KEPUASAN PERNIKAHAN SUAMI YANG MEMILIKI ISTRI BERKARIR Faradila Paputungan (Email:
[email protected]) Lusy Asa Akhrani Ari Pratiwi Universitas Brawijaya Malang
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tentang kepuasan pernikahan seorang suami dengan istri yang bekerja secara fulltime di luar rumah. Subyek merupakan suami dengan istri yang bekerja secara fulltime atau bekerja lebih dari 35 jam perminggu dengan usia pernikahan 5-9 tahun. Sebanyak empat subyek terlibat dalam penelitian ini, berusia antara 30-36 tahun dan subyek yang juga bekerja. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, dan teknik analisa coding. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi non partisipan. Faktor-faktor kepuasan pernikahan yang diungkap dalam penelitian ini adalah: komunikasi, komitmen, keintiman, kongruensi, dan keyakinan beragama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan subyek merasa kurang puas dengan keintiman fisik pernikahannya, akan tetapi suami yang memiliki istri sebagai wanita karir, akan merasa puas dengan pernikahannya jika mampu menciptakan keterbukaan komunikasi dengan pasangan, dengan adanya komunikasi yang terbuka dan konstruktif, dapat menciptakan kepuasan pada faktor kongruensi, komitmen, dan keyakinan beragama dalam pernikahan.
Kata kunci: kepuasan pernikahan, suami, wanita yang berkarir
Material Satisfaction Of Husband At His Wife With A Career ABSTRACT This study aimed to reveal about marriage satisfaction of a husband with his wife as a worker fulltime outside the house. The people involved in this research are a husband who has a wife with worked fulltime or worked more than 35 hours a week with ages married 5-9 years. Participants were four husbands, ages of 30-36 years old, and husband that also worked outside the house. This research is qualitative research with approach of phenomenology and coding analysis. Data were collected by using indepth interview and non participant observation. The dimensions of marital satisfaction that were identified in this study were: communication, commitment, intimacy, congruence, and religious orientation. Result showed that overall the subjects felt less satisfied with the physical intimacy of his marriage, but a husband who has a wife with a career, will be satisfied with her wedding if able to create 1
openness communication with couples, with open and constructive communication, can be satisfaction upon the congruence, commitment, and religious in marriage.
Keywords: material satisfaction, hubands, women with a career
Latar Belakang Dahulu seorang wanita selalu diidentikkan dengan melahirkan, membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak, mengurus anak, dan mengurus pekerjaan rumah lainnya. Wanita dadulu tidak dibolehkan bekerja diluar rumah, namun seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan adanya kesetaraan gender, saat ini wanita tidak jarang dijumpai dalam berbagai instansi. Wanita masa kini sudah mampu menembus berbagai kedudukan terhormat, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bernegosiasi dan berkompetisi dengan para pria, memimpin sebuah perusahaan, bahkan memimpin suatu Negara. Perkembangan zaman yang kian hari tidak menentu, menuntut sebuah rumah tangga agar lebih cerdas dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab seorang wanita memutuskan bekerja diluar rumah. Adapun jumlah wanita yang bekerja di Indonesia sesuai dengan Sensus Penduduk pada tahun 2010 yaitu sebanyak 39,5 juta jiwa (Badan Pusat Statistik). Seorang ibu rumah tangga, tidak akan mengalami masalah dilema antara pekerjaan rumah dan kantor karena mereka hanya fokus dengan urusan rumah tangganya, namun lain halnya dengan seorang wanita karir yang dituntut harus fokus pada dua hal sekaligus, hal ini tentu tidak mudah dilakukan sepenuhnya oleh wanita karir tersebut. “Anakku juga akhir-akhir ini mulai melarang aku pergi kerja. Umurnya 2 tahun 4 bulan. Kalau dilihatnya aku sudah rapi, langsung minta digendong sambil mengajak; “Bunda yok tidur yok, aku mau tidur sama bunda…”. Dia ajak aku ke kamar. Biasanya anakku mau dikasi pengertian. Sekarang sudah tidak mau. Mintanya digendong sama aku tidak mau sama yang lain. Si Uwak pun tidak laku. Kalau ditinggal, mengangis-nangis sampai aku tidak tega. Biasanya aku gendong-lah agak lama, setelah itu Uwak dan Adikku 2
