Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
DUKUNGAN SOSIAL DAN KECEMASAN PASANGAN MENIKAH YANG BELUM MEMILIKI KETURUNAN DI KOTA SEMARANG Luh Putu Shanti K1, Achmad Mutho’ M Rois2 1,2 Fakultas Psikologi Unissula Semarang 1 Email :
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan di Kota Semarang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin rendah kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan dan sebaliknya. Dukungan sosial diukur dengan skala dukungan sosial, sedangkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan diukur dengan skala kecemasan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan menikah yang belum memiliki keturunan di Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Insidental Sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 13 responden. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik korelasi nonparametric Kendall’s tau. Hasil perhitungan uji hipotesis menunjukkan bahwa diperoleh harga Kendall’s tau-b -0,237 dengan p > 0,05. Artinya tidak ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Dengan demikian, variabel dukungan sosial tidak berpengaruh dalam menurunkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Kata kunci : dukungan sosial, kecemasan, pernikahan
PENDAHULUAN Keturunan tentu merupakan salah satu tujuan dari berkeluarga dan impian terbesar sebagian besar pasangan yang sudah menikah. Kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan dapat menjadi buah hati dan tanda cinta dari pasangan suami istri. Seorang bayi biasanya juga ditunggu oleh orang tua dari pasangan yang ingin memiliki cucu. Namun, terkadang memiliki keturunan tidak selalu mudah bagi sejumlah pasangan. Ada yang mungkin mengalami kesulitan, sehingga walaupun telah bertahun-tahun menikah namun belum dikaruniai keturunan (www.id.facebook.com). Hasil bertukar pikiran yang peneliti lakukan dengan seorang sahabat menyebutkan bahwa kondisi belum memiliki keturunan merupakan satu permasalahan yang selalu membayangi hidupnya. Hal ini terjadi karena pada saat wawancara dilakukan yang bersangkutan belum menemukan solusi atas permasalahannya tersebut. Ditambah lagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh lingkungan sekitar tentang “kapan memiliki momongan”, semakin membuat responden merasakan kecemasan dan pada akhirnya lebih banyak menyendiri atau menghindar dari lingkungan. Qaimi (2002, dalam www.satuportal.net, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010) menyatakan bahwa tujuan menikah pada dasarnya adalah untuk membangun sebuah rumah tangga yang kokoh dan dilandasi oleh rasa saling percaya, rasa saling mengasihi antara suami istri serta menciptakan keturunan yang diharapkan oleh orang tua, agama, dan juga negara. Apabila tujuan pernikahan tersebut dapat 84
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
terpenuhi, maka diharapkan pernikahan akan berjalan harmonis dan kokoh. Namun sebaliknya, apabila tujuan pernikahan tidak terpenuhi, maka akan timbul permasalahan dari pasangan suami istri. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah ketidakhadiran atau belum hadirnya buah hati. Sebuah data tentang sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2000 menyatakan bahwa dari 220 juta penduduk, 30 juta diantaranya merupakan Pasangan Usia Subur (PUS), dari PUS tersebut sekitar 10 - 15% atau 3 - 4,5 juta pasangan memiliki problem kesuburan, dan dari 10 – 15% itu, terdapat 7 sampai 9% yang mengalami infertil primer. Semakin lama pasangan menikah tanpa kehamilan, maka diperkirakan akan semakin menurun kemungkinan kehamilannya. Menurut para dokter, pasangan dianggap memiliki masalah dengan infertilitas apabila pasangan tersebut telah dihadapkan pada kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan (Winkjosastro, 1997, dalam www.askep-askeb.com, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010). Penantian akan lahirnya buah hati tentu dapat bisa menjadi masalah di dalam rumah tangga, apabila pasangan suami dan istri tidak bisa menerima keadaan. Apalagi jika ada salah satu pihak menimpakan kesalahan pada pasangannya. Biasanya istri yang menjadi korban, padahal suatu pasangan tidak dikarunia anak bukan hanya karena masalah infertilitas, tetapi juga dapat disebabkan karena masalah psikologis. Kondisi yang tak kunjung dikaruniai anak, dapat membuat pasangan menjadi depresi. Namun, tidak sedikit juga pasangan tanpa anak yang menerimanya dengan pasrah, dan berpikir positif. Dalam kondisi inilah, konsep pernikahan yang dibangun oleh pasangan suami istri sangat berperan. Apakah ingin cepat memiliki keturunan atau memang ingin menunda karena alasan tertentu. Apabila di awal pernikahan konsep yang dianut adalah memiliki