KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN YANG BELUM MEMILIKI ANAK
Ika Agustina Murpratiwi Krismi Diah Ambarwati Heru Astikasari
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalani berdasarkan areaarea yang ada di dalam pernikahan, termasuk di dalamnya adalah kehadiran anak. Ketika anak tersebut belum hadir di tengah-tengah keluarga tentunya hal ini akan mempengaruhi kondisi rumah tangga yang selama ini dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki anak. Partisipan penelitian adalah 2 pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sepanjang pernikahan mereka. Karakteristik lain dari partisipan penelitian adalah usia pernikahan minimal lima tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menujukkan bahwa area komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, hubungan seksual, hubungan keluarga dan teman, dan kesetaraan peran dalam rumah tangga dirasa sudah cukup memuaskan bagi partisipan, sedangkan area yang masih perlu ditingkatkan dalam menjalankan kehidupan pernikahan adalah area penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan pasangan serta pengelolaan keuangan. Kedua pasang partisipan merasa puas dengan kehidupan pernikahan mereka berdasarkan areaarea dalam pernikahan namun tetap merasa bahwa pernikahan mereka belumlah lengkap tanpa kehadiran anak. Hasil lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah konflik menantu- mertua yang ternyata mempengaruhi kepuasan pernikahan pada partisipan. Kata kunci : Kepuasan pernikahan, Pasangan yang belum memiliki anak
ABSTRACT Fowers and Olson (1989 :1993) said that marital satisfaction is a global evaluation about marriage life that is walked on marriage areas, include a child presence. When a child didn’t present yet in a family, of course it will influence a walking on household condition. The goal of this research is to find out a marital satisfaction in a couple that not having child yet. The research participants are two couples of husband and wife that didn’t have a child yet in their marriage. The other characteristic of the participants is five years minimaly on marriage old. This research is done using qualitative method which is an interview and an observation become a method to get data from the partisipants. The result of this research shows that area of communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual orientation, famiy and friend relationship, and equalitarian role have satisfaction for the participant. Meanwhile, area which need a more phase in walk on marriage life is an acceptance area toward characteristic, couple habbit, and finance management. Both of two participants feel satisfied with areas of their marriage life but they don’t feel satisfied yet without a child presence. Other result of this research is child in law – parents in law conflict also influence the marital satisfaction for the participants.
Keyword : Marital Satisfaction, a couple that not having child yet
1
PENDAHULUAN Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap manusia
akan
mengalami
banyak
perubahan
dan
menyelesaikan
tugas-tugas
perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Di antara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dengan dewasa awal. Santrock (2002) mendefinisikan individu dewasa awal sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dewasa lainnya. Masa dewasa awal dimulai pada usia 20-40 tahun yang ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas, organ kelamin berkembang dan mampu bereproduksi. Salah satu tugas perkembangan yang ada dalam masa dewasa awal adalah tercapainya pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain, individu dewasa awal dituntut untuk mempersiapkan diri untuk menyandang status sebagai orang tua (Santrock, 2002). Pernikahan sendiri merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang Hampir setiap orang mempunyai keinginan untuk menjalani hal tersebut. Dalam UU perkawinan (UU No 1 tahun 1974), perkawinan (pernikahan) merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Olson (2003) pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara 2 orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab dan sumber pendapatan. Pernikahan bisa berjalan langgeng selamanya atau dapat pula bercerai di tengah perjalanannya. pasangan.
Suatu
pernikahan yang berhasil tentulah yang diharapkan setiap
Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam mengukur keberhasilan
2
pernikahan. Kriteria itu adalah (a) awetnya suatu pernikahan, (b) kebahagiaan suami dan istri, (c) kepuasan pernikahan (d) penyesuaian seksual, (e) penyesuaian pernikahan, dan (f) kesatuan pasangan (Burgess dan Locke dalam Ardhianita & Andayani, n.d). Dari sini terlihat bahwa kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu pernikahan. Kepuasaan pernikahan dinilai sebagai faktor penentu keberhasilan suatu pernikahan karena kepuasan pernikahan lebih banyak mempengaruhi kebahagiaan hidup
bagi kebanyakan individu dewasa daripada hal lain seperti
pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman & Newman, 2006). Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Olson dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan yaitu komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Dalam konteks budaya Indonesia, perkawinan yang memuaskan akan tercapai apabila kebutuhan materi tercukupi, adanya anak yang hormat pada orangtua, hubungan yang harmonis dengan pasangan, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, dan hubungan yang baik dengan keluarga besar (Wismanto, 2004). Berdasarkan pemaparan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan
tersebut,
terlihat
bahwa
anak
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi kepuasan pernikahan. Membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan masalah keturunan (Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Kebahagiaan seringkali
diartikan
berlangsungnya
suatu
sebagai
tercapainya
tujuan
hidup,
sementara
tujuan
utama
pernikahan adalah mengembangkan keturunan (Ummi No.
3
5/XV/2003). Oleh karena itu, belum hadirnya anak di tengah-tengah keluarga seringkali berpotensi menjadi masalah besar bagi keluarga tersebut. Pada masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak menjadi gambaran ideal sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang budaya dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki nilai tersendiri di dalam masyarakat, diantaranya (1) anak memberikan status kematangan dan identitas sosial, (2) anak sebagai fungsi reproduksi manusia, (3) kehadiran anak untuk memberikan kesempatan kepada orang tua untuk menunjukkan tingginya moralitas, (4) anak mengukuhkan ikatan pernikahan suami istri, (5) anak menciptakan pengalaman-pengalaman baru (menambah
variasi kehidupan,
menumbuhkan
minat,
serta
melupakan kesulitan-
kesulitan hidup), (6) anak menjadi sarana unjuk status kekuatan antar orang tua, misalnya bersaing dari sisi kecerdasan atau kesuksesan hidup yang diperoleh anakanaknya, (7) anak meningkatkan kepuasan hidup melalui kreativitas, kesuksean, dan kemampuan anak, serta (8) anak sebagai tempat bergantung secara ekonomi di masa tua (Sumapraja dalam Hidayah, n.d). Hidayah dan Hadjam (2006) menyatakan bahwa dalam realisasinya memang tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di tengah gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (keluarga berencana) di berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami isteri yang justru mengalami kesulitan
untuk
memperoleh
anak
(pasangan
infertil).
Bertahun-tahun
pasangan yang mengalami infertilitas ini menikah namun tidak kunjung memperoleh keturunan. Berbagai upaya sudah mereka tempuh, baik berobat secara medis maupun non medis. Ada pasangan yang akhirnya memperoleh keturunan, namun banyak juga yang belum berhasil.
4
Griel (dalam Hidayah, n.d) melaporkan bahwa ketidakhadiran anak terutama karena
infertilitas
akan
meningkatkan
ketegangan
dalam perkawinan.
Banyak
perkawinan yang terancam ketahanannya dalam menghadapi krisis ini. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakmampuan dalam mengekspresikan kemarahan, rasa sakit, dan kekecewaan sehingga menimbulkan frustrasi. Bagi mereka yang pada akhirnya berhasil memiliki keturunan, hal ini tentunya menjadi suatu kebahagiaan yang tidak terkira bagi keluarga tersebut. Namun bagi mereka
yang
belum
berhasil
memiliki keturunan,
kemungkinan
hal ini dapat
menimbulkan masalah di dalam keluarga, mengingat seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa keturunan (anak) merupakan salah satu faktor utama terwujudnya suatu kepuasan pernikahan. Ditambah lagi biasanya lingkungan memberikan tekanan tersendiri bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, dengan terus menerus bertanya tentang kapan pasangan tersebut akan memiliki momongan. Selain itu menurut Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara psikologis dan mereka akan merasa cemas memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan keturunan. Datta, Randall, Holmes, dan Karunaharan (2010) mendefinisikan infertilitas (kesulitan memiliki anak atau sering disebut mandul) sebagai ketidakmampuan untuk menjadi hamil setelah 1 tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Infertilitas sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu infertilitas primer, merujuk pada pasien yang belum pernah hamil sama sekali karena adanya gangguan pada sistem/organ reproduksi, dan infertilitas sekunder, merujuk pada pasien yang pernah hamil sebelumnya (mampu hamil namun mengalami keguguran).
5
Menurut Sugiharto (2005) ada 5 faktor penyebab infertilitas yaitu usia, frekuensi hubungan seksual, lingkungan, gizi dan nutrisi, serta stres psikis. Alam dan Hadibroto (2007) menambahkan beberapa faktor infertilitas yang perlu diperhatikan, yaitu penyakit menahun (terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup parah yang dapat mempengaruhi kesuburan), kurang seringnya berhubungan seks dalam hal ini hubungan seks yang dilakukan kurang dari tiga kali seminggu sperma kurang mendapat kesempatan untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur, serta gangguan pada alat reproduksi. Penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai perbedaan kepuasan pernikahan anatara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder yang dilakukan oleh Hidayah dan Hadjam (2006) memperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan wanita dengan infertilitas primer maupun sekunder. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada obyek kesedihan. Pada pasangan infertil primer kesedihan yang dialami tidak terfokus karena tidak dapat dipusatkan pada seseorang maupun peristiwa tertentu. Adapun pasangan infertil sekunder memiliki obyek kesedihan yang jelas berupa bayi yang gagal lahir ke dunia dengan selamat. Dalam menghadapi kesedihan ini, termasuk pengaruhnya terhadap kepuasan perkawinan yang dijalani, semuanya berpulang kepada pasangan yang bersangkutan. Ada yang merasa tidak puas dengan perkawinan yang dijalani karena anak yang diharapkan tidak kunjung tiba, ada pula yang cukup puas dengan perkawinan yang dijalani. Kelompok yang disebut terakhir ini disebut pasangan infertil yang congruence karena pihak suami maupun isteri memiliki penilaian yang sama terhadap infertilitas yang dialami. Hasil penelitian dari Peterson, Newton, dan Rosen (2003) menunjukkan
6
bahwa pasangan yang congruence dalam menghadapi infertilitas, tanpa memperhatikan jenis infertilitas yang dialami, mengalami kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan yang kurang congruence dalam menghadapi infertilitas. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang belum memiliki anak. METODE Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif mengingat tujuan
dari penelitian
ini adalah
untuk
menggali secara lebih mendalam dan
mendeskripsikan gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Partisipan Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan suami istri yang tidak memiliki anak, maka karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah : 1.