mencari siasat untuk mengajak anakku main. Kadang-kadang main diajak main ke kolam plastik, main computer, atau di bawa adikku naik mobil keliling kompleks. Setelah itu anakku berenti menangis dan lupa kalau tadi dia memintaku untuk tidak pergi bekerja, kalau aku antara sedih dan maklum. Ya maklum sebab sudah waktunya anakku bersikap seperti itu, senang juga karena meskipun sehari-hari ditinggal kerja tapi ternyata tidak melupakan aku dan masih lengket sama aku, sedih sebab lihat tangisannya (Ingranurindani, 2008). Penggalan artikel di atas memberikan gambaran tentang salah satu hal negatif yang dialami seorang istri yang berkarir. Selain itu Hall dan Moss (Kusumowardhani, 2012) menyebutkan bahwa semakin banyaknya istri yang berkarir sering dianggap sebagai “biang keladi” atau penyebab utama meningkatnya angka perceraian secara drastis akhir-akhir ini. Pada sisi lain, Greenhaus dan Powell (Kusumowardhani, 2012) menyatakan bahwa meningkatnya jumlah istri yang bekerja dapat meningkatkan keadilan dalam hubungan keluarga. Setiap individu yang memutuskan menikah, tentu menginginkan pernikahan yang bahagia, begitupun dengan para suami. Tidak jarang dijumpai para suami yang setuju dengan istri bekerja diluar rumah dengan alasan dapat menambah sumber financial keluarga, namun tidak sedikit pula suami yang tidak setuju dengan istri bekerja di luar rumah karena berbagai alasan, misalnnya dengan istri bekerja di luar rumah, segala pekerjaan rumah menjadi terabaikan atau pengasuhan istri terhadap anak menjadi tidak maksimal, hal inilah yang menjadi pertimbangan segelintir suami untuk tidak menginginkan istri bekerja diluar rumah. Kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor terpenting untuk mencapai keluarga yang bahagia. Menurut Gullota, Adams dan Alexander (Aqmalia, 2009) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan seseorang terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Sedangkan Lange (Aqmalia, 2009) mengatakan bahwa kesediaan berkorban berhubungan dengan fungsi pasangan yang oleh
3
sebagian orang disebut sebagai penyesuaian diadik, karena semakin baik fungsi pasangan otomatis semakin baik pula penyesuaian diadiknya. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kepuasan pernikahan suami terhadap istri yang berkarir. Selain meneliti kepuasan pernikahan subyek, peneliti juga ingin memahami lebih jauh mengenai dampak positif dan dampak negatif yang muncul pada keluarga subyek berkaitan dengan istrinya sebagai wanita karir. Landasan Teori A. Pernikahan 1.
Definisi Pernikahan Pernikahan menurut Stephens (Syakbani, 2008) adalah persatuan secara seksual yang
diakui secara sosial, diawali dengan sebuah perayaan atau pemberitahuan kepada khayalak umum serta adanya perjanjian eksplisit dan bersifat permanen. Selain itu pernikahan memberi pengesahan secara sosial tentang hak asuh anak.
Wingjodipoero
(Evalina, 2007)
mendefinisikan pernikahan sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab pernikahan tidak hanya menyangkut mempelai wanita dan pria saja, tetapi juga menyangkut keluarga kedua mempelai. Adapun pengertian pernikahan menurut Dariyo (2004) merupakan ikatan kudus (suci atau sakral) antara pasangan dari seorang lak-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan yang dilegitimasi antar pasangan yang diakui secara agama, Negara, maupun sosial, yang ditandai dengan suatu perjanjian eksplisit. 2. Alasan Pernikahan Turner dan Helms (Dariyo, 2004) mengklasifikasikan alasan pernikahan menjadi lima jenis motif, yaitu cinta (love),kecocokan (conformity),legitimasi untuk memenuhi kebutuhan seksual,memperoleh legitimasi status anak, dan merasa siap secara mental
4
untuk menikah. Berikut ini uraian kelima motif sebuah pernikahan menurut Turner dan Helms (Dariyo, 2004). a. Motif cinta Cinta dan komitmen sering kali dijadikan dasar utama bagi pasangan untuk memasuki jenjang pernikahan. untuk mempertahankan komitmen, tidak ada cara lain selain menikah. Apalagi bila hubungan asmara tersebut telah terjalin bertahun-tahun sehingga pernikahan merupakan cara terbaik agar hubungan cinta tersebut tidak memudar. b. Motif kecocokan Cinta dapat tumbuh karena adanya kecocokan atau kesamaan diantara pasangan. Banyak pasangan yang berani melakukan sebuah pernikahan karena adanya kecocokan minat antara keduanya. Misalnya, memiliki hobi, pekerjaan atau karir, suku atau agama yang sama. Dengan kesamaan tersebut, mereka akan dengan mudah menyesuaikan diri dalam kehidupan berkeluarga. c. Motif untuk memperoleh legitimasi (pengakuan sah secara hukum) terhadap pemenuhan kebutuhan biologis. Dengan diraihnya status pernikahan yang sah, baik dari segi agama maupun hukum Negara, individu memperoleh pengesahan dalam hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Mereka tidak dianggap melanggar hukum dan norma-norma sosial jika melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Justru hukum sosial telah melindungi dari perbuatan asusila. Kebalikannya dengan mereka yang melakukan hubungan seksual tapi belum menikah, perbuatan tersebut dianggap tidak etis dan asusila. Karena perbuatan seksual yang dilakukan pasangan yang belum menikah adalah hal yang melanggar hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, pernikahan merupakan cara terbaik bagi individu yang ingin menyalurkan kebutuhan seksual dengan pasangan hidupnya tanpa melanggar norma-norma.
