumnya pemalu semasa kanakkanak sehingga mereka rentan bila berhadapan dengan perjumpaan sosial yang traumatis, misalnya, dipermalukan di depan orang (Nevid, 2005). Kecemasan
1
sosial diwarnai oleh kekhawatiran individu tentang bagaimana ia membawakan diri dalam situasi sosial. Individu dengan harga diri rendah cenderung meragukan kemampuannya
dan
berkeyakinan
bahwa
orang
lain
akan
meragukan
kemampuannya pula (Leary & Kowalsky, 1995; Oort et al., 2011). Faktor penyebab kecemasan sosial dari keluarga termasuk gaya pengasuhan orangtua antara lain penolakan yang tinggi, overprotektif, kurangnya kehangatan emosional, tekanan atau permasalahan yang dialami orang tua seperti kecemasan, depresi, dan ketergantungan terhadap alkohol. Faktor penyebab lainnya yaitu adanya pengalaman traumatis dari teman sebaya seperti penganiayaan, intimidasi, dan ancaman (Oort et al., 2011; Knappe et al., 2009). Kecemasan sosial adalah gangguan mental yang ditandai oleh ketakutan ekstrim dan konsisten ketika bertindak dengan cara yang memalukan, bertemu orang baru, adanya pengawasan dalam berbagai kinerja dan/atau situasi interaksional (Memik et al., 2010; Yoshinaga, et.al., 2013; Russel & Shaw, 2009; Lundh & Sperling, 2002). Menurut APA (2013), kecemasan sosial dapat muncul dalam situasi interaksi sosial (misalnya, bercakap-cakap, bertemu orang-orang asing), merasa diamati (saat makan atau minum), dan tampil di depan orang lain (misalnya, memberikan pidato). Holt, Heimberg, Hope, & Liebowitz (dalam Leary & Kowalsky, 1997) menyampaikan bahwa situasi yang dapat memunculkan kecemasan sosial dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori primer. Situasi yang paling mudah memunculkan kecemasan adalah : 1) interaksi formal, misalnya: menyampaikan sambutan, pidato, ceramah, presentasi rapat; 2) interaksi nonformal, misalnya: bertemu dengan orang tidak dikenal atau orang asing, datang ke pesta; 3) interaksi yang menuntut perilaku asertif, misalnya: menyampaikan ketidaksetujuan, menolak permintaan teman; 4) diperhatikan orang lain, misalnya saat bekerja, menulis, makan, dan lain-lain. Kecemasan sosial hanya merupakan salah satu di antara beberapa bentuk gangguan interpersonal. Pertama, ketakutan akan evaluasi negatif hanya salah satu dari beberapa ragam ketakutan interpersonal seperti kekhawatiran akan perpisahan atau kesepian, dan ketakutan menyakiti orang lain. Kedua, situasi sosial dirasa mengancam karena tidak hanya melibatkan berbagai macam ketakutan, tetapi
2
karena melibatkan emosi-emosi negatif lainnya, seperti rasa bersalah, marah, malu, kesepian, dan lainnya (Lundh & Sperling, 2002). Ketika rasa takut terhadap situasi sosial dirasakan, orang dengan kecemasan sosial
biasanya
merasakan
kumpulan
gejala
fisik,
kognitif,
dan
behavioral/perilaku. Simptom fisik yang dirasakan antara lain gemetar, wajah yang memerah, berkeringat, gagap, dan gejala lainnya. Aspek kognitif kecemasan sosial meliputi pola pemikiran yang maladaptif dan ketakutan yang irasional. Simptom perilaku yang muncul yaitu menghindar dari situasi yang menekan itu atau diam membeku (freezing) di tempat (Muller et al., 2005). Seperti yang juga disampaikan oleh Nevid (2005) yaitu ada 2 reaksi yang ditunjukkan oleh orang yang mengalami ketakutan yang intens terhadap situasi sosial,
yaitu