Pasangan suami istri yang belum memiliki anak selama mereka menjalani pernikahan
2.
Usia pernikahan minimal 5 tahun
3.
Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang berbeda, seperti : Identitas
Pasangan I
Pasangan II
Nama Samaran
K (istri) & H (suami)
T (istri) & L (suami)
Tahun Pernikahan
2008
2006
7
Lama Menikah
6 tahun
8 tahun
Alamat
Salatiga
Salatiga
Usia
46 th & 47 th
34th & 40 th
Agama
Kristen Protestan
Kristen Protestan
Riwayat Kehamilan
2x Mengalami kehamilan,
Pernah diperiksa dan
dan keduanya mengalami
terdapat gumpalan di
keguguran
kandungan yang belum bisa terdeteksi gumpalan apa, namun pada akhirnya juga harus luruh
a.
Partisipan yang pertama ini telah melakukan pemeriksaaan organ reproduksi mereka, baik pada suami, maupun pada sang istri. Mereka berdua dinyatakan sehat dan siap memiliki keturunan. Akan tetapi pasca mengalami keguguran yang kedua, tanda-tanda kehamilan belum dirasakan lagi oleh sang istri. Di sisi lain, pasangan ini juga memiliki pertimbangan-pertimbangan terkait dengan hadirnya anak di usia mereka yang tidak muda lagi.
b.
Pasangan ini mengaku bahwa pada awal pernikahan, mereka sempat menunda untuk memiliki momongan. Akan tetapi setelah masa penundaan selesai, mereka terus berusaha untuk segera memiliki anak. Pasangan ini mengaku bahwa sejauh ini hanya sang istrilah yang menjalani pemeriksaan organ reproduksi, sedangkan sang suami belum melakukannya. Dari hasil pemeriksaan istri, diketahui bahwa ada kista yang tumbuh di rahim sang istri.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang menunjang dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi digunakan peneliti untuk mengamati aktivitas dan perilaku dari kedua partisipan. Sedangkan metode
8
wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk naskah wawancara atau verbatim. Wawancara yang digunakan dalm penelitian ini adalah wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengungkap secara mendalam hal-hal yang bersifat personal/sensitif. Kedua metode pengumpulan data ini digunakan dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas. Selain itu media elektronik seperti handphone digunakan peneliti sebagai alat untuk merekam semua hasil wawancara dengan kedua partisipan.
Peneliti juga menggunakan buku kecil dan pulpen untuk menulis semua
aktivitas yang sedang dilakukan oleh partisipan. Proses Pengambilan Data Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang diberikan
oleh
pihak
fakultas
ditunjukkan
kepada
partisipan
untuk
meminta
kesediaannya dalam proses pengambilan data. Pada awalnya, peneliti membangun rapport
kepada kedua partisipan dan kemudian dilanjutkan proses wawancara
mendalam mengenai topik
yang
akan
teliti.
Proses
pengambilan data melalui
wawancara dan observasi dilakukan sebanyak lima kali terhadap pasangan partisipan pertama dan empat kali terhadap pasangan partisipan kedua. Pelaksanaan wawancara kepada para partisipan dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga November 2014. Wawancara kepada partisipan dilakukan secara terpisah antara suami dan istri untuk menghindari faking
good
sekaligus untuk
menggali hal-hal yang sifatnya lebih
mendalam dari masing-masing individu. Peneliti juga melakukan wawancara dengan
9
adik partisipan pertama dan ibu dari partisipan kedua sebagai sarana pengujian keabsahan data (triangulasi data). Analisis Data Analisis data yang digunakan oleh peneliti mengacu pada langkah- langkah analisis
data
yang
dikemukakan
oleh
Poerwandari
(2007).
Pertama,
peneliti
mengorganisasikan data kualitatif dalam bentuk verbatim dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode pada materi-materi yang diperoleh (koding).
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistemasi data secara detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan menemukan tematema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema tersebut sehingga tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun sehingga menampilkan hubungan antar kategori. Terakhir adalah menarasikan kategori-kategori tersebut. HASIL Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti pola komunikasi yang dilakukan bersama dengan pasangan, kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat memiliki waktu luang, kehidupan beragama dalam rumah tangga partisipan, konflik yang pernah dialami oleh pasangan,
penyelesaian konflik
dalam rumah tangga
partisipan, hubungan antara partisipan dengan keluarga baik keluarga kandung maupun keluarga
sendiri,
hubungan
partisipan
dengan
teman-teman
mereka,
pengaturan
keuangan dalam rumah tangga, keputusan partisipan untuk berhutang pada tetangganya, pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga, ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki momongan, kecemburuan yang dirasakan pasangan pada pasangan lain
10
yang memiliki anak, sifat dan kebiasaan pasangan, pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga, serta konflik menantu mertua terutama pada partisipan kedua. Pola komunikasi yang dilakukan bersama dengan pasangan Kedua pasangan partisipan pada penelitian ini sama- sama menggunakan prinsip saling terbuka di dalam pola komunikasi mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam beberapa kutipan berikut : Tabel 1 : Keterbukaan dalam sistem komunikasi Partisipan 1
Partisipan 2
Istri “Iya….kita ini memang terbiasa aaaa terbuka satu sama lain” “Yo karena kita semua apapun itu ngga pernah ada yang ditutup-tutupi” “Ya, karena kita terbiasa terbuka satu sama lainya selalu kita jujur apapun itu” Iya,puas…karena nggak pernah ok ada hal- hal yang kita tutup-tutupi dari awal
Istri Hmmm ya ya, kalo saya orangnya maunya trebuka ya dalam setiap berumah tangga ya mbak, hal terkecil maupun terbesar saya maunya terbuka. Bagi saya nggak ada, aaaa kalo menurut saya ya mbak ya, saya nggak ada yang saya sembunyikan sama suami saya. Saya inginnya aaaa kejadian apapun itu hahahahah kadang hal sepele pun saya bercerita dengan dia Suami Iya, pasti...Jadi kalau ada apa-apa ya saya ngomong apa adanya gitu..
Suami Oooo sering…sering karena kita punya komitmen waktu kita masih dalam taraf perkenalan itu kita harus terbuka, jujur Tapi yang penting kan ada komunikasi Nah dengan cara…aaaa apa, dengan kita buat jujur, buat terbuka gitu kan harus ada komunikasi
Kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat memiliki waktu luang Kedua partisipan selalu mengisi waktu luang bersama pasangan mereka ataupun bersama keluarga mereka, mengingat mereka belum memiliki keturunan. Hal ini terungkap dalam beberapa kutipan wawancara kedua partisipan sebagai berikut :
11
Tabel 2 : Kegiatan yang dilakukan pada saat pasangan memiliki waktu luang Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Istri ya seringlah karena kita memang butuh Punya, bahkan setiap satu minggu refreshing itu….untuk mengurangi sekali hahahahhahah kejenuhan karena, ya kan mungkin Harus itu, meskipun itu nggak semua..semua orang ya yang ngeluarin dana ya mbak ya, itu saya mengalami hal- hal seperti saya cukup keliling ke kota aja udah cukup mungkin di rumah juga sering jenuh ya karena cuma keluar masuk ketemu Cuma berdua aja, jadi ya kita kadang butuh suasana yang beda ya kita memang sering kalo libur, atau kalo pas ngga ada kegiatan dan badannya sehat itu kita sering inginnya ya refreshing Seringnya beramai- ramai karena kita enjoy beramai- ramai Oohhh, ada…ya sering kita berdua kalo memang, ya kalo tiap harinya kita apapun, kita lakukan berdua Suami Suami Kita kemana, pergi kemana yaaa…. Ya iya..biasanya kalau misalnya santaisantai seperti ini seperti udah aaaa Mungkin itu ada hubungannya dengan besok libur itu ya kita kadang-kadang kita belum punya momongan kan ya,, sepakat, “dhek besok kita jalan-jalan kadang kita pergi berdua gitu, kadang kemana yo dhek yo”, gitu kita juga bosen, makanya ngajak Ya paling bersih-bersih bersama.. ponakan- ponakan biar rame
Kehidupan beragama dalam rumah tangga Kedua partisipan menceritakan tentang kegiatan keagamaan rutin yang mereka ikuti dan kegiatan keagamaan lain yang dapat meningkatkan keimanan mereka. Mereka merasa bahwa iman mereka juga berpengaruh pada proses penerimaan pada kenyaataan bahwa hingga
saat
ini
keluarga
mereka
belum
dikaruniai
seorang
anak.
