BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KECEMASAN 2.1.1
Definisi Kecemasan Kecemasan merupakan gangguan psikiatrik yang paling banyak terjadi.
Menurut Fortinash & Worret (2003), gejala kecemasan sering diidentifikasi sebagai bagian lain dari gangguan jiwa. Kecemasan sangat umum terjadi pada manusia, semua pernah mengalami kecemasan, dan terkadang mereka menghabiskan banyak waktu, usaha, dan uang untuk mencoba menghindari atau mengurangi kecemasan yang dialami. Definisi kecemasan menurut Stuart (2012), kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan ketidakberdayaan. keadaan emosi yang dialami tidak memiliki objek secara spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal dan berada dalam suatu rentang. Tingkat kecemasan yang dialami tergantung reaksi dari diri mereka sendiri dan lama paparan terhadap situasi atau objek yang memilki kapasitas untuk menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
seseorang menjadi stres (Davies & Armstrong, 2002). Thomas (2004) mengungkapkan, kecemasan menjadi gangguan ketika konsistensi dan intensitasnya mampu melemahkan dan mengganggu kehidupan dari seseorang. Kecemasan merupakan gangguan psikiatrik yang paling umum dan sering terjadi, kecemasan dapat menimbulkan rasa khawatir yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan menyebabkan rasa tidak berdaya. Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun kecemasan tidak boleh dibiarkan karena lama kelamaan dapat menyebabkan gangguan dan dapat melemahkan dan mengganggu kehidupan dari individu yang mengalami kecemasan. 2.1.2
Penyebab Kecemasan
a) Faktor Predisposisi Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan (Stuart, 2012). 1) Dalam pandangan psikoanalisis, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian; id dan super ego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau A
ku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang
bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya. 2) Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpesonal. kecemasan juga
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah sangat rentan mengalami kecemasan yang berat. 3) Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang kecemasan sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan; konflik menimbulkan cemas, dan cemas menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan. 4) Kajian keluarga, menunjukan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. 5) Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus yakni benzodiazepin, obat-obatan meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA),
yang berperan penting dalam
mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai perdisposisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stresor.
Universitas Sumatera Utara
b) Faktor Presipitasi Menurut Stuart (2012), faktor presipitasi dapat berasal dari sumber internal atau eksternal. Faktor presipitasi dapat dikelompokan dalam dua kategori yaitu; 1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas pisiologi yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. 2) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.
2.1.3
Proses Terjadinya Kecemasan Menurut Stuart (2012), kecemasan dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya, kecamasan merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kecemasan diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang berat dapat tidak sejalan dengan kehidupan dan dapat menyebabkan kelemahan dan kematian. Kecemasan pada individu dapat menberikan motivasi untuk mencapai suatu tujuan dan merupakan sumber penting dalam usaha untuk memelihara keseimbangan hidup. Hampir sama dengan pernyataan diatas, menurut Healy (2005), respon fight or flight adalah peringatan atau alarm sebagai mekanisme pertahanan, maksudnya tubuh akan menghadapi tekanan tersebut atau akan melarikan diri.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya ketika suatu masalah atau akan menghadapi ujian tubuh akan mengalami reaksi alamiah yang ditandai oleh keluarnya keringat dingin, rasa takut atau rasa gelisah. Pada beberapa orang, kondisi ini malah akan mempertajam pikiran sehingga dapat mecari jalan keluar secara cepat, ini merupakan mekanisme fight. Sedangkan mekanisme flight adalah suatu perasaan depresi ketika individu tidak mampu lagi menghadapi masalah yang datang dan memilih untuk menghindari atau melarikan diri dari masalah. Mekanisme fight or flight ini banyak memakan energi, yang diikuti terjadinya kelelahan. Saat kelelahan dan kehabisan energi individu tidak mampu lagi melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga tidak heran bila individu yang sedang mengalami kecemasan dan stres akan mendapati gejala nyeri otot dan sendi, sakit kepala, depresi, cemas dan mudah tersinggung. 2.1.4