menghindarinya atau dapat menghadapinya tetapi dengan distress yang sangat besar. Gejala fisik, kognitif, dan perilaku yang muncul ketika mengalami kecemasan sosial dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas di dalam amygdala (suatu bagian di dalam otak yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan memori yang berkaitan dengan emosi) dan terhubung dengan frontal-striatal korteks bila melihat ekspresi wajah negatif atau situasi mengancam. Amygdala kanan merespon informasi positif dan negatif, sedangkan amygdala kiri hanya merespon informasi negatif (Davidson, 1998 dalam Dobson, 2010). Dalam situasi yang mengancam, amygdala mengirim pesan ke batang otak sehingga memunculkan ekspresi takut, tegang, meningkatkan laju detak jantung dan tekanan darah, membuat nafas menjadi lebih cepat, serta memicu respon fight (menghadapi) atau flight (menghindar) (Fouche et.al., 2013). Data dari penelitian Merikangas et al. (2010) menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup orang yang berusia 13-18 tahun dengan kecemasan sosial sebanyak 5,5% dan sebanyak 1,3% mengalami kecemasan sosial dengan tingkat yang berat. Data demografis lainnya menunjukkan bahwa pada rentang umur 13-14 tahun, sebanyak 3,9% dari populasi mengalami kecemasan sosial; sebanyak 6,1% berumur 15-16 tahun; dan 6,9% berusia 17-18 tahun. Kecemasan sosial diperkirakan memiliki onset puncaknya pada awal masa remaja. Selain itu, dari
3
total 18.752 responden, setengah dari orang dewasa yang mengalami kecemasan sosial melaporkan bahwa onset terjadi pada usia 12 tahun. Onset awal kecemasan sosial (sebelum 15 tahun) dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk dan tingkat depresi dan penyalahgunaan zat yang lebih tinggi (Bourdon et.al., 1988 dalam Parr & Cartwright-Hatton, 2009). Hasil wawancara dengan salah satu guru BK di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta pada 28 Oktober 2013 menunjukkan bahwa cukup banyak siswa yang mengalami permasalahan kecemasan sosial, baik dari laporan wali kelas ataupun melalui pengamatan guru BK terutama saat siswa-siswi datang untuk berkonsultasi. Guru BK tersebut menyatakan perlu diadakan suatu pemberian informasi atau pelatihan agar para siswa dapat mengenali kondisi diri mereka. Hal ini diperkuat oleh data skrining yang menyatakan bahwa sebanyak 26,14 % siswa mengalami kecemasan sosial tingkat sedang (skornya berada di tengah-tengah, di antara ringan dan berat). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa gangguan kecemasan sosial rentan muncul pada masa remaja, terutama dengan adanya transisi dalam hidup dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, sosial, serta psikologis (Oort et.al., 2009). Gejala kecemasan sosial dapat mengganggu hidup mereka sehari-hari secara signifikan. Hasil penemuan lain menyatakan bahwa kecemasan sosial yang muncul pada masa remaja dapat memiliki efek negatif pada kesejahteraan emosional remaja (Haddad et.al., 2011). Seiring dengan perkembangan aspek kognitif, remaja menjadi lebih mampu memahami sudut pandang orang lain daripada saat berada pada masa kanakkanak. Bersamaan dengan hal tersebut, remaja menjadi lebih sadar akan perhatian orang lain serta evaluasi dan pendapat dari teman sebayanya sehingga dapat menyebabkan distres. Selama tahun-tahun masa remaja, menjadi bagian dari suatu kelompok merupakan hal yang lebih penting dari sebelumnya (Gren-Landell et al., 2009). Situasi sosial tertinggi yang memicu kecemasan sosial adalah berbicara di depan umum (11%), diamati oleh orang lain (9,7%), berada dalam situasi yang
4
memalukan (9,3%) dan ditolak (9%) (Garcia-Lopez et al., 2008). Hal-hal tersebut menggambarkan betapa pentingnya remaja merasa diterima oleh teman sebaya, terlepas dari masalah jenis kelamin (Garcia-Lopez et.al., 2008). Mekanisme pengalaman negatif oleh teman sebaya selama masa remaja dapat mempengaruhi proses emosional remaja (Haddad et.al., 2011). Pada konteks pendidikan, siswa sering dituntut untuk berbicara di depan kelompok. Hal ini dapat berdampak pada penurunan prestasi siswa atau permasalahan putus sekolah sehingga mengurangi kecemasan berbicara di depan umum menjadi tugas yang penting bagi semua pihak (Tillfors et.al, 2008). Penelitian Gren-Landell et. al., 2009 menemukan bahwa 91,4% remaja melaporkan