BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tumor ditemukan
otak
mendapatkan
merupakan
banyak
penyebab
perhatian
kematian
kedua
karena setelah
stroke pada penyakit intrakranial orang dewasa (Ropper & Samuel, 2009). Dari laporan CBTRUS November 2012, ditemukan
bahwa
lokasi
terbanyak
terjadinya
tumor
sistem saraf pusat (SSP) adalah meninges. Meningioma merupakan tumor primer SSP yang tumbuh dari sel arachnoid, penyusun dural pembungkus sistem saraf pusat, yang menyumbang 13-26% dari seluruh tumor intrakranial
(Marosi,
et
al.,
2008).
Begitupula
disebutkan dalam laporan CBTRUS 2012, meningioma non maligna
memenuhi
1/3
dari
seluruh
laporan
histologi
tumor CNS di United States, diikuti glioblastoma. Hasil dari
studi-studi
penelitian Sardjito tumor
di
pada
epidemiologi
laboratorium tahun
intrakranial
2008
diatas
Patologi bahwa
terbanyak,
sesuai
Klinik
meningioma yaitu
dengan
RSUP
dr.
merupakan
sebesar
43,18%
(Susilowati, 2009). Gambaran histologis yang jinak dan pertumbuhannya yang lambat memang ditemukan pada 90% kasus meningioma,
1
2
namun beberapa bisa menjadi agresif dan rekurensinya tinggi disertai invasi ke otak dan tulang (Shayanfar, et
al.,
2009).
Karena
pertumbuhannya
yang
lambat,
biasanya tumor ini baru mengakibatkan gejala neurologis ketika ukurannya sudah besar dan menekan struktur di sekitarnya,
sehingga
kelainan
yang
dirasakan
sangat
tergantung pada lokasi tumor (Perry, et al., 2003). Frosch, et al. mengatakan
bahwa
(2010)
lokasi
dan Perry, et
tumbuhnya
al. (2003)
meningioma
paling
banyak di temukan di daerah intrakranial seperti pada regio
konveksivitas
olfaktorius,
otak,
sella
sphenoid
turcica,
wing,
foramen
sulkus magnum.
para/suprasellar, optic nerve sheath, petrous ridges, tentorium
dan
fossa
posterior.
Tapi
selain
itu
meningioma juga bisa terjadi di spinal regio thorakal. Dewasa ini, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk
mengetahui
paling
faktor
konsisten
(Barnholtz-sloan diinduksi
&
oleh
risiko
hasilnya
meningioma, adalah
Kruchko,
2007).
radiasi
ion
dan
yang
radiasi
ion
Meningioma
yang
biasanya
angka
proliferasinya tinggi. Sifat biologisnya yang agresif atau atipikal dan multifokal menyebabkan karakteristik klinisnya juga lebih agresif. (Shoshan, et al., 2008) Faktor
risiko
terkait
lingkungan,
gaya
hidup,
dan
3
genetik seperti hormon endogen dan eksogen, penggunaan hp, masih belum menunjukan hasil yang signifikan atau tidak
konsisten
(Barnholtz-sloan
&
Kruchko,
2007).
Faktor reproduksi, termasuk usia saat menarche, jumlah kehamilan, oral
dan
status terapi
menopause, hormon
penggunaan
pengganti
(HRT)
kontrasepsi juga
masih
kontroversial hasil studi kasus kontrol dan kohortnya. (Michaud, et al., 2011) Dalam
dua
dekade
terakhir,
semakin
banyak
penelitian tentang hubungan antara reseptor hormon seks dan
meningioma.
Berdasarkan
observasi
dari
angka
kejadian meningioma yang lebih tinggi pada perempuan daripada
laki-laki
pertumbuhan Lamberts,
(CBTRUS,
meningioma 1994),
dan
pada
2012), saat
peningkatan
kehamilan
keterkaitan
yang
laju
(Koper
kuat
&
antara
kanker payudara dengan meningioma (Rao, et al., 2009) menunjukan
bahwa
kemungkinan
adanya
pengaruh
dari
hormon seks wanita pada etiologi meningioma (Roser, et al., 2004; Michaud, et al., 2010). Korhonen, ekspresi
dari
et.
al.
reseptor
(2006)
meneliti
progesteron,
bahwa
ada
estrogen
dan
androgen pada meningioma, terutama reseptor progesteron yang
diekspresikan
pada
sebagian
besar
meningioma.