mengungkapkan hal tersebut dalam kutipan wawancara sebagai berikut :
Partisipan
12
Tabel 3 : Gambaran kehidupan beragama dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri : Heeeem, harus itu. selama kita itu tidak ada kegiatan yang mendesak dan itu penting sekali, kita utamakan beribadah dulu Tapi ya wis gimana kalau itu sudah jalan dan kehendaknya, kalau belum diberi ya mau gimana lagi, kita harus menjalani hidup ini ya dengan pasrah. Walaupun saya nggak pernah berhenti berharap dan kalaupun itu masih diberi kesempatan yah kita siap kapan saja
Istri Saya sering....Itu hari Minggu, hari Kamis, untuk ibadah sendiri itu ada, saya wanita, suami saya pria kalau itu kebaktian kaum pria Ya memang itu harus saya perlukan mbak. Kalau saya nggak nggak seperti itu mungkin saya nggak nggak ada kekuatan Sara kan ya mbak ya??? Sara itu kan umurnya berapa itu?Nah itu, buktinya dikasih momongan ya? Itu...pedoman saya itu mbak. Itu kan dia itu selalu dihina dia itu., diejek, terus akhirnya dia punya anak. Iya.....aku lupa namanya ek mbak, ini aku jadi blank ini mbak hahahahha Lha itu...itu...saya pedomannya itu mbak. Jadi saya percaya aja suatu saat saya pasti dikasih Suami Iya mbak.. he em..kita berdua..Kadangkadang kita hampir sering itu ke Kerep, Ambarawa. Itu dari dulu sebelum sebelum ada kegiatan buat rumah ini ya hampir ya 2 minggu sekali kita ke sana…aaaa sambil kita refreshing juga berdoa gitu Iya mbak, kalau di istri itu kebaktian wanit, itu khusus wanita, dan kalau pria itu memang ada kebaktian pria. Ya saya menganggap itu bahwa itu suatu apa ya bisa dikatakan ujian gitu lho mbak. Bahwa berarti ada, berarti aaaa mungkin, mungkin pelayanan saya terhadap Tuhan mungkin kurang, seperti itu
Suami Ya sering,,, sering lah ya,, kalo ada undangan PA ya mengikuti…mengikuti lah…. Ya…ya itu tadi baik senang, kita kan punya keinginan punya anak, ternyata belum, belum ada, ya, yaaa wajar kan kalau kita sedih….itu kan kurang bagus ya….ya balik lagi ke ajaran agama saya, baik senang sedih harus kita terima
Konflik yang pernah dialami oleh pasangan Kedua pasangan bercerita mengenai konflik yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, entah konflik yang berasal dari dalam keluarga mereka sendiri, maupun dari
13
pihak luar. Konflik yang muncul dalam rumah tangga pasangan dipicu oleh adanya masalah ekonomi, faktor anak, komentar-komentar dari pihak luar mengenai keadaan keluarga yang belum memiliki anak, serta kebiasaan-kebiasaan yang terkadang belum bisa diterima sepenuhnya oleh pasangan masing-masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara sebagai berikut : Tabel 4 : Konflik dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Sebenarnya bukan masalah pribadi, masalah keluarga…tapi ya bisa diatasi jadi yo nggak….tpi itu ya, masalah pribadi, ya memang sewaktu saya mengalami aaaaa keguguran itu…kita tidak saling menyalahkan karena kita juga tahu sikon, tahu masing- masing itu kita nggak tahu dan kurang bisa berhati- hati jadi ya kita nggak saling menyalahkan walaupun sampai sekarang kita itu jadi trauma dan menyesali kenapa kok bisa terjadi, itu aja…kalo masalah- masalah yang besar, saya kira ngga ada
Istri Hmmmm, ekonomi ya mbak ya.... kebutuhan ekonomi itu kadang sok itu aaaa apa mendadak gitu lho mbak...kadang aaaa ya kebutuhannya lebih banyak daripada penghasilannya gitu. Mungkin saya agak konfliknya di situ Waktu tidur itu, pernah itu konflik. Waktu malem itu., masalah apa aku agak lupa, itu sakit mbak, pernah suami saya itu seperti itu. Terus gini, “makane kamu anu belum dikasih momongan” Bagi saya orang lain. Orang lain itu kan intinya kayak menuntut. Bahkan ada yang bilang itu mandul ada Suami Biasanya keluarga, maksudnya kadangkadang juga mertua, kadang-kadang orang tua sini, kadang-kadang saudara, gitu mbak..itu yang menjadi konflik kami “Pirang taun tokok ora, ora lek dikei, ora lek nduwe momongan, kan gitu, kadang gitu. Sok kadang kan ada yang nylekit juga
Suami ya mungkin, kurang puasnya istri terhadap saya, mungkin saya kurang perlakuannya terhadap istri, mungkin ya kebiasaan- kebiasaan, kebiasaan sehari- hari
Penyelesaian konflik dalam rumah tangga Konflik yang ada di dalam rumah tangga kedua partisipan selalu berusaha diselesaikan agar tidak menjadi konflik yang besar dan berlarut-larut. Partisipan berusaha untuk
14
mengomunikasikan hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam keluarga mereka, bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan tersebut, dan tidak segan untuk meminta maaf kepada pasangan jika memang melakukan kesalahan ataupun sekedar untuk meredakan suasana. Usaha partisipan untuk menyelesaikan konflik mereka diungkapkan dalam cuplikan wawancara sebagai berikut: Tabel 5 : Penyelesaian konflik dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Karena ngga perlu lah masalah itu jadi permasalahn yang besar sehari misalkan, ada sesuatu yang kurang mengenakkan misalkan, ya kita langsung ngomong misalnya om, om itu misalnya saya kurang setuju, itu nak saya ya langung tak tegur, bilang saya ndak suka…ya solusinya gini, jadi ngga pernah panjang permasalahan ituya kadang, der der der der, tapi setelah itu, selesai ya selesai Suami Ya kita minta maaf dan dengan legowo kita masingmasing menerima gitu
Istri Kalo aaaa sudah nggak kuat yo gitu, ya masalah itu ya mbak, saya kalo udah nggak kuat ya nangis sama suami saya Gitu ya kita sabar aja. Semua itu sabra
Suami Nggak mbak, kalau sudah ya udah selesai nggak maksudnya nggak sampai berhari-hari gitu nggak..nggak mbak.. Iya mbak.. paling nanti saya kalau ngomong walaupun saya nggak merasa salah tapi terus saya ya minta maaf mbak karena tadi udah sampe ramerame gitu, seperti itu Biasanya kalau mau tidur itu saya baru ngomong biasanya mbak, misalnya kalau kejadiannya siang sepertio itu, terus kiok cuma diem diem diem, kan nggak enak, terus akhirnya saya male, “Dhek mau pie to dhek, kok bisa gini gini gini, kok iso ngene ngene ngene ki nopo??”, kan gitu. “Aku ki piye, mau ngomong opo, kowe kok dadi nesu kayak gitu”. Terus dia baru, biasane baru cerita. Cerita cerita cerita setelah itu ya selesai, kan gitu
15
Hubungan antara partisipan dengan keluarga Partisipan menceritakan bagaimana hubungan mereka dengan keluarga mereka, baik keluarga
kandung
mereka
sendiri
maupun
keluarga
pasangan
setelah
mereka
memutuskan untuk menikah. Perhatian partisipan kepada keluarga mereka masingmasing ternyata berkurang semenjak
mereka memiliki keluarga sendiri. Mereka
menyadari bahwa mereka juga harus berbagi perhatian pada keluarga pasangan serta memberikan perhatian yang lebih bagi keluarga mereka sendiri. Partisipan pertama mampu untuk menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar mereka, sedangkan partisipan yang kedua mengaku memiliki masalah saat proses masuk ke dalam keluarga pasangannya. Hal ini terungkap dalam cuplikan wawancara berikut : Tabel 6 : Hubungan antara partisipan dengan keluarga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Ya tidaklah ya, ya tetep yang paling utama ya untuk keluarga sendiri Ya kita berusaha untuk bisa untuk menyamakan…aaaaa itu keluargaku adalah keluarga om, keluarga om adalah keluargaku juga seperti itu Ya sepertinya begitu, ya kita kan ngga tahu, tapi sepertinya ya begitu karena aaa apapun aaaa masalah ataupun apapun itu urusan dalam aaaa dalam keluarga om, selalu tante dilibatkan dan tahu, jadi saya ya merasa saya ya sudah dianggap keluarga sendiri
Istri Sekarang ngerasa sulit ini mbak, ini jujur aja ya mbak ya, nggak tau itu kayak mau lepas dari orang tua saya itu nggak bisa, nggak tau Emang kalau perasaan mantu itu beda ya, anak mantu itu beda. Tapi trus akhirnya saya berpikiran elek meneh yaaku ya, aku jadi bisa merubah sikapku sendiri, aku nggak nggak nggak hidup sendiri sekarang, aku hidupnya aaaa bersama orang lain, yang di mana hidup itu waktu besar. Nggak nggak dari awal kecil, besarnya to mbak ketemunya, waktu dewasanya saja harus gimana caranya membaur. Akhirnya ya itu sampai sekarang ini saya nikmati Bagaimanapun caranya apapun yang orangtuanya ndak suka jadi suka. Awalnya supaya dia bisa akrab sama aku ya aku mencoba gimana caranya