penurunan kualitas di area sekolah karena kecemasan sosial mereka. Model pembelajaran interaktif termasuk presentasi dan diskusi kelompok cenderung menegangkan bagi siswa dengan kecemasan sosial karena membuka peluang untuk berinteraksi dengan orang lain yang menyampaikan masukan atau kritikan (Russel & Shaw, 2009). Pada populasi umum, gejala kecemasan menurun selama akhir masa kanakkanak dan masa remaja awal, kemudian meningkat dari pertengahan sampai akhir remaja. Selama masa remaja awal-tengah, terdapat dorongan yang kuat untuk mengembangkan otonomi dan kemandirian, sebuah periode yang juga ditandai oleh meningkatnya kesadaran diri dan sensitivitas (Storch et al. , 2005). Namun, setelah mulai memperoleh otonomi, individu pada masa remaja akhir mulai merasakan harapan yang tinggi dari orang dewasa dan orang tua. Perasaan tidak aman dan kekhawatiran dalam periode ini mungkin menjelaskan peningkatan gejala kecemasan yang ditemukan pada akhir masa remaja (Oort et al., 2009). Penelitian lain dari Oort et al. (2011) menemukan bahwa beberapa faktor (seperti orangtua rejektif) adalah indikator kerentanan kecemasan pada awal masa remaja sedangkan faktor-faktor lain seperti penganiayaan dari teman sebaya adalah indikator kecemasan jangka panjang. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Russel & Shaw (2009) menemukan indikator risiko tingkat kecemasan yang tinggi pada masa remaja awal adalah kompetensi diri rendah, gaya pengasuhan orang tua yang identik dengan penolakan dan terlalu melindungi,
5
serta menjadi korban penganiayaan oleh teman sebaya. Di sisi lain, indikator risiko tingkat kecemasan tinggi untuk jangka panjang antara lain frustrasi tinggi, daya kontrol usaha yang rendah, internalisasi permasalahan orang tua, dan menjadi korban bullying atau penganiayaan. Remaja dengan kecemasan sosial kurang memiliki dukungan dan penerimaan sosial dari teman sekolah serta kurang merasakan keintiman dan persahabatan. Hal ini menyebabkan remaja tersebut kurang memiliki fungsi sosial yang baik (Memik et al., 2010). Seperti yang juga diteliti oleh Storch et al. (2005) yaitu bahwa remaja yang cemas secara sosial melaporkan sedikitnya persahabatan positif dan kurangnya dukungan dari persahabatan yang telah ada. Interaksi yang mengancam antara teman sebaya mungkin memperkuat evaluasi diri negatif dan menyebabkan remaja menghindari interaksi sosial. Konstruk kecemasan sosial terdiri dari dua dimensi berbeda yaitu takut yang berlebihan akan penilaian negatif orang lain dan penghindaran situasi/pertemuan sosial/tekanan secara berlebihan (Reijntjes et al., 2011). Kecemasan sosial muncul karena ada kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari orang lain saat individu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu. Orang dengan kecemasan sosial tinggi sangat gelisah dinilai sebagai orang yang cemas, tidak kompeten atau 'aneh', biasanya menganggap bahwa orang lain dasarnya kritis dan cenderung mencari kepastian bahwa mereka tidak menimbulkan evaluasi sosial yang negatif (Leary & Kowalsky, 1997; Reijntjes et al., 2011). Terhambatnya performansi individu terkait dengan adanya pikiran negatif yang menyebabkan harga diri yang rendah. Harga diri rendah terhubung dengan masalah internalisasi depresi dan kecemasan (Malhotra & Kaur, 2011) sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang mengalami kecemasan sosial memiliki harga diri yang rendah karena adanya penilaian diri negatif pada dirinya sendiri. Dalam model kognitif kecemasan sosial, Clark & Wells, 1995 (dalam Lundh & Sperling, 2002) mendalilkan bahwa individu yang cemas sosial cenderung untuk mengingat-ingat peristiwa sosial yang menyedihkan dan memalukan. Selain itu, ingatan akan peristiwa sosial yang negatif cenderung berulang dan mengganggu konsentrasi.