Respon Kecemasan Orang sering mengatakan stres ketika mereka merasa cemas, banyak juga
yang mengatakan stres ketika mengalami pertukaran antara kejadian atau situasi yang menyebabkan ketidaknyamanan tersebut, baik dari perasaan yang dihasilkan, pikiran, dan tingkah laku yang timbul. Secara ilmiah sebenarnya stressor dan reaksinya adalah respon yang berbeda. Perbedaan ini penting karena stressor tidak dapat disamakan dengan gangguan kecemasan (Fortinash & worret, 2003). Semua respon terhadap kecemasan dapat dipertimbangkan sebagai respon adaptif dalam interpretasi yang luas karena semua respon tersebut menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan yang menyebabkan kecemasan, respon tersebut
Universitas Sumatera Utara
dianggap tidak berbahaya dan dapat diterima. Sedangkan respon maladaptif dapat membahayakan atau tidak dapat diterima (Fortinash & Worret, 2003). Menurut Fortinash & Worret (2003), kecemasan menimbulkan dua respon, yaitu respon adaptif dan maladaptif. a) Respon Adaptif Jika kecemasan timbul dan individu mampu meregulasi dan mengatur kecemasan, hal yang positif mungkin akan timbul. Tidak semua kecemasan merugikan namun, hal itu bisa menjadi tantangan, kekuatan, faktor motivasi untuk memecahkan sebuah masalah, resolusi konflik dan pencapaian fungsi level yang lebih tinggi. Contohnya seseorang dengan pekerjaan yang buruk dan pengalaman kecemasan yang tidak bisa dihindari akan membuat individu tersebut kembali mempelajari sesuatu yang baru. Seorang pelajar yang gagal dari ujian karena kurang belajar akan mengalani ancaman terhadap hilangnya harga diri sebagai pelajar, dukungan dan hal tersebut menyebabkan kecemasan. Seorang motivator bisa membantu pelajar tersebut untuk mendapatkan bimbingan dan konsenterasi yang lebih untuk melewati ujian. Strategi adaptif lainnya yang digunakan orang-orang untuk mengatasi kecemasan
adalah
memanggil
teman
atau
terapis,
berolah
raga,
mempraktikkan teknik relaksasi, membaca novel, beristirahat atau menangis sebagai pelampiasannya. Banyak lagi metode koping lainnya yang digunakan untuk melepaskan ketegangan dan mengurangi kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
b) Respon Maladaptif. Kebiasaan sehari-hari dapat melindungi orang dari kecemasan, bertahan dari ancaman dan memberi kenyamanan bisa mengarah pada pola respon maladaptif, yang dapat menunjukkan gejala fisik dan psikologis baik dalam lingkungan diri individu, sosial dan gangguan pekerjaan. Contohnya mekanisme ego untuk denial (menolak), represion (mengabaikan), projection (menyalahkan orang lain) dan rationalization (memberikan penjelasan) mencari kebenaran akan melindungi sesorang dari kecemasan tetapi juga mencegah penilaian yang sebenarnya dari diri sendiri, orang lain, situasi atau kejadian. Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu mungkin akan dikatakan mengalami gangguan atau ketidaknormalan oleh orang lain. Pola koping maladaptif dari kecemasan termasuk didalamnya adalah tingkah agresif, isolasi (menarik diri), makan dan minum secara berlebih, mengguanakan obat-obatan terlarang dan aktivitas seksual yang berlebih. Respon-respon dari kecemasan tersebut dikatakan sebagai gangguan kecemasan. 2.1.5
Tanda Dan Gejala Kecemasan Gangguan kecemasan dikategorikan berdasarkan apakah seseorang
memiliki gejala yang kompleks ataupun terbatas (Fortinash & Worret, 2000). Stuart & Sundeen (1997), menyatakan bahwa kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.
Universitas Sumatera Utara
a) Respon fisiologis berhubungan dengan kecemasan terutama dimediasi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Berbagai respon fisiologis yang dapat diobservasi, yaitu: 1) Kardiovaskular: palpitasi, jantung berdetak kencang, kehilangan kesadaran, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun. 2) Pernafasan: nafas cepat dan dangkal, tekanan pada dada, terengah-engah. 3) Neuromuskular: refleks meningkat, terkejut, kelopak mata berkedut, insomnia, tremor, mondar-mandir, kaku, gelisah, wajah tegang, kaki goyah, gerakan lambat, kelemahan. 4) Gastrointestinal: nafsu makan menurun, jijik terhadap makanan, tidak nyaman pada perut, mual, mulas dan diare. 5) Traktus urinarius: sering berkemih 6) Kulit: wajah kemerahan, keringat terlokalisasi (telapak tangan), gatal, wajah pucat, keringat dingin. b) Respon perilaku: kegelisahan, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik dan menahan diri, menghindar, hiperventilasi. c) Respon kognitif: perhatian terganggu, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, kesalahan dalam penilaian, hambatan berpikir, rendahnya kreatifitas, menurunnya lapangan persepsi, bingung, takut saat kehilangan control, ketakutan akan cedera atau kematian, produktivitas berkurang.