16
Suami Ya tentunya perhatiannya agak berkurang.ya kita punya keluarga ya harus kita, nomor satukan bagaimana pun juga harus, istri atau suami, otomatis itu…kan harus, ya perhatian ke keluarga kan ya otomatis berkurang. Itu otomatis itu, nggak mungkin sama dengan waktu kita masih belum menikah itu bohong itu Tetep… tetep. Kita masing- masing ya tetep ada waktu. Istilahnya apa ya, ya kita menyibukkan dengan keluarga istri, menyibukkan dengan keluarga saya ya tetep Hubungannya baik- baik aja, dari istri ke keluarga saya ya baik- baik saja. Nggak ada masalah
lah, apapun itu. Meskipun itu nggak nggak sesuai keinginannya pun Jadi nya kurang deket. Jadinya saya yang berusaha untuk mendekat., gitu mbak. Ini jujur aja memang Ibu saya kurang deket dikarenakan perekonomian Suami Ya sedikit berubahlah, karena perhatiannya juga udah lain lagi to... Ya yang jelas saya tetep saya datang ke sana, istilanya, nitip awak ya mbak ya. Nitip awak di sana, ya yang jelas saya juga baik-baik kepada mertua, kepada saudara-saudara istri, gitu. Nggak nggak, saya nggak buat masalah, seperti itu
Hubungan partisipan dengan teman-teman Kedua partisipan memiliki kedekatan yang berbeda dengan teman-teman mereka pasca menikah. Partisipan pertaama tetap berusaha untuk menjalin relasi dengan teman-teman mereka dan saling mengenalkan teman-teman mereka pada pasangannya, sedangkan partisipan kedua cenderung membatasi hubungan mereka dengan teman mereka masing- masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut : Tabel 7 : Hubungan partisipan dengan teman-teman Partisipan 1 Istri Masih, biasa aja..Kayaknya enggak, karena tante berusaha sebagaimana mestinya kita apa menjaga,
Partisipan 2 Istri Saya malah jarang ketemu sama tementemen saya, nggak tau ya mbak ya. Malah itu, aaaa malah semakin jauh
17
maksudnya nggak….kita dekat dengan teman trus dengan seenaknya kita menyampingkan keluarga Ya sebisanya aaa tante menempatkan diri, maksudnya ya mengenal lah..mengenal, kita saling mengenalkan teman masing-masing aaa misale gini…teman tante ke om, gitu ya saya kenalkan ke om, “ini teman saya paling deket” atau ya ini,yang ini…selalu kita ngomong gitu lho, dan missal kalo dating ke rumah, ya kenal tante ya kenal om, gitu.. Sebaliknya juga om, teman-temannya ya pasti dikenalkan Suami Masih…masih walaupun nggak seperti dulu ya. Mungkin sekarang kan sudah yaaaaa sudah menyadari punya itri yaaa harus banyak- banyak dikurangi, gituuu, walaupun pertemanan itu penting Ooohh iya…ya ya… saling menyadari bahwa itulah. Kalo cewek ya, ya itu tadi cewek… seperti itu gitu lho, memang sifat- sifat cewek itu pada umumnya seperti itu… Ya kita paling say hello, ngomong- ngomong bentar. Teman- temn saya cowok pun ya kayak gitu, ya inilah cowok., namanya cowok
saya kadang kemarin juga mbak, kemarin saya kangen. Saya kepingin ya “temen-temen ku kok ra ana sing ketok ya?? Kok wes suwe ora ketemu ya??”, cuma gitu. Pengen aku dolan-dolan sana, tapi kalau dolan-dolan sana ngko mesti eneng masalah terus, aku gitu
Suami Sepertinya saya ingin tapi istri tu pasti nggak mau, gitu lho. Saya ajak ke tempat temen yang sana, kadangkadang males, ke sana males, kan gitu. “Yo kowe nak arep dolan, dolan dewe kono”, kan gitu mesti. Ya dia itu memang kalau tak jak mainmain ke temen gitu memang ini mbak
Pengaturan keuangan dalam rumah tangga Kedua partisipan menceritakan pola pengelolaan keuangan di dalam keluarga serta investasi yang secara khusus mereka siapkan bagi masa depan anak mereka. Pengelolaan keuangan dalam keluarga diserahkan seluruhnya kepada istri, akan tetapi bukan berarti istri berhak secara penuh dalam penggunaan keuangan. Suami pun juga memiliki hak untuk memakai uang tersebut sepanjang hal itu berguna bagi rumah tangga mereka, bukan untuk kesenangan pribadi. Partisipan pertama mampu untuk mengatur keuangan rumah tangga mereka dengan cukup baik, sedangkan partisipan
18
kedua mengakui bahwa himpitan ekonomi membuat mereka harus berhutang kepada tetangga mereka. Hutang ini jugalah yang membuat partisipan kedua ini memutuskan untuk menunda memiliki anak di awal pernikahan mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam kutipan wawancara sebagai berikut : Tabel 8 : Pengaturan keuangan di dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Ini jujur ya, karena om ini penghasilannya ngga tentu, nggak mesti, dan yang mesti itu, yang rutin tiap bulan itu kan saya, dari om itu kan memang semua itu diserahkan ke saya … tapi saya juga tidak…aaaaa opo… tidak mau kalo semua ya seharusnya ada hal- hal yang memang itu jadi tanggung jawab om aaaa maksudnya aaa apa itu ehhhmmm ada dana- dana tertentu yang harus dipegang om semua tentang rumah tangga jadi yo, sudah diserahkan semua ke saya tapi itu kita bagi jadi dikelola bersama Seringnya…seringnya begitu kita selalu ngomong-ngomong ya pengen beli ini ini ini…ya terserah kalo memang butuh opo pengen gituuu selama tentunya kalo ada dana longgar tentunya, kita tidak pernah memaksakan diri kok Ya..iya sampai saat- saat ini ya kita masih memikirkan tentang itu, yaaa paling nggak ya tidak di plotklan gituuu tapi paling ndak tante punya aaa apa itu tabungan untuk hal yang mungkin nanti diperlukan
Istri Saya. Saya biasanya kalau suami saya dapat hasilnya, itu dikasihke sama saya. Saya nyang mengelola sendiri. Intinya yang mengelola itu yang tau sendiri itu Cuma saya sendiri itu nggak, suami saya tau. Hasilnya seberapa tiap hari. Saya mengeluarkan uang sepeser pun dia tau Saya misalnya untuk belanja keseharian. Nah itu saya setiap paginya itu saya ngomong, “mas aku tadi habis belanja sekian...” nah tapi aku selain itu nyisihin uang. Nyisihin uang entah itu nanti buat apa sahya nggak tau, pokoknya saya harus nyisihin uang, gitu Itu saya bikin rumah ini itu tujuannya saya mau kontakan. Mau saya kontrakkan, nah setelah itu mungkin mungkin tabungannya itu nggak saya buat ini itu yang aneh- aneh. Mungkin saya belikke tanah, apa apa, mungkin un tuk kebutuhan anak saya kan bisa. Saya memang punya tujuan rumah ini ya untuk anak saya hahhhaha untuk anak saya memang Baru nikah 1 tahun itu aaaa saya juga pertama kali mengalami hutang ya, saya belum pernah hutang ya waktu itu. Saya masih muda ya jadi belum pernah hutang. Kadang memang kalau permasalahannya itu malah kadang gini ahh ya itu keuangan gitu, “keuanganne
19
Suami Ooohhh,ke tante semua… ke tante semua Heeem yang kontrol tante…ya mungkin gini, kalo saya punya penghasilan ya saya serahkan…terserah mengaturnya bagaimana Ya kita sediakan, kita punya tabungan ya… ya tetep sih…yang nganu (mengelola) istri… ya buat jaga- jaga gitu lah
kok mepet men yo??” gitu, “woh, kok uange kok cuma sekian yo??”, ngene, “wah sesuk nggo mbayar utang” kan gitu. Kan punya punya kewajiban untuk mbayar utang juga, untuk kalo saya kan gini sama mas e, saya pernah memberanikan diri untuk pinjam uang mbak memang Nah saya ketakutan juga waktu itu gimana ya, aku nak punya tanggungan hutang sebanyak itu, nek ini aku punya anak aku takut. Anakku bisa nggak tak senengke, gitu. Suami Kalau keuangan itu saya serahkan ke istri semua mbak Bersama-sama, tapi kadang-kadang ada ada yang disembunyikan oleh istri Dia itu diem-diem itu masih punya simpenan gitu lho mbak Untuk yang lain mbak kalau saya mbak, terutama untu rumah ini mbak, dengan harapan nanti misalnya rumah ini jadi, dikontrakkan kan gitu lumayan itu untuk tabungan kan bisa, gitu maksud’e. Jadi rumah juga punya, nanti tabungan juga punya, kan gitu Pada mulanya iya mbak, tapi kan waktu awal-awal menikah itu memang kita kan belum siap untuk ekonomi. Jadi kita istilahnya ya menunda dulu lah, kan gitu. Cuma menunda 4 bulan lah mbak sekitar itu, kan kita masih punya tanggungan berapa ratus ribu gitu, tapi walaupun beberapa ratus ribu tapi waktu itu kan hitungannya juga banyak dan apa ya karena penghasilannya belum, belum cukup kan jadi sepertinya itu banyak banget kan gitu
Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga Kedua partisipan menceritakan tentang bagaimana mereka saling memenuhi tugas dan kewajiban mereka sebagai suami ataupun istri dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual.