6
Di samping pemikiran yang negatif atau irasional, individu yang mengalami kecemasan sosial juga terbiasa menjalankan perilaku menghindari situasi sosial yang menekan agar merasa aman. Berdasarkan model kognitif kecemasan sosial dari Clark dan Wells (1995), orang dengan kecemasan sosial melaporkan perilaku menghindar yang lebih tinggi dan lebih banyak pikiran negatif dibandingkan dengan upaya mengontrol kecemasannya. Orang dengan kecemasan sosial menyembunyikan ketakutannya akan evaluasi negatif dari orang lain dan ketakutan ini sering mengakibatkan tekanan emosional yang signifikan sehingga mereka menghindari situasi yang memungkinkan mereka sangat diamati dan dikritik orang lain (Clark, 2001; Schlenker & Leary, 1982, dalam Russel & Shaw, 2009) Hasil penelitian menyatakan bahwa pengurangan perilaku menghindar dapat memperbaiki penampilan diri dan sikap kepada orang lain, dengan demikian menyebabkan hasil performansi sosial yang lebih baik (Stangier, Heidenreich, & Schermelleh-Engel, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ketika individu meninggalkan perilaku menghindarnya, tingkat kecemasan dan kesadaran akan reaksi fisiknya menurun tajam. Temuan ini menyiratkan bahwa perubahan kognitif juga sedang berlangsung (Garcia-Palacios & Botella, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Di Nardo et al., 1993 (dalam Werner, et. al., 2011) menyebutkan bahwa individu dengan kecemasan sosial menggunakan perilaku menghindar dan penyembunyian ekspresi yang lebih besar, serta efikasi diri yang lebih rendah dalam mempraktekkan penilaian kognitif kembali. Penghindaran memberikan bantuan langsung pada situasi kecemasan sosial, tetapi konsekuensi jangka panjangnya dapat menyebabkan permasalahan di ranah sosial dan pekerjaan (Furmark 2002; Hofmann et al. 2004, dalam Werner et. al., 2011). Studi yang dilakukan oleh Spokas et al., 2009 menunjukkan bahwa individu dengan kecemasan sosial percaya bahwa ekspresi emosi itu tidak tepat dan harus dikontrol sehingga mereka menyembunyikan ekspresi dirinya (dalam Werner et. al., 2011).
7
Hanya sebagian kecil orang yang mengalami kecemasan sosial yang menerima pengobatan secara efektif. Ini adalah masalah serius karena jika kecemasan sosial tidak ditangani, hal ini tidak akan berhenti bahkan semakin parah (Russel & Shaw, 2009). Mengingat risiko tinggi untuk komorbiditas dan kondisi yang lebih buruk di kemudian hari, penting untuk melakukan skrining, deteksi, diagnosis, dan penanganan awal kecemasan sosial (Knappe et al., 2009). Berdasarkan salah satu penelitian pada sekolah menengah di Kanada, remaja yang berisiko dan berpartisipasi dalam program pencegahan menunjukkan penurunan kecemasan sosial dan perilaku menghindar (Miller et al., 2011). CBT (cognitive behavioral therapy) atau terapi kognitif-behavioral telah terbukti sangat efektif untuk kasus-kasus seperti depresi, kecemasan, fobia dan masalah yang terkait dengan stres. Kesimpulan ini didukung oleh lebih dari 375 studi uji klinis sejak tahun 1977 dan juga oleh pedoman tritmen internasional, yang didasarkan pada pengetahuan kolektif para ahli di lapangan. CBT adalah pendekatan terapi yang efektif karena terstruktur, berfokus pada permasalahan dan berorientasi pada tujuan, mengajarkan strategi dan keterampilan yang telah terbukti, menekankan pentingnya hubungan baik, kolaboratif, dan terapiutik antara terapis dan klien (Rector, 2010). Terapi perilaku kognitif (CBT) yang dianggap sebagai pengobatan yang efektif untuk gangguan kecemasan sosial di Eropa dan Amerika Utara ternyata juga sangat mungkin, diterima, dan efektif dalam budaya non-Barat seperti budaya Jepang (Yen et.al., 2012). Teori kognitif-perilaku pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian Stimulus-Kognisi-Respon, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, bertindak. Manusia memiliki potensi menyerap pemikiran rasional dan irasional (distorsi kognitif) dimana pemikiran irasional menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku, maka terapi CBT diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan bertindak menjadi positif (Oemarjodi, 2004). Premis dasar dari CBT adalah bahwa emosi sulit untuk diubah secara langsung, sehingga CBT menargetkan perubahan emosi dengan mengubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi pada emosi negatif (Cully & Teten, 2008). Dengan adanya kontrol