momongan, maka ketidakhadiran si buah hati bisa menjadi masalah besar. Dalam banyak kasus, istri merasa lebih tertekan jika setelah beberapa tahun belum jugabisa mempersembahkan keturunan bagi suaminya. Apalagi jika suami mengetahui bahwa sang istri mempunyai masalah fertilitas, sehingga tekanan pun akan semakin besar. Dalam kasus tersebut, tak jarang muncul tekanan dari lingkungan, bahkan dari suami agar mengijinkan poligami. Terkadang permasalahan yang muncul pada pasangan menikah tanpa anak, bisa jadi justru disebabkan oleh sikap masyarakat atau lingkungan sekitar yang “menuntut” adanya anak. Baik “tuntutan” secara langsung, misalnya ayah atau ibu mertua yang terus menerus meminta cucu, maupun tidak langsung, mulai sekedar gunjingan ringan, sampai dengan gosip yang menjengkelkan. Sebagian istri pada akhirnya memilih untuk menyerah pada tekanan dan merelakan suaminya berpoligami. Namun, kemungkinannya cenderung kecil, karena pada dasarnya tidak ada seorang istri yang rela suaminya menikah lagi. Ketidakhadiran buah hati ini bisa menimbulkan masalah pada saat keduanya atau salah satu pihak tidak bersedia membuka pikiran agar menerima keadaan dan mudah terpengaruh pada lingkungan sekitar (www.inspirekidsmagazine.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010). Salah satu faktor yang dimungkinkan dapat mempengaruhi infertilitas adalah segi psikologis. Infertilitas merupakan suatu keadaan yang menekan, terkadang seringkali hal ini menyebabkan depresi, cemas dan lelah berkepanjangan pada pasangan suami istri. Apabila tidak segera dicari jalan keluarnya, kondisi ini bisa mengakibatkan pasangan suami istri lebih memilih bercerai karena salah satu pasangan merasa tidak dapat memberi keturunan. Ancaman terjadinya perceraian ini sampai mencapai 43% dari keseluruhan masalah yang terjadi di dalam sebuah pernikahan. Pasangan suami istri berpendapat bahwa perannya sebagai orang tua tidak sempurna tanpa kehadiran seorang anak dalam kehidupan perkawinannya (www.askep-askeb.com, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali menyatakan bahwa pada tahun 2002 angka perceraian dikategorikan sangat tinggi. Adapun penyebab dari perceraian ini adalah tidak ada kecocokan dengan 85
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
pasangan sebanyak 730 perkara, tidak ada tanggung jawab dari pasangan sebanyak 728 perkara, adanya poligami sebanyak 47 perkara, dan tidak memiliki anak sebanyak 750 perkara, dan yang terakhir adalah masalah ekonomi, cemburu dan penganiayaan sebanyak 100 perkara. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Surya pada tahun 2004 juga menunjukkan hasil bahwa dari 1923 perkara yang terjadi di Kediri, penyebab perceraian yang paling banyak adalah masalah ketidaksuburan atau tidak memiliki anak, suami yang tidak bertanggungjawab, terjadinya perselingkuhan, kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, serta kawin paksa (www.satuportal.net, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010). Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan menjadi salah satu faktor penting yang dapat berperan dalam meningkatkan angka perceraian. Hal ini tentu dapat menimbulkan kecemasan pasangan suami istri lainnya yang juga belum memiliki keturunan dan belum bercerai, karena ditakutkan kondisi belum memiliki keturunan juga dapat memicu perpisahan di dalam rumah tangga pasangan suami istri tersebut. Kecemasan menurut Nevid (2003) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kondisi cemas dapat bermanfaat apabila individu merespon kecemasan menjadi suatu kondisi ke arah positif dan merupakan respons yang tepat terhadap ancaman, namun dapat menjadi abnormal apabila datang tidak sesuai dengan penyebabnya. Supratiknya (Lestari, 2010) menyatakan bahwa penderita kecemasan secara umum menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut : 1. Senantiasa diliputi ketegangan, rasa was-was dan keresahan bersikap, dimana yang bersangkutan selalu bersikap tegang, lamban, bereaksi secara tidak menentu. 2. Terlalu peka atau mudah tersinggung dalam pergaulan dan sering merasa tidak mampu, minder, depresi dan serba salah. 3. Sulit berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan dan serba takut salah. 4. Rasa tegang menjadi berlebihan terhadap rangsang yang datang tiba-tiba atau tidak diharapkan dan selalu melakukan gerakan neurotic tertentu seperti mematah-matahkan jari, mendehem, dan sebagainya. 5. Sering mengeluh bahwa ototnya tegang, khususnya pada daerah leher dan sekitar bagian atas bahu, mengalami diare ringan yang kronik, sering buang air kecil dan menderita gangguan tidur berupa insomnia dan mimpi buruk. 6. Mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangan selalu basah Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan individu mengalami kecemasan, yaitu keadaan biologis, kemampuan beradaptasi / mempertahankan diri terhadap lingkungan yang diperoleh dari perkembangan dan pengalaman, serta adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau stresor yang dihadapi. Sumber atau situasi yang dapat menyebabkan kecemasan biasanya didapatkan dari lingkungan sosial. Hal ini dikarenakan lingkungan sosial mempunyai aturan-aturan, kebiasaan, hukum-hukum yang berlaku di daerah tertentu. Hal inilah yang menyebabkan individu harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang ada (www.psikologi.or.id, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010). Pihak ketiga menjadi pihak yang biasanya berperan dalam meningkatkan kecemasan pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan. Pihak ketiga yang dimaksud adalah keluarga besar dan teman-teman disekelilingnya. Desakan orang tua yang menimang cucu atau dalam etnis tertentu juga desakan penerus marga pada akhirnya membuat pasangan semakin cemas. Kondisi ini membuat pasangan suami istri merasa tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosialnya.
86
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Dukungan sosial menurut Katc dan Kahn (2000) adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu. Dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang mencakup afeksi positif, penegasan, dan bantuan (dalam www.masbow.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010).
1.
2.
3.
4.
Hause (Suhita, 2005) berpendapat bahwa ada empat aspek dukungan sosial yaitu: Emosional : Aspek ini melibatkan kekuatan jasmani dan keinginan untuk percaya pada orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Instrumental : Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain sebagai contohnya adalah peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung lain dan termasuk didalamnya memberikan peluang waktu. Informatif : Aspek ini berupa pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Aspek informatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain yang dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan. Penilaian : Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, perbandingan sosial, dan afirmasi (persetujuan).
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan peran atau pengaruh serta bantuan yang diberikan oleh orang yang berarti, seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Menurut Saranson, dkk (dalam www.masbow.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010), dukungan sosial memiliki peranan yang sangat penting untuk mencegah individu dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial lebih kecil, lebih memungkinkan mengalami kecemasan. Keuntungan bagi individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi adalah menjadi individu yang lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun di masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan iterpersonal), memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stres (www.masbow.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang dukungan sosial dan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. METODE PENELITIAN Lokasi dari penelitian ini adalah Kota Semarang. Peneliti akan menyebarkan skala kepada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan dan dijumpai di Kota Semarang. Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki serta mempunyai satu sifat dan ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan diperoleh dari subyek penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan menikah yang belum memiliki keturunan di Kota Semarang. Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi. Penentuan sampel dalam penelitian ini diambil dengan cara non random yaitu pasangan menikah yang belum memiliki keturunan yang peneliti jumpai di Kota Semarang. Sampel yang akan dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini adalah : pasangan menikah yang belum memiliki keturunan lebih dari 1 tahun pernikahan dan yang berjumpa dengan peneliti dalam kurun waktu 87
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
