BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Astrositoma merupakan tumor otak primer yang paling banyak terjadi, insidensinya mencakup lebih dari 60% tumor otak primer (Louis et al., 2007). Sebagian besar astrositoma (lebih dari 80%) merupakan tipe maligna (CBTRUS, 2012). Astrocytoma dapat terjadi di seluruh bagian susunan saraf pusat, umumnya terjadi pada orang dewasa, dan yang paling sering terjadi di hemisfer serebri. Astrositoma maligna terdiri dari sel-sel tumor yang infiltratif secara luas di parenkim otak dengan selularitas dan tingkat anaplasia yang meningkat sesuai dengan derajat tumor. Astrositoma memiliki kecenderungan yang dapat dikatakan permanen untuk terus progresi ke grading histopatologik yang lebih tinggi, menjadi bentuk paling ganas, grade IV, glioblastoma (Perry & Brat, 2010). Grading histopatologi astrositoma dapat diartikan sebagai perkiraan perilaku biologik astrositoma. Dalam seting klinis, grading histopatologik tumor adalah faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi, terutama untuk menentukan radiasi ajuvan dan kemoterapi yang tepat. Diagnosis histopatologi dan grading histopatologik yang tepat sangat penting untuk menentukan prognosis secara optimal maupun untuk penatalaksanaan. Sistem grading telah dievaluasi secara sistematis dan berhasil diaplikasikan terhadap tumor astrositik. World Health Organization (WHO) (2007) membagi diffus astrocytoma menjadi astrocytoma difus - grade II, astrocytoma anaplastik - grade III dan glioblastoma - grade IV. 1
2
Grading histopatologik menurut WHO merupakan salah satu komponen yang digunakan untuk memprediksi respon terapi dan outcome (Kleihues et al., 2007). Menentukan grading histopatologik astrositoma sering menjadi sukar, terlebih lagi dengan sangat terbatasnya jaringan tumor yang tersedia, yang dikarenakan sulitnya operasi untuk mendapatkan material biopsi tumor. Selain itu, adanya kecenderungan progresi astrositoma difus menjadi astrositoma anaplastik, dan progresi lagi menjadi glioblastoma, boleh jadi dalam satu masa tumor terdapat lebih dari satu tipe grading histopatologik. Sedangkan grading histopatologik penting memprediksi prognosis, respon terapi dan outcome, maka suatu tumor pada seorang pasien penting ditetapkan status grading histopatologik-nya. Untuk itu diperlukan suatu marker molekuler yang dapat membantu dalam menetapkan grading histopatologik suatu masa tumor. Jumlah mitosis sangat penting dalam menentukan grading histopatologik tumor, tetapi sulit untuk menentukan mitosis hanya dari gambaran morfologi dengan pulasan rutin Haematoxylin-eosin (HE). Aktivitas mitosis dapat dilihat melalui ekspresi Ki-67 (Chen et al, 2015). Salah
satu
karakteristik
keganasan
adalah
kemampuan
untuk
invasif/infiltratif (Hanahan & Weinberg, 2011). Matriks metalloproteinase 9 (MMP9) adalah endopeptidase yang mempunyai kemampuan mendegragasi protein-protein
matriks
ekstraseluler,
yang
diperlukan
dalam
proses
invasi/infiltratif, progresi tumor dan metastasis. Pada karsinoma payudara, overekspresi MMP9 berhubungan positif dengan derajat histopatologi dan
3
prognosis yang buruk (Li et al. 2004). Merdad et al. (2014) mendapatkan MMP9 potensial sebagai marker invasi. Salah satu sifat astrositoma maligna adalah pertumbuhan yang difus dan infiltratif. Astrositoma dengan pertumbuhan yang difus dan infiltratif ini menyebabkan kesulitan dalam pembedahan untuk mengangkat masa tumor secara keseluruhan, sehingga masih ada residu tumor, dan diperlukan terapi ajuvan. Terapi ajuvan yang banyak dipakai adalah kombinasi kemoterapi dan radiasi. Dengan harapan meningkatkan ketahanan hidup pasien, Tutt (2011) melaporkan teknik operasi agresif, dimana dilakukan scan dengan magnetic resonance imaging (MRI) pada saat operasi untuk mengangkat tumor sebanyak mungkin dan mempertahankan jaringan normal, selanjutnya diikuti dengan radiasi dan kemoterapi. Namun ternyata sebagian besar, prognosisnya tetap buruk. Ho et al. (2016) mendapatkan pasien-pasien dengan diagnosis awal tipe anaplastik, grade III, mengalami rekurensi dengan tipe yang telah berkembang menjadi grade IV, glioblastoma. Kesulitan dalam mengangkat masa tumor secara keseluruhan dan resistensi yang terjadi terhadap kemoterapi konvensional menyebabkan sebagian besar astrositoma bersifat fatal. Lama waktu ketahanan hidup dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk diantaranya adalah derajat keganasan astrositoma yang dapat diperkirakan dari grading histopatologik-nya (Perry & Brat, 2010). Pada pasien yang dapat bertahan dan mendapatkan terapi konvensional, Shannon (2010) mendapatkan kurang lebih 75% mengalami gangguan kognitif yang disebabkan oleh pemberian kemoterapi antara lain kemampuan konsentrasi, daya