Universitas Sumatera Utara
d) Respon afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, dan khawatir. 2.1.6
Tingkat Kecemasan Respon kecemasan berada pada satu kesatuan, dan individu bisa lebih
sukses atau kurang sukses pada penggunaan metode-metode yang bervariasi untuk mengontrol pengalaman kecemasan mereka sendiri. Fortinash & Worret (2000) menjelaskan bahwa tingkat kecemasan terdiri dari ringan, sedang, berat, panik dan menguraikannya berdasarkan respon kecemasan. a) Cemas ringan 1) Fisiologis: tanda-tanda vital normal. tegang otot minimal, pupil normal, konstriksi. 2) Kognitif atau persepsi: lapangan persepsi luas. kesadaran terhadap lingkungan dan stimulus internal. Pikiran mungkin acak, tetapi terkontrol. 3) Emosi atau perilaku: perasaan relatif nyaman dan aman. Rileks, penampilan dan suara tenang. Kinerja secara otomatis dan kebiasaan perilaku terjadi pada level ini. b) Cemas sedang 1) Fisiologis: tanda-tanda vital normal atau sedikit meningkat. Muncul ketegangan, mungkin ketidaknyamanan atau merasa antusias. 2) Kognitif atau persepsi: waspada, persepsi menyempit terfokus. Kondisi optimal terhadap penyelesaian dan pembelajaran masalah. Penuh perhatian.
Universitas Sumatera Utara
3) Emosi atau perilaku: siap siaga dan merasa tertantang, bertenaga. ikut serta dalam aktifitas yang kompetitif dan belajar banyak kemampuan. Suara, ekspresi wajah terlihat tertarik dan memperhatikan. c) Cemas Berat 1) Fisiologis: respon “fight or flight”. Sistem saraf autonom terstimulasi dengan berlebihan (tanda-tanda vital meningkat, diaforesis meningkat, urgensi dan frekuensi kemih meningkat, diare, mulut kering, nafsu makan berkurang, dilatasi pupil). Otot kaku, sensasi nyeri berkurang. 2) Kognitif atau persepsi: lapangan persepsi sangat sempit. Kesulitan menyelesaikan masalah. Perhatian selektif (fokus pada satu detail). Kurangnya perhatian selektif (memblok rangsangan yang mengancam), cenderung disosiatif. 3) Emosi atau perilaku: Merasa terancam, terkejut pada stimulus yang baru. Aktivitas bisa meningkat atau menurun. Mungkin muncul dan merasa tertekan. Mendemonstrasikan penolakan; bisa mengeluh nyeri atau sakit, bisa gelisah atau pemarah. Tatapan mata bisa mengarah pada seluruh ruangan atau mengarah pada satu titik. Menutup mata sebagai sikap menghalangi lingkungannya. d) Panik 1) Fisiologis: gejala kecemasan dapat meningkat sampai terjadi pelepasan pada sistem saraf otonom. Seseorang bisa menjadi pucat, tekanan darah menurun. Koordinasi otot terganggu.
Universitas Sumatera Utara
2) Kognitif atau persepsi: keseluruhan persepsi buyar dan tertutup. Tidak mampu mengatasi stimulus. Sangat tidak mungkin untuk menyelesaikan masalah dan berfikir logis. Persepsi yang tidak realistis tentang dirinya, lingkungan, atau kejadian. Disosiasi bisa terjadi. 3) Emosi atau perilaku: Merasa tidak berdaya dengan kehilangan control. Marah, ketakutan, bisa agresif atau menyendiri, menangis atau berlari. Perilaku biasanya sangat aktif ataupun sebaliknya. 2.1.7
Jenis-jenis Kecemasan
a) Gangguan Kecemasan Umum. Menurut American Psychiatric Association (APA) dalam Isaacs (2005), ciri-ciri utamanya adalah kecemasan dan kekhawatiran berlebihan yang sering terjadi berhari-hari setidaknya selama enam bulan. Ciri lainnya ialah gelisah, tegang, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, iritabilitas dan ketegangan otot serta gangguan tidur. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor-faktor yang berhubungan ialah: 1) Kerentanan biologik. Gangguan ini cenderung berhubungan dengan abnormalitas neurotrasmiter (misalnya; disregulasi GABA, serotonin, atau norepinefrin) didalam sistem limbik. 2) Gender. Gangguan ini menyerang wanita dua kali lebih banyak dibanding laki-laki 3) Gangguan Psikiatrik Lainnya. Terdapat angka kormorbiditas yang tinggi dengan gangguan psikiatrik lainnya, termasuk gangguan depresi dan panik.