pengambilan data. Teknik sampling adalah cara pengambilan sampel dari populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Insidental Sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara insidental pada responden yang ditemui di lokasi penelitian dan memenuhi kriteria responden. Proses penjaringan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala baik untuk variabel dukungan sosial maupun variabel kecemasan. Skala disusun atas dasar penunjukkan skor pada pola-pola atribut. Artinya dalam penyusunan skala diperhatikan intensitas struktur dari atribut-atributatribut yang hendak diukur (Azwar, 1999). Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Korelasi dari Kendall’s tau dan untuk menganalisa menggunakan bantuan komputer program SPSS 11,0 Under Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Ada tidaknya hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan diketahui dengan melakukan uji korelasi dengan menggunakan teknik korelasi dari Kendall’s Tau. Hasil perhitungan uji hipotesis menunjukkan bahwa diperoleh harga Kendall’s tau-b -0,237 dengan p > 0,05. Artinya tidak ada hubungan negatif antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Dengan demikian, variabel dukungan sosial secara signifikan tidak berpengaruh dalam menurunkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan, artinya dukungan sosial tidak berpengaruh dalam menurunkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Sofia (2003) bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial tinggi akan menjadi individu yang lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun di masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan interpersonal), memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stres. Hal ini dapat diartikan bahwa ada faktor lain yang dimungkinkan lebih berperan besar dalam menurunkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan selain dukungan sosial. Kelemahan utama yang peneliti akui sebagai faktor yang dimungkinkan berperan dalam tidak terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini adalah kurangnya jumlah responden yang digunakan untuk analisis data penelitian. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah sampel dalam penelitian ini hanya berjumlah 13 responden. Kondisi tersebut terjadi karena secara realita di lapangan peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan sampel yang memenuhi kriteria yang bisa digunakan sebagai subjek penelitian, meliputi pasangan menikah yang belum memiliki keturunan lebih dari 1 tahun pernikahan ; dan pasangan menikah yang belum memiliki keturunan serta berjumpa dengan peneliti dalam kurun waktu pengambilan data. Selain itu, tidak banyak pasangan menikah yang belum memiliki keturunan yang bisa ditemui dimana dan kapan saja. Data mengenai pasangan menikah yang belum memiliki keturunan menunjukkan bahwa angka infertilitas pasangan usia produktif di Indonesia terdapat sebesar 12-15%. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan jumlah pasangan suami istri di Indonesia yang infertil terdapat sekitar 10-15%. Pada tahun 88
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
1995, WHO juga melaporkan terdapat sekitar 8% pasangan suami istri di dunia mengalami masalah infertilitas selama masa reproduksinya (www.obgynmag.blogspot.com, 2011). Sejalan dengan uraian tersebut, Winkjosastro (2005) menambahkan bahwa adanya perubahan pola demografi dalam 50 tahun terakhir di beberapa negara maju, dan khususnya dalam 20 tahun terakhir di beberapa negara berkembang, menyebabkan sekitar 5-8% angka kejadian infertilitas di negara maju dan sekitar 30% di negara berkembang. Bahkan WHO memperkirakan ada sekitar 8-10% atau sekitar 5080juta pasangan suami istri di seluruh dunia yang mengalami masalah infertilitas. Sementara itu, berdasarkan sensus penduduk diketahui bahwa terdapat 12% baik di desa maupun di kota, atau kira-kira 3 juta pasangan infertile di seluruh Indonesia. Hadi (2001) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada suatu ketetapan yang mutlak berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Tidak adanya ketetapan yang mutlak tersebut hendaknya tidak perlu menimbulkan keraguan pada peneliti. Salah satu usaha untuk “menampung” kesesatan yang mungkin dialami karena kurang besarnya sampel adalah memberikan syarat-syarat yang lebih berat bagi suatu penelitian yang menggunakan sampel kecil. Satu nasehat yang mungkin perlu diberikan adalah menetapkan jumlah sampel yang lebih besar selalu lebih baik daripada kurang (“oversampling is always better than undersampling”). Berdasarkan pendapat Hadi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah sampel penelitian yang semakin besar untuk subjek penelitian sangatlah dianjurkan untuk keakuratan hasil penelitian, sehingga sesuai dengan pernyataan tersebut jumlah sampel dalam penelitian ini dikategorikan sangat kurang untuk dapat mewakili hasil penelitian tentang dukungan sosial dan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan di Kota Semarang. Manusia sebagai individu memiliki kodrat untuk berupaya agar keturunannya tidak terputus. Untuk memperoleh keturunan, seseorang harus mempunyai teman hidup yang berlainan jenis. Dengan demikian, kedua insan yang akan melahirkan keturunan