BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di muka bumi. Hampir 80% spesies hewan yang ada di bumi berasal dari kelas Insekta. Serangga telah ada semenjak jaman Devonian dan memiliki beragam peran terkait dengan kehidupan manusia. Secara garis besar, manusia membagi serangga menjadi dua golongan, yaitu serangga menguntungkan dan merugikan. Serangga dianggap menguntungkan apabila memberikan hasil yang bermanfaat bagi manusia. Serangga dianggap merugikan apabila menyebabkan kerusakan dan gangguan bagi manusia. Serangga hama adalah serangga yang menyebabkan kerusakan dan kerugian terutama pada tanaman budidaya. Serangga hama berasal dari berbagai taksa dalam Kelas Insekta dan merusak berbagai komoditi pangan, sandang dan bangunan. Salah satu serangga hama yang banyak menyebabkan kerugian pada tanaman budidaya adalah Crocidolomia binotalis. Serangga ini banyak ditemukan pada lahan budidaya kubis (Brassicae oleracea L.). Crocidolomia binotalis pada tanaman kubis menyebabkan kerusakan parah. Menurut Uhan (2007), C.binotalis menyebabkan kerusakan pada tanaman dengan persentase 65-100%. Stadium C.binotalis yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah stadium larva. Oleh dari karena itu, sangat penting untuk dilakukan pengendalian
1
2
populasi C.binotalis sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas dan kuantitas budidaya kubis. Pengendalian populasi C.binotalis telah banyak dilakukan oleh pembudidaya kubis. Biasanya pembudidaya cenderung menggunakan insektisida kimia karena dinilai lebih efektif, efisien dan ekonomis. Penggunaan insektisida kimia memang dikatakan efektif karena menimbulkan mortalitas yang besar dalam waktu cepat, selain itu insektisida kimia banyak yang bersifat broad spectrum sehingga dinilai lebih ekonomis. Namun, penggunaan insektisida kimia memiliki dampak negatif dikemudian hari. Konsentrasi insektisida kimia yang digunakan pada suatu lahan pertanian
cenderung
mengalami
peningkatan
dari
waktu
kewaktu.
Selain
meningkatkan biaya produksi, pengaplikasian insektisida kimia secara berlebihan akan menyebabkan adanya resistensi hama terhadap insektisida, resurgensi hama, ledakan populasi hama sekunder dan matinya organisme non target sehingga kesetimbangan ekosistem akan terganggu. Dono et al., (2010) menyatakan bahwa Crocidolomia pavonana telah mengalami resistensi terhadap insektisida organofosfat yaitu profenos. Metode alternatif pengendalian hama C. binotalis adalah menggunakan agensia hayati. Salah satu agensia hayati yang digunakan untuk mengendalikan C.binotalis adalah bakteri Bacillus thuringiensis yaitu bakteri yang sangat potensial dalam mengendalikan berbagai hama dan vektor penyakit. Bacillus thuringiensis memiliki spesifisitas infeksi pada masing-masing strainnya dan bersifat ramah lingkungan karena dapat persisten di alam. Bacillus thuringiensis mudah
3
dikembangkan pada berbagai media dan memiliki beberapa lapis toksin seperti endotoksin, eksotoksin dan faktor virulensi lainnya. Adanya beragam faktor virulensi pada B.t. menyebabkan B.t. tidak mudah memicu resistensi pada serangga hama dan memiliki daya bunuh yang relatif cepat. Faktor virulensi utama dari B.t. adalah kristal protein endotoksin Cry yang bekerja sebagai racun perut. Endotoksin B.t. dapat menyebabkan kematian dengan merusak tekanan osmosis pada saluran pencernaan serangga. Endotoksin B.t. telah banyak digunakan sebagai insektisida sejak dahulu sehingga telah memunculkan gejala resistensi pada beberapa spesies hama. Ulat kubis Plutella xyostella diketahui resisten terhadap protein Cry1 dari B. t. (Lacey et al., 2001; Lacey & Kaya, 2007). Selain itu Heliotis virescens juga telah mengalami resistensi terhadap endotoksin Cry (Jackson et al., 2007). Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dan rekayasa agen pengendali hayati agar tidak menimbulkan resistensi. Salah satunya adalah dengan menggunakan fusan hasil fusi protoplasma B. t. var kurstaki (B. t. k.) dan B. t. var israelensis (B. t. i.). Fusan memiliki sifat patogen terhadap Diptera yang dimiliki oleh B. t. i. dan Lepidoptera yang dimiliki oleh B.t.k. Fusan B. t. k. dan B. t. i. memiliki patogenisitas ganda sebesar 96,67% dalam waktu 72 jam pada Helicoverpa armigera dan Anopheles aconitus (Sumarmi et al., 2009). Sumerta dan sumarmi (2014) telah mengujikan tiga strain fusan B. t. yaitu strain F28, F31, dan F33 terhadap Crocidolomia binotalis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa strain fusan B. t. yang paling berpotensi sebagai agensia pengendali hayati adalah strain F28 dan
