BAB I PENDAHULUAN
Seminoma testis merupakan kelompok tumor sel germinal yang jarang ditemukan. Tumor sel germinal testis merupakan tumor yang berasal dari sel-sel spermatogenik penyusun epitel germinal tubulus seminiferus. 1 Tumor sel germinal sendiri juga dapat ditemukan di luar gonad meskipun insidensinya lebih jarang
dan banyak
ditemukan pada bidang median tubuh, seperti corpus pineale, neurohyphophysis, sacrococcygeus, mediastinum anterior dan retroperitoneum. 2 Retroperitoneum merupakan lokasi manifestasi tumor sel germinal extragonad kedua setelah mediastinum anterior. 1,2 Testis merupakan lokasi tumor sel germinal tersering pada pria dan hanya 1%-2% berasal dari lokasi lain. Tumor sel germinal testis banyak ditemukan pada kelompok usia 15-35 tahun. Insidensinya meningkat dari 4,1 kasus dari 100.00 pria pada populasi umum di tahun 1975 hingga 6,6 kasus dari 100.00 pria pada tahun 2005. Menurut National Cancer Data Base, seminoma berkontribusi sebanyak 56% dari seluruh tumor sel germinal, sedangkan tumor sel germinal sendiri hanya meliputi 1% dari seluruh keganasan pada pria. 2,3
Penggolongan tumor testis menjadi seminoma tumor sel germinal dan non seminoma tumor sel germinal memegang peranan penting dalam penentuan terapi dan prognosis. Seminoma memiliki prognosis yang paling baik dibandingkan tumor sel germinal lainnya karena sensititivitasnya yang tinggi terhadap radiasi dan kemoterapi. Sedangkan nonseminoma memiliki prognosis yang kurang baik karena tidak radiosensitif. Usia dekade ke-4 merupakan usia tersering ditemukannya seminoma testis. Sedangkan tumor sel germinal
1
non seminoma banyak diderita pada usia yang lebih awal yaitu dekade ke-3, termasuk carcinoma embrional, teratoma, choriocarcinoma dan yolk sac tumor. 1,2,3 Pasien seminoma biasanya datang dengan massa di testis yang kadang berkaitan dengan rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah atau scrotum. Nyeri jarang dijumpai dan hanya dijumpai pada 10% kasus. Karakteristik gambaran seminoma pun memiliki kemiripan dengan kebanyakan tumor testis lainnya. Tumor testis dapat mengalami regresi, nekrosis dan membentuk jaringan fibrosa atau scar, sehingga dapat ditemukan pasien dengan ukuran testis yang normal atau bahkan mengecil. 5 Hampir 1/3 pasien dari sebuah populasi mengalami kekeliruan saat didiagnosis awal sebagai lesi primer di testis seperti epididymitis, orchitis, hidrocele atau suatu proses metastasis di testis. 3,5 Selain itu, pola penyebaran tumor sel germinal termasuk seminoma mengikuti drainase lymphatic menuju lymphonodi retroperitoneal, sehingga pembesaran abdomen sering ditemukan pada kasus tersebut. Retroperitoneum merupakan lokasi tersering dari suatu lesi baik primer seperti lymphoma, liposarcoma, teratoma, dan lain-lain ataupun sekunder, seperti lymphadenopathy metastasis dari suatu tumor. 3,4 Seperti yang telah disebutkan di atas, retroperitoneum juga merupakan manifestasi tumor sel germinal extragonad, meskipun hanya 1%-2,5% dari seluruh tumor sel germinal. Klinisi sering mengalami kesulitan membedakan tumor sel germinal ekstragonad dengan lesi metastasis seminoma yang memiliki kecenderungan penyebaran melalui saluran lymphatic menuju lymphonodi retroperitoneal, terlebih apabila tidak ditemukan suatu kelainan pada USG scrotum.5,6 Crossover penyebaran lymphatik dapat terjadi baik dari testis kanan maupun kiri. Penyebaran drainase lymphatik kelompok tumor testis kanan ke testis kiri sering ditemukan. Pernah dilaporkan drainase lymphatik kelompok lymphonodi dari kelompok
2
tumor testis kiri ke kanan meskipun sangat jarang. Menurut Oto, et al, metastasis kontralateral jarang ditemukan tanpa keterlibatan lymphonodi ipsilateral. 5,6,7 Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik, pengenalan karakteristik lesi pada
USG scrotum untuk menentukan suatu lesi primer atau metastasis di testis memegang peranan penting dalam penentuan diagnosis tumor testis yang akan mempengaruhi terapi dan prognosis selanjutnya. Pengetahuan tentang pola metastasis seminoma testis juga perlu diperhatikan dalam mengevaluasi suatu massa scrotum. Alasan penulisan referat ini ialah gambaran seminoma testis pada pemeriksaan USG seringkali tidak spesifik sehingga sering dikelirukan dengan lesi lain di testis. Penulisan referat ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik gambaran USG seminoma testis sehingga dapat mengetahui suatu lesi primer atau sekunder di testis serta berbagai kemungkinan diagnosis bandingnya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Terminologi Seminoma Seminoma berasal dari bahasa Latin, semen dan oma. Seminoma merupakan tumor sel germinal yang berasal dari spermatogonium. Seminoma memiliki gambaran histologis yang identik dengan disgerminoma ovarii pada wanita. 8 II.2. Epidemiologi Puncak insidensi seminoma terjadi pada usia 30 tahun. Sebelum pubertas, seminoma merupakan tumor testis yang sangat jarang, dan tidak pernah ditemukan pada usia dekade ke-1 khususnya pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun. 9 II.3. Anatomi, Vaskularisasi dan Persarafan Testis II.3.1. Anatomi Testis Testis terletak di scrotum, berukuran masing-masing ± 4 cm x 3 cm x 2,5 cm, volume 25 ml yang dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut tunica albuginea. Parenkim testis terdiri dari 250-350 lobulus yang akan mengalirkan cairan melalui mediastinum testis menuju epididimis. Masing-masing lobulus dipisahkan oleh septa jaringan ikat yang berasal dari mediastinum testis. Sebuah lobulus testis terdiri dari beberapa tubulus seminiferus yang berakhir dan bermula di rete testis. Tubulus seminiferus bermuara di bagian posterior untuk membentuk ductus yang lebih besar yaitu tubulus rectus yang akan mengalirkan cairan menuju rete testis di bagian hilum testis. 3,8
4
Rete testis mengumpul di bagian posterior membentuk 15-20 ductus efferen yang masuk melalui sebuah area yang menebal di tunica albuginea untuk membentuk caput epididymis. Area tersebut akan masuk ke testis dan membentuk mediastinum testis. Ductus, saraf dan pembuluh darah masuk dan keluar testis melalui mediastinum tersebut. Sekali berada di epidydimis, ductus efferen mengumpul membentuk tubulus convolutus di corpus dan cauda yang akan keluar dari epididymis sebagai vas deferens.