8
kognitif ini, maka hiperaktivitas di amygdala menurun. Menurunnya volume hippocampus dan amygdala secara signifikan pada gangguan kecemasan sosial menyebabkan penurunan keparahan gejala pula (Fouche et.al., 2013). Pemikiran disfungsional merupakan awal terbentuknya automatic negative thought, yang secara spontan muncul secara cepat, singkat, dan memiliki asosiasi bebas dalam bentuk kata-kata atau gambaran. Seringkali pasien lebih menyadari emosi yang muncul sebagai hasil dari automatic negative thought. Level yang lebih dalam dari kognisi yaitu basic beliefs atau core beliefs. Hal ini berawal dari masa kecil, yang dipelajari dari pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain termasuk dengan orang tua yang terbiasa mengkritik, observasi, serta pesan eksplisit dan implisit dari lingkungan sekitar individu. Dengan demikian, individu menganggap core beliefs sebagai kebenaran mutlak, yang memang begitu adanya (Beck, 1987 dalam Beck, 2011). Beck meyakini bahwa klien dengan gangguan emosi cenderung memiliki kesulitan berpikir logis dan eror yang konsisten dan menimbulkan gangguan pada kapasitas pemahamannya, yang disebut sebagai distorsi kognitif (Beck, 2011). Ketika berhadapan dengan situasi sosial (antecedents), remaja yang mengalami kecemasan sosial memiliki distorsi kognitif atau pola pemikiran otomatis negatif yang berasal dari core beliefs. Ada peningkatan aktivitas di dalam amygdala (suatu bagian di dalam otak yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan memori yang berkaitan dengan emosi) bila melihat situasi mengancam. Dalam situasi yang mengancam, amygdala mengirim pesan ke batang otak sehingga memunculkan consequences atau reaksi dari individu antara lain afeksi, fisiologis, dan perilaku. Afeksi yang muncul yaitu perasaan takut dan tegang, yang memicu respon fisiologis yaitu meningkatkan laju detak jantung dan tekanan darah, membuat nafas menjadi lebih cepat, gemetar, berkeringat, dan wajah memerah. Selain itu, distorsi kognitif juga memicu respon fight (menghadapi) atau flight (menghindar) yang membentuk perilaku diam membeku (freezing) di tempat atau lari menghindar. Penelitian-penelitian terdahulu di Indonesia juga membuktikan efektivitas terapi CBT pada permasalahan atau gangguan kecemasan sosial. Penelitian yang
9
dilakukan oleh Duana (2012) menyatakan bahwa kecemasan sosial remaja putri yang mengalami obesitas pada kelompok eksperimen mengalami penurunan setelah diberi CBT in group dibanding kelompok kontrol. Penelitian lain menyatakan bahwa terapi kognitif perilaku dapat menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasn sosial yang dialami oleh kedua subjek penelitian, bahkan meningkatkan kepercayaan diri subyek dalam berinteraksi sosial (Asrori, 2009). Pelatihan keterampilan sosial merupakan bagian dari terapi CBT seperti yang ditunjukkan pada penelitian Nurani (2010) yaitu skor kecemasan sosial pada kelompok eksperimen yang diberikan pelatihan ketrampilan sosial lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberi keterampilan sosial. Terapi perilaku kognitif (CBT) dianggap pengobatan psikologis utama bagi kecemasan sosial baik dalam setting kelompok atau individu. Namun, terbatasnya ketersediaan terapis CBT di banyak negara memotivasi terbentuknya media alternatif penyampaian dan pemberian pengobatan. Salah satu alternatif terapi tatap muka yang hemat biaya adalah internet dengan pendekatan self-help dan feedback terapis yang terbatas sifatnya. Pengobatan berbasis internet dapat meningkatkan keinginan orang-orang dengan kecemasan sosial untuk mencari bantuan karena mungkin rasa malu mereka akan berkurang atau mereka merasa tidak terlalu diamati ketika pengobatan dilakukan dari jarak yang berjauhan. Dalam uji coba sebelumnya, hasil yang menjanjikan telah dilaporkan yaitu bahwa pengobatan self-help kecemasan sosial efektif disampaikan melalui internet berdasarkan prinsip-prinsip CBT. Studi ini meneliti kemanjuran program 9 minggu self-help dengan internet dengan tambahan dua sesi paparan (exposure) kelompok. Feedback terapis diberikan murni melalui e-mail. Peserta dengan kecemasan sosial dibandingkan dengan kelompok kontrol waiting list, dimana terdapat perubahan ke arah baik saat pengukuran kecemasan sosial, kecemasan umum, tingkat depresi, dan kualitas hidup. Manfaat dari perlakuan dapat dipertahankan hingga 1 tahun follow-up (Tillfors et.al, 2008). Salah satu keuntungan yang diperoleh dengan pengobatan melalui internet yaitu efektivitas biaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek dari tritmen melalui internet sebanding dengan CBT tradisional atau yang disampaikan melalui