4
ingat dan membuat rencana, 30% mengalami performa kognitif yang lebih rendah dibandingkan orang dengan umur maupun pendidikan yang sama. Bahan kemoterapi yang banyak dipakai antara lain, carmustin, suatu bahan peng-alkilasi. Carmustin
sering memberikan efek samping penekanan sumsum tulang dan
kerusakan ginjal (Jenkinson, 2010). Sehingga, untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik dengan efek samping yang lebih ringan, maka terapi target merupakan pilihan yang lebih baik. Molekul dan jaras sinyal yang banyak berperan pada proses carcinogenesis dan progresinya, antara lain adalah jaras sinyal mitogen-activated protein kinases (MAPK)/ extracellular signal-regulated kinases (ERK) yang dikenal pula sebagai jaras sinyal Ras-Raf-MEK-ERK, phosphatidylinositol-3
kinases
jaras sinyal Wnt dan jaras sinyal
(PI3K)/Protein
kinase
B/Akt
(PKB/AKT)/
mechanistic/mammalian Target of Rapamycin (mTOR). Liu et al. (2014) mendapatkan jaras sinyal MAPK, jaras sinyal TGF-β dan jaras sinyal mTOR berperan dalam proses inisiasi astrositoma dan progresinya menjadi glioblastoma. Liu et al. (2008) menyampaikan gena phosphatase and tensin homolog deleted on chromosome ten (PTEN) berperan dalam tumorigenesis pada banyak macam keganasan. Pemilihan terapi target berdasarkan molekul dan mekanisme sinyal yang banyak berperan pada proses carcinogenesis dan progresinya. Jaras sinyal PI3K/AKT/mTOR adalah jaras sinyal yang berperan besar pada berbagai keganasan (TCGATR, 2008), termasuk astrositoma (Rejto & Abraham, 2014). Jaras sinyal ini berperan besar dalam pertumbuhan, proliferasi sel dan invasi
5
tumor (Zhu et al., 2016). Bleeker et al. (2012) mendapatkan 88% glioblastoma mengalami gangguan jaras sinyal PI3K/Akt/mTOR. PI3K merupakan kinase yang paling sering mengalami mutasi pada tumor otak ganas (Bleeker et al., 2014). Ung et al. (2016) menyampaikan bahwa terapi farmakologik dengan men-target jaras sinyal PI3K-Akt-mTOR dapat memperbaiki prognosis pasien kanker. Upaya pengembangan terapi kanker terus dilakukan, antara lain dengan mengiidentifikasi molekul-molekul yang dapat menghambat jalur sinyal progresi tumor. Akinleye et al. (2013) menjelaskan mekanisme beberapa bahan yang dapat menghambat aktivitas PI3K, antara lain Buparlisib, PX-866, BEZ-235, XL-765, dan XL-147. Penghambat aktivitas Akt, yaitu MK2206 (Yap et al., 2011), GDC0068 (Yan et al., 2011), GSK795 (Buris et al., 2011), dan AZD5363 (Banerji et al., 2015). Penghambat aktivitas mTOR, yaitu rapamycin, temsirolimus, everolimus, dan ridaforolimus (Mita et al., 2008). Gangguan jaras sinyal PI3K banyak terjadi pada berbagai keganasan, yang menyebabkan jaras sinyal ini diaktifkan sehingga mengakibatkan pertumbuhan berlebihan, peningkatan survival sel, meningkatnya kemampuan metastasis dan resisten terhadap kemoterapi konvensional, yang mana hal-hal tersebut terjadi pada limfoma baik limfoma Hodgkin maupun limfoma non Hodgkin (Westin, 2014). Hal yang serupa didapatkan pula oleh Davis et al. (2014) pada kanker payudara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jaras sinyal PI3K berhubungan erat dengan proliferasi sel yang dapat dilihat melalui markernya Ki67 dan berhubungan erat pula dengan invasi/infiltrasi tumor yang dapat dilihat dengan marker MMP9. Proliferasi sel dan infiltrasi tumor ke jaringan sekitar
6
adalah gambaran yang digunakan dalam menentukan grading astrositoma. Sehingga perlu dikaji bagaimana hubungan jaras sinyal PI3K, beserta komponennya dalam hal ini PI3K, Akt dan mTOR
dengan proliferasi dan
infiltrasi pada astrositoma Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ekspresi PI3K, Akt, dan mTOR, dalam hubungannya dengan tingkat proliferasi, gambaran histopatologi dan derajat astrositoma maligna pada pasien dewasa, untuk melihat kemungkinan pemberian terapi target penghambat aktivitas PI3K, Akt, maupun mTOR.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR pada astrositoma? 2. Apakah terdapat hubungan antara ekspresi ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR dengan tingkat proliferasi pada astrositoma? 3. Apakah terdapat peningkatan ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR sejalan dengan meningkatnya grading histopatologik astrositoma?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum : Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ekspresi PI3K, Akt, dan mTOR, dalam hubungannya dengan tingkat proliferasi dan grading histopatologik astrositoma maligna pada pasien dewasa, untuk melihat
7
kemungkinan pemberian terapi target penghambat aktivitas PI3K, Akt, maupun mTOR. Tujuan khusus : 1.