20
Mereka menerapkan prinsip keterbukaan saat mengungkapkan keinginan atau bahkan menolak
untuk
melakukan hubungan seksual.
Hal ini diungkapkan oleh kedua
partisipan dalam kutipan wawancara berikut : Tabel 9 : Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Ya kalo menurut saya ya sudah karena seringnya, seringya ka seorang lakilaki yang sering menuntut itu, menurut saya kalo perempuan itu seringnya nggak..nggak punya aaaa apa itu..keinginan seperti itu duluan itu, pasti kan laki- laki sering menuntut hal itu, tapi sebisanya, secapek apapun kalo hal itu ingin dilakukan ya sebisanya kita layani, gitu Yaaaa, bilang, “aku lagi capek” ya minta maaf kadang, soalnya kan capek, daripada nanti kecewa gitu lho maksudnya kalo yaaa terbuka aja, kalo kurang mood kan kita ngelayani dengan ogah-ogahan jadi juga tidak membawakan rasa puas ya gimanalah,,,nggak membawakan rasa senag, ogah- ogahan kayak gitu gimana mau puas Ya, ya kadang sih gitu, kadang aaa tante kan sudah, aaa mungkin kan sudah aaaa gimana yo… aaaa yaaa apa ya , ya memang sudah pesimis gitu ya terkadang sok pas nganu ya kadang sok male, aaa kadang hlo itu… Tapi ya kalo.. kalo kita mikir itu sudah kewajiban ya wis gimana lagi ya kita harus tetep jalan Suami Yaaa,,, normal- normal aja… kita menjalankan bagaimana ya suami yang normal…ya normal- normal lah Puas… puas…kalo nggak puas kan kita belok sana belok sini nanti Hmmm ya karena “capek Bu”…ya
Istri mengatakan ya, kurang bebas ya, bagi saya ya. Saya memang intinya kurang bebass di mana di orang tua saya, orang tua kandung saya rumahnya itu kebetulan itu kamarnya berdekatan Kalo misalnya hubungan waktu kita itu memenuhi kewajiban kita sebagai istri, ya sebagai suami, kadang itu memang kurang bebas mbak Tapi ini tuntutan ya mbak ya, saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai istri, dia juga harus memenuhi kewajiban dia sebagai suami Fisik kan orang berjualan itu kan intinya capek ya, capek. Suami saya itu orangnya aktif. Orangnya aktif, dia nggak mau kalo diem gitu malah nggak enak dia. Dia malah suruh duduk gini itu dia nggak bisa Jadi kan posisinya nggak nggak fit ya mungkin ya. Mungkin dia nggak sehat, aaaa kelelahan. Intinya kelelahan. Kan itu juga pengaruh dengan sperma kan Kadang badan capek, kadang ini, terus malem e harus memenuhi kewajiban itu, terus bebannya itu, kan jadi kurang enak gitu lho mbak, kurang bebas
Suami Iya mbak, sudah merasa puas.. jadi nggak sepertinya nggak ada yang di benahi lagi itu mbak jadi secara tidak langsung om mau berkata bahwa aaaa tante sendiri juga sudah mampu untuk memenuhi
21
minta maaf lah, sebaliknya, dia juga kebutuhan seksual om?? mungkin yaaa capek ya saling Iya... menyadari masing- masing lah karena Dan om sendiri juga sudah memenuhi memang aaakita lihat sendiri karena kebutuhan seksual dari tante?? mungkin kita capek…kita masingIya mbak...sudah memenuhi itu masing capek, gitu… Sementara ini saya belum pernah Yaaaaa dengan kita berkomunikasi, menolak itu mbak, malah kadangkomunikasi,,, kita sambil…yaaa sambil kadang istri yang menolak, “mas kesel gimana caranya lah untuk ek mas”, “yowes nak kesel yo rapopo”, membuat…membangkitkan gairah… saya kan juga gitu mbak nggak akan Ya iya… tetep harus gitu…ya nanti memaksa, karena walaupun saya malah kita… dia lagi capek dipaksa, memaksa mesti dia itu juga mesti ada kita marah, nanti tersinggung seperti ada yang ngganjel...nggak nggak nggak plong lah istilahe, hmm istilahnya gitu. Ada keterpaksaan walaupun sedikit keterpaksaan kan tetep nggak nggak nyaman
Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak Kedua partisipan mengungkapkan keinginan mereka untuk memiliki anak dalm rumah tangga mereka. Mereka juga telah menempuh usaha-usaha baik medis maupun tradisional agar segera diberi keturunan. Berikut ini adalah kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kedua pasangan ini sangat mendambakan kehadiran anak dalah kehidupan rumah tangga mereka : Tabel 10 : Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Istri Dengan keadaan kita yang sekarang ini Kalo momongan itu iya. Itu setiap kalo kita harus bisa aaaa berpikir positif dan saya membicarakan itu pada waktu kalopun kita juga tidak..tidak seganterasanya itu pada waktu tidur, segan…tidak bosanbosannya terasanya itu pada waktu tidur. Ngobrol memohon pada Tuhan kalau memang tentang itu, tentang momongan, ya akhirnya Tuhan menghendaki kita angan- angan kadang trus akhirnya diberi momongan yang sudah kita suami bisa menghibur saya ya. Misal damba- dambakan kita akan siap istri, sbagai perempuan, kalo belum, kalo belum ngasih keturunan itu kan Merasa tidak lengkap ya, aaaa belum rasanya kan, rasane ati tu gimana yo mendapatkan momongan. Ya kan rasane hati tu sakit gitu hlo mbak. Bagi adanya ya…ya walaupun kita adanya
22
damai damai saja tapi kan kadang kalo pas apa itu…sendiri gitu kan merasakan kesepian, dan rindu akan keberadaan seorang anak ya, yang aaaa dapat menghibur kita. Apalagi kalau pas saya sendiri di rumah gitu kan, yaaaa merasa sendiri…ngga ada momongan
Suami Ya kita terima lah Bu, jangan sedih terus”. Mungkin Tuhan belum mempercayakan pada kita. Kemarin mungkin ada satu peristiwa yang mungkin kita saking pengennya itu sampai pengen mengadopsi anak utu, ad satu keinginan untuk mengadopsi anak itu tapi itu ya tetep ada pertimbangan nggak boleh grusah grusuh Ya, ke dokter, udah pernah ke dokter, terus ada program..ya tapi tetep aja belum dikasih,, ya pakai cara- cara medis lah kalo secara non medis belum
saya sakit ya, kalo orang itun normalnya perempuan itu melahirkan, eehhh mengandung baru melahirkan ya, tapi memang saat ini saya belum dikaruniai saya terima tapi dalam hati saya juga nggak terima gitu hlo Bagi saya saya berusahanya gimana caranya kalo saya punya momongan nggak harus, nggak harus operasi gitu hlo mbak. Intinya saya apapun itu akan saya lakukan entah itu minum jamu aaaa apa apapun itu wes to Suami Ya awalnya memang sedih mbak Iya mbak, tapi yang jelas saya punya keyakinan bahwa saya suatu saat nanti bisa, kan gitu..Tapi ya itu tadi, ya seperti tak kuatkan gitu, seperti, “ya kita tu pasti nanti bisa, Abraham aja bisa, kenapa kita nggak bisa Yang saya rasakan ya sepi gitu sih mbak rasanya mbak Ya bahwa kita itu punya keyakinan mungkin gitu mbak, bahwa suatu saat nanti kita punya, gitu. Walaupun, walaupun kata-kata itu mungkin 4 tahun yang lalu sampai sekarang itu masih terucap seperti itu mbak
Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang memiliki anak Partisipan menceritakan tentang rasa cemburu yang mereka rasakan saat mereka melihat pasangan lain menghabiskan waktu bepergian bersama dengan anak-anak mereka. Mereka mengungkapkan bahwa mereka juga ingin merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan oleh keluarga yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan wawanara berikat :
23
Tabel 11 : Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang memiliki anak Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Ya…yaaa perasaannya ya cemburu, sedih, kepingin, ya liat aja di kantor kadang pada mbawa anaknya, ya yaaah pengen sekali seperti mereka, pada njemput anaknya, anaknya dibawa ke kantor duh…rasanya yahhhh, tidak bisa digambarkan
Istri Waktu itu tu dia dateng, sama anaknya, cemburunya mungkin ya karena dia sudah mempunyai momongan, saya belum. Mungkin cemburunya di situ saya. Dia ngeliatnya mantannya itu bawa anak, dia agak gimana gitu Kan sering saya lihat ya sama aaaa suami istri sama anaknya kadanag main-main di taman saya Cuma duduk gini berdua lihat gitu kan rasanya meri gitu lho...gitu, saya meri memang, saya meri itu Suami Ya pengen, pengen. Apalagi kan kalau kita ke Kerep itu kan sering, kan apa ya aaaa areanya kan bagus itu seperti lapangan golf gitu, kadang-kadng di situ itu buat ini aaaa apa anak-anak latihan jaan itu lho dirumput-rumput biar kalau jatuh kan nggak sakit. Pada jalan-jalan gitu kan wes, saya lihat juga lucu gitu lho. Terus kadang-kadang kepikiran, “dhek, besok kalau kita punya kita bawa ke sini, seperti itu ya”, ya gitu
Suami Yaaa…aaaa aku sendiri, ya, ya aku sendiri rasanya yaaa,, apa ya boleh dikatakan… iri…iri ya pengen gitu lho punya ..aaahhhh aku kok pengen seperti mereka gitu lho. Tapi ya balikin lagi gitu, sama ya mungkin Tuhan punya rencana lain gitu lho, ya walaupun kita tetap berusaha dengan cara apapun ya, ,,, ya rasanya sekedar pengen gitu, ya ngliatnya seneng, seneng, soalnya dasarmnya memang suka sama anakanak kecil sih,,, itu lihat mereka, bapak ibu sama anaknya pergi bersama ke mana gitu, kadang iri…ya manusiawi ya
Sifat dan kebiasaan pasangan Kedua partisipan menceritakan mengenai sifat dan kebiasaan pasangannya masingmasing. Mereka mengaku bahwa mereka sudah cukup mengenal dan mampu menerima baik kekurangan maupun kelebihan pasangan mereka. Hal ini dikemukakan oleh kedua partisipan dalam kutipan wawancara berikut :
24