Universitas Sumatera Utara
4) Faktor Psikososial. Rendahnya harga diri, berkurangnya toleransi terhadap stres, dan kecenderungan kearah lokus eksternal dari keyakinan kontrol. b) Gangguan Panik. Ciri-cirinya adalah serangan panik yang terjadi pada waktu yang tidak terduga, disertai kecemasan, ketakutan dan teror yang kuat, timbul gejala fisiologik dari respon fight or flight seprti jantung berdetak kencang, nyeri dada, pusing dan mual, sulit bernafas, terasa tercekik, kebas dan kesemutan, gemetar, merasa mendapat. serangan jantung, takut kehilangan kendali, menurunnya kemampuan perseptual dan menurunnya kemampuan kognitif (APA dalam Isaacs, 2005). 1) Gangguan panik tanpa agorafobia. Dicirikan dengan kambuhnya serangan panik yang tidak terduga, diikuti dengan kekhawatiran persisten tentang akan datangnya serangan itu lagi selama minimal satu bulan, kekhawatiran tentang kemungkinan implikasi atau konsekuensi serangan, atau perubahan prilaku yang signifikan berkaitan dengan serangan panik tersebut (APA dalam Isaacs, 2005). 2) Gangguan panik dengan agorafobia. Dicirikan dengan kambuhnya serangan panik yang tidak terduga disertai agorafobia; yaitu, kecemasan yang muncul ketika berada ditempat atau situasi dimana situasi untuk menghindar merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan, memalukan atau bantuan tidak mungkin diperoleh seandainya terjadi gejala seperti panik (APA dalam Isaacs, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Penyebab yang tepat belum ditetapkan, tetapi faktor-faktor yang terkait meliputi: a. Kerentanan biologik. terjadi akibat tidak teraturnya sintesis dan pelepasan norepinefrin, hipersensivitas reseptor terhadap seretonin atau GABA, atau keduanya (Isaacs, 2005). b.Sensitivitas laktat. Natrium laktat kimia dapat menimbulkan gejala fisik yang berkaitan dengan panik pada kira-kira empat dari lima orang penderita gangguan tersebut, tetapi pada populasi umum hanya menyerang satu dari lima penduduk; kepekaan atau sensitivitas ini sering terdapat pada anggota keluarga yang menderita gangguan panik (Brown dalam Isaacs, 2005). c. Teori alarm asfiksia. Berkaitan dengan pernafasan yang berat dan cepat (hiperventilasi) yang terjadi selama serangan panik. Individu dengan gangguan panik dapat menerima sinyal palsu dari otak tentang adanya kekurangan oksigen atau meningkatnya kadar karbondioksida, yang memicu serangan panik (Brown dalam Isaacs, 2005). d. Prolaps katup mitral. Wanita dalam gangguan ini mengalami peningkatan insidensi gangguan panik. Gangguan ini sepertinya bersifat genetik (Brown dalam Isaacs, 2005). e. Riwayat keluarga. Individu dengan riwayat gangguan panik dalam keluarga cenderung menderita empat sampai tujuh kali lipat (Isaacs, 2005).
Universitas Sumatera Utara
f. Fakto-faktor psikososial. Termasuk peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan fikiran yang salah sehingga reaksi tubuh yang normal diinterpretasikan sebagai suatu katastrofik (Isaacs, 2005). c) Gangguan Obsesif-kompulsif. Menurut American Psychiatric Association (APA) dalam Isaacs (2005), mengemukakan ciri-ciri utama dalam gangguan ini adalah obsesi (ide persisten) atau kompulsi (dorongan yang tidak terkendali untuk melakukan suatu tindakan secara berulang) yang cukup parah hingga menghabiskan waktu, menyebabkan distres berat, atau kerusakan fungsi yang signifikan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut; 1) Obsesi dan kompulsi pada umunya terjadi bersamaan. Obsesi. yang paling banyak terjadi adalah pemikiran berulang tentang kontaminasi, keraguan berulang, kebutuhan untuk menyusun benda dengan urutan tertentu, inpuls, agresif atau buruk, dan imajinasi seksual. Kompulsi.
yang
paling
banyak
terjadi
meliputi
mencuci
dan
membersihkan, menghitung, mencetak, meminta atau menuntut jaminan, tindakan berulang, dan memerintah. 2) Individu menyadari bahwa obsesi dan kompulsi tersebut bersifat tidak realistik, mengganggu dan tidak tepat (digambarkan sebagai gejala egodistonik). 3) Berupaya untuk menolak pikiran obsesif atau kompulsif menyebabkan individu tersebut mengalami peningkatan kecemasan. 4) Pikiran obsesif dan perilaku kompulsif dapat menyebabkan berkurangnya kecemasan secara temporer (disebut primary gain).