harus mempunyai hasrat untuk hidup bersama (Effendy, 1992). Untuk bisa hidup bersama, dua individu yang berbeda harus menjalani tahap perkenalan dan memiliki ketertarikan interpersonal satu sama lain. Menurut Baron & Byrne (dalam Sarwono, 2009), ketertarikan interpersonal adalah penilaian seseorang terhadap sikap orang lain, dimana penilaian ini dapat diekspresikan melalui suatu dimensi, dari strong liking sampai dengan strong dislike. Jadi, ketika dua individu saling berkenalan, individu tersebut sebenarnya melakukan penilaian terhadap orang lain yang baru dikenalnya tersebut. Apakah orang tersebut cukup sesuai untuk menjadi seorang teman atau ternyata orang tersebut kurang sesuai, sehingga individu lebih memilih untuk tidak melakukan interaksi sama sekali. Konteks penilaian inilah yang akan mempengaruhi berlanjut atau tidaknya tahapan selanjutnya dalam melakukan hubungan interpersonal, yaitu jatuh cinta dan tahap pernikahan. Setelah pasangan individu antara laki-laki dan wanita memasuki jenjang pernikahan, maka tidak selalu diartikan bahwa pasangan tersebut akan dapat langsung mewujudkan kebahagiaan, seperti yang diimpikan pada waktu belum menikah atau masa pacaran. Setiap pasangan mau tidak mau harus menghadapi berbagai masalah yang timbul selama menikah. Masalah tersebut muncul karena kedua individu yang menikah memiliki latar belakang yang berbeda, seperti nilai-nilai, sifat-sifat, karakter atau kepribadian, agama, budaya, suku bangsa, kelebihan dan kelemahan. Keseluruhan aspek tersebut dapat berpengaruh terhadap cara berpikir, bersikap ataupun bertindak. Ketidakmampuan untuk mengelola perbedaan tersebut akan menimbulkan konflik, pertengkaran, dan percekcokan (Dariyo, 2003). Salah satu permasalahan yang dimungkinkan muncul selama pernikahan adalah belum adanya keturunan dan biasanya pihak yang menjadi sasaran untuk permasalahan keturunan adalah wanita. Kondisi tersebut mengakibatkan wanita menanggung beban yang tidak mudah untuk dirinya dan 89
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
kehidupan pernikahannya. Ditambah dengan adanya kebiasaan dan religi dari banyak suku bangsa di dunia ini yang menegaskan bahwa wanita yang tidak mampu melahirkan anak adalah inferior, sebab wanita tersebut dianggap baru bisa menerima status warga masyarakat sepenuhnya apabila telah menjadi ibu. Hampir setiap bangsa di dunia ini selalu menyalahkan dan melempar tanggungjawab sepenuhnya kepada wanita apabila tidak mampu melahirkan anak (Kartono, 1992). Kondisi inilah yang mengakibatkan munculnya kecemasan pada pasangan menikah, khususnya wanita. Berada di posisi sebagai pasangan menikah yang belum memiliki keturunan jelas bukanlah satu hal yang mudah, sulit dan banyak hal yang dipikirkan terutama yang berkaitan dengan masa depan atau kelanjutan kehidupan perkawinan. Seperti yang dikemukakan oleh (Pangayoman, 2010) bahwa infertilitas dapat mengubah hampir setiap aspek kehidupan seseorang. Kepercayaan diri, harapan akan masa depan, dan hubungan dengan orang lain semuanya dapat terpengaruh. Namun, aspek emosional dari infertilitas sering diabaikan dan tidak diterapi. Oleh karena hal ini bersifat sangat pribadi, banyak pasangan yang tidak mau berbagi pengalaman secara terbuka pada keluarga maupun teman dekat atau sahabatnya. Sebagai akibatnya, pasangan merasa tersingkir dan terasing, namun hal yang sebenarnya perlu diketahui adalah bahwa pasangan tersebut tidak sendiri. Kenyataannya, satu dari enam pasangan di seluruh dunia mengalami masalah infertilitas ini dengan diiringi rasa frustasi. Hal-hal yang tidak terungkap dalam penelitian ini pada saat pengambilan data adalah peneliti tidak menggali lebih lanjut tentang apakah masing-masing pasangan sudah mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab belum dimilikinya keturunan. Bagaimana visi misi pasangan pada saat menikah, misalnya apakah keturunan merupakan target utama atau tidak. Kondisi ini akan dapat mempengaruhi muncul atau tidaknya kecemasan pada pasangan menikah ketika belum memiliki keturunan. Riberu (dalam Idayantie, 2010) mendukung pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa sebenarnya kebahagiaan dari sebuah perkawinan sangat tergantung dari falsafah hidup yang dianut suami istri bersangkutan. Perbedaan faham yang berbeda antara suami istri, apabila diserasikan dan dikompromikan akan dapat membuat perkawinan tetap bisa berlangsung bahagia dan utuh. Hal ini akan sangat membantu apabila setiap pasangan menganut paham bahwa perkawinan bukan hanya sekedar untuk mendapatkan anak. Dengan kata lain, bila paham dasarnya adalah menerima kondisi pasangan apa adanya untuk menjadi teman seumur hidup, maka memiliki atau tidak memiliki anak, tak akan jadi