Tabel 12 : Sifat dan kebiasaan pasangan Partisipan 1 Istri Om itu kelebihannya banyak, om itu selalu mengalah, penurut, trus yang apa, yang tadi… penurut, trus yang apa, yang tadi…Kekurangannya? Kekurangannya aaa agak ndableg ya untuk masalah mengurangi rokok , susah om itu Ya kadang kalo, ya, gimana ya… orangnya itu terlalu baik, gitu hlo, nggak tegelan, nggak tegaan, itu kadang sok ada, ya gimana ya rasa yang gimana gitu, karena ya namanya orang ya, terlalu baik itu, kalo orang yang ngerti, kan itu seneng ya, tapi kadang ada orang yang kenal, dia baik, itu malah cuma dimanfaatkan aja, nggak aaa apa itu, nggak merasa aaa perlu, ya udah nggak di gagas lagi, kadang saya yang kurang, kurang, kurang setuju dengan sikapnya, orangnya sabar dan terlalu baik Suami Ya itu tadi, emosional, dia selalu, apaaa terus terang, nggak bisa mendem, dia memang nggak bisa mendem, seringnya nggak bisa mendem. Kebaikannya ya yaaaa mungkin kalo….merasa, merasa salah gitu…dia berusaha untuk minta maaf dengan berbagai macam cara, yaaaa cepet melupakan kesalahan itu. Menyikapinya yaaaa, itulah istri saya, harus menerima, kekurangan dan kelebihannya. Menerima…ya saya menerima
Partisipan 2 Istri Kekurangannya ya kadang sok nyepelekke gitu. Kekuranganne nyepelekke. Saya sering emosi kalau dia nyepelekke hahahha emosi tingkat tinggi Ya saya terima kekurangannya ya mbak. Menurut saya kekurangan kelebihannya dia ya memang dia seperti itu hahahahah. Sya seperti itu. Saya nggak menyalahkan, saya nggak mempermasalahkan itu. Bagi saya seperti itu
Suami Ya ada positifnya ada negatifnya mbak, kalau positifnya ya banyak, tapi kalau negatifnya itu dia itu ge er an gitu...ya gitu mbak, jadi apa-apa langsung dimasukkan ke hati Kebaikannya ya dia itu ramah, ramah sama orang, baik gitu mbak, jujur gitu juga mbak Iya he em ngeyelan...ngeyelan...kalau punya kemauan itu sak ndang sak nyat mbak, karena dia dari kecil memang seperti itu, dari kecil memang kalau punya keinginan itu ya harus, kan gitu
Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga Kedua partisipan mengaku bahwa mereka mengerti akan tugas-tugas dan kewajiban yang harus mereka lakukan terkait dengan peran mereka di dalam rumah tangga, baik sebagai istri maupun suami. Meski begitu, masing- masing mereka tidak ragu untuk
25
membantu bahkan menggantikan peran pasangan mereka saat pasangannya tersebut sedang tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut : Tabel 13 : Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga Partisipan 1
Partisipan 2
Istri Kalo menurut saya, malah sebetulnya, saya itu kalo boleh jujur mengakui kurang, karena ya itu tadi sifat om yang mengalah itu tadi, karena saya dirasa kerja, capek apa apa …itu kerjaan rumah banyak dikerjakan om gitu lho, tapi ya ndak tante trus jadi enak-enak karena tante punya tanggung jawab yang lain ya, tapi sebisa mungkin kan yo tante berusaha untuk tanggung jawab kepada keluarga ya itu tadi, tapi mungkin itu karena tuntutan yae , tuntutan kalo masalah memenuhi aaaa kebutuhan ekonomi ya kalo dipikir kurang ya kurang gitu untuk menafkahi keluarga, tapi karena kita bisa menerima, saling menerima ya saya rasa ya kita bersyukur aja gituu
Istri Itu kan ya memenuhi kebutuhan rumah tangga, memenuhi kebutuhan aaaa mencukupi kebutuhan istri. Kalau wanita sih maunya ya ini dituruti, ini dituruti, ini dituruti., gitu ya. Tapi intinya ya memang suami saya belum bisa., belum bisa memenuhi itu semua. Saya ya memang belum bisa. Saya nggak terlalu menuntut suami saya kerja di mana, kerja di mana gitu, saya ndak mbak Kalau saya terlalu mikir berat intinya saya harus menuntut dia jadi suami, harus nggaji saya, harus ini, penghasilannya seperti itu saya kalau mikir terlalu berat saya takutnya malah sama diri saya sendiri mbak. Saya harus terima, harus terima apa adanya, saya takutnya malah sama diri sendiri kan kalau nuntut gitu kan saya bisa gila sendiri Suami Masih masih ada kekurangan sih mbak, karena saya belum bisa me... aaaa apa ya seperti dalam hal mencukupi kebutuhan gitu lho, saya sebenernya ingin istri tu di rumah, diem, kan gitu, terus saya yang nyari uang, kan gitu. Tapi sementara ini kan belum bisa, jadi kita masih kerjasama giu lho, ya itu yang masih ada ganjelan..gitu Gengsi gitu, gitu nggak ada mbak. Kalau saya memang istri baru sakit saya harus nyuci ya nyuci, gitu. Istri capek, yo wes nak kesel aku sing ra kesel, yowes ndi tak kumbahane, kan
Suami Belum, aaaa merasa belum….Ya mungkin ada keinginan- keinginan istri yang belum terpenuhi , nah itu kan kita juga merasa juga belum, ya bisa dikatakan belum memuaskan keinginan istri Ohhh iya, iya saling membantu…. Contohnya…ya karena istri saya pekerjaannnya menurut waktu ya, waktu yang ditentukan dan tetap ya, ya mungkin saya, mungkin dalam seminggu saya mungkin banyak’an di rumah, ya saya membantu beres- beres rumah, kecuali masak..itu, yaaa kita, ya
26
menerima aja,ya saya melakukan itu dengan enjoy Heem, kalo memang kita punya ego masing- masing kita,waahhh nggak jalan
gitu
Konflik menantu mertua Konflik dengan mertua ini dialami oleh partisipan yang kedua. Mereka mengaku pernah memiliki konflik dengan mertua mereka. Hal ini mereka ungkapkan pada kutipan wawancara berikut : Tabel 14 : Konflik menantu mertua Partisipan 2 Istri Pernah...sakit banget itu sampai nangis saya pulan. Pernah saya dibentak, di depan orang banyak itu.. saya nangis itu, waktu itu saya masih punya...aaaa belum menikah Nah, kalo Ibu sini kan nyurunya gini, kalo mesti yang disuruh itu suami saya yang disuruh ke sana. Nggak nggak adiknya yang perempuan. Yang disuruh nganter itu suami saya. Laki-laki, intinya itu ya gimana ya, saya kurang seneng aja, nggak ada intinya nggak ada wibawa nggak ada harga dirinya, intinya
Suami Iya mbak he em. Itu pernah, itu marahmarah seperti itu. Terus saya nggak nggak tau apa-apa itu juga diikutikutkan mbak, “L barang kui melumelu”, kan gitu. Wuih saya kok juga keno??. Terus saya mau protesm, mau ngomong Bapak langsung, Bapak mertua langsung nyegat gitu, “wis wis wis wis”, seperti itu. Nah dari itu pengalaman itu, saya pengennya itu lari saya dari rumah mbak, sama istri itu
PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa salah satu penentu keberhasilan sebuah pernikahan adalah kepuasan pernikahan. Fowers dan Olson (1989; 1993) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Kepuasan pernikahan sendiri dapat dilihat melalui beberapa area-area dalam kehidupan rumah tangga, yaitu komunikasi,
27
kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Setiap pasangan tentunya memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Pola komunikasi yang terbuka menjadi pilihan bagi pasangan dalam mengungkapkan seluruh keinginan mereka kepada pasangannya. Mereka berusaha untuk menceritakan apapun yang terjadi pada dirinya dan jujur mengenai apa yang mereka rasakan, termasuk mengenai anak yang hingga saat ini masih belum juga hadir di tengah-tengah keluarga. Dengan begitu secara tidak langsung mereka menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pasangannya masing-masing. Pola komunikasi yang terbuka ini ternyata mampu untuk membantu mencari solusi dalam permasalahan yang dimiliki oleh pasangan. Dengan pola
komunikasi ini,
mereka
dengan
bebas
dapat mengutarakan kekecewaan,
kemarahan, perasaan tidak enak, bahkan permintaan maaf bagi pasangan yang menyadari akan kesalahan yang dibuatnya. Dengan demikian, masalah yang ada tidak berkembang menjadi besar dan tidak berlarut-larut. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Broderick, Carlfred dan Smith (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa komunikasi dalam perkawinan yang memuaskan adalah komunikasi yang mengandung unsur keterbukaan, kejujuran, saling percaya, empatik, dan mendengarkan secara aktif. Setelah pasangan-pasangan ini memutuskan untuk menikah, prioritas hidup mereka pun berubah dan cenderung lebih memperhatikan keluarga kecil mereka sendiri. Waktu dan intensitas kebersamaan dengan keluarga besar mereka masing-masing pun otomatis mulai berkurang. Mereka juga harus mengagihkan waktu untuk menjalin kebersamaan dengan keluarga mereka agar dapat diterima sepenuhnya oleh keluarga pasangan. Hal yang sama juga terjadi
pada relasi pertemanan pada masing-masing
28
pasangan. Mereka mulai mengurangi kebersamaan yang biasa mereka lakukan sebelum mereka menikah. apabila sedang ingin berkumpul dengan teman-teman, mereka lebih memilih untuk mengajak teman-temannya ke rumah agar dapat diperkenalkan juga kepada pasangan mereka. Akan tetapi ada pula pasangan yang lebih memilih untuk menghindari pertemuan dengan teman-temannya karena kondisi rumah tangga yang dirasa masih belum cukup baik terlebih dengan belum hadirnya anak di dalam keluarga mereka yang membuat mereka cemas akan komentar-komentar negatif yang akan diterima dari teman-teman mereka. Kebersamaan dengan teman maupun keluarga juga dilakukan saat pasangan memiliki waktu luang.