3,8
(gambar 1).
Sel germinal dan sel Sertoli merupakan sel penyusun tubulus seminiferus. Spermatogenesis akan menghasilkan spermatogonium yang selanjutnya akan menjadi spermatocyt, spermatid dan akhirya spermatozoa yang akan bermigrasi menuju bagian tengah tubulus. Sedangkan sel Sertoli yang berperan dalam maturasi sel germinal akan menuju ke lumen tubulus. Sel Sertoli yang saling berikatan berperan sebagai blood-testis barrier. Ruang interstitial di antara tubulus seminiferus berisi sel Leydig berperan dalam produksi hormon testosteron, jaringan ikat, lymphatic, pembuluh darah, dan sel mast. 3,8
II.3.2. Vaskularisasi Testis
Testis diperdarahi oleh a. testicular yang merupakan cabang dari aorta abdominal. Epidydimis diperdarahi oleh a. epidydimis superior, cabang dari a. testicular. Jaringan peritesticuler diperdarahi oleh a. cremasterica yang merupakan cabang dari a. epigastrica inferior dan beranastomosis dengan a. deferential. Sedangkan a. deferential sendiri merupakan cabang dari a. vesicle superior yang memperdarahi vas deferens. Terdapat anastomosis yang bervariasi antara a. epidydimis posterior, a. deferential dan a. cremasterica (gambar 2).
5
Cabang a. transmediastinal dari a. testicular tampak memperdarahi separuh bagian dari testis. Arteri tersebut melewati mediastinum untuk memperdarahi a. capsular bersamaan dengan komponen vena. Pembuluh vena testis berasal dari plexus pampiniformis (plexus venosa pada spermatic cord) yang membentuk vena testicularis dan mengosongkan hingga vena renalis (sebelah kiri) atau vena cava inferior (sebelah kanan) 10
II.3.3. Sistem Lymphatic Testis Pembuluh lymphatic testis mengalikan cairan lympha melalui spermatic cord menuju lymphonodi paraaorta. Sedangkan pembuluh lymphatic scrotum mengalirkan cairan lymphatic menuju lymphonodi inguinal. 10
II.3.4. Persarafan Testis
Persarafan otonom testis berasal dari ganglia paraaortic yang terdiri dari ramus genitalis dari n. genitofemoral dan n.ilioinguinal. Ramus genitalis n.genitofemoral berasal dari plexus lumbal setinggi L1-2 yang melewati canalis inguinalis. Saraf tersebut mempersarafi kulit scrotum, m. cremaster dan tunica dartos. Sedangkan n. ilioinguinal berasal dari plexus lumbal mempersarafi kulit scrotum, penis dan selangkangan. 10
II.4. Embriologi Testis. amy Meskipun jenis kelamin embrio ditentukan berdasarkan kromosom, tidak terdapat perbedaan seksual pria dengan wanita hingga usia embrio 7 minggu. Hingga waktu itu, embrio dari 2 jenis kelamin berkembang secara identik yang disebut sebagai indifferent stage. Undifferentiated gonad terdiri dari 3 sel dengan tipe yang berbeda, yaitu mesenkim, mesothelium dan sel germinal. Selama indifferent stage, genital ridge terbentuk dari hasil 6
kondensasi mesenkim di kedua sisi bidang median. Ridge tersebut meluas dari VTh 6 menuju segmen VS 2 dari embrio yang sedang berkembang dan dilapisi oleh mesothelium yang sedang berproliferasi. Selanjutnya sel-sel tersebut akan berproliferasi dan migrasi membentuk primitve sex cord (gambar 3). Komponen ketiga gonad yang sedang berkembang yaitu sel germinal primordial. Sel-sel germinal membentuk dinding yolk sac dan kemudian bermigrasi sepanjang hindgut dorsal mesenteric root ke dalam genital ridge. Sekali sel-sel germinal mencapai genital ridge, akan terbentuk primitive sex cord.5 Undifferentiated gonad selanjutnya akan menuju testis untuk penentuan kromosom Y. Di bawah pengaruh faktor penentu kromosom Y, primitive sex cord membentuk tubulus seminiferus. Tubulus tersebut terbentuk dari 2 sel yang berbeda: (a) Sel Sertoli yang berasal dari mesothelium dan (b) Spermatogonium dari sel-sel germinal. Mesenkim diantara tubulus seminiferus yang sedang berkembang selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel Leydig (interstisial). Kapsul fibrosa yang tebal yaitu tunica albuginea terbentuk membungkus testis.5 Memasuki usia kehamilan 8 minggu, sel Leydig memproduksi testosteron. Di bawah pengaruh hormon tersebut, ductus mesonephric (Wolfian) berdiferensiasi menjadi epididymis, vas deferens, vesicula seminalis, dan ductus ejaculatorius. Selain itu, sel-sel Sertoli akan mensekresi Mulleri inhibiting factor yang menyebabkan regresi ductus paramesonephric.5 Di antara usia kehamilan 7 minggu hingga 12 minggu, testis akan berkontraksi dan menjadi lebih oval karena turun menuju pelvis. Testis akan tetap berada pada cincin inguinal hingga bulan ke-7 ketika mulai turun melalui canalis inguinalis membentuk 2 saccus srotum. 5
7