10
tatap muka. Pengobatan berbasis internet dapat mengatasi kendala kurangnya terapis yang memberikan pengobatan dan mungkin sangat menarik bagi orangorang dengan kecemasan sosial yang mungkin menahan diri dari mencari bantuan karena perasaan malu dalam setting tatap muka. Namun, pengobatan berbasis internet harus dilihat sebagai metode pelengkap dan bukan sebagai pengganti CBT tradisional atau tatap muka. Hasil dari penelitian dari Clark dan rekannya menguatkan bahwa CBT tatap muka masih tetap lebih unggul saat ini daripada program berbasis internet (Tillfors et.al, 2008). Hasil penelitian lain yang mengadaptasi intervensi berbasis klinik (terapi tatap muka) dengan menggunakan internet terdiri dari sesi terpisah untuk orang tua dan anak-anak mereka atau remaja. Penelitian ini melibatkan strategi untuk memastikan bahwa remaja tetap terlibat dalam terapi online dengan teknik yang dirancang untuk mengoptimalkan interaksi antara klien dan terapis online. Dua studi kasus yang disajikan menggambarkan aspek-aspek praktis dan teknis pelaksanaan intervensi, serta menunjukkan bahwa penggunaan CBT online efektif untuk menurunkan kecemasan subjek (Spence et.al., 2008). Beberapa tim penelitian independen telah menunjukkan kemanjuran penanganan kecemasan sosial secara online dalam uji acak (Helgadóttir, Menzies, Onslow, Packman, & O’Brian, 2009). Contohnya dapat dilihat dalam situs web “http://CBTpsych.com”, program online yang dirancang untuk menargetkan berkurangnya kecemasan sosial pada individu yang gagap (Helgadottir, Menzies, Onslow, Packman, & O'Brian, 2009b dalam Menzies, 2009). Penelitian lain yang mendukung keefektifan CBT online yaitu penelitian dengan 98 orang subjek yang dibagi ke dalam kelompok CaCCBT (Clinicianassisted Computerized Cognitive Behavioral Treatment) dan kelompok selfguided CCBT (Computerized Cognitive Behavioral Treatment). Kelompok CaCCBT memperoleh 6 pelajaran secara online, PR kognitif-behavioral, email dengan terapis, dan akses ke dalam forum diskusi online sedangkan kelompok CCBT (dapat mengakses semua hal kecuali mengirim email kepada terapis); serta kelompok kontrol waiting list. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tritmen CBT berbasis internet untuk kecemasan sosial efektif. Kondisi kelompok CaCCBT
11
yang dipandu terapis lebih unggul daripada kelompok CCBT. Meskipun demikian, kelompok CCBT yang telah menyelesaikan 6 pelajaran membuat kemajuan yang baik (Titov et al., 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yen et.al. (2012) menunjukkan bahwa kecemasan sosial lebih rendah ketika subyek penelitian berinteraksi secara online daripada saat berinteraksi offline terutama pada subyek dengan tingkat kecemasan sosial tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa internet memiliki potensi yang baik sebagai media alternatif intervensi dalam kasus kecemasan sosial. Internet menyediakan media baru untuk perantara komunikasi tanpa interaksi tatap muka (CMC) karena memungkinkan anonimitas presentasi diri dan mengurangi hambatan jalannya pengobatan terkait dengan gejala kecemasan sosial. Hal ini mungkin menipiskan kekhawatiran tentang kritik dan evaluasi negatif dari orang lain. Dengan demikian, interaksi tanpa tatap muka ini dapat membuat pengguna internet bebas dari aturan-aturan sosial dan merasa tidak terancam terhadap kritik dari orang lain. Terapi kognitif perilaku untuk kecemasan sosial antara lain : exposure, restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi, dan pelatihan keterampilan sosial. Di Internet, terapi exposure bisa dimulai dengan komunikasi online yang asynchronous seperti pesan teks atau email, kemudian secara bertahap berkembang menjadi chatting, komunikasi dengan suara atau web cam. Jika dibandingkan dengan interaksi dalam