Mereka terkadang bepergian bersama untuk mengurangi
kejenuhan setelah melakukan rutinitas pekerjaan dan di sisi lain berpergian bersama keluarga maupun teman juga dapat mengobati sedikit rasa rindu para pasangan yang belum memiliki anak. Meskipun demikian, pasangan-pasangan ini juga tetap menyadari bahwa ada saatnya mereka harus mengagihkan waktu khusus bagi pasangan mereka untuk membicarakan hal-hal terkait dengan keluarga kecil mereka sekaligus untuk meningkatkan
kualitas
hubungan
suami istri dalam rumah tangga.
Pembicaraan
mengenai anak juga selalu ada saat pasangan menghabiskan waktu berdua. Mereka membicarakan angan-angan mereka ketika memiliki anak, kebahagiaan saat mereka akhirnya bisa menimang seorang anak, kesedihan yang dirasakan pasangan ini sadar bahwa pada kenyataannya mereka belum diberikan keturunan, hingga penyesalan yang ada dalam hati pasangan yang mengalami keguguran. Pembicaraan mengenai anak juga muncul saat pasangan ini bepergian berdua kemudian melihat ada pasangan lain yang bepergian bersama dengan anaknya. Pemandangan seperti ini menimbulkan kecemburuan bagi pasangan yang belum
29
memiliki anak. Tak heran jika suasana bahagia yang dirasakan oleh pasangan saat menghabiskan waktu berdua berubah menjadi suasana sedih saat melihat pasangan lain dapat menghabiskan waktu bersama dengan anaknya. Mereka pun sangat ingin merasakan kebahagiaan seperti yang pasangan lain rasakan. Namun pada akhirnya mereka berusaha untuk bersabar dalam menghadapi rasa sakit yang mereka rasakan tersebut. Faktor
lain
yang
mempengaruhi
kepuasan
pernikahan
adalah
orientasi
keagamaan dari pasangan selama menjalani kehidupan pernikahan. Pasangan yang saling mendukung dan saling mengingatkan dalam menjalankan kewajiban beragama ternyata berpengaruh pada sikap dan perilaku pasangan dalam rumah tangga. Bagi pasangan yang mengikuti kegiatan kerohanian yang ada di agama mereka akan tumbuh menjadi pasangan yang lebih menyadari peran mereka baik sebagai seorang istri maupun suami serta mencoba untuk peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dari pasangan mereka. Ajaran agama yang mereka anut juga mempengaruhi sikap pasangan saat memiliki masalah. Mereka dapat lebih sabar dan tenang saat menyampaikan masalah yang terjadi kepada pasangan mereka serta pada saat mencari solusi bagi permasalahan mereka tersebut. Selain itu kegiatan tersebut juga ternyata membantu mereka dalam menerima dan ikhlas dalam menghadapi kenyataan bahwa dalam keluarga mereka belum dikaruniai momongan melalui ilustrasi dari tokoh-tokoh Agama yang mereka anut. Hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi pasangan untuk terus berusaha dan berserah pada Yang Maha Kuasa. Menurut Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam pernikahan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan.
30
Berbeda dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan secara bersama-sama, dalam hal pengelolaan keuangan ternyata para istri memegang peran yang lebih besar. Seluruh penghasilan yang ada di dalam rumah tangga diserahkan kepada istri dan istri yang mengelolanya. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa sang istri menguasai keuangan keluarga, akan tetapi suami pun masih diperbolehkan untuk menggunakan uang keluarga asalkan digunakan untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk
kesenangan pribadi. Bagi pasangan yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata lebih fleksibel dalam menggunakan uang, sedangkan bagi pasangan yang memiliki penghasilan rendah harus lebih berhati-hati dalam menggunakan uang dan tidak bisa sembarangan dalam membeli barang. Pasangan
berpenghasilan
rendah
harus
membeli
kebutuhan
berdasarkan
kebutuhan, bukan lagi berdasarkan keinginan sendiri. Pahl dalam Parrota dan Johnson (1998) mengemukakan bahwa bagi pasangan dengan penghasilan rendah, pengelolaan keuangan akan terasa jauh lebih penting dan sulit sebab membutuhkan keterampilan yang lebih baik. Pasangan berpenghasilan rendah juga rentan terhadap fenomena “berhutang”. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, hutang tersebut juga digunakan untuk memacu diri agar lebih giat bekerja. Hutang tersebut nyatanya tidak mempengaruhi kepuasan mereka terhadap penghasilan yang diperoleh setiap harinya. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian dari Olson-Sigg (dalam Skogrand, Johnson, Horrocks & DeFrain,
2010) bahwa hutang merupakan hal yang menghalangi
tercapainya kepuasan pernikahan Meskipun belum dikaruniai anak, namun pasanganpasangan yang memutuskan menikah tentunya telah mempersiapkan tabungan dalam bentuk uang maupun investasi dalam bentuk bangunan bagi masa depan anaknya kelak. Semua itu mereka lakukan agar masa depan anak mereka kelak akan terjamin.
31
Dalam hal kebutuhan seksual, pasangan suami istri merasa cukup puas dengan kehidupan seksual yang selama ini mereka jalani. Hanya saja terkadang mereka merasa putus asa sehingga kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena selama ini pasangan belum juga berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka. Mereka juga tidak memaksakan kehendak mereka saat pasangannya sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual. Mereka mencoba untuk memahami keadaan satu sama lain karena masing-masing dari mereka menyadari bahwa hubungan seksual akan berjalan dengan baik saat keduanya berada dalam keadaan yang nyaman dan kondisi fisik yang fit. Pemahaman seperti ini juga mereka terapkan dalam menyikapi sifat dan kebiasaan yang dimiliki oleh pasangan masing-masing. Mereka mencoba untuk saling memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan pasangannya tanpa adanya tuntutan yang bersifat memaksa pasangan untuk mengubah sifat dan kebiasaan buruk mereka dalam jangka waktu singkat. Masing-masing dari mereka berusaha jujur pada pasangannya bahwa mereka kurang nyaman dengan kebiasaan pasangan yang kurang baik dan berharap agar pasangannya tersebut berkenan untuk mengurangi kebiasaan buruknya serta berusaha agar dapat menghilangkannya seiring dengan berjalannya waktu. Namun pada kenyataannya memang sulit untuk bertoleransi terhadap kebiasaan buruk pasangan, sehingga tidak dapat dipungkiri kemarahanlah yang pada akhirnya muncul saat pasangan masih terus dan terus melakukan kebiasaan buruk tersebut. Hal yang berbeda justru terjadi dalam pembagian tugas dan peran suami istri dalam
rumah
tangga.