II.5. Gejala Klinis Gejala klinis yang timbul pada seminoma testis dapat bervariasi. Massa scrotum yang membesar biasanya tidak menimbulkan nyeri, meskipun 10% kasus dapat disertai nyeri akibat perdarahan di dalam tumor. Keluhan lain berupa sensasi rasa penuh di abdomen bagian bawah atau scrotum. Pasien biasanya datang berobat setelah terlambat 3-6 bulan setelah onset gejala timbul. Pada beberapa kasus, seminoma testis dapat dikelirukan dengan orchitis. Tumor dapat mengalami regresi, nekrosis dan terbentuk jaringan ikat yang disebut sebagai burned out tumor sel germinal. 3,5,11 Pemeriksaan fisik menunjukkan testis yang sedikit mengeras atau nodul di testis yang tidak menimbulkan nyeri. Palpasi abdomen, regio cervical dan inguinal sebaiknya dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis. Gynecomasti dapat ditemukan pada 5% tumor sel germinal dan dengan persentase yang lebih tinggi pada tumor sel interstisium gonad (sel Leydig). 3,5,11 Sedangkan seminoma testis dengan metastasis retroperitoneal sering menimbulkan rasa nyeri di punggung, malaise, letargi, dan keluhan sistemik lainnya akibat keterlibatan lymphonodi paraaortic. Gangguan pernapasan dapat timbul akibat metastasis ke pulmo, terabanya massa di leher akibat metastasis ke lymphonodi supraclavicula atau gangguan pencernaan yang timbul akibat metastasis ke retroduodenal. 5,11 II.6. Klasifikasi Tumor Testis Berdasarkan WHO, tumor testis diklasifikasikan menjadi 5 kelompok besar, yaitu tumor sel germinal, sex cord dan stromal tumor, sel germinal dan sex cord-stromal tumor, tumor lymphoid dan hematopoietik, dan metastasis (tabel 1). Seminoma testis termasuk dalam kelompok tumor sel germinal yang berasal dari sel-sel spermatogenik. 3,11
8
II.7. Faktor Risiko Selama perkembangan fetus, testis berkembang di abdomen dan selanjutnya turun menuju scrotum pada trimester ketiga, biasanya pada usia kehamilan 28 minggu hingga 32 minggu. Saat turun, testis dapat singgah di tempat manapun sepanjang tractusnya atau bermigrasi di luar posisi normal. Cryptochidism atau dikenal sebagai undescensus testiculorum didefinisikan sebagai kegagalan sebagian atau seluruh bagian testis intraabdominal turun ke scrotum. Canalis inguinalis merupakan lokasi tersering (72%), diikuti prescrotal (62%) dan abdomen (8%).12 5%-10% pasien dengan riwayat cryptochidism akan berkembang menjadi keganasan pada testis normal kontralateralnya. 13 Sedangkan testis yang bermigrasi di luar posisi normal saat perkembangan testis disebut testis ektopik. Risiko terjadinya seminoma testis 40 kali lipat lebih tinggi pada testis ektopik dibandingkan pada testis normal. Selain itu, testis yang terletak di abdomen akan mengalami degenerasi maligna 4 kali lipat dari testis yang terletak di inguinal. Menurut Barzi, et al, peningkatan temperatur lokal pada testis ektopik memacu terjadinya karsinogenesis. Terjadi penurunan kualitas spermatogenesis, kelainan sel Leydig dan keterlambatan sel Sertoli di testis yang memicu terjadinya infertilitas. 12,13 Selain itu, pernah dilaporkan temuan insidental mikrolithiasis yang berkaitan dengan peningkatan insidensi keganasan testis.
14
Mikrolithiasis didefinisikan
sebagai mikrokalsifikasi akibat deposit kalsium di tubulus seminiferus. Ikinger, et al mengidentifikasi ditemukannya 74% mikrokalsifikasi pada spesimen tumor testis yang dilakukan orchiektomi. 16% dari temuan tersebut menunjukkan proses benigna, sehingga dapat dikatakan mikrokalsifikasi lebih banyak ditemukan pada proses malignansi. 3,5,14
9
Disgenesis gonad, setiap kondisi yang berhubungan dengan kelainan kromosom seks, atrophy testis, riwayat trauma testis dan riwayat tumor pada testis berkaitan dengan peningkatan insidensi keganasan testis. 3 II.8. Pemeriksaan Laboratorium Tumor marker memegang peranan penting dalam diagnosis, prognosis, dan follow up pasien dengan tumor sel germinal testis. 3 Pada 20%-25% pasien, seminoma berkaitan dengan peningkatan beta-human chorionic gonadotropin (β-hCG) yang diproduksi oleh sincytiotrophoblast, meskipun kadar β-hCG juga dapat meningkat pada tumor sel germinal
non seminoma
seperti choriocarcinoma
yang
ditandai
dengan adanya
sincytiotrophoblast dan cytotrophoblast.15 Alpha fetoprotein (AFP) yang diproduksi oleh yolk sac cell meningkat pada 50%-70% pasien karsinoma sel embrional, yolk sac tumor, atau tumor dengan komposisi campuran. Peningkatan AFP tidak pernah ditemukan pada seminoma atau choriocarcinoma, tetapi dijumpai pada 50%-60% tumor sel germinal non seminoma. Hal tersebut berguna untuk membedakan tumor sel germinal seminoma dengan non seminoma. Apabila kadar AFP ditemukan meningkat dan pemeriksaan histologi menunjukkan seminoma, maka pasien akan diterapi sebagai tumor sel germinal non seminoma. 15,16 Sedangkan LDH merupakan enzim penanda kerusakan jaringan dengan waktu paruh 5-7 hari dan dapat meningkat baik pada seminoma maupun tumor non sel germinal lainnya. Peningkatan kadar LDH merupakan penanda keganasan testis stadium lanjut. 15,16 Ketiga tumor marker tersebut tidak hanya berguna dalam diagnosis tumor testis, tetapi juga untuk penentuan staging. Pengukuran tumor marker dilakukan sebelum tindakan pembedahan dan dinilai kembali setelah pembedahan untuk mengetahui pola
10
penurunan konsentrasinya. Peningkatan konsentrasi tumor marker yang tetap persisten setelah pembedahan merupakan indikasi adanya tumor residu atau rekuren.