Diduga bahwa ekspresi reseptor progesteron dan derajat
4
histopatologi studi
meningioma
mengatakan
ada
bahwa
hubungannya. reseptor
Beberapa
progesteron
diekspresikan lebih banyak pada meningioma derajat I (Omulecka, et al., 2006; Roser, 2004; Taghipour, et al., 2007). Namun ada juga penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara ekspresi reseptor progesteron
dengan
derajat
keganasan
meningioma
(Drummond, et al., 2004). Walau begitu, terapi dengan pemberhentian hormon progesteron agonis maupun terapi dengan
memberikan
anti
reseptor
progesteron
sedang
dicoba untuk digunakan sebagai terapi hormonal untuk pengobatan meningioma (Korhonen, et al., 2006). Berdasarkan kriteria WHO, diketahui bahwa tiaptiap
derajat
tersebut, rendah
dan
meningioma
derajat
I
cenderung
menggambarkan
dinyatakan
jinak,
asimptomatik,
sifat
tumor
rekurensinya
derajat
II
lebih
agresif dan rekurensinya sedikit lebih tinggi, derajat III
dinyatakan
paling
agresif
dan
dikenal
sebagai
meningioma yang bersifat anaplastik. Dalam tiap-tiap derajat tersebut, dibagi lagi menjadi beberapa subtipe histopatologis meningioma. Dilihat dari banyaknya penelitian yang menyatakan bahwa
adanya
hubungan
antara
ekspresi
reseptor
progesteron terhadap derajat meningioma, maka ada juga
5
kemungkinan bahwa ada hubungan antar ekspresi reseptor progesteron dengan subtipe histopatologis meningioma. Ketidakpastian tentang penelitian-penelitian yang sudah ada membuat peneliti ingin melihat perbedaan ekspresi reseptor
progesteron
pada
berbagai
macam
subtipe
histopatologis meningioma jinak. B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
diajukan
permasalahan pada penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana
sebaran
subtipe
histopatologis
meningioma orbitokranial jinak pada kasus tumor meningioma di RSUP dr Sardjito tahun 2011-2012? 2. Bagaimana ekspresi reseptor progesteron pada sel tumor meningioma orbitokranial jinak? 3. Apakah
ada
progesteron
perbedaan pada
status
ekspresi
berbagai
macam
reseptor subtipe
histopatologis meningioma jinak? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui
sebaran
subtipe
histopatologis
meningioma orbitokranial jinak pada kasus tumor meningioma di RSUP dr Sardjito pada tahun 20112012.
6
2. Mengetahui ekspresi reseptor progesteron pada sel tumor meningioma orbitokranial jinak. 3. Membandingkan histopatologis ekspresi
berbagai meningioma
reseptor
macam jinak
progesteron
pada
subtipe berdasarkan sel
tumor
meningioma. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai ekspresi reseptor progesteron pada
sel
tumor
meningioma
telah
banyak
dilakukan,
antara lain: Judul Penelitian
Pengarang
Variable pembeda
Female predominance
Katariina
Sample: 1989-1999
in meningiomas can
Korhonen,
not be explained by
et. al.
differences in progesterone, estrogen, or androgen receptor expression Hubungan antara
Zaenal
Sample: 2006-2009
ekspresi reseptor
Arifin
Variabel terikat:
progesteron dengan
Anwar
derajat meningioma
derajat
menurut kriteria
histopatologis
WHO
menurut kriteria WHO Detection of
Mukherjee,
subtipe
progesterone
et al.
histopatologis
receptor and the
meningioma yang
7
correlation with Ki-
dibandingkan dari
67 labeling index in
derajat 1, 2, dan
meningiomas
3.
Dari penelitian – penelitian diatas dapat dilihat banyaknya keragaman hubungan
penelitian yang membahas tentang
reseptor
progesteron
dengan
meningioma,
terutama penelitian yang dilakukan oleh Zaenal Arifin pada
tahun
reseptor meningioma mengambil
2010
membahas
progesteron menurut populasi
tentang
dengan
kriteria terjangkau
hubungan
derajat WHO. di
histopatologis
Walaupun RSUP
ekspresi
Dr.
sama-sama Sardjito,
namun ada perbedaan tahun pengambilan sampel. Selain itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Mukherjee et.
al.
(2011)
yang
melakukan
penilaian
terhadap
ekspresi Ki-67 dan reseptor progesteron pada berbagai macam derajat, subtipe histopatologis meningioma serta meningioma
rekuren
penelitian
ini
dan
adalah
non-rekuren. pada
batasan
Bedanya
dengan
sampel,
dimana
sampel hanya meliputi blok parafin pasien meningioma orbitokranial di RSUP dr. Sardjito pada tahun 2011-2012 dengan klasifikasi WHO termasuk kedalam derajat satu.
8
E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian mengenai perbedaan status ekspresi
reseptor
progesteron
pada
meningioma
orbitokranial dengan subtipe histopatologis meningioma jinak (Derajat I) berdasarkan kriteria WHO dari kasuskasus meningioma di RSUP dr. Sardjito pada tahun 20112012 ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi
para
peneliti
selanjutnya
untuk
mengembangkan
penelitian-penelitian lanjutan terkait faktor resiko, terapi,
dan
teori-teori
lain
sebagainya
mengenai
karena
meningioma
progesteron masih kontroversial.
dan
sampai status
sekarang, reseptor