Mengkaji ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR pada astrositoma.
2.
Mengkaji hubungan antara ekspresi ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR dengan tingkat proliferasi pada astrositoma.
3.
Mengkaji peningkatan ekspresi mRNA PI3K, mRNA Akt dan mRNA mTOR pada berbagai grading histopatologik astrositoma.
D. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian mengenai astrositoma yang sudah ada adalah sebagai berikut : Japardi (2003) meneliti insidensi astrositoma di Sumatra Utara dan pengobatan utama yang dilakukan, mencakup pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Merdad
et
al.
(2011)
meneliti
ekspresi
MMP9
dengan
metode
imunohistokimia pada karsinoma payudara, mendapatkan MMP9 berhubungan dengan invasi dan metastasis pada karsinoma payudara. Amlin-Van Schaick et al. (2012) meneliti astrositoma pada tikus model astrositoma, mengekstraksi RNA dari astrositoma tikus, mendapatkan Arlm1 berhubungan dengan prognosis astrositoma, yaitu ketahanan hidup tikus yang menderita astrositoma.
8
Jones et al. (2012) mengemukakan peningkatan aktivitas MAPK pada astrositoma tipe pilositik dan memperkirakan MAPK mempunyai peran yang besar pada tumorigenesis astrositoma tipe pilositik. Liang et al. (2013) meneliti pada kultur sel astrositoma dari jaringan biopsi, mendapatkan
STAT3
berhubungan
dengan
prognosis
astrositoma,
dan
memperkirakan STAT3 dapat dijadikan target terapi target. MingHao et al. (2011) meneliti pada kultur sel astrositoma dari jaringan biopsi, dengan metode ekstraksi RNA dan imunohistokimia, mendapatkan deltacatenin mempunyai peran yang besar pada progresi astrositoma. Bid et al. (2013) mengekstraksi RNA dari kultur sel glioblastoma AM38c1 dan DBTRG-05MG (kultur sel glioblastoma pada anak), mendapatkan sebaiknya terapi target dilakukan dengan menghambat lebih dari satu jaras sinyal, misalnya jaras sinyal BRAF dan jaras sinyal STAT3, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi. Keating et al. (2010) meneliti dengan metode ekstraksi RNA dari berbagai tumor otak, memperkirakan inhibisi terhadap Mer dan Axl dapat meningkatkan sensitivitas terapi baik radioterapi maupun kemoterapi. Birner et al. (2014) dengan metode imunohistokimia mendapatkan tidak ada peningkatan aktivitas jaras sinyal PI3K/Akt pada astrositoma dengan mutasi IDH1. Bleeker et al. (2014) pada kultur sel atrositoma mendapatkan peningkatan aktivitas jaras sinyal PI3K/Akt pada astrositoma dengan mutasi PIK3CA.
9
Peran jaras sinyal Pi3K/Akt/mTOR pada astrositoma dan hubungannya dengan grading histopatologik sampai saat ini masih kontroversi. Penelitian ini meneliti ekspresi mRNA-PI3K, mRNA-Akt dan mRNA-mTOR pada blok parafin kasus astrositoma yang diukur secara kuantitatif dengan metode real time PCR dan hubungannya dengan proliferasi dan grading histopatologik astrositoma.
E. Manfaat Penelitian Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan data dan pustaka bagi peneliti selanjutnya tentang peran PI3K, Akt dan mTOR dalam jalur sinyal PI3K/Akt/mTOR pada astrositoma. Praktis : Hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan informasi bagi klinisi dalam rangka meningkatkan penatalaksaan pasien tentang kemungkinan pemberian terapi target penghambat PI3K, Akt ataupun mTOR pada pasien astrositoma.