II.9. Pemeriksaan Histopatologis Penampang
makroskopis
seminoma
menunjukkan tumor
berwarna
keputihan, berlobul, homogen yang terbatas pada tunica albuginea. Tumor tidak meluas ke tunica vaginalis, epididymis maupun spermatic cord (gambar 4). Penyebaran di luar tunica albuginea menuju spermatic cord hanya ditemukan pada beberapa kasus.18 Berdasarkan gambaran histopatologisnya (gambar 5), seminoma dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu klasik (85%), spermatocytic (4%-6%) dan seminoma dengan sel-sel syncytiocytotrophoblastic. Tipe spermatocytic sangat jarang, terjadi pada pria yang lebih tua dan memiliki prognosis yang baik. Sedangkan tipe klasik dan syncytiocytotrophoblastic memiliki kemiripan, meskipun tipe syncytiocytotrophoblastic berkaitan dengan peningkatan kadar serum ᵦ-HCG. Kadang-kadang, gambaran mitosis dapat ditemukan. Ketika 3 atau lebih gambaran mitosis ditemukan, hal tersebut disebut sebagai seminoma dengan index mitosis yang tinggi atau seminoma anaplastik (5%-10%). Seminoma anaplastik merupakan subtipe seminoma yang lebih agresif . Kebanyakan seminoma hanya terbatas pada testis.16 II.10. Pemeriksaan Radiologi II.10.1. USG Pemeriksaan
USG
merupakan
pilihan
modalitas
pertama
untuk
mendiagnosis penyakit scrotum. Gambaran seminoma bervariasi dari lesi kecil yang memberikan gambaran hipoechoik, homogen, berbatas tegas hingga lesi berukuran besar
11
yang cenderung heterogen.7 (gambar 6). Kadang lesi juga tampak berlobul yang tampak berhubungan dengan nodul yang lain (gambar 7). Berdasarkan sebuah penelitian prospektif Dogra, et al menyatakan bahwa 10% seminoma dapat memiliki komponen kistik. Komponen kistik yang tampak pada USG tersebut ternyata merupakan dilatasi rete testis yang disebabkan oklusi akibat tumor dan nekrosis likuefaksi.17 (gambar 8). Dibandingkan tumor testis lainnya seminoma kurang agresif karena biasanya tumor terbatas pada tunica albuginea. 15,16 Menurut Krohmer, et al USG scrotum tidak bisa membedakan lesi solid jinak atau ganas, bahkan ketika USG Doppler telah dilakukan. 3 USG Doppler memberikan gambaran hipovaskularisasi bila lesi berukuran <1,5 cm dan hipervaskularisasi bila lesi berukuran ≥1,6 cm.8 Seminoma testis menunjukkan hipervaskularisasi intralesi maupun perifer lesi dengan high diastolic flow yang menghasilkan low resistance seperti tumor testis pada umumnya. Pola vaskularisasi seminoma pun menunjukkan irregular branching (gambar 9) dan dapat menghasilkan aliran darah yang high resistance apabila tumor mengalami perdarahan (gambar 10). Mikrolithiasis juga sering ditemukan pada seminoma yang memberikan gambaran fokus hiperechoik punctata berukuran 1-2 mm yang tidak menimbulkan acustic shadow (gambar 11) karena ukuran kalsifikasi yang terlalu kecil. Mikrolithiasis merupakan deposit kalsium di dalam tubulus seminiferus. Menurut Sasic, et al mikrolithiasis timbul dari akumulasi debris seluler membentuk kalsifikasi di bagian sentralnya yang dikelilingi oleh jaringan ikat
atau serabut kolagen yang konsentris. Mikrolithiasis tersusun oleh
hydroxyapatit dan komponen yang menyerupai protein. 14
12
II.10.2. CT scan CT merupakan modalitas untuk melihat ada tidaknya metastasis tumor testis ke retroperitoneum. Pemeriksaan tersebut akan memvisualisasikan regio periaortic dan pericaval dengan baik yaitu dengan melihat ada tidaknya lymphadenopathy. Dalam mendeteksi lymphonodi reaktif dengan lymphadenopathy metastasis, pemeriksaaan USG lebih superior dibandingkan CT.19,20 Beberapa parameter yang dapat digunakan dalam penilaian lymphonodi yang mengarah gambaran metastasis ialah ukuran, lokasi, bentuk, kontur dan arsitektur internal lymphonodi. Lymphonodi abdomen berukuran >1 cm dicurigai sebagai gambaran metastasis, terutama apabila terletak di hilus renalis atau area periaortic atau pericaval. Berbagai penelitian mengemukakan tingkat akurasi CT dalam mendeteksi lymphonodi retroperitoneal sebesar 73%-97%. Sensitivitas berkisar dari 65%-96% dan spesifitas berkisar dari 81%-90%. Akan tetapi, ingkat akurasi CT dalam mendeteksi lymphonodi terbatas pada stadium N1-N2 dan ukuran lymphonodi <4mm.18,19 Vinnicombe, et al, mengemukakan batas maksimum diameter aksis pendek untuk lymphonodi pasien dengan tumor testis 9 mm untuk regio iliaca communis, 10 mm untuk regio iliaca externa dan 7 mm untuk regio iliaca interna. Koh, et al memasukkan kategori suspicious lymph node apabila ukuran diameter maksimum aksis pendek lymphonodi retroperitoneal 8 mm pada pasien dengan keganasan testis. Tabel 2 menjelaskan ukuran lymphonodi yang bervariasi berdasarkan lokasinya. 20 Lymphonodi metastasis cenderung berbentuk bulat dengan tepi irreguler (gambar 12). Lymphonodi yang terletak di jalur drainase lymphatik dari tumor primer dengan ukuran borderline atau bertambah besar memiliki probabilitas besar suatu infiltrasi proses metastasis.20 13
II.10.3. MRI MRI merupakan modalitas pilihan ketika hasil pemeriksaan fisik dan USG belum dapat diambil suatu kesimpulan. Meskipun USG memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi suatu massa testis, hal tersebut tidak spesifik untuk diagnosis tumor tersebut. Deteksi sebuah tumor akan menemui kesulitan ketika parenkim testis terganti oleh neoplasma, terlebih lagi ketika testis di sebelahnya telah diambil. Pemeriksaan USG tidak memiliki resolusi yang cukup untuk visualisasi septasi dan tunica albuginea testis. MRI memiliki sensitivitas dan resolusi yang tinggi dalam membedakan jaringan testis dan mampu menampilkan tumor kecil yang tidak dapat dideteksi melalui USG. 1 MRI akan membedakan seminoma dari nonseminoma berdasarkan intensitas sinyal dan homogenitas lesi, keberadaan septa fibrovaskuler, kapsul tumor, dan pola penyangatan kontras.1 Umumnya MRI seminoma menunjukkan gambaran noduler dan hipointensi pada T2WI. Sebaliknya, tumor sel germinal campuran memiliki gambaran inhomogen tergantung komponen histologi dan ada tidaknya perdarahan. Oleh karena itu, pemeriksaan MRI dianjurkan sebagai pemeriksaan pelengkap untuk mengevaluasi tumor testis apabila terdapat ketidaksesuaian pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan USG dan karakteristik perluasan tumor.1,2 II.11. Mekanisme Pembentukan dan Metastasis Seminoma Testis Lymphonodi retroperitoneal merupakan lokasi metastasis tumor sel germinal yang paling sering ditemukan. Metastasis tersebut kebanyakan melalui jalur paraaortic (gambar 13). Pembuluh lympha testis mengikuti pembuluh darah testis menuju ke atas melalui spermatic cord. Pada cincin inguinal, pembuluh lympha berlanjut ke atas sepanjang pembuluh darah gonad, anterior dari m.psoas, dan berakhir di lymphonodi paraaortic dan paracaval setinggi hilum renalis. 20 14
Sentinel node metastasis dari testis kanan terletak pada rantai aortocaval setinggi VL 2 yang selanjutnya ke arah inferior menuju hilus renalis, yaitu di area interaorto caval, diikuti nodus paraaortic dan preaortic (nodus paracaval, precaval dan aortocaval). Sedangkan sentinel node metastasis testis kiri terletak di kelompok lymphonodi paraaortic kiri di bawah vena renalis kiri, lymphonodi preaortic, diikuti nodal interaortocaval (gambar 14).20 Crossover dari kelompok lymphonodi testis kanan ke lymphonodi retroperitoneal kiri dapat terjadi pada 13% kasus seminoma testis, mengikuti aliran normal menuju cysterna chyli dan ductus thoracicus. Sedangkan crossover dari kiri ke kanan pernah dilaporkan, meskipun dengan prevalensi yang lebih sedikit (<2% kasus seminoma testis). Menurut Oto, et al, metastasis pada lymphonodi kontralateralnya jarang ditemukan tanpa keterlibatan lymphonodi ipsilateralnya. 7 Tumor dari lymphonodi regional (perivisceral dan paraaortic) selanjutnya dapat menyebar ke kelompok lymphonodi nonregional, termasuk iliaca communis, iliaca interna, nodal iliaca externa atau melewati ductus thoracicus menuju nodal supraclavicula kiri dan selanjutnya menuju paru-paru.7 Menurut Bantis, et al, pernah dilaporkan suatu kasus langka seminoma testis stadium I dengan pembesaran lymphonodi inguinal tanpa melibatkan lymphonodi retroperitoneal. Pada kasus tersebut terdapat riwayat pembedahan scrotum atau inguinal sebelumnya.21 Sedangkan menurut Grant, et al, keterlibatan lymphonodi inguinal terjadi apabila tumor menginvasi dinding scrotum. Oleh karena ukuran tumor yang terus membesar, tumor dapat menyebar dari sentinel node menuju lymphonodi iliaca communis, iliaca interna dan iliaca externa. Tumor di dalam epydidimis dapat menyebar langsung ke lymphonodi iliaca externa. Setelah orchiectomi, lymphonodi pelvis dan inguinal sebaiknya dianggap sebagai lymphonodi
15
regional karena jalur aliran lymphatik normal sudah mengalami banyak perbedaan setelah pembedahan.20,21 II.12. Staging Seminoma Testis Klasifikasi berdasarkan American Joint Committe on Cancer menggunakan parameter TNM (tumor, nodul dan metastasis). Skema tersebut memperhatikan perluasan tumor, ukuran lymphonodi, ada tidaknya metastasis jauh dan tumor marker. Tumor testis pada stadium awal akan terbatas pada testis, epididymis atau spermatic cord (T1-T3) dan adenopathy ringan hingga sedang (N1 dan N2). Sedangkan tumor stadium lanjut akan menginvasi dinding scrotum (T4), adenopathy retroperitoneal (N3) atau metastasis ke organorgan dalam (M1). Kadar tumor marker serum seperti alfa fetoprotein, ᵦ-hCG dan LDH juga berperan dalam penentuan klasifikasi TNM (tabel 3 dan 4). 7,21 II.13. Diagnosis Banding III.13.1. Orchitis Orchitis
tanpa
keterlibatan
epididimyitis
sangatlah
jarang.
Baik
epididymitis maupun orchitis umumnya terjadi unilateral dengan keluhan nyeri scrotum, demam, sering buang air kecil, nyeri saat buang air kecil atau tidak bisa menahan kencing. Inflamasi tersebut bersifat progresif dimulai dari ductus deferens, spermatic cord, caput, corpus dan cauda epididymis dan terakhir ke testis. Orchitis tanpa epididymitis jarang terjadi karena 20%-40% kasus epididymitis meluas ke testis. Pada pemeriksaan fisik, epididymis dapat dipalpasi sebagai bangunan lunak yang terpisah dari testis, sedangan pada epididymoorchitis atau orchitis testis tampak membesar dengan indurasi. Secara klinis, nyeri scrotum akibat epididymitis atau orchitis biasanya berkurang ketika testis diangkat hingga ke symphisis pubis (Prehn sign). Manuver 16
tersebut berguna untuk membedakan epididymitis dengan torsi spermatic cord, dimana nyeri scrotum pada torsi tidak berkurang dengan perlakuan tersebut Pada epididymoorchitis testis tampak membesar, hipoechoik dengan struktur heterogen diffus, sehingga tampak hipervaskularisasi pada epididymis dan testis yang terkena (gambar 15). Pembuluh darah vena intratestis dengan mudah diidentifikasi, dimana pada gambaran spektral menunjukkan peningkatan aliran diastolik pada aliran arteri dengan resistensi yang rendah. displacement dari pembuluh darah (gambar 16). Distribusi orchitis sendiri dapat diffus atau fokal. Orchitis diffus menunjukkan pembesaran testis dengan struktur yang heterogen, sedangkan orchitis fokal menggambarkan lesi hipoechoik fokal yang biasanya meluas ke epididymis yang mengalami inflamasi.27,28 Pada kasus tersebut tampak hipervaskularisasi tanpa displacement pembuluh darah pada USG Doppler (gambar 17). Gambaran hipoechoik dengan struktur yang heterogen pada inflamasi epididymis dan testis bukanlah merupakan temuan yang patognomonik. Gambaran hipoechogenisitas juga dapat terlihat pada invasi leukemia atau lymphoma ke testis. Pada penderita myeloproliferatif, diagnosis epididymoorchitis ditegakkan setelah kemungkinan neoplasma disingkirkan. Selain itu, gambaran inflamasi testis kadang-kadang berupa lesi fokal yang sukar dibedakan dengan neoplasma. II.13.2. Infiltrasi Leukemia ke Testis Lesi metastasis di testis sangatlah jarang, kecuali pasien dengan leukemia atau lymphoma, yang diikuti dengan keganasan prostat, paru, melanoma maligna dan colon. 17 Oleh karena tumor testis primer lebih banyak diderita pada usia muda, infiltrasi leukemia ke testis lebih dimungkinkan dibanding lymphoma yang banyak diderita pada usia dekade ke-6.
17
Menurut Wiernik, et al, infiltrasi AML ke testis lebih jarang ditemukan dibandingkan ALL, dengan insidensi 1%-8%. Meskipun tumor testis pada pasien dewasa tua (> 60 tahun) cenderung merupakan proses sekunder, terdapat beberapa pengecualian termasuk keganasan ginjal, colon dan gaster. Testis merupakan tempat extrameduler tersering yang menunjukkan relaps ALL setelah sistem saraf pusat. Protokol terapi terbaru telah terbukti mengurangi insidensi relaps, tetapi relaps di testis ternyata dapat terjadi 13 tahun setelah terapi awal. Belum jelas apakah sel-sel leukemia bertahan dalam jangka waktu yang lama di interstisium testis atau menyebar ke testis.22 Biasanya tidak terdapat keluhan nyeri pada pembesaran testis pada metastasi leukemia di testis, meskipun nyeri masih bisa ditemukan pada 0,1%-0,2% kasus. 50% kasus metastasis leukemia ke testis terjadi bilateral. Pemeriksaan histologi dari biopsi testis menunjukkan infilrasi interstisial difus leukemia dengan berbagai derajat invasi dan destruksi tubulus seminiferus.23 Gambaran USG infiltrasi leukemia di testis tidak spesifik. Testis tampak membesar dan mengandung daerah hipoechoik fokal atau diffus yang dapat homogen atau inhomogen dan kadang dapat ditemukan nodul solid yang hipervaskuler (gambar 18). Apabila pembesaran testis tersebut tanpa disertai nyeri ditemukan pada penderita leukemia yang progresif saat bone marrow remission, kemungkinan infiltrasi leukemia sangatlah besar pada kasus tersebut.22,23 USG Doppler infiltrasi leukemia ke testis menunjukkan peningkatan vaskularisasi testis yang diffus tidak terpengaruh besar kecilnya lesi. 17 Hal tersebut sulit dibedakan dengan inflamasi. Akan tetapi, kebanyakan infiltrasi leukemia ke testis menunjukkan pola vaskularisasi yang tidak beraturan (gambar 19). Temuan pembesaran 18
epididymis dan penebalan dinding scrotum dapat membantu diagnosis ke proses non neoplastik.24 II.13.3. Hematom Testis Hematom testis menyerupai gambaran tumor testis pada umumnya, yaitu berupa lesi hipoechoik atau hiperechoik. Cairan di dalam hematom dapat tampak heterogen. Hematom scrotum sering menyertai hematom testis yang dapat tampak sebagai penebalan fokal dinding scrotum atau kumpulan cairan di dalam dinding scrotum. 19 (gambar 20). USG Doppler menunjukkan lesi avaskuler disertai distorsi vaskuler dan interruption vaskuler di area hematom. Echogenisitas hematom bervariasi sesuai dengan usia hematom. Gambaran hipoechoik akan tampak pada hematom akut dan heterogen dengan atau tanpa disertai kalsifikasi pada hematom kronis. 19 (gambar 21) II.14. Penatalaksanaan Orchiektomi merupakan pilihan tindakan untuk semua tumor sel germinal. Terdapat 3 pilihan tindakan setelah orchiektomi, yaitu surveilans, radioterapi dan kemoterapi. Kebanyakan pasien seminoma datang saat stadium I dimana memiliki risiko mikrometastasis ke lymphonodi lokoregional sebesar 20% apabila terapi ajuvan (radiasi lymphonodi retroperitoneal) tidak diberikan setelah orchiektomi. Ukuran tumor primer ≥ 4cm dan invasi ke rete testis dianggap sebagai faktor risiko relaps seminoma. Ketika kedua faktor risiko tersebut dijumpai, relaps terjadi pada 32% pasien, sehingga surveilans tidak lagi direkomendasikan.20,21 Seminoma stadium II diartikan sebagai metastasis ke lymphonodi retroperitoneal. Ukuran lymphonodi <2 cm pada stadium IIA dan 2-5 cm pada stadium IIB. Surveilans tidak lagi direkomendasikan pada stadium ini. Radioterapi dianjurkan dengan 19
dosis radiasi yang sedikit lebih tinggi pada stadium IIB. Apabila terdapat kontraindikasi radioterapi, yaitu pasien dengan metastasis retroperitoneal multifokal, 3 siklus bleomycin, etoposide dan cisplatin merupakan alternatif terapi. Sedangkan seminoma testis stadium IIC dan III disebut stadium lanjut. Lymphonodi metastasis berukuran lebih dari 5 cm pada stadium IIC. Kemoterapi direkomendasikan untuk kedua stadium tersebut, 3 siklus bleomycin, etoposide dan cisplatin untuk pasien dengan risiko rendah dan 4 siklus untuk pasien dengan risiko sedang. II.15. Prognosis Menurut International Germ Cell Cancer Consensus Group Classification, prognosis tumor sel germinal ditentukan oleh gambaran histologi dan perluasan tumor. Seminoma memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan nonseminoma. Perluasan tumor perlu dinilai, apakah tumor hanya terbatas di testis, ada tidaknya keterlibatan lymphonodi retroperitoneal, metastasis jauh atau metastasis visceral.
20
BAB III PEMBAHASAN
Pendekatan diagnosis suatu massa testis ialah menentukan terlebih dahulu massa terletak di dalam testis atau di luar testis karena 90-95% massa intratestis merupakan suatu malignansi, kecuali hematoma, orchitis, abses, infark dan granuloma yang menyerupai lesi malignansi.17 Sebaliknya massa yang terletak di luar testis kebanyakan merupakan proses benigna pada dewasa, meskipun dapat ditemukan maligna pada anak-anak. Selanjutnya, suatu lesi di testis perlu dibedakan apakah merupakan proses primer atau metastasis. Usia memegang peranan penting dalam menentukan suatu lesi di testis merupakan keganasan primer atau metastasis. Haupt, et al meneliti 59 kasus metastasis ke testis terjadi pada usia rata-rata 57 tahun, sedangkan keganasan testis primer banyak terjadi pada usia yang lebih muda. Usia rata-rata pasien saat didiagnosis tumor sel germinal primer 31 tahun. Meskipun tumor testis pada pasien dewasa tua (> 60 tahun) cenderung merupakan proses sekunder, terdapat beberapa pengecualian termasuk keganasan ginjal, colon dan gaster. Apabila lesi scrotum tersebut merupakan proses primer, penting untuk membedakan tumor dengan proses inflamasi atau infeksi, karena terapi yang diberikan jauh berbeda. Tumor testis umumnya tidak menimbulkan nyeri, kecuali apabila terjadi perdarahan. Kebanyakan tumor testis memberikan gambaran lesi hipoechoik, meskipun tidak memiliki gambaran yang spesifik. Seminoma testis merupakan tumor sel germinal yang paling banyak ditemukan pada kisaran usia 30-45 tahun. Oleh karena itu, seminoma testis merupakan
21
kemungkinan tumor testis terbesar di usia 30-45 tahun apabila ditemukan lesi hipoechoik di testis yang dicurigai lesi primer pada pemeriksaan USG. Distorsi pembuluh darah testis dapat dijadikan pedoman dalam pendekatan suatu tumor intratestis. Umumnya tumor intratestis akan menunjukkan tepi vaskuler yang irreguler dengan pola percabangan vaskuler yang tidak beraturan (chaotic). Ukuran lesi pun berpengaruh terhadap abnormalitas peningkatan aliran vaskuler dalam tumor. 95% tumor testis
berukuran >1,5 cm akan menunjukkan hipervaskularisasi. Oleh karena itu,
hipervaskularisasi sebagai parameter bahwa suatu tumor maligna tidak dapat digunakan sebagai patokan, karena pemeriksan USG menemui kesulitan apabila lesi berukuran kecil (<1,5 cm). USG seminoma testis akan memberikan gambaran lesi hipoechoik, homogen, batas tegas dan terbatas di tunica albuginea. Vaskularisasi dapat ditemukan baik intra maupun perifer lesi dengan pola percabangan vaskularisasi yang tidak beraturan atau chaotic. RI (resistive index) dapat berkurang atau normal pada tumor disertai peningkatan PSV (peak systolic volume) pada a. testicularis. Seminoma berukuran besar akan memberikan gambaran heterogen dan kadang berlobul. Sedangkan lesi di testis yang dicurigai suatu inflamasi atau infeksi sering disertai indirect sign seperti hydrocele atau pyocele yang berkaitan dengan penebalan dinding scrotum. Orchitis ditunjukkan dengan oedema testis di dalam tunica albuginea yang rigid yang mengakibatkan peningkatan volume parenkim yang menghasilkan echogenisitas heterogen. Orchitis dapat tersebar diffus atau lokal yang selanjutnya memberikan gambaran lesi hipoechoik di dalam parenkim testis. Orchitis yang disebabkan oleh virus akan menyebabkan peningkatan volume yang diffus, hipoechoik yang homogen atau heterogen dengan zona hipoechoik di perifernya.
22
Analisis gelombang spektral dan resistive index akan memberikan informasi yang bermanfaat, karena inflamasi berkaitan dengan penurunan resistensi vaskuler dibandingkan dengan testis yang sehat. Orchitis akan menghasilkan penurunan RI (< 0,5). Selain itu, nilai ambang peak systolic volume 15cm/detik memiliki tingkat akurasi diagnostik 90% untuk orchitis dan 93% untuk epididymitis. 28 Pola vaskularisasi lesi testis yang dicurigai orchitis akan memberikan gambaran tepi vaskuler yang reguler dan menyerupai striae-striae. Hal tersebut berlawanan dengan pola vaskularisasi suatu lesi yang dicurigai massa yang akan memberikan gambaran vaskularisasi yang irreguler dan chaotic. Akan tetapi, selain hal tersebut di atas, diagnosis orchitis sebaiknya dikorelasikan dengan riwayat klinis dan hasil laboratorium. Follow up sangat dianjurkan sampai terjadi resolusi lengkap. Lesi di testis juga dapat dicurigai suatu infiltrasi leukemia apabila terdapat riwayat keganasan sebelumnya dan sudah memasuki stadium lanjut. Meskipun insidensinya sangat jarang, infiltrasi leukemia ke testis merupakan kemungkinan diagnosis terbesar yang terjadi pada pasien anak-anak atau dewasa muda dengan leukemia saat fase remisi dengan keluhan pembesaran scrotum yang menyeluruh, baik unilateral maupun bilateral.22 Testis disebut sebagai “sanctuary organ” karena blood-testis barrier yang diperankan oleh sel Leydig membatasi efek agen kemoterapi di testis penderita leukemia, khususnya ALL saat masa remisi. Sel blast akan menginfiltrasi interstisium testis, tetapi tidak merusak struktur tubulus seminiferus testis. Gambaran USG infiltrasi leukemia ke testis menunjukkan pembesaran diffus dengan hipoechogenisitas homogen dengan peningkatan vaskularisasi yang mencolok yang tidak berkaitan dengan ukuran dan kandungan tumor. Hal ini dapat dibedakan dengan gambaran tumor primer yang biasanya tidak mengakibatkan pembesaran testis secara diffus apabila ukuran tumor masih kecil. 22,23
23
Temuan pembesaran scrotum yang tidak diikuti nyeri memperbesar kemungkinan neoplasma, terlebih apabila testis tampak hipervaskuler tanpa diikuti hipervaskularisasi di epididymis, meskipun ada beberapa kasus infiltrasi leukemia yang disertai hipervaskularisasi di epididymisnya. Temuan lymphadenopathy, keterlibatan organorgan vital, leukositosis, lemah, anemia, trombositopenia, dan neutropenia memperbesar kemungkinan diagnosis infiltrasi leukemia ke testis. Selain proses infeksi
atau infiltrasi leukemia ke testis, kemungkinan
hematom scrotum perlu dipertimbangkan apabila menemukan lesi hipoechoik di testis. Hematom fase awal akan memberikan gambaran peningkatan echogenisitas. Sejalan dengan waktu, gambaran tersebut menjadi hipoechoik dan sering disertai dengan pembentukan septa dan lokulasi. USG Doppler menunjukkan tidak ada aliran darah di daerah hematom. Riwayat trauma memegang peranan penting dalam diagnosis hematom. Diperlukan pemahaman yang baik tentang pola penyebaran lymphatik seminoma testis, perbedaan testis dengan lymphonodi dengan ditemukannya mediastinum pada testis, serta perbedaan lymphonodi benigna, reaktif dan maligna. Bentuk lymphonodi oval dengan diameter pendek/panjang <0,5 mengarah gambaran proses benigna / reaktif / normal, sedangkan diameter pendek/panjang >0,5 mengarah malignansi. Echogenik hilus tidak ditemukan pada lesi maligna. Tipe vaskularisasi hilar (sentral) dan absen menunjukkan lesi benigna, sedangkan vaskularisasi tipe perifer (kapsular) dan campuran menunjukkan lesi metastasis. Meskipun tidak
terdapat
bukti konkret
tentang
asosiasi
temuan
microlithiasis dengan tumor testis, tetapi menurut Zastrow, et al, perlu dilakukan follow up rutin pada pasien dengan microlithiasis di testis baik dari pemeriksaan fisik maupun dari USG. Pasien diharapkan memeriksa scrotum sendiri secara rutin. USG direkomendasikan
24
dilakukan secara rutin setiap 6-12 bulan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pasien sendiri diperlukan untuk deteksi microlithiasis secara dini. Biopsi diperlukan apabila ditemukan lesi patologis dari pemeriksaan USG dan infertilitas dengan cryptochismus atau atrofi testis.
25
BAB IV KESIMPULAN
1.
Seminoma testis memberikan gambaran lesi hipoechoik, berbatas tegas dan terbatas di tunica albuginea dengan pola vaskularisasi chaotic (tidak beraturan) pada pemeriksaan USG.
2.
Semua lesi hipoechoik di testis dianggap sebagai lesi maligna hingga terbukti tidak, karena hipervaskularisasi tidaknya suatu lesi tidak menentukan maligna atau tidak dari pemeriksaan USG.
3.
Tumor primer testis berukuran <1,6 cm akan memberikan gambaran hipovaskularisasi, sedangkan >1,6 cm akan memberikan gambaran hipervaskularisasi pada USG Doppler
4.
Penting untuk mempertimbangkan orchitis, infiltrasi leukemia ke testis dan hematom testis sebagai diagnosis banding seminoma testis
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Tsili AC, Tsampoulas C, Giannakopoulos X, Stefanou D, Alamano Y, Sofikiti N, 2007, MRI in the Histologic Characterization of Testicular Neoplasms, AJR, p 189. 2. Coulier B, Lefevre Y, Vischer, Bourgeois, Montfort L, Clausse M, Mailleux P, Gielen . Metastases of Clinically Occult Testicular Seminoma Mimicking Primary Extragonadal Retroperitoneal Germ Cell Tumors.JBR-BTR. 2008, 91:139-44. 3.
Krohmer SJ, McNulty, Schned. Testicular Seminoma with Lymph Node Metastases. RSNA, 2009, 29:2177–83
4.
Tsili AC, Tsampoulas C, Giannakopoulos X, Stefanou D, Alamano Y, Sofikitis N. MRI in the Histologic Characterization of Testicular Neoplasms. AJR, 2007, 189:331-7
5.
Woodward, PJ, Sohaey R, Donoghue MJ, Green DE. Tumors and Tumorlike Lesions of the Testis: Radiologic-Pathologic Correlation. RadioGraphics, 2002; 22:189–216
6.
Costanza, et al. A Case Report of Retroperitoneal Seminoma and Literature Review. J Nucl Med Radiat Ther 2013,4:1
7.
Oto A, Yacoub JH, David D, Casalino, Erick M, Remer. Staging of Testicular Malignancy
8.
Grazioli L, Apostolopoulos, Zappa N. Imaging of Urogenital Disease. Springer. 2009
9.
Payombarnia SA, Safavi S, Azarpira. Primary Retroperitoneal Seminoma: A Case Report. IRCMJ 2008; 10(2):127-130
10. Lea, Febinger. Gray’s Anatomy. 2000, p 301 11. Adam, et al.Bilateral Testicular Tumors: Seminoma and Mixed Germ Cell Tumor. RadioGraphics 2005; 25:835-839 12. Darzi, et al. Unresolved abdominal mass in an adultcryptorchid testis: a case report. International Journal of General Medicine. 2010:3 395–398 13. Anglade RE, Chang B, Siroky MB. Primary retroperitoneal seminoma with utrasonically abnormal testes. Urology. 2001 Apr; 57(4): 800 14. Zastrow S, Hakenberg OW, Wirth MP. Significance of Testicular Microlithiasis. Urol Int, 2005;75:3–7
27
15. Kreydin E, Barrisford GW, Feldman AS, Preston MA. Testicular Cancer: What the Radiologist Need to Know. AJR. 2013; 200:1215-25
16. Boujelbene N, Cosinschi A, Khanfir K, Bhagwati S., Herrmann E. Pure seminoma : A Review and Update. Radiation Oncology. 2011; 6:90 17. Dogra VS, Gottlieb RH, Oka M, Rubens DJ. Sonography of the Scrotum. Radiology 2003; 227:18–36 18. Adham WK, Raval BK, Uzquiano MC, Lemos LB. Bilateral Testicular Tumors: Seminoma and Mixed Germ Cell Tumor 19. Ragheb D, Higgins JL. Ultrasonography of the Scrotum, Techinque, Anatomy and Pathologic Entities. J Ultrasound Med. 2002; 21:171-85
20. Pano B, Sebastia C, Bunesch L, Mestres J, Salvador R, Macias NG, Nicolau C. Pathway of Lymphatic Spread in Male Urogenital Pelvic Malignancies. Radiographics. 2011; 31:135-60 21. Bantis A, Sountoulides P, Kalaitzis C, Nikolaos B, Giannakopoulosi S. Single Inguinal Node Metastasis of Stage I Testicular Seminoma Shown By Scrotal Scintigraphy, 6 months following Radical Orchiectomy. Hellenic Journal of Nuclear Medicine. 2012; 22. Morsi HE, Yong KL, Patterson K, Jewell A. Pathogenesis of Testicular Acute Lymphoblastic Leukaemia. Focus on Leukaemia Research.2005; 61-81 23. Mazzu D, Jeffrey RB, Ralls. Lymphoma and Leukemia Involving Testicles:Findings on Gray Scale and Color Doppler Sonography. AJR. 1995;164:640-2 24. Carkaci S, Ozkan E, Lane D, Yang WT. Scrotal Sonography Revisited. Journal of Clinical Ultrasound. 2010;38:21-495 Dianne Mazzu1 R. Brooke Jeffrey, Jr.1
25. Sahoo, et al. Synchronous Bilateral Testicular Germ Cell Tumor with Different Histology: A Case Report and Review of Literature. International Journal of Scientific Study. 2014 vol 2 26. Vital RJ, Matoos LA, Souza LR, Figueiredo SD. Sonographics Findings in NonNeoplastic Testicular Lesions. Radiol Bras. 2007. 40:61-67 27. CarkaciS, Ozkan E, Lane D, Yang WT. Scrotal Sonography Revisited. J Clinical Ultrasound. 2010; 38:1
28
28. Dudea SM, Ciurea A, Chioreau A, Botar C. Doppler Applications in Testicular and Scrotal Disease.Medical Ultrasonography. 2010; 12:43-51
29