4
F31. Strain F28 mampu menyebabkan mortalitas hingga 96,67% dan F31 hingga 50%. Keduanya tidak hanya menyebabkan mortalitas namun juga efek subletal. Bacillus thuringiensis diproduksi menggunakan berbagai media. Media produksi massal B.t. seperti media nutrient broth (NB), Luria bertani (LB) dan brain heart infusion (BHI) memberikan hasil produksi yang maksimal namun relatif mahal sehingga banyak dikembangkan media alternatif untuk menekan biaya produksi. Media alternatif yang telah banyak digunakan untuk produksi massa B.t. adalah air kelapa. Air kelapa dikembangkan sebagai media alternatif karena selain murah, air kelapa mudah diperoleh sehingga mempermudah aplikasi produksi massal B.t. pada kondisi di luar laboratorium. Namun, penggunaan media air kelapa memberikan hasil produksi berupa B.t. dengan patogenisitas yang lebih rendah daripada B.t. yang diproduksi dengan media laboratorium (Sumerta & Sumarmi, 2014; Yunus, 2011). Karena itu perlu dilakukan optimasi media alternatif yang digunakan untuk meningkatkan produksi dan patogenisitas B.t. Protein merupakan senyawa yang penting bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, kadar protein yang cukup pada media pertumbuhan akan membantu produksi protein-protein pada bakteri tersebut termasuk protein Cry pada B.t. Penambahan bahan berprotein tinggi seperti tepung ikan ke dalam media pertumbuhan bakteri dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan patogenisitas bakteri tersebut. Oleh karena itu, penting dilakukan adanya penelitian terkait optimasi media alternatif, terutama penambahan tepung ikan sebagai sumber protein tambahan yang murah dan mudah didapat.
5
Pada penelitian ini akan dilakukan pembiakan fusan B.t.k. dan B.t.i. strain F28 dan F31 pada media alternatif air kelapa yang ditambahkan sumber protein berupa tepung ikan. Hasil biakan berupa massa sel, endospora, dan toksin selanjutnya akan diuji patogenisitasnya terhadap larva C. binotalis. Diharapkan fusan B. t. strain F28 dan F31 biakan media campuran air kelapa dan tepung ikan dapat dikembangkan menjadi agensia pengendali hayati yang efektif terhadap larva C. binotalis.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah komposisi media yang baik untuk pertumbuhan massa sel fusan B. t. k. dan B. t. i.? 2. Isolat fusan B. t. k. dan B. t. i. manakah yang patogen terhadap C. binotalis? 3. Bagaimanakah patogenisitas fusan B. t. k. dan B. t. i. yang dibiakkan pada media campuran air kelapa dan tepung ikan terhadap ulat kubis C. binotalis? 4. Bagaimanakah efek subletal fusan B. t. k. dan B. t. i. terhadap C. binotalis?
C. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Memperoleh media campuran air kelapa dan tepung ikan yang baik untuk pertumbuhan fusan B. t. k. dan B. t. i. 2. Memperoleh isolat fusan B. t. k. dan B. t. i. yang patogen terhadap C. binotalis. 3. Mengetahui patogenisitas fusan B. t. k dan B. t. i hasil biakan media campuran air kelapa dan tepung ikan dengan penentuan nilai LC50.
6
4. Mengetahui efek subletal fusan B. t. k dan B. t. i. terhadap C. binotalis. Manfaat dari penelitian ini antara lain meningkatkan berbagai skill yang dimiliki oleh peneliti terkait disiplin ilmu (entomologi, botani, mikrobiologi dan biokimia) yang diterapkan pada penelitian ini. Selain itu memberikan informasi bagi peneliti lainnya mengenai agensia hayati dan medium yang memiliki potensi untuk pengembangannya serta menginformasikan kepada masyarakat mengenai metode penggunaan fusan B. t. k dan B. t. i menggunakan media alternative sebagai agensia pengendali hayati yang efektif terhadap C. binotalis. D. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini meliputi beberapa bidang ilmu, yaitu entomologi, mikrobiologi, botani, dan biokimia. Dalam bidang entomologi, peneliti memiliki skill dalam menangani serangga hama kubis C. binotalis sebagai serangga uji meliputi koleksi, rearing, dan pengujian. Dalam bidang mikrobiologi, peneliti mampu mengembangkan bakteri entomopatogen fusan B. t. k dan B. t. i. strain F28 dan F31 sebagai agensia pengendali hayati yang potensial pada berbagai media dan menganalisa perkembangannya. Dalam bidang botani, peneliti dapat mengetahui cara menanam kubis, mengetahui bagian dari tanaman kubis dan membedakan kubis yang sehat dengan kubis yang terserang hama. Bidang biokimia, peneliti mampu membedakan dan menganalisa pengaruh penambahan substansi protein terhadap pertumbuhan fusan B. t. k dan B. t. i.