kehidupan nyata, metode relaksasi mudah untuk diterapkan ketika diberikan melalui menggunakan media CMC. Pelatihan keterampilan sosial seperti modeling, latihan, dan feedback lebih mudah dilakukan dalam interaksi online terutama melalui komunikasi dengan teks. Namun, efektivitas terapi kognitif perilaku untuk mengobati kecemasan sosial memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu, hubungan terapiutik harus dibangun tidak hanya online, tetapi juga dalam dunia nyata (Yen et.al., 2012). Di Indonesia, sudah ada peneliti yang mencoba menerapkan intervensi berbasis media internet yaitu melalui “website peduliodha” untuk meningkatkan subjective well being penderita HIV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan melalui website tersebut dapat meningkatkan subjective
12
well being pada penderita HIV (Ayuningtyas, 2012). Oleh karena itu, peneliti tertarik pula meneliti efektivitas media internet untuk permasalahan kecemasan sosial dengan terapi CBT. Terapi CBT yang disampaikan melalui media internet (online) tentunya memiliki keterbatasan dan kelebihan. Keterbatasannya antara lain : kurangnya pembentukan rapport atau sharing yang bersifat terapiutik serta kurangnya kesempatan individu untuk menghadapi situasi sosial secara langsung. Di sisi lain, kelebihan dari CBT online ini adalah mengatasi masalah jarak dan waktu yang diperlukan untuk bertemu terapis secara langsung, memiliki jangkauan penyebaran informasi yang lebih luas, dan memberi kesempatan individu untuk memperoleh informasi mengenai kondisi diri yang dapat membuka wawasan baru bagi mereka yang masih enggan atau malu untuk datang ke terapis. Oleh karena itu, dengan berorientasi pada sosialisasi layanan psikologis yang bersifat promotif dan preventif, peneliti menetapkan CBT online sebagai intervensi yang digunakan dalam penelitian ini. CBT singkat adalah kompresi atau pemampatan bahan CBT dan pengurangan rata-rata 12-20 sesi menjadi 4-8 sesi. CBT singkat berkonsentrasi pada penanganan spesifik untuk sejumlah masalah pasien. Kekhususan tritmen diperlukan karena terbatasnya jumlah sesi dan karena pasien dituntut untuk rajin menggunakan bahan bacaan tambahan dan pekerjaan rumah untuk membantu pertumbuhan terapinya (Cully & Teten, 2008). Program BERANI dirancang sebagai intervensi dengan durasi singkat. Intervensi ini dipilih karena membutuhkan biaya yang lebih rendah dan waktu administrasi yang lebih sedikit; sehingga memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai lingkungan dan populasi; dapat diadaptasi untuk tujuan promosi kesehatan atau perilaku berisiko; dapat ditujukan untuk perubahan perilaku, terutama keterampilan intrapersonal yang meliputi kognitif, emosi, dan sosial (Werch et.al., 2006). Di samping itu, program BERANI diadministrasikan secara online melalui internet dengan waktu yang sedikit dan bertujuan untuk promosi kesehatan mental kepada remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik efektivitas program BERANI (CBT Berbasis Internet) terhadap penurunan kecemasan sosial.
13
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “program BERANI (CBT Berbasis Internet) dapat menurunkan kecemasan sosial”.
REMAJA CEMAS SOSIAL Kurangnya informasi tentang ciri, gejala, dampak kecemasan sosial Distorsi kognitif (meragukan kemampuan, khawatir terhadap penilaian negatif orang lain); harga diri rendah; takut yang intens Gejala fisiologis menguat Menghindari kontak sosial (menyendiri, menyembunyikan diri)
1
11
PROGRAM BERANI Sesi 1 : “Mari Kenali Diri Lebih Dekat” (Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman diri) Sesi 2 : “Selamat Tinggal Pineg!” (Mengubah pola pikir menjadi lebih positif dan rasional) Sesi 3 : “Rileks Dulu Kita” (Mengatasi gejala fisiologis) Sesi 4 : “Lakukan Dengan Cara Berbeda!” (Mengembangkan keterampilan berelasi dengan orang lain) Latihan Exposure selama 1 minggu
2
2 Mengingkatnya pengetahuan dan pemahaman diri mengenai kecemasan sosial yang dialami Berpikir dengan lebih positif dan rasional, lebih percaya diri Mampu mengatasi gejala fisiologis yang muncul, lebih tenang Lebih berani menghadapi situasi sosial dan berinteraksi dengan orang lain
3
Kecemasan sosial menurun
Gambar 1 : Kerangka pikir Program BERANI dalam menurunkan kecemasan sosial
14