Universitas Sumatera Utara
Penyebab yang tepat belum ditetapkan tetapi faktor-faktor yang terkait (Isaacs, 2005), meliputi: a. Kerentanan biologik. Berkaitan dengan meningkatnya responsivitas serotonin. Teori ini diperkuat dengan suksesnya penggunaan obat antidepresan (baik antidepresan trisiklik maupun SSRI) dalam pengobatan gangguan obsesif-kompulsif. b.Teori disfungsi
striatum. Striatum adalah bagian dari otak yang
mengendalikan gerakan volunter. Tindakan motorik berulang, seperti berjalan dan mengunyah, dapat menstimulasi pelepasan serotonin, yang pada giliranya akan meningkatkan mood. c. Kerentanan genetika. Resiko bertambah pada individu yang memiliki riwayat gangguan obsesif-kompulsif. d) Gangguan Fobia. Ciri utama dari gangguan ini adalah ketakutan yang tidak rasional terhadap objek, aktivitas atau kejadian tertentu seperti, terhadap suatu objek, orang atau situasi tertentu. Ketakutan ini disertai perilaku menghindar dari objek, orang atau situasi tersebut. Penderita biasanya menyadari bahwa rasa takutnya tidak rasional dan tidak tepat (ego distonik) tetapi merasa tidak berdaya untuk mengendalikannya (Isaacs, 2005). Penyebab yang tepat belum ditetapkan namun faktor-faktor yang terkait meliputi: 1) Kerentanan genetika. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa fobia memiliki faktor genetika.
Universitas Sumatera Utara
2) Kondisi respon. Teori perilaku mengatakan bahwa fobia terjadi akibat kondisi respon saat individu belajar menghubungkan objek yang ditakutinya dengan perasaan yang tidak nyaman; prilaku menghindar dapat mengurangi kecemasan dan memperkuat fobia tersebut. e) Gangguan Stres Pascatrauma. Ciri utama dari gangguan ini adalah pikiran dan perasaan yang terjadi berulang-ulang berkaitan dengan trauma yang buruk. Misalnya pengalaman peperangan, pemerkosaan, kecelakaan yang serius atau penyiksaan yang buruk. Dapat berupa respon takut atau lambat, dapat juga menjadi kronik. Gejalanya meliputi respon terkejut yang berlebihan, gangguan tidur, rasa bersalah, mimpi buruk dan kilasan-kilasan ingatan, rasa marah dengan penumpukan emosi-emosi lain. Penderita sering menggunakan obat-obatan, alkohol atau keduanya untuk mengobati sendiri gejala yang mereka rasakan (Isaacs, 2005). f) Gangguan disosiatif. Ciri khususnya adalah perubahan kewaspadaan sadar, yang meliputi periode lupa, kehilangan ingatan tentang kejadian-kejadian yang menimbulkan stres, merasa terputus dari kejadian sehari-hari, atau munculnya kepribadian yang berbeda seperti disosiasi, atau persaan terpisah dari kehidupan biasa atau dalam keadaan seperti mimpi. Subtipe gangguan dari disosiatif menurut (APA dalam Isaacs 2005); 1) Amnesia disosiatif adalah ketidakmampuan mengingat kembali kejadian penting tentang dirinya yang terjadi secara tiba-tiba.
Universitas Sumatera Utara
2) Fague disosiatif adalah melarikan diri dari rumah secara tiba-tiba dan tidak terduga disertai dengan ketidakmampuan mengingat kembali kejadian pada masa lalu. 3) Gangguan depersonalisasi adalah perasaan terpisah dan seolah-olah menjadi pengamat diluar pikiran atau tubuhnya sendiri. 4) Gangguan identitas disosiatif adalah adanya dua atau lebih kepribadian yang berbeda dengan pola persepsi masing-masing, hubungan, dan pemikiran terhadap lingkungannya. 5) Gangguan disosiatif yang lain adalah gangguan yang kriterianya tidak sesuai dengan kriteria gangguan disosiatif lainnya. Penyebab dari gangguan disosiatif menurut Isaacs (2005), adalah sebagai berikut: a. Trauma. Gangguan disosiatif pada umumnya berkaitan dengan peristiwa traumatik. Dimana individu berusaha menjauhkan dirinya dari ingatan traumatik tersebut. b.Penganiayaan. Gangguan identitas disosiatif pada umunya dianggap sebagai akibat penganiayaan traumatik yang buruk pada masa anakanak. 2.1.8
Rentang kecemasan Dalam Interpersonal Relations in Nursing, Hildegrad Peplau (1952),
seorang pelopor keperawatan jiwa, mengidenfikasi empat tingkat kecemasan yang bertujuan untuk mengilustrasikan pandangan terhadap kecemasan dan ketegangan yang dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan (1882-1949),
Universitas Sumatera Utara
seorang psikiater terkemuka dari Amerika dan ahli teori perkembangan (Fortinash & Worret, 2000). Diagram. 2.1. Rentang Kecemasan
“Pure Euphoria”
Moderate
Mild
Panic
“Pure Anxiety”
Severe kecemasan
Hildegrad Peplau menerangkan bahwa kecemasan yang meningkat mengakibatkan: a. Lapangan persepsi menyempit b. Energi akan tersedia untuk menyelesaikan masalah c. Disorganisasi meningkat Diagram diatas menjelaskan tentang proses terjadinya kecemasan. Mulai dari ringan (mild), sedang (moderate), berat (severe), panik (panic). Kecemasan orang pada umumnya berada pada tahap ringan, pada tahap ini dapat menjadi sarana pembelajaran, peningkatan kreativitas dan pengembangan kepribadian. Tingkat kecemasan sedang juga masih dikatakan sebuah mekanisme yang adaptif untuk mengatasi situasi stres yang dialami, sepanjang individu mampu mengelola dan mengatasi stressor yang dialami dan tingkat kecemasan bisa kembali ketingkat ringan. Pada tingkatan sedang kecemasan bisa bersifat akut ataupun kronis.