5
d. Untuk memperoleh legitimasi status anak Anak-anak yang lahir dari pasangan yang memiliki ikatan resmi sesuai hukum, tentunya akan memperoleh pengakuan yang sah oleh ajaran agama ataupun hukum Negara. mereka berhak mendapatkan pemeliharaan dan tanggung jawab yang layak dari orang tuanya, sampai mereka dewasa dan mandiri. Hal ini berbeda dengan anak-anak yang terlahir diluar pernikahan mereka memperoleh penilaian yang negatif oleh masyarakat, misalnya dianggap sebagai anak haram (illegal children). e. Merasa siap secara mental Kesiapan mental untuk menikah mengandung pengertian sebagai kondisi psikologis dan emosional untuk siap menanggung setiap resiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan misalnya masalah ekonomi, masalah pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Kesiapan mental seseorang erat kaitannya dengan usia, pendidikan, dan karir. Umumnya mereka yang siap mental untuk menikah, memiliki karakteristik seperti, usia 20 tahun keatas untuk wanita dan 25 tahun keatas untuk pria, telah menyelesaikan pendidikan tertentu misalnya SLTA, Akademi atau Universitas, memiliki status pekerjaan yang jelas atau mapan. Dengan terpenuhnya kriteria-kriteria tersebut, memungkinkan seseorang untuk merasa siap menikah. Sebaliknya, tidak terpenuhinya kriteria tersebut maka akan memungkinkan seseorang merasa kurang siap untuk menikah. 3. Kepuasan Pernikahan Menurut Gullota, Adams dan Alexander (Aqmalia, 2009) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Adapun kepuasan pernikahan menurut Pinson dan Lebow (Rini dan Retnaningsih, 2008) merupakan suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu
6
sikap dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam pernikahan. Hal tersebut sejalan dengan pengertian Chapel dan Leigh (Sumpani, 2008) yang menyebut kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Arti kepuasan pernikahan menurut Clayton (Ardhianita dan Andayani, 2004) merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi pernikahan. Evaluasi tersebut bersifat dari dalam diri seseorang (subyektif) dan memiliki tingkatan lebih khusus dibanding perasaan kebahagiaan pernikahan. Berdasarkan pengertian para tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi subyektif seseorang terhadap kualitas pernikahannya yang berhubungan erat dengan perasaan bahagia terhadap pernikahaannya. Aspek-aspek yang digunakan dalam menentukan gambaran kepuasan pernikahan subyek, mengacu pada teori Robinson dan Blanton
(2003) yang mengemukakan
beberapa faktor terpenting dalam sebuah pernikahan yang memuaskan, antara lain: a. Keintiman Keintiman antara pasangan di dalam pernikahan mencakup aspek fisik, emosional, dan spiritual. Hal-hal yang terkandung dalam keintiman adalah saling berbagi baik dalam minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, nilai serta suka dan duka. Keintiman akan tercipta melalui keterlibatan pasangan satu sama lain baik dalam situasi yang menyenangkan maupun menyedihkan. Selain itu, keintiman dapat ditingkatkan melalui kebersamaan, saling ketergantungan atau interindependensi, dukungan dan perhatian. Meskipun pasangan memiliki keintiman yang sangat tinggi, bukan berarti pasangan selalu melakukan berbagai hal bersama. Suami atau istri juga berhak melakukan aktivitas dan minat yang berbeda dengan pasangannya.
7
b. Komitmen Salah satu karakteristik pernikahan yang memuskan adalah komitmen yang tidak hanya ditujukan terhadap pernikahan sebagai sebuah intuisi, tetapi juga terhadap pasangannya. Beberapa pasangan berkomitmen terhadap perkembangan hubungan pernikahannya, antara lain kematangan hubungan, penyesuaian diri dengan pasangan, perkembangan pasangan, serta terhadap pengalaman dan situasi baru yang dialami pasangan. c. Komunikasi Kemampuan berkomunikasi yang baik mencakup berbagi pikiran dan perasaan, mendiskusikan masalah bersama-sama, dan mendengarkan sudut pandang satu sama lain. Pasangan yang mampu berkomunikasi secara konstruktif, mereka dapat mengantisipasi kemungkinan terjadi konflik dan dapat menyesuaikan kesulitan yang dialaminya. d. Kongruensi Untuk dapat mencapat pernikahan yang memuaskan, pasangan harus memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam mempersepsi kekuatan dan kelemahan dari hubungan pernikahannya. Pasangan yang mempersepsikan hubungan pernikahannya kuat, cenderung merasa lebih nyaman dengan pernikahannya. e. Keyakinan Beragama Sebagian besar pasangan meyakini bahwa keyakinan beragama merupakan komponen penting dalam pernikahan. pasangan yang dapat berbagi dalam nilai-nilai agama yang dianutnya dan beribadah secara bersama-sama dapat menciptakan ikatan kuat dan nyaman diantara mereka serta berpengaruh positif bagi kepuasan pernikahan pasangan memperoleh dukungan sosial, emosional, dan spiritual melalui agama yang dianutnya
8
B. Peran Gender Dalam Keluarga Crosby, Jasker, Hood, Thompson (Santrock, 2002) mengatakan bahwa terdapat perbedaan peran gender dalam rumah tangga. Wanita yang dalam hal ini seorang istri biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak dari pada suami. Adapun peran gender utama antara suami istri dalam rumah tangga adalah sebagai berikut (Puadi, 2008):
Tabel 1. Peran Suami Istri Dalam Rumah Tangga No.
Peran Suami
Peran Istri
a.
Sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga
b.
Pencarian nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah tangga dengan kehidupan sosial.
Seorang istri harus mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari baik kebutuhan suami maupun anak-anaknya. Taat dan patuh kepada suami dalam hal kebaikan berumah tangga.
c.
Bertanggung jawab atas anak dan Sebagai istrinya keluarga
pengatur
keuangan
C.Wanita Karir 1.
Pengertian Wanita Karir Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdiknas 2008) wanita adalah seorang
perempuan, namun perkataannya lebih halus dari perempuan atau kaum putri. Dalam penelitian ini menggunakan kata wanita karir bukan perempuan karir karena terkait dengan istilah umum yang berlaku dan mengikuti perkembangan Bahasa Indonesia saat ini, bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, yaitu suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi dari pada arti dahulu.
9
Karir dalam arti umum ialah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Apakah ia menerima gaji atau penghargaan lain, guna dinikmati oleh dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat asalkan pekerjaan tersebut mendatangkan kemajuan. Seorang wanita karir berarti memiliki pekerjaan khusus di luar rumah dalam rangka mengaktualisasikan diri dan menekuni suatu bidang tertentu (Etiwati, 2009). Menurut Lovihan dan Kaunang (2010) wanita karir adalah mereka yang bekerja, tetapi ia juga mengejar dan mempertahankan suatu posisi atau status sosial (aktualisasi diri), serta untuk mencukupi kebutuhannya, atau tenaganya di butuhkan dalam satu bidang. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa wanita karir adalah wanita yang mengaktualisasikan dirinya diluar perannya sebagai ibu rumah tangga dalam bidang tertentu. 2. Dampak Wanita Dalam Berkarir a. Dampak Positif Menjadi Wanita Karir Dalam setiap pilihan tentunya mengalami keuntungan dan kerugian, bigitupun dengan pilihan menjadi seorang seorang wanita karier. Berikut adalah keuntungan menjadi seorang wanita karir. 1) Bertambahnya sumber financial. 2) Meluasnya network jaringan hubungan. 3) Tersedianya kesempatan untuk menyalurkan bakat dan hobi. 4) Terbukanya kesempatan untuk mewujudkan citra diri yang positif. 5) Secara status sosial lebih dipandang. Dampak positif lain yang dialami seorang wanita karir yaitu ketika istri ikut bekerja mencari nafkah, beban suami akan sedikit berkurang (Junaidi, 2009). b. Dampak Negatif Menjadi Wanita Karir
10
Adapun kerugian-kerugian yang harus dihadapi seorang wanita karir berupa menerima cibiran atau pandangan ’sinis’ dari pihak lain bahwa dirinya melalaikan keluarga, suami dan anaknya (Etiwati, 2009). Kemampuan seorang istri sebagai manusia terbatas, maka akan membawa dampak negatif yang tidak bisa dihindarkan. Berikut adalah beberapa dampak yang ditimbulkan (Junaidi, 2009): 1) Dampak terhadap wanita karir Pekerjaan yang terus menerus dan bersifat resmi, akan menimbulkan kesulitan bagi istri. Umumnya adalah letih atau lelah akibat terlalu banyak kerja, perasaan terluka akibat benturan yang dialaminya di tempat kerja, jauh dari rumah yang merupakan tempat dirinya berprofesi sebagai wanita sejati, semakin berkurangnya sifat atau hubungan keibuan dengan sang anak, serta berpisah dengan anaknya yang merupakan belahan jiwanya. 2) Dampak terhadap rumah tangga Sebuah rumah yang tidak terdapat sosok ibu, bukanlah sebuah rumah. Didalamnya, malapetaka dan kehancuran akan senantiasa mengintai. Kebahagiaan dan kehangatan suasana dalam rumah tangga amat bergantung pada seorang ibu. Seorang ibu yang sibuk bekerja di luar rumah akan menjadi orang yang gampang tersinggung karena tubuh kecapean dan menyebabkan rumah tidak yang paling mengkhawatirkan
adalah
memiliki daya tarik, dan
terabaikannya urusan
dalam
rumah tangga,
terutama terhadap anak. 3) Dampak terhadap anak Bagi sang anak, ketiadaan seorang ibu disampingnya karena sibuk bekerja akan memicu terjadinya pendangkalan rasa cinta, kasih-sayang, dan belaian ibunya. Selain itu, ketiadaan sang ibu di rumah atau disamping anak bisa menyebabkan anak manja dan suka menuntut.
Hal
seperti
itu disebabkan
anak dititipkan
pada
orang lain,
11
keluarga atau pembantu, sebagai pengganti
dibelikan
berbagai
ibu yang tidak ada
mainan,
makanan,
dan
pakaian
disisinya. Ada juga dampak lain
yang
berbahaya bila seorang ibu tidak bisa mendamping anak, yaitu dapat menjadikan sang anak berperilaku buruk, suka membantah, menentang, dan gampang marah. C. Kepuasan Pernikahan Suami Pada Istri Yang Berkarir Dalam rumah tangga terdapat relasi-relasi formal semacam pembagian kerja, dimana suami bertindak sebagai pencari nafkah, dan istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga (Sholehudin, 2011) akan tetapi, ketika istri bekerja diluar rumah (wanita karir) dan memiliki tanggung jawab lain diluar rumah tangganya, tentu akan mempengaruhi relasi didalam keluarga yang berakibat pada kepuasan pernikahan suami. Kepuasan pernikahan menurut Pinson dan Lebow (Rini dan Retnaningsih, 2008) merupakan suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu sikap dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam pernikahan. Banyaknya peran istri didalam rumah tangga serta tambahan tanggung jawab dikantor, tidak hanya berdampak pada wanita karir tersebut, tetapi juga pada rumah tangga, suami dan anakanaknya. Namun, istri yang bekerja diluar rumah (wanita karir) juga dapat menambah sumber financial keluarga yang secara otomatis mengurangi beban suami untuk mencari nafkah (Junaidi, 2009). Dengan adanya dua peran tersebut, tidak jarang ditemui istri yang berkarir namun berhasil menyeimbangi kedua peran tersebut, sehingga suamipun mampu merasakan kepuasan pernikahan dalam rumah tangganya.
12
Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi dipilih dalam penelitian ini bertujuan memahami subyek dalam dunia pengalamannya. Subyek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak empat sorang subyek dengan kriteria sebagai berikut: a. Suami memiliki istri sebagai wanita karir dengan istri bekerja penuh waktu atau full time (Employed). Hal ini sesuai dengan fokus penelitian yang meneliti tentang kepuasan pernikahan suami dengan istri sebagai wanita karir. Adapun dengan kriteria istri yang bekerja full time diasumsikan bahwa memiliki jam kerja yang cukup padat yaitu diatas 35 jam perminggu. b. Usia pernikahan 5 sampai 9 tahun. Salah satu kriteria subyek dalam penelitian ini yaitu usia pernikahan 5-9 tahun. Hal ini bertujuan agar subjek dan pasangannya telah menyesuaikan diri dalam suatu pernikahan, serta subyek sudah mampu merasakan pengalaman dalam berkeluarga. Hal ini didukung oleh pernyataan Hurlock (Ardhianita dan Andayani, 2004) yang menyatakan bahwa pada umumnya pasangan yang menikah akan menyesesuaikan diri dengan baik dalam pernikahannya setelah 3 sampai 4 tahun pernikahan. pernyataan tersebut didukung oleh Clinebell dan Clinebell (Anjani dan Suryanto, 2006) yang mengatakan bahwa periode awal pernikahan merupakan masa penyesuaian diri dan puncak terjadinya krisis dalam suatu pernikahan, Biasanya tahap berlangsung selama 2 sampai 5 tahun. Berdasarkan pernyataan inilah, peneliti menentukan usia pernikahan minimal 5 tahun sebagai usia yang efektif untuk mengukur kepuasan pernikahan. Adapun batas usia maksimal 9 tahun pernikahan ditentukan agar pernikahan subyek belum terlalu lama sehingga masih bisa merasakan adanya kepuasan pernikahan dalam
13
keluarganya. Batas maksimal usia pernikahan sembilan tahun juga ditentukan agar rentang usia dengan batas minimal tidak terlampau jauh. c. Subyek yang bekerja Kriteria ini bertujuan agar adanya kesetaraan subyek sehingga data yang diperoleh lebih efektif dan mampu meningkatkan kredibilitas data. d.
Subyek yang berpendidikan minimal SMU atau sederajat. Hal ini untuk mengantisipasi kesalahan persepsi atau ketidakpahaman subyek terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti ketika proses pengumpulan data dilapangan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber data primer dan sekunder. Adapun data diperoleh melalui observasi non partisipan dan wawancara mendalam. Setelah data dalam penelitian ini didapatkan maka selanjutnya harus dilakukan sebuah proses analisis data terlebih dahulu agar dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Data yang telah diperoleh diubah ke dalam bentuk skrip berdasarkan tematema tertentu dan kategori-kategori tertentu akan diberi kode tertentu. Proses pemberian kode berdasarkan kategori atau tema tertentu disebut dengan pengkodean (coding) (Herdiansyah, 2010). Hasil Keterangan Pekerjaan subyek
SUbyek 1 Guru SMA
Pekerjaan istri Pegawai bank
Usia pernikahan Jam kerja subyek
Jam kerja istri Jumlah anak
5 tahun 42 perminggu
50 perminggu 1anak
Subyek 2 Subyek 3 Guru ngaji di Dosen TK dan Penjual bakso Kepala Sekolah Perawat PAUD 8 tahun
jam 12 jam perminggu (untuk mengajar mengaji) jam 48 jam perminggu 3 anak
6 tahun
Subyek 4 Staff keuangan pada Universitas Staff produksi pada perusahaan swasta 6 tahun
± 35 perminggu
jam 40 perminggu
jam
48 perminggu 1 anak
jam 48 perminggu 1 anak
jam
14
Usia anak
Latar belakang pernikahan Kondisi keluarga
1 tahun
7 tahun 5 tahun 1.5 tahun Proses pacaran Tidak melalui selama 4 tahun proses pacaran (ta’aruf 2 bulan) Pendapatan istri Pendapatan istri lebih besar lebih besar
3 tahun
5 tahun
Tidak melalui proses pacaran (ta’aruf 3 bulan) Pendapatan subyek lebih besar
Proses pacaran selama 3 tahun Pendapatan subyek lebih besar
Berdasarkan data yang diperoleh, keseluruhan subyek merasa kurang puas pada faktor keintiman khususnya keintiman secara fisik dengan pasangan, hal ini karena pasangan bekerja secara fulltime diluar rumah dengan jam kerja rata-rata diatas 40 jam perminggu, namun subyek yang mampu menjaga keintiman secara emosional seperti menjaga kemesraan bersama pasangan, mampu mendukung kepuasan pernikahan mereka. Begitupun dengan subyek yang dapat memanfaatkan waktu bersama pasangan dengan hal-hal yang menyenangkan, mampu menciptakan kebahagiaan dalam pernikahannya. Adapun dalam hal komunikasi, subyek yang memiliki komunikasi yang bebas dan terbuka, baik dalam berbagi pikiran, perasaan, ataupun sudut pandang dengan pasangan, dapat merasakan kepuasan dalam pernikahannya, sebaliknya subyek yang tidak mampu berkomunikasi secara terbuka dengan pasangan, dapat menciptakan ketidakpuasan dalam pernikahannya. Kepuasan pada faktor komunikasi dengan pasangan, mampu bersinergi dengan kepuasan pada faktor kongruensi pernikahan. Robinson dan Blanton (2003) mengatakan bahwa kongruensi merupakan kesamaan persepsi antar pasangan tentang kelemahan dan kekuatan dalam rumah tangganya, semakin tinggi kongruensi, maka semakin tinggi kepuasan pernikahannya. Hal ini juga yang ditemukan dalam penelitian ini, dimana subyek yang memiliki persamaan persepsi dengan pasangan tentang kekuatan dan kelemahan pernikahan mereka, merasakan kepuasan lebih tinggi dalam dari pada subyek yang memiliki perbedaan persepsi dengan pasangan tentang kekuatan dan kelemahan pernikahannya. Mengenai komitmen pernikahan yang bertujuan untuk perkembangan atau kebaikan rumah 15
tangga, dirasa lebih memuaskan oleh subyek yang merasa nyaman dengan komitmen dalam rumah tangganya misalnya tentang komitmen keuangan dan komitmen pengasuhan anak. Subyek yang tidak nyaman dengan kondisi keuangan rumah tangganya, akan memicu ketidakpuasan dalam pernikahannya, begitupun dengan kepengurusan anak, subyek yang merasa, kepengurusan anak dalam rumah tangganya tidak sesuai dengan keinginannya, akan memicu ketidakpuasan dalam pernikahnnya. Adapun dengan faktor keyakinan beragama, keselurahan subyek memandang bahwa keagamaan dalam keluarga merupakan hal yang penting dalam kebahagiaan berumah tangga. Keseluruhan subyek merasa bahwa sebagai keluarga, nilai-nilai dalam keagamaan perlu diciptakan untuk kebaikan berumah tangga.
Diskusi Berdasarkan data yang diperoleh, ditemukan bahwa kehadiran anak dalam suatu pernikahan, mampu menciptakan kebahagiaan dalam berumah tangga. Selain itu, fakta yang ditemukan dilapangan menunjukkan bahwa keluarga dengan pendapatan istri yang lebih tinggi dari pendapatan suami, akan menimbulkan ketidaknyamanan oleh suami berupa rasa malu dan “minder” baik kepada istri dan keluarga istri, karena pendapatannya lebih besar, istripun lebih berperan paling penting dalam keluarga. Karena ketidaknyaman suami, maka dapat menimbulkan kekakuan komunikasi suami dengan istri. Oleh karenanya, disarankan pada keluarga dengan pendapatan istri lebih besar, agar tetap menciptakan komunikasi yang baik dan terbuka baik istri maupun suami, disarankan juga untuk istri yang berpendapatan lebih tinggi dari suami agar tidak berkuasa dalam rumah tangga dalam artian tidak mengambil alih semua keputusan dalam urusan rumah namun menyerahkan kepada suami apa yang seharusnya menjadi hak suami, sehingga kenyamanan suami dalam berumah tangga tetap terjaga.
16
Dalam penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa, pasangan yang menjalin relasi jarak jauh bukan berarti tidak mampu menciptakan kepuasan dalam pernikahannya, selama pasangan yang menjalin relasi jarak jauh tersebut mampu menjaga komunikasi dan keintiman mereka. Komunikasi memang menjadi faktor mendasar dalam menciptakan kepuasan pernikahan, selain itu dengan komunikasi terbuka antar pasangan dapat meminimalisir terjadinya konflik dalam rumah tangga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan bahan evaluasi bagi keluarga dengan istri pekerja fulltime agar dapat menciptakan kepuasan pernikahan baik dari suami, istri, maupun anggota keluarga yang lain. Penelitian tentang gambaran kepuasan pernikahan suami pada istri yang berkarir ini merupakan penelitian yang belum sempurna sehingga perlu adanya peninjauan kembali bagi penelitian selanjutnya. Berikut adalah kelemahan dari penelitian ini, diantaranya: 1. Kurangnya observasi secara mendetail tentang kehidupan sehari-hari subyek dan keluarganya. 2. Penggunaan teori faktor kepuasan pernikahan oleh Robinson dan Blanton (2003) tidak cukup untuk menggali faktor-faktor penting dalam menciptakan adanya kepuasan pernikahan seperti kehadiran anak dan faktor ekonomi. 3. Dalam penelitian ini, peneliti kurang mendapatkan data melalui dokumentasi yang bertujuan untuk menjawab rumusan masalah sehingga peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya yang ingin meneliti dengan tema yang sama, dapat menggunakan skala kepuasan pernikahan sebagai tambahan data dokumentasi.