masalah. Apalagi bila sebelum menikah pasangan sudah membuka diri dan berbicara mendalam tentang falsafah masing-masing, sehingga keduanya bisa saling membantu dan saling melengkapi. Melengkapi pernyataan Riberu, Nurfita (2008) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan infertilitas, selain mencari dukungan dari keluarga dan teman, maka pasangan menggunakan cara penyelesaian masalah dengan menggunakan mekanisme koping lain berupa tetap berusaha melakukan program pengobatan baik secara medis atau secara non medis, mencari informasi yang bias membantu menyembuhkan kondisi infertilitasnya, pasrah dan berdoa, berusaha sabar dan mengambil hikmah dari kondisi tersebut, berusaha melupakan masalah dengan menceritakan masalah kepada orang lain. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembicaraan mendalam tentang falsafah dari tujuan pernikahan sebelum menikah dan beberapa mekanisme koping yang dilakukan pada saat menemui kondisi belum memiliki keturunan akan dapat membantu dalam mengurangi terjadinya kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan. Hal ini berarti, selain dukungan sosial ada faktor lain yang dimungkinkan lebih dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kecemasan saat belum memiliki keturunan. Dengan demikian, diharapkan 90
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
pendapat tersebut dapat membantu menjelaskan penyebab dari tidak terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini.
KESIMPULAN Sejalan dengan hasil penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan di Kota Semarang. Artinya dukungan sosial tidak berpengaruh dalam menurunkan kecemasan pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan pada responden yang menjadi subjek dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (1999). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Andi Offset. Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Effendy, O.U.. (1992). Hubungan Masyarakat. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Hadi, S. (2000). Statistik Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset. Hadi, S. (2001). Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset. Idayantie, (2010). Tanpa Kehadiran Anak (Online) (http://www.idayantie.wordpress.com, diakses tanggal 5 Desember 2011 pukul 10,27 wib). Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita Jilid 2. Bandung : Penerbit Mandar Maju. Lestari, R. (2010). “Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Praktek Persalinan pada Mahasiswa Akademi Kebidanan Universitas Islam Sultan Agung Semarang”. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Lidya, L.G. “Definisi Kecemasan”. www.idijakbar.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. Mahdi, P. (2009). “Bahagia Meski Belum Mendapat Julukan Mama”. www.female.kompas.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. Nurfita, E. (2008). Mekanisme Koping Pasangan Infertilitas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil (http://www.repository.usu.ac.id, diakses tanggal 3 Desember 2011 pukul 09.46 wib). Nevid, J. S. & Rathus, S.A. Greene, B. (2003). “Psikologi Abnormal”. Jakarta : Penerbit Erlangga. Pangayoman, J. (2010). Lingkaran Emosional dalam Infertilitas (Online) (http://www.product. melindahospital.com, diakses tanggal 5 Desember 2011 pukul 11.16 wib)
91
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Pratiwi, R.P, (2010). “Pengertian Kecemasan”. www.psikologi.or.id, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. Purnamasari, R. “Bila Buah Hati Tak Kunjung Hadir”. www.inspirekidsmagazine.com, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. Sarwono, S.W. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika. Suhita & Sofia, (2005). www.masbow.com. “Apa itu Dukungan Sosial ?”, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. Winkjosastro, (2005). Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. www.peoplechangecircumtanceschange.wordpress.com. “Dukungan Sosial”, diakses pada tanggal 25 Agustus 2010. www.id.facebook.com. “Mendambakan Permata Hati”, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010. www.askeb-askep.com. Winkjosastro, 1997. “Kecemasan Pasangan Suami Istri dengan Infertil Primer di Rumah Bersalin”, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010. www.satuportal.net. Qaimi, (2002). “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri Infertil pada Pasien UPP Rawat Jalan di Rumah Sakit Dr. SA”, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010. www.creasoft.wordpress.com. “Dukungan Sosial”, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010. www.obgynmag.blogspot.com, 2011. “Infertilitas”, diakses pada tanggal 6 Desember 2011 pukul 10.35 wib).
92