Universitas Sumatera Utara
Pada tingkat berat, energi difokuskan untuk mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan dari pada untuk mengahadapi stressor atau ancaman yang menyebabkan rasa cemas, akibatnya dapat mengganggu fungsi dari individu itu sendiri dan dia membutuhkan bantuan untuk mengatasi kedaan yang dia alami. Sedangkan pada tingkat panik, individu tidak mampu lagi mengontrol dirinya, aktivitas motorik meningkat, persepsi yang menyimpang, kehilangan pikiran yang rasional dan tidak mampu berhubungan dengan orang lain. Diagram. 2.2. Respon Kecemasan Respon Adaptif
Antisipasi
Respon Maladaptif
Ringan
Sedang
Berat
Panik
Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart & Sundeen (1998) Menggambarkan karakteristik respon kecemasan mulai dari respon yang adaptif yaitu
tahap antisipasi sampai respon yang maladaptif yaitu panik.
Kecemasan memang diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang berat tidak dapat sejalan dengan kehidupan. Berbagai penelitian tentang kecemasan yang terjadi pada mahasiswa telah banyak dilakukan, hal tersebut bertujuan untuk untuk mendapatkan sumber atau penyebab kecemasan itu sendiri. Beberapa diantaranya peneitian menurut Mujiyah dkk (2001) dalam Asmika dkk (2009), diperoleh kendala-kendala yang
Universitas Sumatera Utara
bisa dihadapi mahasiswa dalam menulis tugas akhir sehingga bisa menimbulkan kecemasan, antara lain kendala internal yang meliputi malas, motivasi yang kurang, dan takut bertemu dengan dosen pembimbing untuk konsultasi. Kendala eksternal meliputi dosen pembimbing skripsi, literatur, keterbatasan dana dan metodelogi penelitian. Sedangkan menurut Carpenito (2000) dalam Asmika dkk (2009), sumber kecemasan pada mahasiswa antara lain pembuatan bermacam tugas, laporan dan makalah harus dikerjakan mahasiswa serta ujian sebagai evaluasi dilakukan secara rutin, dan salah satu sumber kecemasan bagi mahasiswa tingkat akhir adalah kewajiban menyusun tugas akhir. 2.2 Skripsi 2.2.1
Pengertian Skripsi Skripsi merupakan sebuah karya ilmiah, ada banyak karya ilmiah yang
ditulis orang, bergantung pada penggunaannya. Ada karya ilmiah berupa skripsi, tesis, disertasi, atau berupa laporan penelitian (search report) bagi lembaga yang membiayai penelitian tersebut. Ada juga karya ilmiah berupa karya ilmiah untuk dimuat dimajalah ilmiah, jurnal, atau makalah untuk seminar (Dwiloka & Riana, 2005). Akan tetapi, umumnya karya ilmiah di perguruan tinggi, menurut Arifin (2003) dalam Dwiloka & Riana (2005), dibedakan menjadi makalah, kertas kerja, skripsi, tesis, dan disertasi. Skripsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), ialah karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademis. Sedangkan menurut Setiadi (2007), skripsi adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
karya ilmiah hasil penelitian mandiri atau kajian kepustakaan dengan bantuan seseorang dosen pembimbing yang dikerjakan untuk memperoleh gelar sarjana (jenjang SI) dan telah berhasil dipertahankan didepan suatu tim penguji yang dibentuk oleh perguruan tinggi (Setiadi, 2007). Skripsi adalah peroses penelitian ilmiah atau eksperimen ilmiah yang melibatkan pengumpulan data yang sangat banyak, memiliki tujuan dan disusun secara sistematis. Analisa dan interpretasi data kemudian dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan yang baru atau menambah pengetahuan ilmiah yang terorganisir (Dempsey, 2002). 2.2.2
Tujuan Penulisan Skripsi. Tujuan penulisan skripsi adalah memberi bekal pengalaman belajar ilmiah
sehingga mahasiswa mampu berpikir dan berkerja secara ilmiah, merencanakan penelitian ilmiah, melaksanakan penelitian ilmiah, menuliskan hasil penelitian. Skripsi ditulis mahasiswa berdasarkan gejala kehidupan yang menimbulkan permasalahan untuk dipelajari dan mencari jalan keluarnya. Permasalahan dalam skripsi adalah didalam ruang lingkup atau konteks bidang studi mahasiswa yang bersangkutan pada suatu jurusan/program studi/fakultas. Dimasa yang akan datang dibutuhkan generasi penerus yang mampu berpikir dan bertindak secara ilmiah serta mempunyai jangkauan pandangan yang jauh ke masa depan. Oleh karena itu proses perkuliahan diperguruan tinggi perlu ditingkatkan dengan porsi pelayanan dan latihan berpikir dan berkerja secara ilmiah. Penulisan skripsi dapat menjadi salah satu jawaban yang tepat terhadap
Universitas Sumatera Utara
persoalan peningkatan latiahan berpikir dan berkerja secara ilmiah dikalangan mahasiswa (Setiadi, 2007). 2.2.3
Persyaratan Penyusunan Skripsi Menurut Arikunto (2006), tanpa adanya skripsi, pengetahuan tidak akan
bertambah maju. Padahal pengetahuan adalah dasar semua tindakan dan usaha. Jadi penelitian sebagai dasar untuk meningkatkan pengetahuan, harus diadakan agar meningkat pula pencapaian usaha-usaha manusia. Ada tiga persyaratan penting dalam melakukan penyusunan skripsi yaitu: sistematis, berencana, dan mengikuti konsep ilmiah. Sistematis artinya mengikuti dilaksanakan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks hingga tercapai tujuan secara efektif dan efesien. Berencana artinya
dilaksanakan
dengan
adanya
unsur
tentang
langkah-langkah
pelaksanaannya. Mengikuti konsep ilmiah artinya mulai awal sampai akhir kegiatan penelitian yaitu prinsip yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Apabila diterapkan dalam kegiatan skripsi maka utamanya sebagai berikut: a) Penlitian dihadapkan pada suatu kebutuhan dan tantangan. b) Merumuskan masalah, sehingga masalah tersebut jelas batasannya, kedudukan, dan menemukan cara alternatif untuk pemecahan masalah. c) Menetapkan hipotesis sebagai titik tolak mengadakan tindakan menentukan alternatif pemecahan masalah yang dipilih. d) Mengumpulkan data untuk menguji hipotesis.
Universitas Sumatera Utara
e) Mengambil kesimpulan berdasarkan pengelolahan data dan dikembalikan kepada hipotesis yang sudah dirumuskan. f) Memutuskan kemungkinan untuk mengadakan generalisasi dari kesimpulan tersebut serta implikasinya dimasa yang akan datang. Berdasarkan buku panduan program pendidikan diprogram studi ilmu keperawatan (2010), menjelaskan bahwa syarat penyusunan skripsi didasarkan pada BAB V pasal 20 tentang: 1) Program studi yang mewajibkan mahasiswa menyusun skripsi, mahasiswa tersubut harus memperoleh minimal 110 SKS tanpa nilai D dan E serta memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan masing-masing fakultas. 2) Mahasiswa yang telah memenuhi ayat 1 (yang tertera diatas) wajib menyampaikan penyusunan rencana skripsi sesuai dengan lingkup masalah yang terjadi perhatian jurusan atau bagian program studi yang bersangktan. 2.2.4
Tahapan Proses Penelitian Dalam Skripsi Menurut Dempsey (2003), langkah-langkah sistematis pada proses
penelitian terdiri dari tiga tahapan yang berurutan untuk menjawab pertanyaan penelitian atau menyelesaikan masalah yang sedang diteliti. a) Tahap I; Perencanaan Studi Tahapan awal proses penelitian adalah perencanaan, ditahap ini pertanyaan tentang masalah yang akan diteliti melalui peneitian dipilih dan diperhalus menjadi pernyataan masalah dan metodologi untuk studi yang dirumuskan. Penelitian harus berkontribusi pada pengetahuan baru. Metode
Universitas Sumatera Utara
yang tepat harus tersedia untuk menyelidiki masalah tersebut., perlu dipertimbangkan juga mengenai ketersediaan subjek yang diharapkan dapat berpatisipasi dalam studi penelitian, sekaligus implikasi etis penelitian, seperti perlindungan terhadap hak-hak pertisipasi studi, waktu dan dana juga harus dipertimbangkan dalam melakukan penelitian. Tahap perencanaan dalam proses penelitian terdiri dari lima langkah awal: 1) Pernyataan masalah 2) Tinjauan pustaka terkait penelitian 3) Pernyataan tujuan studi 4) Rencana pengumpulan data 5) Rencana analisis data b) Tahap II; Pelaksanaan Proposal Penelitian Setelah proposal penelitian yang lengkap telah dievaluasi oleh pembimbing penelitian dan telah diperbaiki oleh peneliti, maka proposal harus diajukan kepihak institusi yang berwenang untuk disetujui. Jika persetujuan telah diberikan, peneliti kemudian dapat melaksanakan proposal tertulis tersebut. Pada tahap pelaksanaan ini, peneliti mengikuti proposal tertulis dengan mengumpulkan data secara sistematik untuk dianalisis. c) Tahap III; Penyebarluasan Hasil Penelitian Setelah data yang berkaitan dengan penelitian sudah dianalisis, peneliti kemudian menuliskan kesimpulan, membahasnya, dan menghubungkan kesimpulan dengan pengetahuan yang relevan yang ada. Peneliti juga harus mengolah implikasi penelitian dan membuat saran bagi peneliti selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian
peneliti
menulis
laporan
penelitian
yang
lengkap
untuk
menyampaikan temuannya sehingga dapat diketahui oleh orang lain. 2.2.5
Hubungan Penyelesaian Skripsi Dengan Kecemasan Mahasiswa rentan terhadap kecemasan dan depresi. Stresor psikososial
adalah setiap keadaan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa beradaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul. Perubahan lingkungan belajar juga menjadi salah satu faktor pencetus kecemasan dan depresi pada mahasiswa. Kecerdasan bukanlah satusatunya faktor yang menentukan sukses atau tidaknya seseorang dalam belajar, tapi ketenangan jiwa juga mempunyai pengaruh atas kemampuan untuk menggunakan kecerdasan tersebut (Daradjat, 1988). Kecemasan mempengaruhi hasil belajar mahasiswa, karena kecemasan cenderung menghasilkan kebingungan dan distorsi persepsi. Distorsi tersebut dapat mengganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian menurunkan daya ingat, mengganggu kemampuan menghubungkan satu hal dengan yang lain (Kaplan & Saddock, 2005). Faktor-faktor kecemasan dalam mengerjakan skripsi dipengaruhi beberapa hal misalnya eksternal dan internal, faktor ekternal atau dari luar diri misalnya birokrasi kampus yang rumit, atau dosen pembimbing yang sulit ditemui dan faktor internal atau dari dalam diri misalnya kemampuan dasar mahasiswa yang rendah, inteligensi yang rendah, kurang memahami dan menguasai materi yang akan dibuat, mahasiswa dengan gangguan kecemasan umum atau mahasiswa
Universitas Sumatera Utara
yang pencemas, serta mahasiswa yang memiliki pikiran-pikiran negatif atau penilaian yang tidak realistik. Penyebab kecemasan pada mahasiswa teknik informatika tingkat akhir dikarenakan beban tugas yang semakin tinggi, karena harus menyelesaikan studi terutama skripsi, yang menjadi langkah terakhir untuk ketentuan kelulusan. Dalam
penulisan
skripsi
dituntut
kemandirian
dan
ketelitian
dalam
pengerjaannya. Ada banyak beban yang menimbulkan kecemasan pada saat mengerjakan skripsi antara lain mahasiswa dituntut memiliki ide untuk membuat konsep yang jelas, wawasan yang luas, harus mengetahui kondisi lapangan, harus mampu menjelaskan apa yang telah dituliskan, harus mempu menjelaskan produk yang dibuat dan lain-lain (Rosma, 2012). Sedangkan berdasarkan penelitian Zulkifli (2012), 80% mahasiswa mengalami kecemasan ketika akan menghadapi ujian skripsi. Beberapa penelitian berkaitan dengan proses penyusunan skripsi pada mahasiswa diketahui ada beberapa fenomena yang muncul pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Mujiyah dkk (2001) dalam Suryadi (2001), dalam risetnya memaparkan bahwa mahasiswa dapat mengalami cemas akibat kesulitan-kesulitan dalam proses penyusunan skripsi, seperti kesulitan menentukan latar belakang masalah, teori dan metodologi, ketakutan menghadap dosen, dan lain-lain. Menurut Sutriani (2003), dalam penelitiannya juga menemukan mahasiswa dapat mengalami kecemasan ketika sedang menyelesaikan skripsi.
Universitas Sumatera Utara