17
Daftar Pustaka
Aqmalia, Rera. 2009. Kepuasan Pernikahan Pada Pekerja Seks Komersial (Psk). Jurnal Universitas Gunadarma. http://www.gunadarma.ac.id/library/jurnal/graduate/psychology/2009/Artikel_10503 148.pdf. Diunduh Tanggal 12 April 2012. Ardhianita, Iis dan Andayani, Budi. 2004. Kepuasan Penikahan di Tinjau Dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jurnal Universitas Gadjah Mada/ Volume 32, No.2, 101-111. Badan Pusat Statistik 2010. Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Utara. www.bps.go.id. File. Diunduh Tanggal 24 mei 2012. Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Etiwati. 2009. Karier, Rumah Tangga, Atau Karier dan Rumah Tangga? (Edisi Maret 2009). Jakarta: Tabloid Penabur Jakarta. Evalina. 2007. Perkawinan Pria Batak Toba dan Wanita Jawa di Kota Surakarta Serta Akibat Hukumnya Dalam Pewarisan. Skripsi. Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/29489/3/FullChapter%20ii.Pdf. Diunduh 12 Februari 2012. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Ingranurindani, Bella .2008. Hubungan Antara Strategi Regulasi emosi secara kognitif dengan Hardiness pada ibu bekerja. Jurnal fakultas psikologi universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124964-152.4%20ING%20h%20%20Hubungan%20Antara%20-%20.pdf. Dinunduh Tanggal 13 februari 2012. Junaidi,
2009.Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah Dalam Keluarga Karir (Studi Pada Dosen Wanita Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang ).Tesis. Fakultas Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang ).
Kusumowardhani, Retno. 2012. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri Bekerja. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Volume 6, No.1, 1-15. Lovihan, Mike .A.K. dan Kaunang, O.W. 2010. Perbedaan Perilaku Asertif Pada Wanita Karir Yang Sudah Menikah Dengan Yang Belum Menikah di Minahasa. Jurnal. isjd.pdii.lipi.go.id. Diunduh Tanggal 1 April 2012. Puadi
,Asral. 2008. Peranan Suami Dalam Membina Keluarga Skripsi.Http://Idb4.Wikispaces.Com. Diunduh Tanggal 6 september 2012.
Sakinah.
18
Rini, K. Q dan Retnaningsih. 2008. Kontribusi Self Disclosure Pada Kepuasan Perkawinan Pria Dewasa Awal. Jurnal. Http://Isjd.Pdii.Lipi.Go.Id/Admin/Jurnal/21207156163.Pdf. Diunduh Tanggal 17 Maret 2012. Robinson, L.C dan Blanton, P. W. 2003. Material Strengths In Enduring Marriages. Journal of Family Relations, Volume 42, 38-4. Santock, W. Jhon. 2002. Life Span Development (Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Santock, W. Jhon. 2002. Life Span Development (Jilid II). Jakarta: Erlangga. Sumpani, Dewi. 2008. Kepuasan Pernikahan Ditinjau Dari Kematangan Pribadi dan Kualitas Komunikasi. Skripsi. Etd.Eprints.Ums.Ac.Id/Skripsi/851/1/F100010200.Pdf. Diunduh Tanggal 12 April 2012. Sholehudin. 2011. Peran Wanita Dalam Masyarakat Pedesaan (Studi Partisipasi Isteri Dalam Memenuhi Kebutuhan Dasar Rumah Tangga Petani Di Desa Pohsangit Leres Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo). Skripsi. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Syakbani, Dini. 2008. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri Yang mengalami infertilitas. Skripsi. www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125249-306...pdf. Diunduh 1 juni 2012.
19