Masing-masing
dari
pasangan
berusaha
untuk
mampu
menjalankan dengan baik peran mereka, baik sebagai istri maupun sebagai suami. Akan tetapi,
ketika
salah
satu
dari suami maupun
istri sedang berhalangan untuk
32
melaksanakan perannya, pasangannya pun dengan senang hati membantu bahkan menggantikan peran tersebut. tidak ada rasa gengsi atau malu dalam hati mereka, karena mereka berpikir bahwa hal itu adalah kewajiban bersama yang bisa dilakukan oleh siapapun dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Yoger dan Brecht (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa kepuasan pernikahan pada isteri dipengaruhi oleh keterlibatan suami dalam membantu tugas-tugas rumah tangga, sementara kepuasan pernikahan pada suami dihubungkan dengan kesadaran istri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan suami. Dalam rumah tangga, peran yang ada tidak hanya berkisar anatar peran sebagai suami istri, tetapi juga sebagai ayah dan ibu. Namun dengan belum hadirnya anak dalam keluarga, pasangan belum bisa menikmati peran sebagai ayah dan ibu. Ada pasangan yang dapat mengalihkan rasa rindu mereka untuk menikmati peran sebagai ayah dan ibu dengan bepergian bersama sekaligus melampiaskan kasih sayang kepada keponakan mereka, akan tetapi ada juga pasangan yang lebih memilih bepergian berdua untuk mengalihkan keinginan kuat mereka untuk menjadi ayah dan ibu yang belum tercapai. Setiap pernikahan tentunya tidak lepas dari adanya konflik dalam rumah tangga, entah yang disebabkan oleh suami, istri, keluarga, maupun orang lain yang ada di sekeliling pasangan. Penyebab konflik dalam rumah tangga pasangan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya konflik antara menantu dan mertua yang mungkin sering terjadi karena menantu dan mertua masih tinggal dalam satu lingkungan yang sama. Perbedaan sifat dan karakter antara menantu dan mertua pun juga dapat menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984) bahwa apabila seorang istri tinggal di rumah pihak suami maka
33
kemungkinan
timbulnya persengketaan dengan mertua akan lebih besar karena
bentrokan di antara keduanya biasanya berkitan dengan masalah rumah tangga. Kedua, masalah yang muncul melalui ucapan atau kata-kata dari keluarga maupun orang lain mengenai keadaan keluarga pasangan yang belum memiliki anak dan/atau memiliki kondisi ekonomi yang belum cukup baik. Kemudian masalah anak yang belum kunjung hadir dalam kehidupan rumah tangga menjadi suatu masalah yang sensitif dan dapat menimbulkan masalah baru bagi pasangan suami istri. Belum hadirnya anak sering dikait-kaitkan dengan masalah lain yang terjadi dalam keluarga, misalkan masalah tentang keadaan ekonomi yang hingga saat ini belum juga menjadi alasan mengapa hingga saat ini pasangan belum dikaruniai anak. Griel (dalam Hidayah, n.d) mengungkapkan bahwa ketidakhadiran anak akan meningkatkan ketegangan dalam pernikahan. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasangan suami istri yang belum memiliki anak merasakan kepuasan dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka berdasarkan area-area pernikahan yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1989; 1993), akan tetapi mereka tetap merasa bahwa kehidupan rumah tangganya belumlah lengkap tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah mereka. Dari segi komunikasi, pasangan menggunakan pola komunikasi terbuka untuk mengungkapkan apapun yang ingin mereka sampaikan kepada pasangan mereka, termasuk konflik yang yang sedang terjadi di antara mereka. Ketika pasangan memiliki waktu senggang, mereka menghabiskan waktu luang tersebut dengan keluarga, teman, dan tentunya mengagihkan waktu hanya berdua dengan pasangannya. Termasuk juga pada saat menjalankan kegiatan keagamaan,
34
mereka juga melakukannya berdua dengan pasangan mereka. Pendalaman agama diakui oleh pasangan mampu untuk meningkatkan penerimaan mereka dalam menghadapi kenyataan belum hadirnya anak di tengah keluarga mereka. Dalam hal pengelolaan keuangan, pasangan mengaku bahwa seluruh penghasilan yang ada diserahkan kepada istri namun ketika sang suami sedang membutuhkan dana, para suami ini mempunyai hak untuk meminta kepada istri mereka. Namun pada kenyataannya, ada pasangan yang harus berurusan dengan hutang piutang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun
masih
sering
menghabiskan
waktu
bersama,
namun
intensitas
pertemuan antara pasangan dengan keluarga maupun dengan teman-temannya mulai berkurang setelah pasangan ini memutuskan untuk menikah. Setiap pasangan menikah pun pasti telah merencanakan kehadiran anak dalam rumah tangga mereka. Namun ketika anak tersebut tak kunjung hadir, tentunya hal ini menjadi kerinduan tersendiri bagi pasangan. Rasa rindu dan keinginan akan hadirnya anak menjadi semakin kuat saat pasangan melihat pasangan lain menghabiskan waktu bersama anaknya.
Belum
hadirnya anak ternyata juga berpengaruh terhadap kehidupan seksual dari pasangan. Ada pasangan yang tetap puas dengan kehidupan seksualnya, namun ada juga pasangan yang mengaku menjadi kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena hingga saat ini belum berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka. Sifat maupun kebiasaan masing-masing individu yang tidak sesuai seringkali memicu perselisihan di antara pasangan suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan berumah tangga, masing-masing individu selalu berusaha untuk dapat menjalankan peran mereka dengan baik, entah peran sebagai istri maupun suami. Selama pernikahan, konflik yang terkadang terjadi antara pasangan dengan mertuanya ternyata juga
35
membawa pengaruh terhadap hubungan menantu dan mertua, dan tentunya berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan pasangan. Setelah melakukan penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti secara lebih mendalam mengenai konflik menantu-mertua
dalam kaitannya
dengan kepuasaan pernikahan.
Peneliti melihat
adanya pengaruh antara konflik yang terjadi yang berkaitan dengan relasi mertua dan menantu dengan kepuasan pernikahan yang diraakan oleh pasangan suami istri namun belum tergali secara mendalam dalam penelitian ini. Bagi
partisipan
penelitian,
peneliti
berharap
partisipan
mampu
untuk
meningkatkan penerimaan terhadap kenyataan bahwa keluarga mereka belum dipercaya untuk dititipkan seorang anak. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan iman mereka kepada Tuhan. Pengelolaan ekonomi dalam keluarga juga perlu untuk diperhatikan agar tidak lagi terlibat hutang. Selain itu, mengingat usia partisipan khususnya partisipan pertama yang hampir mendekati usia menopause, harapan untuk memiliki anak pun menjadi semakin kecil. Oleh karena itu, perlu adanya kesiapan mental yang lebih untuk dapat menerima kenyataan ini. Hal lain yang masih perlu ditingkatkan adalah penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan buruk pasangan. Masing-masing
partisipan
harus
lebih
bersabar
dalam
menghadapi
kebisaaan
pasangannya agar dapat meminimalisir konflik yang terjadi karena hal tersebut. Keluarga dan orang-orang terdekat partisipan juga diharapkan untuk terus memberikan dukungannya bagi pasangan yang belum memiliki anak agar mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi kenyataan tersebut.
36
DAFTAR PUSTAKA Alam, S. & Hadibroto, I. (2007). Infertil. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Ardhianita,I. & Andayani,B. (n.d). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, Volume 32 No.2, 101-111 Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian. (1974). Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tentang Perkawinan. Jakarta: BP4 Pusat Datta, M., Randall, L., Holmes, N., dan Karunaharan, N., (2010). Rujukan cepat obstetri & ginekologi. Alihbahasa : Priliono, T., Jakarta : EGC Fowers, B.J. dan Olson, D.H. (1989). ENRICH marital inventory: A discriminant validity and cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15 (1), 65-79. Fowers, B.J. & Olson, D.H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief research and clinical tool. Journal of Family Psychology, 7 (2), 176-185. Henslin, J.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family in a changing society. New York : McMillan, Inc. Hidayah,N.& Hadjam, N.R. (2006). Perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Humanitas; Indonesian Psychological Journal, Volume 3,7-17. Hidayah,N.(t.t). Nilai anak, stres infertilitas, dan kepuasan perkawinan pada wanita yang mengalami infertilitas. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai Pustaka Newman & Newman. (2006). Development through life. A psychological approach. USA: Thomson Wadsworth Olson, D.H, (2003). Marriages and Families Strengths 7th ed. New York: McGraw-Hill Parrota, J.L. & Johnson, P.J. (1998).The impact financial management and satisfaction of Counseling and Planning, 9 http://www.afcpe.org/assets/pdf/vol927.pdf
of financial attitudes and knowledge on recently married individuals.Financial (2), 59-75. Retrieved from tanggal 10 Januari 2015
Peterson, B. D., Newton, C. R., dan Rosen, K. H. (2003). Family Process. Spring Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (Edisi 3). Depok: LPSP3
37
Santrock, J.W. (2002). Life-span development Damanik,J. &Chusairi, A. Jakarta:Erlangga
Jilid2.(Edisi
ke-5).AlihBahasa:
Skogrand, L., Johnson, A.C., Horrocks, A.M. & DeFrain, J. (2010). Financial management practices of couples with great marriages. Journal Family Economy Issue, 32,27-35. DOI: 10.1007/s10834-101-9195-2. Diakses tanggal 17 Desember 2014 Sugiharto,G. (2005). Infertilitas. http: //www.mailarcieve.com/
[email protected]/msg00013.html Taher, A. (2007). Pria sebagai penyebab sulit punya http://www.kompas.com/kompascetak/ 0208/04/keluarga/pres21.html. tanggal 20 Desember 2013
anak. Diakses
Ummi Edisi 5/XV/2003. Sabar Menanti Si Buah Hati Wahyuningsih, H. (2002). Perkawinan: arti penting pola dan tipe penyesuaian antar pasangan. PSIKOLOGIKA : No. 14 Vol. VII, 14-24. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Wismanto, Y. B. 2004. Kepuasan perkawinan ditinjau dari komitmen perkawinan, penyesuaian diadik, kesediaan berkorban, kesetaraan pertukaran dan persepsi terhadap perilaku pasangan. Disertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM