1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menciptakan
suatu struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau terlibat dalam suatu tatanan global yang bersaing, pola hubungan dan pergaulan yang bersaing dalam berbagai aspek. Aspek tersebut dapat dikaji dari tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Struktur perubahan tersebut biasa juga dikenal dengan nama globalisasi. Globalisasi yang ditunjang dengan perkembangan pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia seakan-akan menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara. Perkembangan tersebut menciptakan suatu hubungan yang saling membutuhkan di antara Negara-Negara, dan perkembangan tersebut juga turut memicu laju investasi di setiap Negara menjadi menjadi semakin meningkat dan berkembang. Laju investasi yang semakin hari semakin meningkat ini mau tidak mau telah menciptakan suatu iklim persaingan secara global antara tiap-tiap individu dalam menjalankan usahanya. Meruncingnya persaingan global ini telah mengakibatkan kebutuhan akan dana menjadi meningkat. Dana merupakan salah satu kebutuhan utama dalam suatu usaha/bisnis. Tanpa ada dana maka seorang tidak mampu untuk memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. Untuk dapat menjalankan usahanya dalam menghadapi persaingan usaha ini secara lebih kompetitif,
2 peranan lembaga penyimpan dan juga penyedia dana bagi masyarakat, yaitu bank menjadi sangat vital. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan ( Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disebut UU Perbankan) yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dan masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Tingginya arus peredaran uang dalam arus globalisasi dan perdagangan bebas menjadikan sektor perbankan sebagai salah satu sektor yang paling strategis dalam globalisasi karena fungsi bank sebagai perantara antar investor, menunjukkan peranan yang penting dalam perdagangan, perekonomian dan pembangunan. Bank sangat terkait dengan penyediaan modal bagi usaha atau perdagangan, sehingga perekonomian dapat berputar. Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya di dalam memberikan kredit/ modal wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan supaya setiap kredit yang diberikan harus memuat prinsip kehati-hatian (Prudential Principle) karena sumber dana kredit berasal dari simpanan masyarakat baik dalam bentuk tabungan maupun deposito. Keyakinan berdasarkan pada analisis tersebut di dapat berdasarkan penilaian dengan seksama oleh bank mengenai watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Pada umumnya
3 dalam praktek perbankan cara memperoleh keyakinan ini dikenal dengan sebutan The Five’s of Credit atau 5 C yaitu Character (watak), Capital (modal), Capacity (kemampuan), Collateral (jaminan), dan Condition of Economy (kondisi ekonomi).1 Dana dari masyarakat yang dihimpun melalui jasa perbankan, dan kemudian disalurkan juga dalam bentuk kredit sudah semestinya mendapatkan perlindungan jaminan atau apabila dikaitkan dengan prinsip 5 C disebut dengan “Collateral”, yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Diungkapkan oleh Annelise Riles,“Collateral security is a separate obligation, as the negotiable bill of exchange or promissory note of a third person, or document or title, or other representative of value, endorsed when necessary, and delivered by a debitor to his creditor, to secure the payment of his own obligation” 2, yang berarti bahwa jaminan merupakan suatu kewajiban yang terpisah, berupa hak tagih yang berupa janji dari pihak ketiga, ataupun sesuatu yang bernilai lainnya yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, untuk menjamin pembayaran kewajibannya sendiri. Pentingnya suatu jaminan bagi kreditur atas suatu pemberian kredit tidak lain adalah untuk mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut. Jesus Huerta de Soto mengatakan ”whereas loan contracts (commodatum and mutuum) entail the transfer of the availability of the good, which shifts from the lender to the borrower for the duration of the term, another type of contract, the deposit 1.
Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal.93-94 2. Annelise Riles, 2011, Collateral Knowledge : Legal reasoning in the Global Financial Markets, The University of Chicago Press, USA, hal. 2
4 contract requires...”3, yang apabila diartikan maka ketika sebuah kontrak pinjam meminjam memasuki tahapan perpindahan barang dari yang meminjamkan kepada yang dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu, memerlukan suatu type kontrak lainnya, yaitu suatu deposit sebagai jaminan. Dalam perkembangannya, kemudian muncul istilah lain, yaitu agunan. Jadi saat ini terdapat 2 (dua) komponen yang dimiliki oleh bank selaku kreditur untuk memastikan dana dalam bentuk kredit yang disalurkannya akan dikembalikan beserta bunganya. Banyak pihak yang tidak memiliki pemahaman mengenai perbedaan diantara keduanya, banyak juga pihak yang menyebut apa yang seharusnya sebagai jaminan sebagai suatu agunan, dan disisi lain apa yang merupakan suatu agunan merupakan jaminan. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu : "suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan". Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Perbankan, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia". Menyimak penjelasan dari kedua ketentuan tersebut, tentunya tidaklah mengherankan apabila banyak terdapat suatu kebingungan antara penggunaan istilah agunan dan juga jaminan, hal ini dikarenakan menurut ketentuan undang-undang agunan dikategorikan sebagai suatu jaminan, namun yang berkaitan dengan kebendaan kreditur (secara pokok). Jaminan pokok atau agunan tersebut apabila dilihat dari 3.
Jesus Huerta de Soto, 2006, Money, Bank Credit, and Economic Cycles, Ludwig von Mises Institute, Alabama, hal. 4.
5 sifatnya dapat berupa jaminan yang tergolong sebagai benda bergerak, seperti kendaraan bermotor (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) nya yang dijadikan jaminan), maupun jaminan yang tergolong sebagai benda tidak bergerak seperti hak atas tanah, rumah, bangunan, dan unit rumah susun. Dalam hukum mengenai pengikatan jaminan pokok, penggolongan atas benda bergerak dan tidak bergerak mempunyai arti yang penting sekali. Adanya perbedaan penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis lembaga jaminan/pengikatan jaminan mana yang dapat dibebankan atas benda jaminan yang diberikan untuk menjamin pelunasan. Proses utang-piutang antara kreditur dan debitur membutuhkan suatu perjanjian guna memastikan hak dan kewajiban para pihak.4 Sifat perjanjian jaminan adalah accessoir, yaitu tergantung dan mengikuti pada perjanjian pokoknya (perjanjian kredit). Secara umum, ketentuan mengenai adanya jaminan dalam pemberian utang ini diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Dari redaksional ketentuan Pasal 1131 tentunya dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut jelas memberikan suatu bentuk perlindungan kepada kreditur dalam perjanjian kredit. Pasal selanjutnya, yaitu 1132 KUHPerdata memberikan penjelasan lebih lanjut
4.
Iming M. Tesalonika, 2001, Indonesian Security Interests, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang. hal. 7.
6 terkait dengan bentuk perlindungan tersebut, di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan bahwa : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya ; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.” Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan mengenai jaminan secara umum dari undang-undang yang berlaku secara umum bagi semua kreditur, disini para kreditur mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorium) dan nantinya berkedudukan sebagai kreditur konkuren. Dengan demikian apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan harta kekayaan debitur dibagikan secara seimbang menurut besarnya utang kepada masing-masing kreditur, kecuali di antara kreditur memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Jaminan umum tersebut sering dirasakan tidak cukup untuk mengakomodiir kebutuhan debitur, karena sifatnya yang berlaku bagi semua kreditur, sehingga apabila krediturnya lebih dari satu pihak bisa jadi kekayaan debitur habis dan tidak mencukupi utang-utangnya kepada kreditur lain. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk lain yang dapat memberikan rasa aman kepada kreditur, bentuk tersebut adalah bentuk jaminan secara khusus yang ada dalam Pasal 1132 KUHPerdata sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jaminan khusus adalah jaminan yang timbul dari perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat
7 kebendaan ataupun juga jaminan yang bersifat perorangan.5 Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi. Pada jaminan perorangan kreditur merasa terjamin karena mempunyai lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi hutangnya, maka pada jaminan kebendaan kreditur merasa terjamin karena mempunyai hak didahulukan atau preferensi dalam pemenuhan piutangnya atas hasil eksekusi terhadap benda-benda debitur. Dalam praktek perjanjian kredit saat ini bentuk-bentuk jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur menjadi semakin bervariasi. Salah satu bentuk jaminan pokok yang saat ini seringkali diberikan adalah jaminan yang berkaitan dengan sebuah kebendaan di atas suatu tanah hak sewa. Hal ini dalam praktek hukum kenotariatan juga sangat lazim terjadi, sudah banyak bentuk akta pengalihan hak sewa yang dibuat sebagai suatu penunjang dari penjaminan pokok suatu objek kebendaan yang ada di atas tanah tersebut. Namun di sisi lain banyak juga terdapat kebingungan mengenai hal tersebut dikarenakan banyak pihak yang kemudian mempunyai suatu anggapan bahwa hak sewa yang dialihkan tersebut merupakan salah satu bentuk dari salah satu jaminan yang diberikan debitur terhadap kreditur. Kebingungan itu kemudian mengakibatkan banyak pihak yang berasumsi bahwa hak sewa merupakan suatu hak kebendaan, sehingga dapat dialihkan dan sekaligus digolongkan sebagai suatu jaminan.
5.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1986, Hukum Jaminan di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hal. 46.
8 Kebingungan juga terjadi karena apabila dibandingkan dengan praktek yang terjadi di Negara
lain,
seperti
misalnya
Belanda,
banyak
Negara
asing
yang
telah
mengkategorikan hak sewa sebagai suatu hak kebendaan sehingga dapat secara langsung dijaminkan. Praktek penjaminan kebendaan di atas hak sewa ini di Indonesia juga belum memiliki suatu dasar hukum berupa undang-undang yang secara khusus dan tegas mengaturnya. Dalam prakteknya, banyak bank yang menolak menerima bentuk jaminan tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang menerima bentuk jaminan tersebut. Tentunya penolakan tersebut dilakukan untuk menghindari suatu resiko, karena bangunan yang dijaminkan tersebut berdiri di atas suatu kebendaan (tanah) milik orang lain, yang nantinya bukan tidak mungkin apabila bangunan milik penyewa di atasnya dijaminkan akan menimbulkan suatu benturan hak dan kepentingan, apalagi jika pemilik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan tidak memberikan persetujuan. Praktek tersebut, tentunya berlaku untuk suatu hak sewa tanah kosong yang kemudian di atasnya didirikan bangunan yang dibuat oleh si penyewa sendiri. Sedangkan untuk hak sewa atas suatu bangunan yang memang sudah disediakan oleh pemilik, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Ada ahli yang memiliki suatu pendapat bahwa hak sewa (atas bangunan) merupakan benda bergerak tak bertubuh yang dapat dialihkan, tetapi tidak dapat dijaminkan oleh penyewa bangunan karena hak sewa timbul berdasarkan perjanjian sewa-menyewa (diatur di dalam Buku III KUHPerdata “Tentang Perikatan”) jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan
9 Pemilik (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3576) dan dengan demikian merupakan suatu hak perorangan serta tidak pula dapat disita (MA 29 September 1998 No. 1030.K/Pdt/1987).6 Dalam praktek kenotariatan dibuatnya suatu akta pengalihan hak sewa sebagai suatu jaminan utang/ kredit sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Dijadikannya pengalihan hak sewa sebagai suatu objek pendukung terjadinya pejaminan kebendaan yang dimiliki penyewa di atasnya merupakan suatu hal yang debatable. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang menilai dengan adanya pengalihan tersebut hak sewa merupakan suatu objek yang juga turut menjadi jaminan dalam perjanjian kredit, padahal sifat dari hak sewa itu sendiri dan juga dasar hukum yang mengaturnya di dalam KUHPerdata tidak menggolongkan hak sewa sebagai suatu kebendaan yang dapat dijaminkan. Hak sewa merupakan suatu hak yang timbul dari suatu perjanjian sewa menyewa sebagaimana diatur di dalam buku III KUHPerdata tentang perikatan dan merupakan suatu perjanjian yang bersifat obligatoir dan konsensuil yang menimbulkan hak perseorangan (persoonlijk recht) bukan suatu hak kebendaan, sementara kebendaan yang menjadi jaminan dalam perjanjian kredit merupakan benda benda yang diatur di dalam buku II KUHPerdata. Dalam perjanjian kredit, piutang yang kemudian timbul berdasarkan kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank merupakan suatu tagihan atas nama. Tagihan itu melibatkan dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Tagihan tersebut apabila nantinya dinilai dapat memberikan keuntungan dapat dialihkan ke kreditur lain oleh 6.
Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.38
10 kreditur aslinya. Adanya suatu tagihan yang dialihkan disebabkan karena debitur tertentu berhutang kepada kreditur tertentu, yang kemudian dialihkan oleh kreditur tersebut kepada kreditur lainnya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata mengenai penyerahan yaitu penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas (mengambil tindakan pemilikan) terhadap kebendaan tersebut.7 Cara untuk melakukan penyerahan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya kepada pihak ketiga tersebut kemudian dikenal dalam doktrin dengan nama Cessie. Piutang yang dapat diserahkan dan/atau dialihkan dengan cara Cessie pada prinsipnya hanyalah piutang atas nama kreditur. Dengan adanya penyerahan piutang atas nama secara Cessie maka pihak ketiga menjadi kreditur yang baru yang menggantikan kreditur yang lama yang diikuti pula dengan beralihnya seluruh hak dan kewajiban kreditur lama terhadap debitur kepada pihak ketiga selaku kreditur baru. Hal ini dikarenakan pengalihan piutang secara Cessie tidak mengakibatkan berakhirnya perikatan yang telah ada yang dibuat antara kreditur dengan debitur sebelumnya. Hubungan hukum antara debitur dan kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang telah ada sebelumnya tidaklah putus sehingga tidak terjadi hubungan hukum yang baru yang menggantikan hubungan hukum yang lama. Perikatan yang lama tetap ada dan berlaku serta mengikat debitur maupun kreditur yang menerima pengalihan piutang yang dimaksud. Pandangan mengenai Cessie juga dikemukakan oleh C.Asser. Meskipun Asser tidak secara tegas memberikan definisi mengenai Cessie, 7.
Rachmad Setiawan dan J.Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, PT Gramedia, Jakarta, hal.1.
11 namun dari pendapat yang dikemukakannya dapat disimpulkan bahwa Cessie adalah pemindahan piutang. Pemindahan piutang tersebut tidaklah menghilangkan identitas dari utang itu dan pada umumnya tidak berpengaruh terhadap hubungan antara si berutang dengan si berpiutang.8 Dalam praktek yang berkaitan dengan Cessie terdapat pihak yang terlibat di dalamnya,yaitu, orang yang menyerahkan tagihan atas nama (kreditur-asal) disebut Cedent, yang menerima penyerahan (kreditur baru) adalah Cessionaris, sedangkan Cessus adalah debitur yang memiliki hutang. Dalam praktek pada umumnya yang sering terjadi Cessie diposisikan sebagai accessoir dari suatu titel hukum seperti peristiwa hukum jual beli piutang yang dilakukan antara Bank selaku kreditur dengan pihak ketiga yang kemudian menjadi kreditur yang baru. Jual beli piutang yang dimaksud adalah jual beli piutang di mana yang menjadi objeknya adalah piutang atas nama kreditur. Dalam hal ini, perjanjian jual beli piutang dilakukan oleh Bank selaku kreditur dengan pihak ketiga selaku pembeli yang kemudian menjadi kreditur yang baru tersebut dengan perjanjian jual beli piutang yang terpisah dari perjanjian Cessie. Namun yang juga terjadi di dalam praktek, Cessie, selain digunakan sebagai cara pengalihan piutang ke kreditur lain juga dianggap menjadi suatu cara pengalihan hak sewa, yang nantinya akan mengalihkan hak sewa dari satu pihak ke pihak lainnya (bank) sebagai suatu unsur jaminan yang meningkatkan rasa kepercayaaan bank terhadap pelunasan hutang dalam perjanjian kredit yang melibatkan suatu jaminan 8.
Carel Asser,1991,Pengajian Hukum Perdata Belanda (Hendleiding Tot de Beofening van het Nederlands Bergerlijk Recht), diterjemahkan oleh Sulaiman Binol, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 579-580.
12 pokok kebendaan bangunan milik penyewa yang berdiri di atas tanah pemilik. Apakah perbuatan hukum tersebut memang tergolong sebagai perbuatan yang sesuai dengan prinsip Cessie yang ada di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, tentunya hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Cessie adalah cara pengalihan dan/atau penyerahan piutang atas nama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. 9 Istilah Cessie tidak terdapat di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia dan Belanda, Cessie hanya dikenal dari doktrin-doktrin hukum dan juga yurisprudensi. Salah satu definisi Cessie yang dikenal di dalam ilmu hukum adalah definisi yang dikemukakan oleh Vollmar. Definisi Cessie tersebut diterjemahkan oleh Tan Thong Kie sebagai suatu istilah yang lazim dipakai untuk penyerahan suatu piutang.10 Sekilas, Cessie tampak hanya sebatas suatu pengalihan atas piutang atas nama, namun hendaknya definisi Cessie dapat dicermati lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya, yaitu Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata terlebih dahulu : “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.” Terdapat syarat formil di dalam ketentuan tersebut, yaitu harus adanya suatu akta, baik secara notariil maupun dibawah tangan.
9.
Soeharnoko dan Endah Hartati, 2008, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Kencana, Jakarta, hal. 101. 10. Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cet.I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.688
13 Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata mengatur mengenai cara penyerahan (levering) suatu piutang atas nama dan juga suatu “kebendaan tak bertubuh lainnya”. Banyak orang yang melihat Cessie hanyalah sebagai cara untuk mengalihkan suatu hak tagih atas suatu utang atas nama, hanya sedikit yang mencermati bahwa Cessie juga dapat terjadi apabila adanya suatu kebendaan tak bertubuh yang dialihkan sebagaimana redaksional Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Istilah kebendaan tak bertubuh inilah yang dalam praktek, karena tidak adanya penjelasan lebih lanjut oleh undang-undang sehingga mengakibatkan adanya situasi kabur norma (vage norm), diasumsikan sebagai hak sewa. Implikasinya, dalam praktek Notaris, banyak Notaris yang mengkategorikan pengalihan hak sewa sebagai jaminan utang-piutang tersebut tergolong sebagai suatu bentuk Cessie. Bangunan yang berdiri di atas tanah hak sewa dipandang dapat dijadikan sebagai suatu objek jaminan karena seringkali kebendaan tersebut bernilai ekonomis yang sangat tinggi meskipun ada batasan jangka waktunya. Terkait dengan istilah “kebendaan tak berwujud,” Herlien Budiono berpendapat bahwa, apa yang dimaksud kebendaan tak berwujud adalah hak, termasuk di dalamnya yang diatur di dalam ketentuan Pasal 511 KUHPerdata (kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam benda tidak bergerak).11 Namun apakah memang ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata yang merujuk pada suatu kebendaan tak berwujud tersebut juga memang mencakup di dalamnya suatu hak sewa? Tentunya hal tersebut memerlukan suatu penafsiran yang lebih lanjut. Penafsiran terhadap ketentuan tersebut
11.
Herlien Budiono, Op Cit, hal. 36
14 juga diperlukan untuk dapat mengetahui alas hak perbuatan hukum pengalihan hak sewa yang sering ada di dalam praktek kenotariatan tersebut benar termasuk sebagai tindakan Cessie atau tidak. Mengenai anggapan tersebut, Emiritus Notaris, J. Satrio juga mempertanyakan, apakah pengalihan hak sewa dan juga hak pakai tersebut dapat dilakukan dengan Cessie?. J. Satrio kemudian sekilas menjawab, kalau mengingat bahwa hak pakai dan hak sewa adalah benda tak bertubuh, maka memang ada kemungkinan bahwa pengoperan hak-hak tersebut dilakukan dengan mencedeernya12 (mengalihkan melalui Cessie). Namun melalui jawaban tersebut dapat dilihat bahwa memang masih ada suatu kebingungan, karena adanya penggunaan kata “kemungkinan” mengenai alas perbuatan hukum pengalihan hak tersebut. J. Satrio juga tidak menjelaskan mengenai dasar asumsinya menggolongkan hak sewa ataupun hak pakai sebagai suatu kebendaan tak bertubuh seperti yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Penyerahan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata, adalah suatu yurisdische levering atau perbuatan hukum pengalihan hak milik. Hal ini diperlukan karena dalam sistem KUHPerdata, perjanjian jual-beli, termasuk jual-beli hanya bersifat konsensual obligatoir. Artinya baru meletakkan hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli, namun belum mengalihkan kepemilikan.13
12.
J.Satrio, 1991, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Pencampuran Utang, Penerbit Alumni, Bandung (selanjutnya ditulis J. Satrio I), hal. 46. 13. Ibid, hal. 103
15 Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata ini juga merupakan suatu ketentuan yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Adapun Pasal 584 KUHPerdata berbunyi : Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa,karena perwarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Jadi ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merupakan suatu bentuk dari suatu penyerahan (levering) atas benda tak berwujud sebagai salah satu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Penyerahan (levering) atas benda tak berwujud yang diatur di dalam Pasal 613 KUHPerdata untuk suatu piutang atas unjuk (aan toonder) dengan penyerahan nyata, suatu piutang atas nama (op naam) dengan cessie, dan juga suatu piutang tidak kepada pengganti (aan order) penyerahan surat disertai dengan endosemen sesuai dengan ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUH Perdata.14 Pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan diatasnya dalam praktek Notaris dilakukan melalui pembuatan dengan judul “akta perjanjian pengalihan hak sewa Cessie sebagai jaminan hutang”. Hal ini dilakukan juga dengan mengacu pada Cessie hak tagih yang dimiliki oleh debitur kepada bank pemberi kredit yang banyak dilakukan dalam dunia perbankan. Praktek yang dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan norma yang tidak jelas atau bahkan mungkin dapat dikatakan kosong apabila
14.
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2007, Hukum dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, hal.14
16 dikaitkan dengan penjaminan kebendaan tersebut tentunya juga berimplikasi pada kebiasaan praktek kenotariatan dan efektifitas dari perbuatan hukum pembuatan akta yang dilakukan oleh Notaris tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak Bank yang dalam prakteknya tidak ingin menggunakan akta pengalihan hak sewa atas suatu bangunan (property) atau juga tanah tersebut dikarenakan konsep dari perbuatan hukum itu sendiri yang belum jelas dan menimbulkan banyak kebingungan (multi tafsir). Keadaan tersebut tentunya dapat menimbulkan kerugian, karena nantinya akta yang dibuat tersebut tidak memiliki suatu utility (kegunaan) bagi pihak-pihak yang membuatnya. Bank memiliki suatu kekhawatiran jika nantinya terjadi suatu wanprestasi Pengadilan Negeri tidak dapat melakukan proses eksekusi karena belum terdapatnya ketentuan aturan hukum yang jelas untuk mendukung dan juga apabila tidak adanya suatu persetujuan dari pihak pemilik. Anggapan suatu pengalihan hak sewa untuk menjadikan hak sewa tersebut sebagai suatu jaminan dalam suatu hutang – piutang juga merupakan hal yang perlu dipertanyakan dari kajian teori hukum perdata. Pengalihan tersebut tentunya membuat pemilik hak sewa akan bertindak seolah sebagai pemilik, apalagi pemindahan tersebut berkaitan dengan agunan berupa kebendaan bangunan yang ada di atasnya, yang belum tentu pemilik tanah memberikan persetujuannya. Dalam sistem KUHPerdata dibedakan antara perjanjian obligatoir dengan perjanjian penyerahan objek perjanjiannya.15 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perjanjian obligatoir, yang menimbulkan kewajiban bagi satu pihak untuk menyerahkan benda miliknya untuk dinikmati oleh
15.
J.Satrio I, Op Cit, hal. 8
17 pihak lain dalam jangka waktu dan bayaran yang disepakati. Perjanjian obligatoir baru melahirkan hak dan kewajiban, atau dengan kata lain baru melahirkan perikatanperikatan saja, dan perjanjian seperti itu tidak mengalihkan objek perjanjian.16 Dengan ditutupnya suatu perjanjian, maka baru lahir hak dan kewajiban saja antara para pihak, yaitu hak dari kreditur untuk menuntut prestasi dan kewajiban dari debitur untuk memberikan kontra-prestasinya. Perjanjian sewa-menyewa pada umumnya dianggap merupakan suatu bentuk perjanjian obligatoir yang nantinya akan melahirkan suatu hak perorangan (persoonlijk recht), bukan hak kebendaan. Sifat dari hak perseorangan itu sendiri adalah hak subjektif relatif atau ditujukkan kepada orang-orang tertentu, yang berarti bahwa hak tersebut timbul karena adanya suatu hubungan hukum antara si penyewa dan yang menyewakan dan di dalam hak tersebut juga timbul suatu hak untuk seseorang untuk menagih/menuntut. Hak subjektif relatif adalah hak-hak yang hanya bisa ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Karena kepada suatu hak, selalu ada kewajiban pada pihak lain, maka pada hak subjektif relatif, pihak lain yang mempunyai kewajiban untuk menghormati hak tersebut sudah tertentu.17 Sifat dari hak ini tentunya sangat berbeda dari sifat hak kebendaan. Hak kebendaan merupakan suatu hak subjektif absolut yang artinya hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dilindungi hukum atau mewajibkan semua orang untuk menghormatinya. Hak yang bersifat absolut adalah hak yang pada asasnya bisa ditujukan kepada semua orang ; dikatakan hak itu mengikuti bendanya ke dalam tangan siapapun benda
16.
J.Satrio, 2012, Cessie Tagihan Atas Nama, Yayasan DNC, Jakarta, (selanjutnya ditulis J. Satrio II),hal. 33 17. Ibid, hal. 4
18 itu berpindah (droit de suit) dan salah satu cirinya adalah yang lahir lebih dulu mempunyai kekuatan yang lebih tinggi18 (rank orde). Hak absolut berupa berbuat atau tidak berbuat terhadap suatu benda yang dapat dilaksanakan dan dipertahankan terhadap siapapun. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang bermaksud menganggu hak itu. Siapa saja wajib menghormati pelaksanaan hak kebendaan itu. Sebaliknya, hak perseorangan hanya dapat dipertahankan untuk sementara terhadap orang-orang tertentu saja. Karena itu, hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) dan hak perseorangan bersifat relatif (nisbi).19 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian sewa-menyewa juga tidak memberikan suatu hak kebendaan, ia hanya memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang menyewakan barang.20 Jadi sifat yang timbul dari perjanjian sewa menyewa tersebut pada prinsipnya hanyalah mengikat antara pihak penyewa dan juga pihak yang menyewakan sehingga apabila nantinya hak tersebut dialihkan ke pihak lain dan dijadikan sebagai suatu jaminan maka perbuatan hukum tersebut akan bertentangan dengan sifat dari perjanjian sewa menyewa yang melahirkan suatu hak perseorangan yang bersifat subjektif relatif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, apabila dikaji menurut ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata, sebenarnya juga belumlah secara tegas mengatur mengenai apakah hak sewa itu termasuk hak kebendaan atau hak perseorangan.
18.
Ibid, hal. 3 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung, hal.5 20. R.Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya ditulis Subekti I), hal. 164 19.
19 Ketentuan itu seperti ketentuan Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidak dapat diputuskan kecuali apabila hal ini telah diperjanjikan. Ketentuan tersebut di atas mencerminkan suatu asas umum tentang sewa menyewa yaitu, “Jual beli tidak mengakibatkan putusnya sewa menyewa (Koop breekt geen huur)”. Dengan demikian sewa-menyewa mengandung suatu ciri hak kebendaan karena hak sewa itu terus mengikuti bendanya (droit de suite). Alasannya ialah dengan dijualnya benda yang disewakan, si penyewa tetap dapat mempertahankan hak sewanya karena sifatnya yang mutlak. Dalam sewa-menyewa juga ada satu aturan yaitu jika penyewa pertama berhadapan dengan penyewa kedua, maka lazimnya penyewa pertama akan didahulukan (rank orde). Hal ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa sebagai hak perorangan juga memiliki sifat prioritas21 dalam suatu rank orde atau tingkatan. Dari beberapa ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya KUHPerdata sendiri memberikan suatu ketentuan yang mencirikan suatu sifat hak kebendaan mengenai sifat hak yang lahir dari perjanjian sewa-menyewa. Saat ini suatu hak sewa atas suatu objek bisa saja memiliki suatu nilai ekonomis yang sangat tinggi. Oleh karena itu merupakan suatu hal yang sangat disayangkan karena sampai saat ini banyak yang beranggapan hak sewa masih sebagai hak perorangan yang hanya merupakan suatu bentuk hubungan antara pemilik objek dan penyewa sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
21.
R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya ditulis Subekti III), hal. 48
20 Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 selanjutnya disebut UUPA) untuk hak sewa atas tanah pertanian dikatakan sebagai hak-hak yang bersifat sementara, tetapi tidak dijelaskan dan diatur lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut, sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UUPA. Masih ada beberapa norma yang bersifat kabur, sehingga perlu dikaji secara lanjut. Sewa menyewa merupakan perjanjian timbal balik yang bagi masing-masing pihak menimbulkan perikatan terhadap yang lain. Perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral atau perjanjian dua pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya. Makna dari mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dalam perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain di sana berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban.22 Kedudukan pihak penyewa dan yang menyewakan diperkuat dengan adanya dasar hukum yang terdapat di dalam Pasal 1548 KUHPerdata. Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi : “Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain
22.
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya ditulis J. Satrio III), hal. 43
21 kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.” Hak sewa yang timbul dalam perjanjian sewa menyewa menurut ketentuan KUHPerdata ini pada dasarnya merupakan hak untuk menyewa bangunan/ruangan kios agar dapat dimanfaatkan/dinikmati kegunaannya oleh si penyewa selama masa sewa, bukan dengan tujuan untuk menguasainya sebagai hak milik. Hal ini agak berbeda dengan hak sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 UUPA. Hak sewa untuk bangunan yang dimaksud dalam UUPA adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa, dengan maksud bahwa penyewa akan membangun bangunan di atas tanah itu. Bangunan itu menurut hukum yang berlaku sekarang menjadi milik penyewa tanah tersebut, kecuali ada perjanjian lain.23 Terdapat sedikit perbedaan konsep antara perjanjian sewa menyewa yang diatur di dalam ketentuan KUH Perdata dan konsep sewa yang ada di dalam UUPA. Perbuatan pengalihan hak sewa sebagai terkait dengan penjaminan kebendaan diatasnya yang dianggap sebagai suatu bentuk Cessie berdasarkan uraian sebelumnya merupakan suatu perbuatan hukum yang berlawanan dengan konsep Cessie itu sendiri. Akta-akta yang terkait dengan pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan yang selama ini dibuat oleh para pihak dibuat dengan berlandaskan pada asas, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah adanya suatu kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang di berikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan 23.
137
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Yogyakarta, hal.
22 peraturan perundang-undangan (terutama syarat sahnya perjanjian yang ada di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata), kepatutan, dan ketertiban umum sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang memberikan pembatasan dalam kebebasan berkontrak. Hal tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 1338 yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Kebebasan berkontrak adalah asas yang essensial, baik bagi individu dalam mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati.24 Kebebasan berkontrak, merupakan suatu asas yang lahir pada zaman merebaknya aliran laisseiz faire yang dalam bidang ekonomi dipelopori oleh Adam Smith, guna mencegah campur tangan pemerintah yang berlebihan, merupakan wujud pemujaan terhadap faham individualism.25 Kebebasan berkontrak memberikan kesempatan bagi para pihak untuk bagaimana, kapan, dan untuk apa mereka mengikatkan dirinya terhadap suatu contract, sebagaimana diungkapkan oleh Mindy Chen-Wishart yang mengungkapkan bahwa “Freedom of contract demands that parties be free to choose whether, when, and to what they bind themselves via contracts”.26 Dalam perkembanganya asas ini muncul
24.
Johanes Ibrahim, 2003, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Bekontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, CV.Utomo, Bandung, hal.40 25. Ridwan Khairandy, 2003, Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta, hal.21 26. Mindy Chen Wishart, 2010, Contract Law, Oxford University Press, United Kingdom, hal. 11
23 menjadi paradigma baru dalam hukum kontrak yang menjurus pada kebebasan tanpa batas (unretristicted freedom of contract). Asas kebebasan berkontrak bisa saja dijadikan pedoman dalam penyusunan suatu perjanjian. Namun yang tentunya tidak kalah penting tentu adalah mengenai dasar hukum yang dijadikan pijakan mengenai perbuatan hukum yang diatur di dalam perjanjian hukum tersebut. Perbuatan hukum pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan bangunan diatasnya bagi banyak pihak atau dalam praktek Notaris memang dianggap tergolong sebagai tindakan Cessie sebagaimana diatur di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Namun tentunya hal tersebut baru sebatas berdasarkan kepada hasil dari penafsiran/interpretasi dari para pihak yang menjalankan perbuatan hukum tersebut terhadap ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Belum ada suatu ketentuan yang konkrit dalam menyatakan apakah perbuatan hukum pengalihan hak atas hak sewa sebagai jaminan utang tersebut merupakan hal yang sama dengan Cessie yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata atau tidak. Hal tersebut juga dikarenakan belum adanya pembatasan yang jelas mengenai sifat hak yang lahir dari Perjanjian sewa menyewa, apakah ia termasuk sebagai suatu hak kebendaan atau hak perorangan. Belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut namun pada praktek hal tersebut tetap dilakukan menunjukkan bahwa hukum mengakomondasi kehidupan dan kebiasaan di dalam masyarakat, seperti yang dikatakan
24 oleh Anthony G. Amsterdam, “if law is to work for the people in a society, it must be (and must be seen to be) an extension or reflection of their culture”.27 Permasalahan mengenai bentuk hak sewa yang dijadikan jaminan, jaminan Cessie ataupun pengalihan hak sewa sebelumnya telah dibahas dalam beberapa penelitian, namun yang penelitian yang berjudul “Pengalihan dan Penjaminan Atas Hak Sewa Sebagai Cessie Dalam Suatu Perjanjian Kredit” ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sebagaimana dapat disimak dari hasil penelusuran penelitian terkait sebagai berikut : a). Pertama adalah tesis milik Rahmad Setiadi (NIM 097011007/MK.n), disusun pada tahun 2011, mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang berjudul :Resiko Hukum Atas Cessie Tagihan Piutang Sebagai Jaminan Kredit Pada Perusahaan Pembiayaan (Studi Kasus PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) Cabang Medan)”. Tesis tersebut mengkaji secara khusus mengenai resiko Cessie sebagai suatu jaminan dalam perjanjian kredit dan secara spesifik mencantumkan lembaga yang dijadikan objek penelitian untuk penulisan tesis tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam karya tesis tersebut adalah mengenai kedudukan serta resiko hukum Cessie tagihan piutang sebagai objek jaminan kredit, dan juga mengenai bagaimanakah prosedur pemberian kredit dengan Cessie tagihan piutang sebagai jaminan pada PT. Permodalan Nasional Madani Persero Cabang Medan.
27.
Anthony G. Amsterdam & Jerome Bruner, 2002, Minding the Law, Harvard University Press, USA, hal. 2
25 b). Kedua, ada juga tesis yang berkaitan dengan penjaminan kebendaan diatas hak sewa pada bank sebagai jaminan kredit, yaitu tesis yang berjudul, “Kios Pasar Sebagai Jaminan Kredit Perbankan di PT Bank UOB Buana Cabang Semarang”, ditulis oleh Delima Boru Manalu (NIM B4B005100), mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun 2007. Tesis tersebut mengkaji secara spesifik mengenai pelaksanaan penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang berupa kios pasar dan juga mekanisme yang harus dilakukan apabila debitor wanprestasi, serta disebutkan pula secara jelas lembaga perbankan yang memberikan kredit dan menjadi objek penelitiannya. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini berkaitan dengan bagaimanakah pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan berupa kios pasar dan juga bagaimanakah cara penyelesaian apabila terjadi wanprestasi dari debitor atas perjanjian kredit dengan jaminan berupa kios pasar. c). Ketiga, terdapat juga penelitian tesis yang mengkaji mengenai jaminan bangunan di atas tanah hak sewa yang berjudul “Penjaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di atas Tanah Hak Sewa Pada Bank BNI Cabang Semarang”, yang ditulis pada tahun 2005 oleh Agus Wahyu Nugroho (NIM B4B 003 043), mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai kontruksi hukum penjaminan bangunan di atas tanah hak sewa yang menjadi objek jaminan fidusia, dan juga perlindungan hukum terhadap kreditur yang menerima penjaminan kebendaan diatas hak sewa, serta mencatumkan lembaga perbankan yang menjadi pemberi kredit secara jelas. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini berkaitan dengan bagaimana
26 konstruksi hukum penjaminan fidusia terhadap bangunan di atas tanah hak sewa dan juga mengenai perlindungan hukum kepada kreditur terhadap penjaminan fidusia bangunan di atas tanah hak sewa. Penelitian tesis yang akan dikaji oleh penulis merupakan sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan ketiga penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain, Pertama tesis ini akan mengkaji praktek penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang diikuti dengan bentuk pengalihan hak sewa dari segi teori dan juga konsep-konsep yang ada di dalam hukum perdata terutamanya dikaitkan dengan doktrin Cessie agar nantinya dapat diperoleh suatu kesimpulan apakah perbuatan hukum pengalihan hak sewa untuk menunjang penjaminan hak kebendaan yang ada di atasnya tersebut memang sesuai atau tidak dengan konsep Cessie. Hal ini menjadi sangat penting karena di dalam praktek kenotariatan banyak pihak yang menggolongkan perbuatan hukum tersebut sebagai suatu Cessie, bahkan dalam aktanya pun kata Cessie diselipkan sebagai judul akta untuk perbuatan hukum tersebut, padahal secara umum Cessie merupakan suatu pemindahan hak tagih dan juga pemindahan kebendaan tak bertubuh lainnya. Tidak ada pembahasan secara khusus yang memberikan pandangan apakah hak sewa memang terkait dengan hal tersebut. Kedua, penelitian ini juga akan mengkaji mengenai apakah memang suatu hak kebendaan yang ada di atas hak sewa dan juga hak sewa itu sendiri secara teori dan konsep hukum perdata dapat dijadikan suatu jaminan kebendaan seperti yang lazimnya terjadi di dalam praktek. Ketiga, contoh tesis lain tersebut mencatumkan secara spesifik lembaga yang menjadi objek penelitiannya, sementara tesis ini, karena merupakan suatu
27 kajian normatif akan melihat perbuatan hukum penjaminan kebendaan diatas hak sewa yang diikuti dengan suatu pengalihan hak sewa sebagai bentuk Cessie yang dijadikan suatu jaminan dalam perjanjian kredit melalui ketentuan perundang-undangan, teori, dan juga konsep-konsep di dalam hukum perdata yang terkait dengan topik pembahasan tesis ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dan menyusunnya ke dalam bentuk penelitian yang berjudul “Penjaminan Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa Yang Diikuti Dengan Pengalihan Hak Sewa Atas Tanah Sebagai Bentuk Cessie Dalam Suatu Perjanjian Kredit”, dan penulis dapat menarik 2 (dua) rumusan masalah berdasarkan pemaparan tersebut, antara lain : 1. Dapatkah suatu kebendaan berupa bangunan di atas suatu hak sewa yang kemudian diikuti dengan pengalihan hak sewa dijadikan suatu agunan dan juga jaminan dalam proses utang-piutang (kredit) yang dilakukan antara pihak kreditur (bank) dan debitur apabila dikaitkan dengan sifat dari suatu hak yang timbul dalam suatu perjanjian sewa menyewa? 2. Apakah perbuatan hukum pengalihan hak sewa untuk kemudian dijadikan jaminan dalam suatu perjanjian kredit dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari Cessie sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata?
28 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama dalam bidang Hukum Kenotariatan terkait dengan teori serta konsep hukum perdata yang ada terhadap praktek penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa yang dipandang sebagai salah satu bentuk Cessie dalam praktek kenotariatan.
1.3.2 Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum di atas, terdapat juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep penjaminan hak kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai salah satu bentuk dari konsep Cessie sesuai dengan ketentuan KUHPerdata. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan suatu pengalihan hak sewa sebagai suatu perbuatan hukum yang dapat dijadikan suatu agunan dan jaminan dalam perbuatan hukum utang-piutang (kredit) antara debitur dan kreditur (bank).
29 1. 4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat dalam usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis, khususnya pada bidang Hukum Kenotariatan. Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan mengenai proses pengalihan dan penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa dalam suatu perjanjian kredit dan mengaitkannya pada konsep Cessie sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata.
1.4.2 Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis . Adapun penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada : a). Kalangan akademis : diharapkan dengan hasil analisis penelitian ini dapat memberikan ide baru untuk membuat dan meneliti lebih lanjut sehingga suatu saat dapat menghasilkan suatu konsep dan pandangan lain terkait dengan penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. b). Notaris dan PPAT : diharapkan dengan adanya analisis dari penelitian ini dapat memberikan suatu pandangan baru dan suatu pemahaman mengenai konsep penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti
30 dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. Nantinya substansi akta yang akan dibuat oleh Notaris akan sesuai dengan konsep hukum yang terkait. c). Peneliti sendiri : dalam rangka membekali peneliti dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai penjaminan kebendaan berupa bangunan di atas tanah hak sewa yang diikuti dengan pengalihan atas hak sewa sebagai bentuk Cessie dalam suatu perjanjian kredit. 1.5
Landasan Teoritis Dalam suatu penelitian, landasan teoritis memiliki fungsi untuk memberikan
pedoman atau petunjuk serta memprediksi hal-hal yang dihadapinya.28 Landasan teoritis dapat terdiri dari suatu asas yang berlaku ataupun pendapat (teori) dari para ahli yang memang diakui oleh banyak pihak memiliki kemampuan dibidangnya. Adapun asas dan teori yang digunakan untuk melakukan penelitian dalam kajian tesis ini antara lain : 1.5.1 Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini merupakan suatu asas yang terkadung di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dikatakan di dalam ketentuan pasal tersebut bahwa : ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya”. Dengan demikian setiap orang dapat membuat semua jenis perjanjian dan perjanjian tersebut akan dinyatakan tetap berlaku bagi para pihak meskipun belum terdapat ketentuan yang secara detail mengatur mengenai perjanjian tersebut. Namun,
28.
Lexi J. Moelong, 2002, Metode Penelitian Kumulatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 35
31 hal tersebut dapat berlaku asalkan perjanjian tersebut dibuat mengikuti syarat sahnya perjanjian dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Asas ini ada untuk mengakomodasi kedinamisan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat akan terus berkembang demikian juga perbuatan-perbuatan dan peristiwaperistiwa yang ada di dalamnya. Dengan adanya asas ini maka pihak yang berkeinginan membuat suatu perjanjian tidak perlu menunggu adanya aturan terkait dengan perjanjian yang akan dibuatnya tersebut, apabila memang belum terdapat aturan yang terkait dengan perjanjian tersebut. Mereka cukup berpegangan terhadap ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. 1.5.2 Asas Publisitas Adanya publisitas (openbaarheid) adalah adanya suatu pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan atas suatu benda. Pengumuman kepemilikan hak atas benda tetap dan juga benda tidak bergerak dapat terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah atau suatu sistem register (pendaftaran) umum terkait dengan kebendaan tersebut yang disediakan untuk itu. Sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata terhadap benda itu. 1.5.3 Asas Pemisahan Horizontal Asas ini merupakan salah satu asas yang diambil dari hukum adat dalam pengaturan hukum tanah nasional. Penerapan asas pemisahan horizontal dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menentukan wewenang pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
32 dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang Undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Kata sekedar dipergunakan di dalam ketentuan pasal tersebut, menunjukan bahwa kewenangan untuk menggunakan tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya tidak serta merta tapi harus terkait dengan penggunaan tanahnya. Oleh karena itu jika di tubuh buminya terdapat kekayaan alam, maka tidak menjadi bagian dari hak yang dimilikinya tapi menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 UUPA (hak menguasai oleh negara). Penerapan asas pemisahan horizontal juga dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. dalam waktu tertentu. Tanah yang bukan miliknya sendiri bisa berupa tanah negara, tanah milik orang lain, ataupun tanah dengan Hak Pengelolaan. Jadi menurut asas pemisahan horizontal terdapat hubungan yang terpisah antara tanah dan kekayaan alam yang ada di dalam tanah tersebut serta antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. 1.5.4 Teori Utilitas (Utilitarianisme Theory) dari Jeremy Bentham Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianisme dan teori klasik ekonomi laissez fair dianggap saling melengkapi dan sama-sama
33 menghidupkan pemikiran liberlis individualistis.29 Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang sebanyakbanyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum.30 Jeremy Bentham dalam bukunya“Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.31 Dikaitkan dengan hak sewa yang dialihkan sebagai bentuk Cessie terkait dengan penjaminan kebendaan diatasnya, ketentuan aturan KUHPerdata tidak mengatur secara jelas mengenai hal tersebut dan juga tidak mengatur dengan jelas mengenai sifat hak yang dilahirkan oleh perjanjian sewa meyewa ini. Namun pada praktek pengalihan hak sebagai bentuk Cessie tersebut tetap ada. Dengan adanya suatu pengalihan hak tersebut hak sewa kemudian dianggap sebagai suatu hak yang dapat menjadi objek jaminan, dan merupakan suatu hak kebendaan. Di Negeri Belanda hal kedudukan hak sewa telah dipandang sebagai suatu hak kebendaan, dan terbukti hal tersebut memberikan kemudahan dan utility bagi masyarakat dalam mengajukan suatu jaminan.
29.
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 17 30. L.J.van Apeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 168. 31. Jeremy Bentham,1907, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Oxford Clanderon Press, England, hal. 37
34 1.5.5 Teori Kausal Teori kausal ada di dalam buku karangan Pitlo dan Hofman yang keduanya berjudul Zakenrecht. Menurut teori kausal, hubungan antara peristiwa perdatanya (rechstitel) dengan tindakan penyerahannya adalah hubungan sebab akibat. Antara keduanya ada hubungan yang erat sekali dan untuk menggambarkannya dikatakan ada hubungan sebab akibat. Karena merupakan hubungan sebab akibat, maka dikatakan disana dianut teori kausal.Dengan itu berarti, bahwa keabsahan dari penyerahan (akibat) bergantung dari keabsahan peristiwa perdata (sebab) yang menjadi dasar penyerahan.32 Jadi menurut teori ini suatu perjanjian yang mempunyai suatu title (sebab) yang batal maka konsekuensi untuk penyerahannya (akibatnya) juga batal, dengan akibat objek penyerahan tidak beralih ke dalam kepemilikan si penerima penyerahan, dikaitkan dengan Cessie, maka Cessionaris tidak dapat menjadi pemilik dari tagihan atau kebendaan tak bertubuh yang diserahkan.
1. 6
Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian Metode penelitian hukum pada umumnya membagi penelitian atas dua kelompok besar, yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudat hirarki perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal). Penelitian
32.
J.Satrio I, Op.Cit, hal.67
35 hukum empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dan khususnya akan dilakukan penelitian terhadap konsep-konsep terkait yang ada di dalam KUHPerdata. Selain itu penulis juga akan mengkaji mengenai kekosongan norma terhadap pemenuhan asas publisitas terkait dengan kepemilikan atas bangunan yang berdiri diatas tanah hak sewa, yang nantinya dapat dijaminkan serta masih belum jelasnya/kaburnya konsep hak kebendaan lainnya sebagaimana diatur oleh Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Namun, disamping pengkajian secara normatif, penulis juga akan menggunakan data empiris yang diperoleh dari proses wawancara sebagai materi penunjang dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup 33 : a). Penelitian terhadap asas-asas hukum; b). Penelitian terhadap sistematika hukum; c). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum ; d). Penelitian sejarah hukum; e). Penelitian perbandingan hukum.
33.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
36 Penelitian hukum normatif di dalam penelitian ini mencakup penelitian mengenai asas-asas hukum yang terkait dengan proses pengalihan hak sewa terutamanya dikaitkan dengan konsep Cessie yang ada di dalam KUHPerdata. Penelitian ini juga akan memperlajari dan menganalisis mengenai konsep perjanjian sewa menyewa dan sifat dari hak dan perjanjian itu sendiri sehingga nantinya dapat diketahui bahwa hak yang timbul dari perjanjian sewa menyewa tersebut memang merupakan suatu hak yang dapat dialihkan dan dijaminkan atau tidak sesuai dengan ketentuan KUHPerdata. 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian34. Dari ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk diskripsi dan menghendaki makna yang berada di balik bahan hukum. Sesuai dengan jenis penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan35. pendekatan
perundang-undangan
(Statute
Dalam penelitian ini digunakan
Approach)
dan
pendekatan
konsep
(Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti ketentuan mengenai Cessie dan juga jaminan dalam KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sedangkan pendekatan konsep dilakukan dengan mengkaji konsep Cessie,
34.
Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rieneka Cipta, Jakarta, hal. 23 35. Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hal.300
37 hak dalam perjanjian sewa menyewa dan juga konsep mengenai kedudukan hak sewa dalam suatu jaminan kredit. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum.36 Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut bahan hukum sekunder37. Bahan pustaka dalam penelitian hukum normatif kemudian terbagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan juga bahan hukum tertier. Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari : a). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ; b). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; c). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan ; d). Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan ; e). Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ; f) . Undang-Undang No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan diperkuat 36.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,hal. 41 37. Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 24
38 penjelasan di dalamnya. Diantara bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, tesis, jurnal, internet dengan menyebut nama sumbernya, dan dokumen-dokumen yang mengulas mengenai perbuatan hukum Cessie yang nantinya dijadikan sebagai analisis dalam penelitian ini. Terdapat juga sedikit data penunjang berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key person) bidang hukum kenotariatan yang terkait. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini bersifat library research yang pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan teknik dokumenter, yaitu dikumpulkan dari telaah peraturan perundang-undangan, putusan, arsip atau studi pustaka seperti, buku-buku, makalah, artikel, majalah, jurnal, koran, atau karya tulis para pakar. Selain itu, wawancara juga merupakan salah satu dari teknik pengumpulan bahan hukum yang menunjang teknik dokumenter dalam penelitian ini serta berfungsi untuk memperoleh bahan hukum yang mendukung penelitian jika diperlukan. Bahan hukum juga akan dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada. 38 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul akan digunakan beberapa teknik analisis, seperti : Deskripsi, interpretasi, kontruksi, evaluasi, 38.
Winarno Surakhmad, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode & Teknik, Tarsito, Bandung, hal. 257
39 argumentasi, dan sistimatisasi. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontraktual, dan lain-lain. Teknik kontruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (a contrario). Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat ataupun antara yang tidak sederajat.
40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Mengenai Kredit Saat ini, kredit merupakan salah satu metode pembayaran yang sangat umum
dilakukan di dalam masyarakat terkait dengan kegiatan jual-beli. Kredit merupakan salah satu cara yang dapat memberikan kemudahan bagi seseorang untuk memperoleh suatu benda. Kredit secara umum dikenal sebagai peminjaman dana atau suatu piutang yang dimiliki oleh kreditur kepada debitur. Di dalam masyarakat modern seperti saat ini kredit dapat timbul secara instan melalui produk yang disalurkan oleh bank ke dalam masyarakat, yaitu kartu kredit. Adanya kartu kredit ini memberikan kemudahan pada nasabah untuk melakukan pembayaran, karena tanpa melalui suatu prosedur yang rumit untuk dapat mencicil harga dari suatu produk. Namun disisi lain kartu kredit juga turut membentuk suatu prilaku masyarakat yang menjadi konsumstif. Kartu kredit juga dapat menimbulkan masalah terhadap bank, yaitu apabila adanya suatu pembayaran kredit yang macet. Kata kredit berasal dari kata “credere”atau “credo” yang berarti kepercayaan. Kredit merupakan suatu konsep modern dari suatu perjanjian hutang piutang. Di dalam kredit kreditur akan memberikan pinjaman kepada debitur dan nantinya pihak debitur harus mengembalikannya dengan cara mencicil/mengangsur. Unsur kepercayaan ini sangat berperan dalam membangun hubungan yang baik antara kreditur (bank) dengan
41 debitur (nasabahnya). Karena berkaitan dengan usaha perbankan, maka UU Perbankan pun memberikan pengertian mengenai kredit, sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 yang menyatakan bahwa : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakandengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1), UU Perbankan memberikan suatu kewajiban bagi bank agar dalam menyalurkan suatu kredit atau pembiayaan bank harus mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Menurut Raymond P. Kent, kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang.39 Sedangkan Munir Fuady berpendapat bahwa terdapat beberapa unsur dalam kredit, yang terdiri dari : 1. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut perjanjian kredit; 2. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank, dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa; 3. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan mampu membayar/mencicil kreditnya; 4. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur; 5. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada debitur;
39.
Thomas Suyatno, dkk., 1995, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi ke 4, PT Gramedia, Jakarta, ,hal 12.
42 6. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan; 7. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh kreditur; 8. Adanya risiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi. Semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula risiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.40 Selain unsur-unsur tersebut, dilihat dari sifat dan peruntukannya, terdapat beberapa jenis kredit yang berbeda menurut pandangan para ahli, yang terdiri dari : Menurut Thomas Suyatno, dkk., jenis-jenis kredit dapat dibedakan berdasarkan beberapa indikator dibawah ini: a. Tujuan, yaitu kredit konsumtif, kredit produktif dan kredit perdagangan; b. Jangka waktu, yaitu kredit jangka pendek, kredit jangka menengah dan kredit jangka panjang; c. Jaminan, yaitu kredit tanpa jaminan dan kredit dengan agunan; d. Penggunaan, yaitu kredit eksploitasi dan kredit investasi.41 Sedangkan menurut Muhamad Djumhana, jenis kredit dapat dibedakan berdasarkan beberapa criteria dibawah ini: a. Tujuan penggunaan, yaitu kredit konsumtif, kredit produktif yang dibagi 2 menjadi kredit investasi dan eksploitasi dan kredit yang merupakan perpaduan kredit konsumtif dan produktif; b. Dokumen, yaitu kredit ekspor dan impor;
40.
Munir Fuady, 2002, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 6-7. 41. Thomas Suyatno, dkk, Op Cit, hal. 25
43 c. Aktivitas perputaran usaha, yaitu kredit usaha kecil, kredit usaha menengah dan kredit usaha besar; d. Jangka waktu, yaitu kredit jangka pendek, kredit jangka menengah dan kredit jangka panjang; e. Jaminan, yaitu kredit tanpa jaminan dan kredit dengan jaminan.42 Dari beberapa pemaparan di atas maka penulis berpendapat bahwa kredit merupakan suatu produk yang berupa pinjaman dana yang diberikan oleh kreditur yang biasanya dalam praktek adalah bank kepada debitur yang diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai kemampuan debitur yang nantinya melahirkan suatu kepercayaan, untuk jangka waktu dan peruntukkan tertentu yang menyesuaikan dengan kebutuhan debitur yang hendak memperoleh kredit. 2.1.1
Perjanjian Kredit Pemberian kredit oleh kreditur terhadap debitur disepakati dengan suatu
kesepakatan yang dituangkan ke dalam suatu perjanjian, yang disebut dengan perjanjian kredit. Ketentuan mengenai perjanjian kredit secara khusus memang tidaklah diatur di dalam KUHPerdata, namun mengingat suatu perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian yang konsepnya diatur dalam dalam buku III KUHPerdata maka dasar-dasar dari suatu perjanjian kredit harus disesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata, yang terkait dengan perjanjian. Sebagaimana ditentukan juga di dalam Pasal 1319 KUHPerdata dikatakan bahwa : “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang 42.
Muhamad Djumhana,1993, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.221
44 tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan yang termuat dalam Bab II dan Bab I KUH Perdata.” Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian yang berkembang di dalam masyarakat, masyarakat melakukan berbagai jenis perjanjian dalam kesehariannya, dan hal tersebut terus berkembang mengikuti perkembangan jaman, hal ini juga dimungkinkan karena adanya suatu asas dalam hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak terdapat di dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas tersebut memberikan suatu kepada para pihak untuk menyusun suatu bentuk perjanjian apapun dengan dasar suatu kesepakatan bersama (konsensualisme) meskipun belum terdapat suatu ketentuan yang secara khusus mengaturnya. Namun asas tersebut bukan berarti para pihak memiliki suatu kebebasan yang mutlak dalam menyusun suatu perjanjian. Perjanjian yang nantinya disusun oleh para pihak nantinya tetap harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Adapun mengenai syarat-syarat tersebut telah dijelaskan di dalam bab yang sebelumnya. Perjanjian kredit meskipun dikatakan sebelumnya sebagai suatu bentuk perjanjian khusus yang timbul di dalam masyarakat, namun sebenarnya memiliki konsep yang mirip dengan salah satu jenis perjanjian yang diatur di dalam ketentuan KUHPerdata, yaitu perjanjian pinjam meminjam, dalam hal ini dikhususkan perjanjian pinjam meminjam yang objeknya adalah benda berupa uang. Perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata didefenisikan sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
45 jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.43 Mariam Darus Badrulzaman menggolongkan perjanjian kredit bank sebagai perjanjian bernama. Dengan demikian, perjanjian kredit digolongkan dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian peminjaman yang terbagi dalam perjanjian pinjammeminjam secara pinjam pakai yang obyek hukumnya berupa benda yang tidak dapat diganti (bruikleen) dan yang obyek hukumnya merupakan benda yang dapat dihabiskan dalam pemakaian dan dapat diganti dengan benda yang sejenis (verbruikleen).44 Sutan Remi Sjahdeini menggolongkan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama (khusus) namun bukan termasuk perjanjian pinjam-meminjam seperti yang diatur oleh KUH Perdata. Menurut beliau terdapat 3 (tiga) alasan mengapa perjanjian kredit bank bukan perjanjian pinjam-meminjam yang diatur oleh KUH Perdata. Pertama, perjanjian pinjam-meminjam (Pasal 1754 KUH Perdata) termasuk perjanjian riil karena sudah terjadi penyerahan uang. Sebaliknya, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian konsensuil karena perjanjian tersebut baru merupakan perjanjian pendahuluan dan belum terjadi penyerahan uang. Kedua, pada perjanjian kredit debitur tidak leluasa dalam menggunakan uang yang dipinjamkannya karena harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit. Sebaliknya, dalam perjanjian pinjammeminjam, debitur dianggap sebagai pemilik uang sehingga berkuasa penuh untuk
43.
Subekti II,Op. Cit ,hal 45 Marian Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai, dan Fidusia, Alumni,Bandung, hal. 40 44.
46 menggunakan uang tersebut. Ketiga, perjanjian kredit disertai dengan syarat-syarat penggunaan, yaitu dengan menggunakan cek atau melalui pemindahbukuan. Bank selalu memberikan kredit dalam bentuk rekening koran yang penarikan atau penggunaannya selalu berada di bawah pengawasan bank. Ketiga karakteristik inilah yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian pinjam-meminjam menurut KUH Perdata.45 Dalam praktek, perjanjian kredit dapat dibuat oleh pihak kreditur dan debitur secara dibawah tangan ataupun otentik. Pihak bank yang berafiliasi dengan dengan bank asing, khususnya bank asing yang berasal dari negara yang menganut sistem common law seperti Inggris, Singapura, Australia, dan sebagainya, biasanya lebih memercayakan bentuk perjanjian kredit yang dibuat oleh lawyer secara dibawah tangan, karena di negara dengan sistem common law tidak dikenal lembaga Notaris sebagai pembuat akta otentik sebagaimana yang dipraktekkan di Indonesia. Namun tidak sedikit juga yang membuat suatu perjanjian kredit secara otentik, hal ini dilakukan untuk lebih memberikan suatu kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit yang dibuat adalah suatu perjanjian pokok yang dalam praktek nantinya akan diikuti dengan beberapa perjanjian lain yang terkait/ menimbulkan perjanjian Accesoir (ikutan). Sebagai contohnya adalah perjanjian kredit yang nantinya diikuti dengan suatu Cessie apabila hak tagih atas piutang tersebut nantinya dijual kepada pihak lain oleh kreditur pemegang hak. Namun satu perjanjian yang hampir 45.
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak,Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 180
47 selalu pasti mengikuti dibuatnya suatu perjanjian kredit adalah dengan dibuatnya suatu pengikatan jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh pihak debitur. Mengenai pembahasan jaminan akan dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.
2.1.2 Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Dalam kegiatannya menyalurkan kredit di masyarakat, bank membutuhkan suatu alat yang dapat memberikan suatu rasa aman terhadap pelunasan kredit yang dipinjamkannya tersebut. Di sisi lain dibutuhkan juga suatu alat yang dapat menjadi suatu symbol tanggung jawab debitur terhadap pelunasan utang yang dimilikinya kepada kreditur. Alat tersebut merupakan instrument yang dikenal sebagai jaminan. Konsep jaminan di Indonesia diadopsi dari konsep yang berasal dari Belanda, di Belanda jaminan itu sendiri dikenal dengan nama zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.46 Di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai jaminan dapat ditemukan di dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. Pada dasarnya harta kekayaan seseorang merupakan jaminan dari hutang-hutangnya, Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa, “segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangannya.” Pengertian jaminan menurut Pasal 1131 KUHPerdata ini bersifat umum, karena semua harta benda milik debitur 46.
H.Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 21
48 menjadi jaminan bersama-sama bagi semua krediturnya.47 Jaminan umum ini timbul dari undang-undang tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh para pihak terlebih dahulu. Apabila debitur tidak dapat melunasi hutangnya maka setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan debitur. Di dalam jaminan umum ini kedudukan para kreditur dianggap sama (paritas creditorium) dan tidak ada kreditur yang diistimewakan ataupun di dahulukan, jadi semua kreditur dianggap bersifat konkueren. Jaminan umum tersebut kemudian dirasa tidak dapat memberikan suatu perlindungan, karena memberikan kedudukan yang sama diantara para kreditur. Apabila debitur pailit maka para kreditur harus membagi rata sisa harta milik debitur secara adil sebagai pelunasan karena tidak adanya suatu kedudukan yang istimewa. Oleh karena itu, ketentuan pasal selanjutnya, yaitu Pasal 1132 KUHPerdata memberikan suatu pengaturan tambahan dalam
jaminan yaitu berupa suatu hak yang diistimewakan
kepada kreditur, yang membuat lahirnya bentuk jaminan yang bentuknya lebih khusus. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, jaminan khusus adalah jaminan yang timbul dari perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun juga jaminan yang bersifat perorangan yang nantinya disertai dengan suatu hak preference bagi kreditur yang memilikinya. Adapun ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata yang mengatur mengenai hak yang diistimewakan menetapkan bahwa,“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu 47.
Retnowulan Sutantio, 2005, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal.100
49 dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Apabila ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata tersebut dicermati maka dapat kita ketahui bahwa menurut ketentuan pasal tersebut ada beberapa jenis kreditur. Jenis yang pertama adalah kreditur yang memiliki suatu kedudukan yang berimbang sesuai dengan piutangnya masing-masing. Kemudian yang kedua adalah kreditur yang memiliki hak untuk di dahulukan/ diistimewakan apabila dibandingkan dengan kreditur lain. Kedudukan istimewa tersebut timbul berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kreditur
yang
memiliki
hak
untuk
didahulukan
atau
diistimewakan tersebut dikenal dengan nama kreditur preferen. Fieda Husni Hasbulah berpendapat bahwa jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara debitur dan kreditur. Hak jaminan yang bersifat khusus dapat dibedakan atas : 1.
Hak jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten), yaitu jaminan yang memberikan kepada kreditur atas suatu kebendaan milik debitur hak untuk memanfaatkan benda tersebut jika debitur melakukan wanprestasi. Benda milik debitur yang dijaminkan dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
2.
Hak jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke zekerheidsrechten), atau dikenal juga sebagai jaminan perorangan merupakan suatu perjanjian antara
50 seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.48 Jaminan apabila ditinjau secara keseluruhan dapat dibagi menjadi jaminan menurut cara terjadinya, jaminan menurut sifatnya, jaminan menurut objeknya, dan jaminan menurut kewenangan menguasainya. Dilihat dari cara terjadinya maka jaminan dapat dikategorikan menjadi jaminan yang lahir karena undang-undang dan juga jaminan yang lahir dari perjanjian. Jaminan yang lahir karena perjanjian memang diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan jaminan yang lahir karena undang-undang memang ada tanpa adanya suatu perjanjian dari para pihak. Jaminan yang lahir karena undang-undang ini kemudian pengaturannya ada di dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Apabila dilihat dari cara terjadinya, maka jaminan dapat dibedakan antara jaminan umum dan juga jaminan khusus. Jaminan umum merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan juga menyangkut harta kekayaan debitur. Benda yang ada di dalam jaminan umum tidak ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan untuk kreditur, nantinya hasil penjualan benda-benda yang digunakan sebagai jaminan tersebut akan dibagi-bagi di antara para kreditur seimbang dengan piutangnya masing-masing. Para kreditur dalam jaminan ini mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya (kreditur konkueren). Jaminan umum inilah yang dikatakan timbul karena ketentuan undangundang. Sedangkan di dalam suatu jaminan khusus, benda-benda tertentu yang ditunjuk
48.
Frieda Husni Hasabullah, Op.Cit, hal.13 - 18
51 secara khusus sebagai jaminan piutang, hanya berlaku bagi kreditur tertentu, baik itu jaminan yang bersifat kebendaan atau perorangan. Jaminan khusus ini timbul karena adanya suatu perjanjian yang secara khusus diadakan antara kreditur dan debitur. Dalam jaminan khusus ini kreditur juga memperoleh suatu hak untuk diistimewakan/didahului (preferance). Dilihat menurut sifatnya, maka jaminan dibedakan menjadi jaminan kebendaan dan juga jaminan perorangan. Jaminan kebendaan merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur. 2. Dapat dipertahankan kepada siapapun. 3. Selalu mengikuti bendanya (droit de suite). 4. Dapat diperalihkan.49 Di dalam jaminan kebendaan juga berlaku suatu asas yang bernama asas prioiteit,yang merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa hak kebendaan yang lebih tua (yang lebih dulu terjadi) lebih diutamakan daripada hak kebendaan yang terjadi demikian. Jaminan menurut sifatnya juga digolongkan sebagai jaminan perorangan. Jaminan perorangan merupakan suatu jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu. Jaminan ini diberikan oleh pihak ketiga atau dapat dikenal sebagai guarantee kepada pihak kreditur yang menyatakan bahwa pihak ketiga menjamin pembayaran kembali atas suatu pinjaman apabila yang berhutang (debitur) tidak mampu dalam memenuhi kewajiban finansialnya terhadap kreditur. Jadi, di dalam 49.
hal. 70
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta,
52 jaminan perorangan ini terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu pihak penanggung, pihak debitur, dan juga pihak kreditur. Praktek jaminan perorangan ini juga terkait sekali dengan praktek company/corporate guarantee, yaitu jaminan perusahaan berupa surat keterangan dari pimpinan perusahaan yang berkaitan dengan keabsahan, kedudukan, dan penghasilan dari pihak yang meminta jaminan. Jadi dalam suatu jaminan kebendaan kreditur akan merasa terjamin karena mempunyai hak untuk diistimewakan/preferensi dalam pemenuhan piutangnya atas hak hasil eksekusi terhadap benda-benda debitur. Sedangkan dalam suatu jaminan perorangan pihak kreditur akan memiliki suatu rasa aman karena mempunyai lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi piutangnya. 2.1.3
Lembaga Penjaminan di Indonesia Apabila dikaji menurut objeknya, maka objek dalam jaminan terdiri dari benda
bergerak dan juga benda tidak bergerak. Pembedaan ini mempunyai arti penting terhadap cara pembebanan jaminannya dan juga cara penyerahan objek benda tersebut. Apabila benda tersebut tergolong sebagai benda – benda bergerak seperti kendaraan bermotor, perabot rumah maka terdapat dua pilihan lembaga penjaminan, yang pertama adalah gadai dan yang kedua adalah lembaga penjaminan fidusia. Gadai diatur di dalam ketentuan Pasal 1152 – Pasal 1158 KUHPerdata. Dalam praktek gadai, penguasaan terhadap benda yang dijadikan jaminan oleh pihak debitur ada di dalam pihak kreditur penerima gadai. Lembaga yang berikutnya adalah lembaga jaminan fidusia. Ketentuan mengenai fidusia diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
53 Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889 selanjutnya disebut UU Fidusia). Fidusia berasal dari kata “fides” yang artinya “kepercayaan”. Lembaga jaminan fidusia pada awalnya lahir karena adanya suatu krisis terhadap kepercayaan terhadap lembaga penjaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19, yang mengakibatkan terjadinya pertentangan berbagai kepentingan. Krisis tersebut ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertanian yang melanda negara Belanda bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Krisis tersebut kemudian mendorong lahirnya suatu lembaga jaminan, yang disebut fidusia yang keberadaannya didasarkan pada hukum hakim atau yurisprudensi. Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barangbarang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitor. Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh suatu yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Pada kasus tersebut Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya
54 dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM50. Kasus tersebutlah yang menjadi pemicu diterapkannya lembaga jaminan yang didasarkan oleh kepercayaan, fidusia, di Indonesia. Unsur kepercayaan dalam lembaga fidusia ini ada karena penguasaan dari objek benda yang akan dijadikan jaminan masih berada dalam penguasaan debitur. Objek tersebut berada ditangan debitur karena benda tersebut dipandang dapat menghasilkan nilai ekonomis dan sebagai alat produksi bagi debitur yang nantinya akan digunakan untuk biaya pelunasan kredit kepada kreditur pemberi jaminan. Contohnya adalah apabila A memfidusiakan mobilnya, mobil tersebut nantinya akan tetap berada di dalam penguasaan A, karena mobil tersebut dapat disewakan kepada pihak lain, hasil sewa mobil itu sendiri kemudian nantinya dapat digunakan untuk melunasi kredit yang dimiliki oleh A. Perbedaan penguasaan barang yang dijaminkan inilah yang kemudian 50.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,2001, Jaminan Fidusia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 126
55 membedakan antara jaminan gadai dan jaminan fidusia. Apabila dalam gadai barang jaminan akan dikuasai oleh kreditur, maka dalam jaminan fidusia barang jaminan akan tetap berada dalam penguasaan debitur karena jaminan tersebut timbul dari suatu kepercayaan. Sedangkan untuk benda tak bergerak atau benda tetap, seperti tanah, dan juga tanah dengan bangunannya penjaminannya dahulu dilakukan dengan hipotek, namun terhitung sejak tanggal 19 April 1996 ketentuan penjaminan benda tak bergerak menjadi hampir sepenuhnya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai hak tanggungan (Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 42 selanjutnya disebut
UUHT). Ketentuan mengenai hipotek yang diatur di dalam Pasal 1162 KUHPerdata – Pasal 1232 KUHPerdata yang berkaitan dengan objek jaminan atas tanah saat ini dianggap tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur di dalam ketentuan Pasal 29 UUHT,yaitu : Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun ketentuan mengenai hipotek ini masih berlaku untuk beberapa objek jaminan, yaitu apabila objek jaminannya merupakan kapal laut yang telah terdaftar berdasarkan Pasal 314 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hal tersebut karena kapal muatan dengan berat tertentu oleh undang-undang akan dianggap sebagai benda tidak bergerak. Pembedaan terhadap jenis benda juga akan
56 mempengaruhi
cara
penyerahan
terhadap
benda
tersebut.
Benda
bergerak
penyerahannya dilakukan dengan suatu penyerahan nyata (secara langsung), penyerahan simbolis (misalnya penyerahan kunci mobil pada acara kuis), constitutum possessorium (yaitu penyerahan tetapi tetap terus melanjutkan penguasaan atas benda tersebut, Cessie, dan juga endossemen (pengalihan hak atas dasar surat berharga yang dapat dialihkan). Dilihat dari kewenangan untuk menguasai bendanya, maka jaminan dibedakan menjadi jaminan dengan menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Jaminan dengan menguasai bendanya itu ada di dalam lembaga penjaminan gadai (pand/pledge), yang di dalamnya terdapat suatu hak retensi yang dimiliki oleh kreditur. Hak retensi itu sendiri adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, dan Pasal 1812 KUHPerdata. Hak retensi berbeda dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana muncul demi hukum, karena ciri/sifat daripada lembaga hukum itu sendiri. Namun demikian, ia tetap bukan merupakan privilege, karena privilege ditentukan sebagai demikian oleh undang-undang.51 Dengan adanya penguasaan terhadap benda jaminan tersebut kreditur akan merasa lebih aman terutama pada benda bergerak yang memang mudah dipindahkan dan berubah nilainya. Kreditur juga 51.
J.Satrio, 2000, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio IV), hal. 20
57 berwenang menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) jika terjadi wanprestasi karena benda jaminan ada di tangan kreditur. Terdapat juga suatu jaminan yang kewenangannya tanpa menguasai bendanya. Jaminan tanpa menguasai bendanya ini biasanya ada pada objek jaminan yang merupakan benda tidak bergerak, karena memang benda bergerak sulit untuk dipindahkan, namun terdapat pengecualian pada jaminan fidusia, karena jaminan tersebut timbul dari suatu kepercayaan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jadi apabila digolongkan menurut lembaga penjaminnya maka jaminan tanpa menguasai objeknya ada pada lembaga hipotik, hak tanggungan, dan juga fidusia. Apabila digambarkan ke dalam sebuah bagan, maka gambaran struktur mengenai jaminan adalah sebagai berikut :
JAMINAN JAMINAN UMUM
1131 BW
JAMINAN KHUSUS
JAMINAN PERORANGAN
JAMINAN KEBENDAAN
BORGTOCH
BENDA TETAP
BENDA BERGERAK
TANAH
BUKAN TANAH
GADAI
FIDUSIA
UU HT
HIPOTEK 1162 BW
1152-1158 BW
UU 4/99
1132 BW
4/96
58 Suatu perjanjian jaminan bersifat accesoir. Accesoir adalah suatu perjanjian yang diadakan untuk mengikuti perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian pokoknya. Jadi suatu perjanjian jaminan tidak mungkin ada tanpa adanya suatu perjanjian pokok, perjanjian pokok disini adalah suatu perjanjian kredit. Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya, sehingga apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian jaminannya juga berakhir. Untuk dapat membuat suatu perjanjian jaminan, dalam suatu perjanjian pokok harus diatur secara tegas dan jelas tentang adanya janji-janji tentang jaminan. Apabila dikaitkan dengan praktek perjanjian kredit dalam dunia perbankan, terdapat beberapa perbedaan peristilahan, karena adanya istilah jaminan dan agunan. Pada awalnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan tidak dikenal istilah agunan, tetapi hanya ada istilah jaminan. Dijelaskan dalam UU tersebut bahwa jaminan kredit adalah benda/barang tetap maupun barang bergerak ataupun sesuatu yang disamakan dengan itu, dimana nilainya dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang diserahkan oleh debitur, kepada bank/kreditur sebagai jaminan atas pelunasan fasilitas kredit yang diperoleh dari bank. Kemudian dalam perkembangannya, di dalam UU Perbankan yang baru dibedakan antara pengertian jaminan dan agunan. Pada ketentuan penjelasan Pasal 8 UU Perbankan jaminan dipandang sebagai keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 23 UU Perbankan dijelaskan bahwa agunan adalah, “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
59 kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Jadi jaminan dalam dunia perbankan lebih terkait dengan kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya, sementara agunan merupakan barang/benda yang dijaminkan untuk melunasi utang nasabah tersebut.
2.2
Konsep Perjanjian Sewa Menyewa Pengertian, konsep, sifat, dan jenis-jenis mengenai perjanjian dapat ditemukan di
dalam buku III KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan. Di dalam ketentuan Buku III Pasal 1313 KUH Perdata ditentukan bahwa, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara 2 (dua) pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.52 Sedangkan Subekti berpendapat bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana 2 (dua) orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
53
Ahli lainnya, Mariam Darus Badrulzaman berpendapat
bahwa “perikatan yaitu persetujuan yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang lainnya memenuhi
52.
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I), Penerbit Sumur, Bandung, hal. 9 53. R.Subekti II, Op Cit, hal. 1
60 prestasi”.54 Selanjutnya menurut Abdul Kadir Muhammad. “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan dalam lapangan harta kekayaan”.55 Dari berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang lahir dari adanya janji atau kesepakatan kedua pihak atau lebih dimana pihak yang satu (debitur) mengikatkan dirinya pada pihak lain (kreditur) dengan maksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum terhadap prestasi yang disepakati bersama. Dapat dikatakan bahwa akibat hukum dari perjanjian yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak/lebih berdasarkan mana pihak yang lain berhak menuntut suatu hal yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (adanya prestasi yang harus dilakukan masing-masing pihak)56. Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan, yaitu perbedaan antara suatu perjanjian dan perikatan. Perbedaan antara keduanya juga timbul karena adanya suatu multitafsir dalam penerjemahan istilah pada KUHPerdata Belanda untuk kemudian diterapkan di dalam ketentuan KUHPerdata yang berlaku saat ini. Istilah yang digunakan terkait dengan perjanjian maupun perikatan adalah verbintenis. Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan sebagai "perutangan", “perjanjian” maupun dengan "perikatan". Masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang 54.
Mariam Darul Badrulzaman,1983, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, hal. 110 55. Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 78 56. R. Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1
61 dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda
yakni
“verbintenis”,
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai
istilah
perutangan
untuk
“verbintenis”.
Sebaliknya
Soediman
Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu
R. Wirjono Prodjodikoro, memakai
istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht”.57 Subekti juga memberikan perbedaan pengertian terkait dengan perikatan dan perjanjian. Perikatan menurut Subekti adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (overeenskomst).58 Apabila kita tegas mengacu pada KUHPerdata yang saat ini berlaku, maka terdapat suatu perbedaan antara perikatan dan juga perjanjian. Kata perjanjian dan 57.
Raden Soetojo Prawirohamidjojo, 1979, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 10 58. R.Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 03
62 kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.59 Sekalipun dalam KUHPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian60. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu hanya timbul dari suatu perjanjian sedangkan perjanjian menimbulkan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari Pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri. Perjanjian sewa menyewa merupakan salah satu bentuk dari perjanjian. Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Definisi mengenai perjanjian sewa menyewa diatur di dalam ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian sewa menyewa adalah, “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari
59.
Artika Septy Tobing, 2009, Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 2 60. J. Satrio III, Op Cit, hal. 38
63 sesuatu barang selama waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.” Dari defenisi Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu: 1. Barang. 2. Jangka waktu. 3. Pembayaran. 4. Memberikan kenikmatan dengan pemakaian. Dalam suatu perjanjian sewa menyewa terdapat suatu barang yang menjadi objek dalam perjanjian tersebut, yang bisa saja merupakan benda bergerak, seperti misalnya mobil, ataupun benda tidak bergerak yang dapat berupa tanah kosong dan tanah yang sudah memiliki bangunan di atasnya. Selain benda bergerak dan tidak bergerak, objek sewa menyewa dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Hal ini juga dinyatakan di dalam ketentuan Pasal 1549 KUHPerdata alinea terakhir yang masih diberlakukan yaitu : “semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan”. Namun sudah tentu barang tersebut harus memiliki suatu nilai ekonomis atau berada pada lapangan harta kekayaan. Penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang. Harus ditentukan tentang jenis barang dan besarnya harga sewa dalam waktu tertentu selama berlangsungnya sewa menyewa. Adanya suatu harga sewa inilah yang membedakan sewa menyewa dengan perjanjian lain yang sekilas terlihat mirip yaitu perjanjian pinjam pakai (vide : Pasal 1740
64 KUHPerdata). Kalau seseorang diberikan suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar sesuatu sebagai gantinya, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam pakai. Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula. Dalam perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum di mana subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R. Suroso subjek hukum adalah, “Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”.61 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lain (kewajiban pemilik barang/yang menyewakan), sedangkan kewajiban pihak yang lain adalah membayar harga sewa (kewajiban penyewa). Penyerahan barang tersebut oleh pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa adalah untuk dipakai, dikuasai, dan dinikmati kegunaannya, bukan untuk dimiliki.
61.
R. Suroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 223
65 Menurut Arief Masoeki dan H.M. Tirta Amijaya, perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu dengan harga tertentu pula.62 Jadi, perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan sesuatu barang kepada pihak yang lain untuk dinikmati selama jangka waktu tertentu dengan kewajiban membayar sejumlah harga sewa kepada pihak yang menyewakan. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.63 Sedangkan menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.64 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, juga dijelaskan mengenai definisi dari kata “sewa”, yang di definisikan sebagai : (i) pemakaian sesuatu dengan membayar uang ; (ii) uang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu, ongkos biaya pengangkutan (transportasi) ; (iii) yang boleh dipakai setelah dibayar dengan uang.
62.
Arief Madoeki dan H.M.Tirta Amijaya, 1986, Asas-Asas Hukum Perdata, Djambatan, Jakarta, hal.144 63. M.Yahya Harahap,1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet.1, Alumni, Bandung, hal 220 64. R. Subekti I, Op Cit, hal.164
66 Sedangkan menyewa di definisikan sebagai memakai (meminjam, mengusahakan, dan sebagainya) dengan membayar uang sewa.65 Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat.66 Sewa menyewa, seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Namun, meskipun perjanjian sewa menyewa tergolong sebagai suatu perjanjian konsensual, oleh undang-undang diadakan beberapa perbedaan (dalam akibatakibatnya) antara sewa yang dibuat dalam bentuk tertulis dan sewa yang dibuat dalam bentuk lisan. Jika sewa menyewa diadakan secara tertulis, maka demi hukum secara otomatis sewa tersebut berakhir apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukan suatu pemberitahuan-pemberitahuan untuk itu. Sebaliknya, jika sewa menyewa tersebut tidak dibuat dalam bentuk tertulis (dibuat secara lisan) maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan
65.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2,cet. 7, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 933 66. R. Wirjono Prodjodikoro,1987, Hukum Perjanjian dan Perikatan (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro II), Pradya Paramita, Jakarta, hal. 53
67 sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis diatur di dalam ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata dan mengenai sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur di dalam ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata. 2.2.1
Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian sewa menyewa harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana tercantum di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata untuk dapat dijalankan sebagai sebuah perjanjian yang sah. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1.
Kesepakatan. Kesepakatan disini adalah adanya pertemuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian sehingga lahir suatu persetujuan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa “sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain”.67 Sedangkan Subekti merumuskan bahwa “maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain dan mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik”. 68 Dalam kesepakatan ini menunjukkan bahwa subjek hukum yang melaksanakan
67. 68.
Abdul Kadir Muhammad, Op Cit, hal. 89 R.Subekti I, Op Cit, Hal. 17
68 perjanjian harus menyatakan kehendaknya secara bebas tanpa adanya suatu ancaman/paksaan (bedreiging, dwang), kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog) dan juga penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstadigheden). Mengenai ancaman, kekeliruan dan penipuan, ketentuannya diatur di dalam Pasal 1322 – Pasal 1328 KUHPerdata, sedangkan mengenai penyalahgunaan keadaan tidak diatur di dalam KUHPerdata.69 Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan kedua belah pihak dapat dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan. Dalam perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan secara bersama dengan penyewa membuat perjanjian sewa menyewa tersebut dan kemudian bersepakat bersama-sama untuk menjalankan perjanjian tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka lahir suatu hubungan hukum antara pemilik sebagai pihak yang menyewakan dengan penyewa. Apabila kesepakatan telah tercapai di antara para pihak, maka para pihak terikat untuk mentaati semua isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.70 2.
Kecakapan. Kecakapan disini berarti bahwa pihak yang akan membuat perjanjian harus cakap dari sisi usia (cukup umur) dan dianggap dewasa
69.
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, hal. 98 70. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, hal. 3
69 sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Tidak terdapat standard yang pasti mengenai batas usia kedewasaan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Contohnya ketentuan KUHPerdata menentukan bahwa cukup adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah (vide : Pasal 330 KUHPerdata), ketentuan Undang Undang Perkawinan dewasa adalah berumur 18 (delapan belas) tahun (vide : Pasal 47 ayat (1)), ketentuan UU Administrasi Penduduk menentukan dewasa adalah umur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah kawin, ketentuan Undang Undang Jabatan Notaris yang menentukan dewasa adalah berumur 18 tahun (vide : Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN), dan masih banyak aturan lainnya yang menetapkan standard kedewasaan yang tidak sama. Kedewasaan harus dilihat dari perbuatan hukum yang dilakukan dikaitkan dengan peraturan yang terkait dengan perbuatan hukum tersebut. Selain kedewasan dari segi usia, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan untuk melihat kecakapan seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu perbuatan hukum. Undang-undang menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan) untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Cakap (bekwaan) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, Berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Seorang yang cakap belum tentu berwenang, tapi seorang yang berwenang sudah pasti cakap. Jadi sangat penting juga untuk melihat apakah orang
70 tersebut memiliki suatu kewenangan dalam bertindak atau tidak. Sebagai contoh misalnya A seorang direktur berusia 40 tahun, ia ingin menjual asset perusahaannya, maka dalam proses jual beli asset tersebut, A selaku direktur belumlah berwenang untuk bertindak tanpa adanya persetujuan RUPS. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan orang yang tidak cakap membuat persetujuan yaitu : a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Orang-orang yang berada dibawah pengampuan; c. Perempuan yang bersuami. Anak yang belum dewasa dapat melakukan tindakan hukum dengan bantuan orang tua/walinya, orang yang berada dibawah pengampuan diwakii oleh pengampunya (curator). Sedangkan istri dengan bantuan suaminya. 3.
Suatu hal tertentu. Dalam suatu perjanjian haruslah ditentukan secara tegas mengenai apa yang akan menjadi objek perjanjian tersebut. Apabila suatu benda, haruslah dirinci secara jelas mengenai jenis, letak, dan keterangan lain yang terkait dengan benda tersebut. Obyek perjanjiannya harus terang dan jelas dan dapat ditentukan (didefinisikan) baik jenis maupun jumlahnya.
4.
Suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang, namun sesuatu yang sah dan diperbolehkan. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan
71 melanggar hukum, berlawanan dengan susila dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian jual beli narkoba atau perdagangan manusia. 2.2.2 Pengaturan Sewa Menyewa dalam Undang-Undang Ketentuan mengenai sewa menyewa diatur di dalam 2 (dua) undang-undang di Indonesia, yang pertama adalah KUHPerdata dan juga UUPA. Di dalam UUPA sewa menyewa diatur di dalam bagian VII ketentuan Pasal 44 – Pasal 45 UUPA. Tidak terdapat ketentuan pasal yang secara khusus mendefiniskan mengenai perjanjian sewa menyewa di dalam UUPA. UUPA juga membedakan 2 (dua) jenis sewa-menyewa, yang pertama adalah sewa tanah beserta bangunan dan sewa atas lahan pertanian. Meskipun sama-sama mengatur mengenai sewa menyewa terdapat beberapa perbedaan konsep mengenai objek sewa yang diatur di dalam kedua undang-undang tersebut. Menurut Boedi Harsono, hak sewa untuk bangunan yang dimaksud dalam UUPA adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada penyewa, dengan maksud bahwa penyewa akan membangun bangunan di atas tanah itu. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa : “(1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa” Bangunan itu menurut hukum yang berlaku sekarang menjadi milik penyewa tanah tersebut, kecuali ada perjanjian lain.71 Sedangkan hak sewa yang timbul dalam perjanjian sewa menyewa menurut ketentuan KUHPerdata ini pada dasarnya merupakan
71.
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 45
72 hak untuk menyewa bangunan/ruangan kios agar dapat dimanfaatkan/dinikmati kegunaannya oleh si penyewa selama masa sewa, bukan dengan tujuan untuk menguasainya sebagai hak milik. Dengan adanya 2 jenis objek yang secara umum berbeda ini, maka akan timbul juga akibat hukum yang berbeda dalam pelaksanaan perjanjiannya. Jika terdapat suatu perjanjian sewa menyewa yang objeknya merupakan sebuah tanah tanpa adanya suatu bangunan di atasnya sebagaimana sewa menyewa yang dimaksud di dalam UUPA, maka penyewa, yang nantinya akan membangun sebuah bangunan di atasnya, akan tetap memiliki hak untuk bangunan yang dibuatnya apabila perjanjian sewa menyewa telah berakhir. Karena itu jika seandainya bangunan tersebut dibuat dengan system knock-down, maka setelah masa sewa yang dimiliki penyewa habis, penyewa dapat mengambil dan memindahkan bangunan tersebut dari tanah yang dimiliki oleh pihak yang menyewakan. Dapat pula diatur suatu kesepakatan apabila masa sewa habis, maka pemilik tanah tersebut akan menjadi pemilik dari bangunan yang ada di atasnya. Hal ini biasanya dilakukan apabila fondasi bangunan yang dibuat oleh penyewa merupakan suatu fondasi permanen. Atau terdapat pula kemungkinan suatu klausula dalam perjanjian sewa menyewa yang mewajibkan penyewa membongkar seluruh bangunan yang dibuatnya di atas tanah pemilik/ yang menyewakan ketika perjanjian sewa menyewa tersebut habis masa berlakunya. Apabila yang menjadi objek sewa merupakan suatu tanah yang sejak awal berisikan suatu bangunan yang dibuat oleh pemilik tanah, maka biasanya akan terdapat klausula bahwa penyewa tidak diperbolehkan mengubah tata fisik/bentuk dari bangunan tersebut tanpa
73 ijin dari pemilik, dan juga tanah serta bangunan yang ada di atasnya akan tetap berada dalam penguasaan pemilik ketika masa sewanya berakhir. Di dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan.72 Adapun mengenai hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan juga pihak penyewa secara lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut : Pihak yang menyewakan memiliki kewajiban yang diatur di dalam ketentuan Pasal 1550 KUHPerdata. Kewajiban-kewajiban tersebut terdiri dari : a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa ; b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan ; c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tertera dari barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa menyewa. Sedangkan bagi pihak penyewa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi yang ketentuannya diatur dalam Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUHPerdata, antara lain : a. Memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya,
72.
Wirjono Prodjodikoro I, Op Cit, hal. 36
74 atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan ; b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan ; c. Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa ; d. Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewa menyewa dan adat kebiasaan setempat. Selain kewajiban, terdapat pula hak-hak yang lahir dari suatu perjanjian sewa menyewa, baik bagi pihak yang menyewakan ataupun pihak penyewa. Hak hak yang kemudian timbul bagi pihak yang menyewakan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata, yaitu : a. Menerima uang sewa sesuai dengan jangkan waktu yang ditentukan dalam perjanjian ; b. Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibannya dengan baik. Sedangkan bagi pihak penyewa hak-hak yang dapat timbul antara lain dapat dijelaskan terdiri dari: a. Menerima barang yang disewa ; b. Memperoleh kenikmatan atas barang yang disewanya selama waktu sewa ;
75 c. Menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan yang harus dilakukan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan. Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.73 2.2.3
Hak Yang Timbul Dalam Perjanjian Sewa Hak-hak perdata di dalam ketentuan KUHPerdata dibagi menjadi dua jenis, yang
terdiri dari : 1. Pertama, hak mutlak atau hak absolut terdiri atas hak kepribadian, misalnya hak atas namanya, hidup, kemerdekaan. Kemudian hak yang timbul dalam hukum keluarga, yaitu hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami istri, hubungan antara orang dan anak. Kemudian juga hak mutlak atas suatu benda, ini yang disebut sebagai hak kebendaan. 2. Kedua, hak nisbi (hak relative atau hak persoonlijk), yaitu semua hak yang timbul karena adanya hubungan perutangan (perikatan) yang hanya dapat dipertahankan untuk sementara orang-orang tertentu saja.74
73.
R.Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti III), hal.1 74. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta,(selanjutnya disebut Sri Soedewi II), hal. 24
76 Apabila dibandingkan, hak kebendaan mempunyai ciri-ciri unggulan bila dibandingkan dengan hak perseorangan. Perbedaan yang terdapat diantara keduanya sangatlah terlihat,perbedaan tersebut terdiri dari : 1. Hak kebendaan merupakan suatu hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapa pun, tidak sekedar pada rekan sekontraknya saja tetapi juga kepada pihak-pihak lain yang mungkin di kemudian hari ikut terkait di dalamnya. Hal ini berbeda dengan hak perorangan atau hak relatif yang hanya bisa ditegakkan pada pihak tertentu saja. Sebagai contoh: dalam perjanjian sewa menyewa antara A dan B maka hak yang lahir adalah hak perorangan, jadi kalau B tidak membayar uang sewa maka A hanya dapat menagih pada lawan kontraknya saja, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1315 jo. 1340 KUHPerdata tentang privity of contract. Berbeda dengan pemegang hak kebendaan, seperti hak milik atas suatu benda maka pemiliknya dapat menuntut kemanapun benda itu berada dengan hak yang diberikan oleh undang-undang yaitu Hak Revindikasi (Pasal 574 KUHPerdata). 2. Hak kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suit (hak yang mengikuti), artinya hak itu akan tetap mengikuti bendanya ke tangan siapa pun benda itu berada. Jadi hak kebendaan itu melekat pada bendanya sehingga kalau berpindah tangan yang bersangkutan akan terkena pula untuk wajib menghormatinya. Sebagai contoh: A mempunyai sebidang tanah yang sudah dibebani Hak Tanggungan oleh Bank Z, Bank Z mempunyai hak
77 kebendaan atas sebidang tanah tersebut (hak kebendaan yang sifatnya memberi jaminan), apabila A kemudian menyewakan tanah tersebut kepada D maka hak kebendaan (hak tanggungan) yang dimiliki oleh Bank Z tetap mengikuti bendanya. Contoh untuk hak perorangan, ialah A mempunyai hak pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata) atas rumah milik B. Kemudian B menjual rumah tersebut kepada C, hak yang dimiliki oleh A adalah hak perseorangan sehingga A tidak bisa mempertahankan haknya. Hak perseorangan berhenti sejak dijualnya rumah itu kepada C. 3. Hak kebendaan berlaku asas prioritas, artinya bahwa hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu akan diutamakan daripada yang lahir kemudian. Dengan begitu, saat kelahiran hak itu memegang peranan penting, karena yang lahir lebih dahulu akan dibayar paling awal, sedang yang belakangan harus menunggu yang ada di depannya. Misalnya: A memiliki sebidang tanah yang telah dijaminkan pada B sehingga lahir hak tanggungan I, kemudian dijaminkan lagi kepada C dengan hak tanggungan II, maka hak kebendaan yang dimiliki oleh B akan diprioritaskan dibandingkan dengan hak kebendaan yang dimiliki oleh C karena hak kebendaan yang dimiliki oleh B lahir terlebih dahulu. Contoh pada hak perorangan: A mempunyai hak pinjam pakai atas rumah milik B, kemudian B memberikan pinjam pakai pada C, maka hak yang dimilki oleh A dan C adalah sederajat 4. Hak kebendaan mempunyai droit de preference (hak terlebih dahulu), adanya preferensi ini diatur dalam Pasal 1133 KUHPerdata, bahwa pihak
78 yang memiliki hak kebendaan ini dalam hal pelunasan harus lebih didahulukan pembayarannya, seketika kalau benda yang dijadikan obyek hak tersebut laku dalam pelelangan. Misalnya A menjaminkan sebidang tanah kepada B dengan hak tanggungan, disamping itu A juga berhutang pada C, bilamana A jatuh pailit maka B dapat mempertahankan hak kebendaannya, tidak demikian dengan C yang hanya memegang hak perorangan, tidak didahulukan dalam hal pembayaran hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren, sebagaiman diatur di dalam ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. 5. Pada hak kebendaan gugatannya disebut gugatan kebendaan. Pada hak kebendaan ini tiap orang dapat memiliki beragam tuntutan/gugatan jika terdapat gangguan terhadap haknya, yang dapat berwujud penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya, dan juga gugatan untuk pemulihan ke dalam keadaan semula. Sebagaimana hak yang dimiliki seorang pemilik dengan melakukan gugat revindikasi berdasarkan Pasal 574 KUHPerdata. Sedang di dalam hak perorangan gugatan disebut dengan gugatan perseorangan. Pada gugatan perorangan, seseorang hanya dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lawannya saja. Di dalam hak kebendaan terdapat asas-asas yang terkait, asas-asas tersebut terdiri dari asas sistem tertutup, asas hak mengikuti benda, asas publisitas, asas
79 spesialitas, asas totalitas, asas accesie, asas pemisahan horizontal, asas dapat diserahkan, asas perlindungan, dan asas absolute.75 Asas sistem tertutup mengatakan bahwa suatu hak kebendaan mempunyai sistem yang tertutup. Tertutup sebagaimana dimaksudkan oleh asas tersebut adalah hak-hak atas suatu benda bersifat limitative, terbatas hanya pada apa yang diatur oleh undangundang. Di luar dari apa yang sudah diatur oleh undang-undang tidak diperkenankan untuk menciptakan suatu hak-hak baru melalui perjanjian. Asas hak mengikuti benda (zaaksgevolg, droit de suite), asas ini mengatakan bahwa suatu hak kebendaan akan mengikuti bendanya dimana saja dan dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Asas publisitas mengatur bahwa yang dimaksud dengan publisitas (openbaarheid) adalah suatu “pengumuman” kepada masyarakat mengenai status kepemilikan. Pengumuman hak atas benda tetap (tanah) terjadi melalui pendaftaran dalam sertipikat tanah, sedangkan pengumuman yang terkait dengan benda bergerak adalah melalui suatu bentuk penguasaan nyata terhadap benda itu. Asas yang berikutnya, yaitu asas spesialitas mengatakan bahwa dalam suatu hak kebendaan harus dirinci mengenai keberadaan objeknya. Sebagai contoh dalam kepemilikan tanah. Dalam lembaga hak kepemilikan tanah secara individual harus ditunjukkan dengan jelas wujud, batas, letak,dan juga luas dari tanah tersebut. Asas ini khususnya terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap. Asas berikutnya adalah asas totalitas. Asas totalitas mengatakan bahwa hak kepemilikan hanya dapat diletakkan terhadap objeknya secara totalitas, dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakkan hanya 75.
Mariam Darus Badrulzaman,2010, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, hal. 36
80 untuk bagian-bagian benda. Contohnya, pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kusen, jendela, pintu dan genteng rumah. Asas totalitas kemudian menimbulkan suatu asas lain, yaitu asas accessie. Asas accessie juga dikenal sebagai asas perlekatan. Menurut asas ini,suatu benda lazimnya terdiri dari bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok, seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kusen, pintu dan jendela. Namun terkait dengan antara hubungan benda (contohnya hubungan rumah dan tanah) tersebut terdapat juga suatu asas lain yang dinamakan asas pemisahan horizontal. Ketentuan KUHPerdata mengenal asas perlekatan secara vertikal sebagaimana dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 571, 600, 601, 603, 604, dan 605, sedangakan UUPA menganut asas pemisahan horizontal yang diambil dari asas hukum adat. Asas selanjutnya yang terkait dengan hak kebendaan adalah asas dapat diserahkan. Asas ini menyatakan bahwa suatu hak kepemilikan atas suatu benda mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Kemudian ada asas perlindungan, yang merupakan suatu perlindungan bagi pihak yang beritikad baik walaupun yang menyerahkan adalah pihak yang tidak berwenang berhak (beschikkings bevoegd) sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata. Asas yang terakhir adalah asas absolut. Asas ini menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum benda bersifat absolut yang artinya bahwa hak kebendaan wajib untuk dihormati dan ditaati oleh setiap orang. Hak kebendaan dalam KUHPerdata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan (zakelijk zakenheidsrecht) antara lain
81 gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia, dan hak kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan (zakelijk genotrecht) antara lain bezit dan hak milik. Lahirnya hak kebendaan yang bersifat memberikan kenikmatan ada bermacam-macam cara perolehannya, bergantung pada macam atau jenis bendanya. Sedangkan lahirnya hak kebendaan pada hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan, bergantung kepada asas publisitas, yaitu dengan cara mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran. Sedangkan lahirnya hak kebendaan pada lembaga jaminan gadai tidak ada ketentuan tentang pendaftaran dan hak kebendaan pada lembaga jaminan gadai lahir pada saat benda diserahkan kepada pihak ketiga seperti yang diatur di dalam ketentuan Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, lembaga pendaftaran tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan.76 Hak kebendaan atas suatu benda (tanah) terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Tanpa sifat kebendaan hak atas tanah belum mempunyai kaitan dengan milik. Dalam arti selama pendaftaran belum dilakukan, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak pribadi, dan umum belum mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan masyarakat baru terjadi pada saat hak milik atas benda tersebut didaftarkan. Dengan pendaftaran lahirlah pengakuan umum atas hubungan hak dengan benda. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya milik sendiri yaitu hak milik atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Perolehan hak milik,
76.
Ibid, hal. 37
82 sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, disebutkan di dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Salah satu cara memperoleh hak milik yang paling penting dan sering terjadi dalam masyarakat adalah dengan cara penyerahan (levering/overdracht), yang dimaksud dengan levering adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dalam sistem hukum Prancis tidak mengenal levering, misalnya dalam jualbeli, para pihak sepakat melakukan perjanjian jual-beli maka hak milik sudah beralih tidak perlu diikuti dengan adanya levering.77 Sedangkan di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa jual-beli meliputi dua tahapan, yaitu tahap pertama perjanjian jual-beli hanya bersifat obligatoir yang melahirkan hak dan kewajiban saja, yaitu kewajiban menyerahkan benda dan kewajiban untuk membayar harga benda, pada tahap ini tidak berakibat hak milik berpindah. Hak milik berpindah pada tahap kedua, yaitu setelah adanya levering (transfering of ownership). Macam-macam cara penyerahan dari benda itu dibedakan sesuai dengan sifat benda itu, yaitu: 1. Benda bergerak, masih dibedakan : Benda bergerak yang berwujud yang penyerahannya dilakukan dengan suatu penyerahan nyata atau penyerahan dari tangan ke tangan dan benda bergerak tidak berwujud. Terkadang suatu benda bergerak yang berwujud penyerahannya tidak perlu dilakukan suatu penyerahan nyata, misalnya apabila benda yang hendaknya akan diserahkan tersebut telah ada di tangan orang yang hendak menerimanya berdasarkan perjanjian lain. Sedangkan untuk benda bergerak yang tidak berwujud yang 77.
Majalah Perspektif, 2012, Volume XVII No. 1 Edisi Januari, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 48
83 terdiri dari piutang dan juga piutang atas nama dapat dilakukan dengan jalan aan toonder (penyerahan nyata dengan uang),Cessie (akta otentik atau dibawah tangan yang digunakan memindahkan piutang atas nama), dan juga secara aan order (penyerahan melalui cek dan wesel). 2. Benda tidak bergerak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa penyerahan kebendaan tidak bergerak harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat di hadapan PPAT kemudian diumukan dan selanjutnya dengan dibukukan pada register umum. Benda tidak bergerak berupa tanah penyerahannya dilakukan dihadapan PPAT dengan pembuatan akta PPAT dan didaftarkan ke kantor pendaftaran tanah. Dengan demikian berarti bahwa penyerahan kebendaan tidak bergerak selain dilakukan secara nyata juga harus diikuti dengan penyerahan secara yuridis. Namun, terdapat pandangan yang menarik terkait dengan hak kebendaan yang diungkapkan oleh Mariam Darul Badrulzaman. Menurut beliau, mengenai hak kebendaan dapat dibagi atas 2 (dua) bagian, yang terdiri dari : 1. Hak kebendaan sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikiandinamakannya hak kemilikan. 2. Hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda, jika dibandingkan dengan hak milik.78
78.
Mariam Darus Badrulzaman,2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35.
84 Dari pemaparan jenis hak kebendaan tersebut, maka hak sewa dapat dikategorikan sebagai suatu hak kebendaan yang terbatas, karena hak sewa hanya memberikan kenikmatan yang bersifat sementara atau tidak penuh terhadap suatu benda. Hak lainnya yang diatur di dalam ketentuan KUHPerdata merupakan hak yang bersifat nisbi (hak relatif atau hak persoonlijk). Hak ini memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu bersifat relatif yang artinya hanya dapat dipertahankan oleh orang tertentu, mempunyai jangka waktu yang terbatas, mempunyai kekuatan hukum yang sama tanpa memperhatikan saat kelahirannya, dan hak ini hanya dapat dialihkan dengan adanya suatu persetujuan dari pemilik.79 Secara teori pembedaan antara suatu hak kebendaan dan juga hak perorangan memang nampak telah tegas, namun dalam pengaturan KUHPerdata dan juga praktek hukum, seringkali perbedaan tersebut menjadi kabur,sifat-sifat pertentangannya menjadi tidak tajam lagi. Dalam praktik dapat dijumpai hak kebendaan yang mempunyai ciri-ciri yang unggul menjadi melemah dan menampakkan ciri-ciri hak perorangan, hal ini terjadi relativering hak kebendaan, yaitu bilamana dalam kasus tersebut diterapkan Pasal 1977 KUHPerdata. Demikian juga sebaliknya hak perorangan yang mempunyai sifat relatif menjadi menguat menampakkan sifat-sifat hak kebendaan, hal ini terjadi verzakelijking hak perorangan bilamana dalam kasus tersebut diterapkan Pasal 1576 KUHPerdata, Pasal 1556 KUHPerdata, dan Pasal 1318 KUHPerdata. Relativering Hak Kebendaan dalam contoh: A pemilik sebuah laptop meminjamkan laptop tersebut kepada B, kemudian oleh B laptop itu dijual kepada C
79.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II, Op.Cit. hal. 24
85 yang mengira bahwa laptop itu milik B, C dengan itikad baik membeli dengan harga yang pantas, maka siapakah yang dilindungi A atau C. Hak kebendaan yang dimiliki oleh A yang mempunyai sifat-sifat unggulan, yaitu droit de suite, akan tetapi dalam kasus di atas hak kebendaan yang dimiliki oleh A tidak dapat dipertahankan terhadap hak yang dimiliki oleh C. Sedangkan dalam kaitannya dengan menguatnya sifat kebendaan dalam suatu hak perorangan contoh yang dapat dilihat dari beberapa contoh dibawah ini : 1.
Ketentuan Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidak dapat diputuskan kecual apabila hal ini telah diperjanjikan. Dengan demikian maka dapat
diasumsikan bahwa sewa menyewa dapat
mengandung suatu ciri hak kebendaan karena hak sewa itu terus mengikuti bendanya (droit de suite) dan seakan-akan bersifat mutlak karena penyewa dapat tetap mempertahankan hak sewanya meskipun objeknya dijual kepada pihak lain. 2.
Dalam praktek sewa menyewa, jika penyewa pertama berhadapan dengan penyewa kedua, maka lazimnya penyewa pertama akan didahulukan. Hal ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa sebagai hak perorangan juga memiliki sifat prioritas.80
Terkait dengan sifat hak yang dilahirkan melalui suatu perjanjian sewa menyewa, terdapat beberapa pandangan ahli hukum yang bisa diambil. Menurut 80.
Frieda Husni Hasbulah, 2002, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Ind-Hill-Co, Jakarta, hal. 59-60
86 Subekti, perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, ia hanya memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang menyewakan barang.81 Menurut Wiryono Prodjodikoro, hak sewa adalah seperti hak pakai dalam hal meminjam barang, dengan perbedaan bahwa dalam hal sewa si pemakai barang harus membayar sewa berupa uang atau barang, misalnya barang hasil bumi atau barang makanan. Hak sewa ini masuk dalam golongan hukum perjanjian.82 Dalam bukunya, Wiryono Prodjodikoro menyatakan mengenai hak atas benda lebih lanjut sebagai berikut : Apabila suatu perjanjian tercipta suatu hak atas benda, yang teratur dalam B.W, khususnya Buku II, selaku hak yang dinamakan hak perbendaan (zakelijk recht), maka haruslah berlaku peraturan khusus dari B.W yang mengatur hal itu dengan menciptakan pengertian sifat perbendaan (zakelijk karakter) dari hak itu.Sebaliknya, apabila dengan suatu perjanjian tidak tercipta hak yang sedemikian itu, maka hak atas benda, yang diperoleh dengan perjanjian itu, dinamakan tidak bersifat perbendaan. Dengan tiada sifat-perbendaan ini, maka atas suatu benda hanya berlaku bagi orangorang yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian itu. Sifat yang bukan sifat perbendaan ini, dinamakan sifat-perseorangan.83 Selanjutnya Wiryono Prodjodikoro, memberi contoh bahwa, perjanjian sewa menyewa tercipta juga suatu hak, yaitu hak sewa, tetapi hak sewa ini, oleh karena berdasar atas perjanjian belaka dan tidak masuk hak-hak yang diatur dalam KUHPerdata Buku II selaku hak perbendaan (zakelijk recht), maka hak-sewa itu dinamakan tetap bersifat perserorangan tidak bersifat perbendaan.84 Hak sewa atas suatu objek merupakan suatu hak yang timbul dari suatu perjanjian sewa menyewa. Dari beberapa uraian di atas maka dapat ditarik suatu 81.
R.Subekti I, Op.Cit, hal. 164. Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, hal. 175 83. Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, hal. 161. 84. Wirjono Prodjodikoro I, Op.Cit, hal. 162 82.
87 kesimpulan bahwa hak yang timbul dari suatu perjanjian sewa menyewa dapat dikategorikan sebagai suatu hak kebendaan yang bersifat terbatas namun secara umum dianggap sebagai sesuatu hak nisbi (hak relatif atau hak persoonlijk), dapat dikatakan demikian karena adanya beberapa alasan berikut : 1. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perjanjian yang bersifat obligatoir, karena di dalam suatu perjanjian sewa menyewa hanya mengatur mengenai apa masing-masing kewajiban dan hak dari para pihak tanpa adanya atau diikuti oleh suatu bentuk peralihan hak milik atas suatu objek. Jadi hak yang kemudian timbul dari dalam perjanjian tersebut bukanlah suatu hak yang mutlak, namun hanya bersifat perseorangan dan berlaku diantara kedua belah pihak. 2. Perjanjian
sewa
menyewa
lahir
dari
suatu
perikatan
sebagaimana
pengaturannya yang terdapat di dalam buku III KUHPerdata. Sedangkan hak kebendaan berasala dari suatu Perjanjian kebendaan yang pengaturannya termuat di dalam ketentuan-ketentuan buku II KUHPerdata, bukan pada ketentuan buku III KUHPerdata karena perjanjian kebendaan tidak menimbulkan suatu perikatan-perikatan sebagaimana perjanjian pada umumnya, namun perjanjian tersebut akan melahirkan, mengalihkan, ataupun juga menghapus suatu hak kebendaan. Karena hanya bersumber dari suatu perikatan antara para pihak, maka hak yang timbul dari perjanjian sewa menyewapun hanya bersifat perseorangan/relative.
88 3. Dikatakan sebagai suatu hak kebendaan yang bersifat terbatas, sesuai dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman karena hak tersebut memiliki sifat hak kebendaan namun hanya dapat dinikmati dalam jangka waktu yang terbatas.
2.3
Tinjauan Umum Mengenai Cessie
2.3.1 Definisi dan Penjelasan Cessie Cessie merupakan sebuah doktrin yang berasal dari Belanda. Doktrin Cessie apabila dikaitkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait secara langsung dengan ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa, “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkannya kepada orang lain.” Disebutkan di dalam ketentuan tersebut bahwa yang diserahkan disini merupakan suatu piutang, bukan hutang. Jadi nantinya di dalam perbuatan hukum ini akan ada suatu pergantian kreditur, dimana kreditur yang baru akan menerima pengalihan hak tagih atas suatu piutang dari kreditur lama, sedangkan posisi debitur tetap, tidak ada suatu penggantian. Sedangkan hak tagih yang akan dialihkan tersebut merupakan hak tagih atas suatu piutang atas nama, yang tentunya apabila merupakan piutang atas nama maka debitur akan mengetahui dengan pasti siapa krediturnya. Dengan beralihnya suatu piutang kepada seoorang kreditur baru, maka nantinya kreditur lama tidak lagi memiliki suatu hak untuk menerima pembayaran dan/atau
89 pelunasan hutang debitur terhadapnya. Setiap pembayaran dan/atau pelunasan hutang debitur merupakan hak dari kreditur baru yang telah membeli hak tagih atas piutanng tersebut dari kreditur lama. Terdapat beberapa pihak yang ada di dalam suatu perbuatan hukum Cessie, antara lain : 1. Cessus – merupakan debitur yang berhutang kepada kreditur, yang nantinya penagihan terhadap hutang tersebut akan dipindahkan kepada kreditur baru. 2. Cedent – merupakan pihak kreditur yang memiliki hubungan hukum hutang – piutang dengan debitur pada awalnya, yang pertama kali memiliki hak tagih terhadap pihak debitur dan nantinya akan mengalihkan hak tagih tersebut kepada pihak kreditur baru. 3. Cessionaries – merupakan pihak kreditur baru yang akan memperoleh hak tagih atas suatu piutang dari kreditur lama. Perolehan tersebut nantinya akan diperoleh melalui suatu pemindahan hak (Cessie). Objek yang biasanya dialihkan dalam Cessie ini biasanya merupakan suatu hak tagih atas nama terhadap suatu piutang. Hak tagih atas suatu piutang tentunya bersumber dari suatu perjanjian kredit yang akan diikuti oleh suatu perjanjian Accesoir/ tambahan berupa perjanjian pengikatan jaminan. Dalam Cessie, karena piutang tersebut akan dialihkan kepada kreditur baru, maka tentunya hal tersebut akan memberikan dampak terhadap kebendaan yang dijadikan jaminan pelunasan kredit oleh pihak debitur. Karenanya, sudah seharusnya apabila pihak kreditur lama ingin melakukan Cessie atas piutang yang dimilikinya pada debitur maka pihak kreditur lama wajib memberitahukan prihal mengenai pengalihan hak tersebut kepada pihak debitur. Hal ini
90 penting untuk dilakukan agar kepentingan yang dimiliki oleh kreditur baru nantinya terlindungi. Tagihan atas nama dalam Cessie itu sendiri tidak memiliki suatu wujud, hanya biasanya dibuatkan suatu surat hutang yang berlaku sebagai suatu alat bukti bahwa memang benar debitur memiliki sejumlah hutang kepada kreditur. Jadi apabila surat hutang tersebut kemudian diserahkan secara fisik kepada orang lain, hal tersebut tidak berarti bahwa hak tagih atas piutang tersebut secara langsung ikut berpindah kepada kreditur baru. Untuk melakukan penyerahan hak tagih tersebut harus dibuatkan suatu akta lain, yaitu akta Cessie. Pada Cessie, hak milik beralih dan dengan dibuatnya akta Cessie, levering telah selesai.85 Istilah Cessie itu sendiri bersumber dari bahasa Belanda yang berarti suatu “penyerahan”. Jadi doktrin Cessie itu sendiri pada pokoknya mengajarkan mengenai suatu metode penyerahan hak, khususnya hak atas suatu piutang dan beberapa jenis hak lainnya. Di Indonesia, doktrin Cessie ini selain dikenal melalui doktrin-doktrin hukum juga dikenal melalui yurisprudensi. Tan Thong Kie seorang emeritus Notaris mengutip pandangan seorang ahli hukum, Schermer, yang mencoba memberikan definisi mengenai Cessie, pendapat tersebut mengatakan bahwa, “Cessie adalah penyerahan suatu piutang atas nama yang dilakukan oleh kreditur yang masih hidup kepada orang lain ; dengan penyerahan itu orang yang disebut terakhir ini menjadi kreditur seorang debitur yang dibebani dengan piutang tersebut.”86
85. 86.
J.Satrio I, Op Cit, hal.24 Tan Thong Kie, Op Cit, hal. 688
91 Emeritius Notaris lainnya, J.Satrio, juga mengutip pendapat ahli hukum lain, Scholten, yang mengatakan bahwa suatu Cessie dapat ditinjau dari dua sisi, antara lain : 1. Sebagai lembaga perikatan, yaitu sebagai lembaga penggantian kualitas kreditur. 2. Sebagai bagian dari hukum benda, yaitu sebagai cara untuk peralihan suatu hak milik.87 Disebutkan oleh Scholten bahwa Cessie merupakan suatu cara untuk memperoleh hak milik, yang mana di dalam pengaturan yang terkait dengannya, Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata terletak di dalam buku kedua, bab ketiga, bagian ketiga, yang merupakan bagian dari pengaturan mengenai cara memperoleh hak milik. Subekti juga memberikan pendapatnya mengenai definisi Cessie, definisi Cessie menurut Subekti tersebut adalah, “suatu cara pemindahan piutang atas nama dimana piutang itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun hubungan hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru.”88 Ahli hukum Indonesia lain yang memberikan pandangan mengenai Cessie adalah Munir Fuady. Menurut Munir Fuady Cessie merupakan suatu cara penyerahan piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru dan juga barang-barang lain tidak bertubuh yang penyerahannya dilakukan dengan jalan membuat akta, baik otentik ataupun dibawah tangan. Penyerahan itu tidak akan ada akibatnya bagi yang berhutang
87. 88.
J.Satrio I, Op Cit, hal 24 R.Subekti II, Op Cit ,hal.71
92 sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis, atau diakuinya.89 Cessie, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu cara memperoleh hak milik. Hak milik adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atas suatu benda. Istilah “hak milik” ini bisa tertuju kepada haknya atau bendanya, ataupun juga kedua-duanya. Jadi objek Cessie adalah benda, yang hendak dialihkan hak kepemilikannya melalui penyerahan atau Cessie, yaitu dengan istilah teknis-hukum disebut dicedeer atau di-cessie-kan.90 Ketentuan Pasal 613 ayat (1), yang terkait dengan Cessie, karena merupakan suatu ketentuan cara memperoleh hak milik maka secara langsung terkait juga dengan ketentuan Pasal 584 KUH Perdata. Adapun ketentuan pasal tersebut mengatakan bahwa : hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena kadaluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap benda itu. Ketentuan Pasal 584 KUH Perdata merupakan suatu ketentuan yang mengatur mengenai cara penyerahan hak milik secara umum. Jadi di dalam ketentuan tersebut disebutkan beberapa cara penyerahan hak milik. Sementara yang akan menjadi pembahasan dalam tesis ini merupakan salah satu cara dari beberapa cara yang ada di dalam ketentuan pasal tersebut, yaitu didapatkanya suatu hak milik melalui suatu
89.
Munir Fuady, 2006, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 74 90. J.Satrio II, Op Cit, hal. 5
93 penyerahan. Jadi seseorang dapat memperoleh hak milik atas suatu benda apabila dilakukan suatu penyerahan hak yang dimiliki oleh orang lain kepadanya. Dalam perolehan suatu hak, dibedakan antara suatu perolehan hak yang sifatnya originali dan juga perolehan suatu hak yang sifatnya derivatif. Pada suatu penyerahan hak original, hak itu sebelumnya belum pernah dipunyai oleh orang lain, seperti contohnya orang yang menangkap burung liar atau ikan dari laut mendapatkan hak milik atas ikan dan burung yang sebelumnya merupakan res nullius. Sedangkan pada perolehan hak secara derivatif, hak itu semula sudah dimiliki orang lain, dan si penerima adalah orang yang berdasarkan penyerahan melanjutkan kepemilikan atas benda yang diserahkan padanya.91 Jadi cukup jelas disini jika perolehan hak milik melalui Cessie merupakan cara memperoleh hak secara derivatif, karena piutang atau kebendaan tak bertubuh lainnya yang ada di dalam suatu Cessie sebelumnya ada di dalam kepemilikan kreditur lama, untuk kemudian dialihkan kepada kreditur yang baru. Berdasarkan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata, hak milik dapat diperoleh dengan cara adanya penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata/rechtstitel untuk memindahkan hak milik. Dengan demikian maka agar hak milik dapat berpindah diperlukan tindakan penyerahan/levering. Akan tetapi penyerahan ini hanya sah jika dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan tersebut. Hal ini sejalan dengan teori kausal yang ada di dalam doktrin pengalihan hak milik. Oleh sebab itu maka untuk sahnya suatu penyerahan/levering, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
91.
J.Satrio II, Op Cit, hal. 24
94 1. Adanya (atau berdasarkan) suatu rechtstitel/peristiwa perdata; 2. Dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan beschikking (mengambil tindakan pemilikan).92 Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata yang terkait dengan doktrin hukum Cessie mengatur mengenai perpindahan piutang, namun selain juga perpindahan piutang, di dalamnya diatur juga mengenai perpindahan hak kebendaan tak bertubuh lainnya. Terkait dengan topik penulisan dalam tesis ini, yaitu perpindahan hak sewa terkait dengan penjaminan kebendaan yang ada di atasnya, maka bunyi ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata inilah yang menjadi dasar dilakukannya suatu perbuatan pengalihan hak sewa tersebut sebagai suatu bentuk Cessie dalam praktek oleh sejumlah kalangan praktisi Notaris. Terdapat metode pengalihan hutang lain selain Cessie yang dikenal di dalam praktek dan sering menimbulkan suatu kerancuan dengan praktek Cessie itu sendiri, praktek tersebut dikenal dengan istilah Assignment. Assignment terjadi dalam hal Bank menjual piutang dalam bentuk fasilitas kredit yang telah diberikannya kepada debiturnya kepada Bank pembeli dengan cara melakukan pengalihan (assigning) hakhaknya terhadap debitur /penerima kredit kepada Bank pembeli.93 Meskipun tampaknya hampir sama dengan Cessie, terdapat perbedaan antara keduanya. Objek yang dialihkan dalam Assignment hal ini hanyalah hak kreditur lama kepada kreditur baru, sedangkan kewajibannya tidaklah dapat dialihkan. Agar
92.
J.Satrio I, Op Cit, hal. 11 Sutan Remy Sjahdeini,1997, Kredit Sindikasi, PT Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, hal. 71 93.
95 kewajiban dari kreditur lama, sebagaimana yang ditetapkan di dalam perjanjian kredit yang menimbulkan piutang yang dialihkan itu, menjadi kewajiban kreditur baru sehubungan dengan adanya pengalihan kredit maka kreditur yang baru harus menyatakan menerima segala kewajiban kreditur lama berdasarkan perjanjian kredit yang telah diibuatnya dengan debitur sebagai kewajiban kreditur baru tersebut. Hal inilah yang membedakan Cessie dengan Assignment. Perbedaan Cessie dengan Assignment adalah karena pengalihan piutang secara Cessie adalah juga meliputi pengalihan setiap dan seluruh hak dan kewajiban kreditur lama kepada kreditur baru. Selama kreditur lama masih memiliki kewajiban kepada debitur berdasarkan perjanjian kredit yang telah dibuat diantara mereka, maka dengan dialihkannya piutang secara Cessie, kewajiban kreditur lama tersebut beralih kepada kreditur yang baru.
2.3.2
Cessie Dalam Dunia Perbankan Pengalihan piutang melalui cara Cessie merupakan hal yang sering terjadi di
dunia perbankan. Pengalihan piutang yang dilakukan oleh bank kepada kreditur lain tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bank yang berkaitan dengan kebijakan internal bank yang berkaitan dengan urusan perkreditannya. Namun terdapat pula beberapa alasan lain yang dijadikan dasar pertimbangan oleh bank dalam melakukan suatu pengalihan piutang, alasan-alasan tersebut antara lain : 1. Rasio profitabilitas dari Bank tersebut yang rendah Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen perusahaan secara keseluruhan, yang ditunjukkan dengan
96 besarnya laba yang diperoleh perusahaan. Rasio profitabilitas dianggap sebagai alat yang paling valid dalam mengukur hasil pelaksanaan operasi perusahaan, karena rasio profitabilitas merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi yang sesuai dengan tingkat risiko. Semakin besar risiko investasi, diharapkan profitabilitas yang diperoleh semakin tinggi pula. Profitabilitas suatu bank akan diukur dari besarnya keuntungan yang diperoleh oleh bank tersebut yang akan dibandingkan dengan asset bank tersebut, atau dikenal juga dengan nama Return On Assset (ROA). ROA penting bagi bank karena ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Dikaitkan dengan pengalihan suatu piutang maka apabila suatu bank memiliki asset berupa hak tagih terhadap suatu piutang, namun piutang tersebut tidak menghasilkan suatu pendapatan yang optimal kepada bank
tersebut
maka
untuk
meningkatkan
keuntungannya/rasio
profitabilitasnya bank akan mengalihkan hak atas piutang tersebut kepada pihak lain. 2. Bank berkeinginan untuk meningkatkan Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital Adequacy Ratio adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap
97 besarnya modal bank.94 Apabila suatu kredit dinilai akan memiliki resiko yang dapat berpengaruh terhadp berkurangnya modal bank secara signifikan, maka untuk menjaga CAR bank akan menjual piutang yang dianggap berisiko mempengaruhi modal tersebut kepada kreditur lain. 3. Non Performing Financing (NPF) suatu bank yang rendah Non Performing Financing adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang ada dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank.95 Apabila kemampuan bank dalam mengelola suatu kredit yang dinilai memiliki kualitas kurang lancar dan diragukan dinilai tidak cukup maka agar dapat memberikan pengaruh positif pada ROA bank akan menjual kredit yang dinilainya tidak mampu untuk dihandle kepada kreditur lain. 4. Bank akan memasuki tahap likuidasi Likuidasi Bank adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum Bank. Ketika suatu bank memasuki tahap likuidasi, maka ia perlu untuk melunasi kewajibannya sebagai debitur terhadap nasabah. Maka untuk mendukung upaya tersebut bank akan menjual asset yang dimilikinya, sebagai contoh hak tagih atas suatu piutang, untuk memperoleh dana yang nantinya akan digunakan untuk melakukan pembayaran kewajiban bank. 94.
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, 2002, Manajemen Perbankan : Teori dan Aplikasi,BPFE, Yogyakarta, hal. 6 95. Teguh Pudjo Mulyono, 2009, Manajemen Perkreditan bagi Bank Komersial, Edisi 4, BPFE, Yogyakarta, hal. 23
98 5. Bank berkeinginan melakukan evaluasi ulang dan juga restrukturisasi terhadap daftar pinjamannya/ loan portfolio Kegiatan menyalurkan kredit kepada masyarakat melakukan satu diantara kegiatan utama bank selain menghimpun dana dari masyarakat. Dana yang dihimpun dari masyarakat (nasabah) inilah yang oleh bank nantinya akan digunakan sebagai modal dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, untuk nantinya bank akan mengambil keuntungan dari selisih bunga kredit yang disalurkannya tersebut. Kegiatan ini tentunya bukan sebagai kegiatan yang tanpa resiko, malah dapat dikatakan memiliki suatu resilo yang tinggi. Bank harus dapat memikirkan untuk kebaikan jangka panjang terhadap setiap kredit yang disalurkannya. Apabila menurut pertimbangan Bank, Bank telah terlalu banyak menyalurkan fasilitas kredit berjangka panjang atau menengah, dan bank berkeinginan untuk menguranginya, maka salah satu jalan yang dapat ditempuh oleh bank adalah dengan melakukan penjualan terhadap piutang tersebut kepada kreditur lainnya.
99 BAB III PENJAMINAN KEBENDAAN BERUPA BANGUNAN DIATAS TANAH YANG DIKUASI DENGAN HAK SEWA
3.1
Kedudukan Hak Sewa Sebagai Objek Jaminan Hak sewa merupakan suatu hak yang lahir dari suatu perjanjian sewa menyewa.
Hak ini, sebagaimana telah dijelaskan di dalam sub bab sebelumnya merupakan suatu hak yang bersifat perseorangan apabila ditinjau dari teori hukum keperdataan. Sifat tersebut dapat dilihat dari jenis perjanjian yang merupakan asal dari lahirnya hak tersebut, yaitu perjanjian sewa menyewa. Perjanjian sewa menyewa ini hanya bersifat obligatoir, dan tidak mengatur mengenai perpindahan kebendaan ataupun pergantian kepemilikan atas suatu objek. Perjanjian sewa menyewa hanya mengatur mengenai kewajiban dan hak masing-masing pemilik dan juga penyewa serta pemindahan dalam hak penguasaan (bezit) suatu objek yang menjadi objek sewa. Walaupun nampak sebagai suatu hak yang bersifat perorangan dari kajian teori hukum perdata, namun kenyataannya dalam praktek dan pengaturan ketentuannya di dalam KUHPerdata justru terdapat beberapa ketentuan yang tidak jelas terhadap sifat yang lahir dari suatu hak sewa. Sifat tersebut menjadi kabur karena adanya suatu ketentuan yang menyatakan bahwa hak sewa atas suatu objek tersebut tetap diutamakan apabila objek sewa tersebut kemudian dijual pada saat masa sewa belum berakhir sebagaimana tercantum di dalam ketentuan Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata. Dengan adanya pengaturan tersebut secara
100 tidak langsung undang-undang telah memberikan salah satu sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite, atau suatu hak mengikuti kemanapun objeknya beralih, terhadap hak sewa yang padahal menurut teori hukum perdata merupakan suatu hak perseorangan. Hak sewa juga dapat dianggap memiliki suatu sifat prioritas, karena dalam kenyataannya apabila dalam praktek terdapat dua hak sewa yang saling berbenturan maka hak sewa yang lahir lebih dahulu akan diutamakan. Karena adanya ketentuan yang bersifat demikian, maka kemudian terdapat pula pendapat yang menyatakan mengenai sifat dari hak sewa yang dapat dikatakan sebagai suatu hak kebendaan namun yang bersifat terbatas. Sifat tersebut menunjukkan adanya suatu rank orde, atau tingkatan sebagaimana halnya dalam hukum benda. Dengan demikian tidaklah salah apabila dikatakan bahwa hak sewa merupakan suatu hak unik yang memiliki masing-masing sifat baik sebagai hak perseorangan, karena lahirnya melalui hubungan antara individu dan sifatnya yang tidak mutlak dan seharusnya hanya dapat dipertahankan kepada masing-masing individu terkait, dan juga sifat hak kebendaan, karena sifat dari hak sewa yang memiliki suatu prioritas, sifatnya yang memberikan kewenangan bagi pemegang hak untuk menguasai objek yang disewanya sehingga nampak seolah-olah sebagai pemilik dari benda tersebut, serta juga sifat droit de suite (mengikuti kemana pemilik haknya berada) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Saat ini di Belanda, negara yang merupakan asal dari KUHPerdata yang saat ini berlaku di Indonesia, hak sewa atas tanah sudah dipandang sebagai salah satu hak kebendaan yang disediakan oleh hukum. Di Belanda hak sewa banyak digunakan oleh
101 pemerintah kota yang memiliki banyak tanah. Pemerintah tidak menjual hak milik kepada warga, tetapi sebagai gantinya menetapkan hak sewa, dalam rangka memberikan pengaruh yang besar dalam hal bagaimana tanah tersebut akan digunakan. Hukum atau undang-undang memberikan 16 (enam belas) pasal tentang hak sewa ini. Semua aspek diatur oleh hukum. Setiap akta pembentukan mengandung isi yang lebih tepat dari setiap kebendaan. 96 Di sisi lain sebagai suatu perbandingan, suatu Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan suatu hak yang juga bersifat sementara, kedudukan dan penjaminannya secara jelas diatur di dalam ketentuan sistem dan praktek hukum di Indonesia. HGB secara jelas dianggap sebagai suatu hak kebendaan dan dapat dijaminkan (sesuai ketentuan Pasal 39 UUPA), terutama karena sifatnya yang mutlak serta adanya publisitas dengan terdaftarnya HGB tersebut di kantor pertanahan dan juga HGB tersebut tercantum di dalam suatu sertipikat, yang merupakan dokumen negara yang dimiliki oleh pemegang HGB. Oleh karenanya HGB pun dapat dijadikan sebagai objek dari lembaga jaminan hak tanggungan. Padahal, apabila dibandingkan dengan hak sewa, HGB sebenarnya memiliki sifat yang sangat mirip dengan hak sewa. Sebidang tanah dengan status HGB memberikan hak untuk memperoleh kepemilikan atas bangunan atau gedung-gedung pabrik yang terpisah dari kepemilikan atas tanah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA HGB merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. 96.
Arie Sukanti, Wilbert D. Kolkman, et al, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. 12
102 Suatu HGB memiliki jangka waktu yang terbatas, jangka waktu tersebut antara lain tergantung dengan apa yang menjadi alas HGB tersebut: 1. Untuk HGB di atas Tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan, maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi (Pasal 35 ayat 1 UUPA jo. Pasal 25 PP Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah). HGB atas tanah negara masih dapat diperbaharui dengan jangka waktu yang sama, dan nantinya diperpanjang dalam jangka waktu yang sama pula asal memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (1) PP No 40 Tahun 1996. Sedangkan HGB di atas HPL dapat diperbaharui asalkan terdapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) PP No 40 Tahun 1996. Adapun ketentuan dari Pasal 26 ayat (2) adalah : (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat : a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. d. tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. ; 2. Sedangkan untuk HGB di atas tanah Hak Milik, paling lama 30 tahun (Pasal 29 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1996). Jangka waktu tersebut dapat diperbaharui dengan adanya kesepakatan antara pemegang HGB dan
103 pemegang Hak Milik dengan jangka waktu yang sama , yaitu maksmimal 30 tahun, sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996. Bandingkan dengan pengaturan yang terkait dengan hak sewa, yang tidak memiliki suatu jangka waktu yang ditentukan secara jelas batasannya, hanya berdasarkan dengan kesepakatan para pihak. Situasi ini tentunya menunjukkan bahwa suatu hak sewa lebih berpeluang memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk menikmati objek kebendaan yang akan dikuasainya. Bahkan karena hak sewa mengenal dua konsep, yaitu hak sewa atas tanah dan juga hak sewa atas bangunan, sementara HGB hanya memberikan peluang bagi seseorang untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dalam waktu tertentu yang dibatasi secara jelas oleh undang-undang, tentunya lingkup penguasaan atas objek yang lebih luas akan dapat diperoleh para pihak melalui hak sewa. Melalui hak sewa seseorang dapat menyewa tanah saja dan kemudian memanfaatkan tanah tersebut dengan membuat bangunan di atasnya, sehingga pihak tersebut dapat memperoleh hak untuk menguasai bangunan dan juga tanah tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak, yang mana konsepnya mirip dengan HGB namun dengan jangka waktu yang dapat disesuaikan oleh kemauan para pihak. Nantinya apabila masa sewanya sudah habis bangunan tersebut dapat dimiliki oleh pemilik tanah dan dapat pula tetap dimiliki oleh mantan pemegang hak sewa apabila bangunan tersebut dibuat secara knock down. Namun tidak tertutup juga suatu kemungkinan seseorang untuk menyewa tanah yang sudah disertai bangunan yang dibuat oleh pemilik untuk kemudian dikuasai untuk jangka waktu yang disepakati.
104 Nantinya apabila masa sewa sudah selesai tanah dan bangunan tersebut akan kembali menjadi milik pemilik. Hak sewa karena hak tersebut merupakan suatu hak yang bersifat perorangan menurut KUHPerdata, tidak memiliki suatu dokumen yang memenuhi asas publisitas dalam perolehannya, dan tidak menimbulkan hak penguasaan yang mutlak atas objek sewa, maka tidak memiliki kedudukan di dalam jaminan, sehingga hak tersebut tidak dapat dijaminkan. Khususnya untuk hak sewa terhadap tanah yang sudah terdapat kebendaan berupa bangunan di atasnya. Dalam sewa menyewa bangunan, di atas tanah sudah terdapat suatu bangunan yang dibangun oleh pemilik tanah yang kemudian nantinya disewakan kepada pihak penyewa. Kepemilikan tanah dan bangunan akan tetap ada di tangan pemilik dan kembali kepada pemilik pada saat berakhirnya jangka waktu sewa. Jadi penyewa memang tidak memiliki satupun kebendaan mutlak terhadap apa yang menjadi objek sewa tersebut. Situasinya akan berbeda apabila sewa menyewa yang dibuat para pihak objeknya adalah tanah kosong yang nantinya akan dibuatkan bangunan oleh pihak penyewa di atas tanah kosong tersebut. Bangunan yang akan dibuat oleh pihak penyewa tersebut akan menjadi kepemilikan mutlak pihak penyewa, kecuali diperjanjikan lain dari awal. Terhadap bangunan yang dibangunnya itulah kemudian penyewa memiliki suatu kebendaan untuk nantinya dijadikan jaminan dalam suatu perjanjian kredit. Jadi bukan hak sewa atas tanah tersebut yang dijadikan suatu jaminan, melainkan bangunan yang didirikan oleh penyewa di atas tanah yang disewanya yang dapat dijadikan suatu objek jaminan.
105 Lewat beberapa uraian di atas tentunya dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa suatu hak sewa sebenarnya juga memiliki sifat yang hampir sama dengan suatu HGB, bahkan dapat memberikan para pihak keleluasaan lebih dalam mengatur hubungannya dengan objek yang akan diambilalih. Perbedaan utama yang dapat dikatakan sebagai sebab HGB dapat dilihat sebagai suatu hak kebendaan dan dapat dijaminkan adalah fakta bahwa suatu HGB memenuhi salah satu asas ciri hak kebendaan yaitu adanya suatu publisitas, lewat pendaftaran dan pembuatan sertipikat di kantor pertanahan, sementara hak sewa tidak demikian. Dipenuhinya unsur publisitas sebagai suatu hak kebendaan inilah yang kemudian menyebabkan suatu HGB dapat menjadi objek dari suatu jaminan kebendaan lewat lembaga jaminan Hak Tanggungan. Selain itu hal yang menyebabkan dapat dijaminkannya suatu HGB adalah karena suatu HGB memberikan suatu kewenangan pada pihak yang memegang hak tersebut untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang dikuasainya. Pendirian bangunan tersebut tentunya merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemegang hak dengan biaya yang dikeluarkannya sendiri. Nantinya apabila bangunan tersebut sudah selesai maka hak kepemilikan atas bangunan tersebut berada di tangan pemegang HGB. Hal ini tentunya sesuai dengan keberlakuan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA. Asas pemisahan horizontal merupakan salah satu asas yang dianut di dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia. Dengan adanya asas ini maka terdapat suatu hubungan yang terpisah antara tanah dan kekayaan alam yang terdapat di atas maupun di dalamnya serta hubungan terpisah antara tanah dan bangunan yang berdiri di
106 atasnya. Penerapan asas ini dapat dilihat dalam ketentuan pembuatan bangunan di atas tanah HGB dan juga hubungan antara bangunan dan tanah, yang mana bangunannya dibuat oleh penyewa di atas tanah hak sewa. Penerapan asas pemisahan horizontal juga dapat dilihat dalam Pasal 44 UUPA yang mengatur tentang Hak Sewa, yang menentukan bahwa seseorang atau suatu Badan hukum dapat mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemilik tanahnya sejumlah uang sebagai sewanya. Kondisi ini akan menyebabkan kepemilikan bangunan dan tanahnya berada dalam subyek yang berbeda. Kepemilikan hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Dengan demikian perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi pula bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Sifat bangunan yang dibuat oleh para pemegang hak sewa tersebut dapat berupa konstruksi permanen, semi permanen, ataupun bangunan dengan system knock-down yang dapat dilakukan suatu proses bongkar-pasang terhadap bangunan tersebut. Jenis kebendaan yang berupa bangunan yang ada di atas tanah hak sewa pun dapat beragam, seperti bangunan rumah susun (baik yang bersifat tempat tinggal dan komersial), bangunan gedung, bangunan rumah, ataupun juga bangunan rumah yang bersifat tidak permanen dan dapat dipindahkan, seperti misalnya rumah joglo. Apapun jenis bangunan yang dibuat oleh pemegang hak, bangunan tersebut dibuat oleh dana yang dikeluarkan oleh pihak pemegang HGB atau hak sewa itu sendiri. Nantinya pemilik dari bangunan tersebut memiliki suatu hak milik yang bersifat mutlak atas bangunan tersebut. Terhadap status bangunan yang dibuat oleh
107 pemegang HGB apabila masa HGBnya telah berakhir terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya. Terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah bekas HGB yang berasal dari tanah negara ditentukan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Ketentuan ini menyatakan apabila HGB masa berlakunya habis, dan tanahnya kembali menjadi tanah negara, maka bangunan dan benda lain yang ada di atasnya harus dibongkar dalam waktu satu tahun setelah masa berlakunya hak tersebut habis. Jika hal itu tidak dilakukan, bangunan tersebut akan dibongkar oleh Pemerintah dengan biaya yang dibebankan kepada pemilik bangunan. Apabila bangunan tersebut masih diperlukan, kepada pemilik bangunan tersebut mendapatkan ganti rugi yang bentuk dan besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Ketentuan ini secara mutatis mutandis juga berlaku terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah milik orang lain maupun di atas tanah dengan hak pengelolaan. Kewajiban untuk menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada pemilik tanahnya, diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Dengan adanya ketentuan yang mewajibkan pihak pemilik bangunan untuk membongkar ataupun mendapatkan ganti rugi atas bangunannya apabila bangunannya tersebut digunakan oleh pemilik tanah, tentunya hal tersebut semakin menegaskan sifat kebendaan bangunan tersebut bagi pemilik bangunan.
108 3.2
Penjaminan Kebendaan Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa
3.2.1 Penjaminan Unit Rumah Susun diatas Tanah Hak Sewa Sebagai konsekuensi dari azas pemisahan harizontal adalah bahwa bendabenda/bangunan di atas tanah yang telah terdaftar dan memiliki tanda bukti kepemilikan yang terpisah dari tanahnya itu dapat dijaminkan terpisah dari hak atas tanahnya. Sebagai contohnya adalah adanya Sertipikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun yang dipopulerkan dengan nama SKBG Sarusun yang diatur di dalam Undang-Undang No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5252, selanjutnya disebut UU Rumah Susun). SKBG Sarusun akan diberikan bagi pihak pemilik gedung rumah susun yang didirikan di atas tanah hak sewa. SKBG Sarusun ini dapat dijadikan jaminan oleh pemiliknya karena SKBG Sarusun dianggap sebagai suatu kebendaan. Menurut Pasal 48 ayat (4) UU Rumah Susun, SKBG satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani jaminan fidusia. SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 48 ayat (5) UU Rumah Susun. Adanya bentuk SKBG sarusun tersebut merupakan suatu bentuk nyata dari praktek asas pemisahan horizontal. SKBG sarusun juga merupakan wujud dari asas publisitas, sehingga jelas SKBG merupakan suatu kebendaan. Namun, hal yang perlu untuk digarisbawahi SKBG sarusun hanya dibuat untuk suatu bangunan rumah susun yang ada di atas tanah sewa, tanah milik negara atau tanah wakaf, dan subjek hukum
109 yang dapat mendaftarkannya adalah masyarakat yang ingin memperoleh rumah susun. Jadi ketentuan yang terkait dengan SKBG sarusun ini belum dapat dikaitkan dengan bangunan non rumah susun yang dibangun di atas tanah sewa. Dalam praktek pembuatan SKBG sarusun juga berlaku bagi kios yang terdapat di pusat perbelanjaan, karena kios yang dibuat di dalam gedung pusat perbelanjaan dapat digolongkan sebagai suatu kebendaan yang ada di dalam rumah susun non hunian yang bersifat komersial (mall). Sebagai komparasi,menurut ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Rumah Susun, apabila suatu rumah susun didirikan di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai diatas tanah hak pengelolaan maka akan diterbitkan SHM (Sertipikat Hak Milik) Sarusun (Satuan Rumah Susun). SHM Sarusun ini nantinya dapat dijadikan suatu jaminan atas suatu hutang melalui lembaga penjaminan hak tanggungan, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (5) UU Rumah Susun.
3.2.2 Penjaminan Kebendaan Bangunan Gedung Di atas Tanah Sewa Ketentuan mengenai bangunan gedung diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247). Dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut : Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan
110 usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sebagai contoh bangunan gedung yang banyak dibuat di Propinsi Bali adalah bangunan hotel yang dibuat didaerah Kuta, yang memang kebanyakan tanahnya diperoleh dari cara sewa. Apabila kemudian bangunan hotel tersebut hendak dijaminkan oleh pemiliknya, memang hal tersebut dalam praktek dimungkinkan, dengan menjadikan bangunannya sebagai jaminan. Menurut pandangan penulis, pemenuhan dari asas publisitas untuk kebendaan tersebut diperoleh melalui suatu dokumen yaitu sertifikat laik fungsi yang dimiliki oleh pihak penyewa yang mendirikan bangunan. Sertifikat laik fungsi merupakan suatu sertifikat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada saat suatu bangunan gedung telah dinyatakan laik fungsi setelah melalui pengkajian teknis terhadap pemenuhan seluruh persyaratan teknis bangunan gedung. Ketentuan mengenai sertifikat laik fungsi ini diatur di dalam penjelasan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dijelaskan dalam penjelasan ketentuan pasal tersebut bahwa : “Suatu bangunan gedung dinyatakan laik fungsi apabila telah dilakukan pengkajian teknis terhadap pemenuhan seluruh persyaratan teknis bangunan gedung, dan Pemerintah Daerah mengesahkannya dalam bentuk sertifikat laik fungsi bangunan gedung”. Sertifikat laik fungsi ini dapat dikatakan memenuhi unsur publisitas karena setifikat tersebut terregister kedalam sistem yang ada di dalam Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum, dan dapat diakses masyarakat.
111 3.2.3 Penjaminan Kebendaan Bangunan Grounded House Diatas Tanah Sewa Pertanyaan yang kemudian selanjutnya timbul adalah, bagaimana jika kebendaan tersebut bukan merupakan suatu gedung ataupun bangunan rumah susun?bagaimana jika kebendaan tersebut merupakan suatu grounded house (rumah tinggal yang melekat secara langsung dengan tanah) ataupun juga rumah joglo yang memiliki suatu nilai ekonomis yang sangat tinggi?bagaimanakah pemenuhan asas publisitas sehingga benda tersebut dapat digolongkan sebagai suatu hak kebendaan yang nantinya dapat dijaminkan?. Padahal banyak sekali bangunan yang dibuat oleh penyewa yang dibuat di atas tanah yang diperolehnya melalui sewa menyewa yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebenarnya sangat disayangkan karena tidak ada suatu konsep konkrit yang bersifat sebagai suatu unifikasi konsep bagi pemenuhan asas publisitas terhadap bangunan yang ada di atas suatu tanah hak sewa. Unifikasi ini ini diperlukan karena tanpa adanya suatu dokumen yang memang menerangkan bahwa bangunan tersebut merupakan milik dari seseorang tentunya akan sulit untuk membuktikan atau mengatakan bahwa bangunan tersebut memang miliknya dan akan terdapat ketidakpastian dalam pemenuhan asas publisitas. Penguasaan terhadap bangunan tersebut tidaklah cukup, karena pemenuhan asas publisitas bagi suatu kebendaan melalui penguasaan hanya berlaku untuk suatu benda bergerak. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana bangunan non rumah susun dan non gedung dapat memenuhi asas publisitas tentunya kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai apa yang akan menjadi bukti kepemilikan bagi seseorang yang akan mendirikan suatu bangunan. Sebagaimana yang diketahui bersama, seseorang sebelum
112 melakukan kegiatan pembangunan gedung tentunya akan memerlukan suatu Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) terlebih dahulu. Dalam ijin tersebut akan tertulis dan teregister secara jelas mengenai detail bangunan tersebut, dan juga pendiri bangunan tersebut. Pengecekan mengenai IMB terhadap suatu bangunan juga dapat dilakukan oleh publik. Dengan demikian, menurut pandangan penulis maka suatu IMB dapat dikatakan menjadi dasar dari kepemilikan bangunan di atas suatu tanah hak sewa sekaligus sebagai unsur publisitas yang akhirnya kemudian mengkategorikan bangunan tersebut sebagai suatu hak kebendaan yang dapat dijaminkan. Emiritus Notaris J.S Wibisono dalam proses wawancara dengan penulis juga mengatakan bahwa di dalam praktek, pihak bank yang menerima jaminan kebendaan berupa rumah, dalam hal rumah tersebut berada di dalam lingkungan suatu perumahan yang didirikan oleh developer, seringkali meminta agar IMB induk yang mana tadinya dikeluarkan atas nama pihak developer agar dipecah (splitzing) dan dibalik nama atas nama pemilik rumah yang hendak mengajukan jaminan dengan dasar akta jual beli yang sebelumnya dibuat oleh pihak developer dan pemilik rumah. Dengan adanya syarat yang ditetapkan oleh bank kepada pihak pemilik rumah tersebut, maka akan dapat disimpulkan bahwa bank juga memiliki suatu pandangan bahwa dokumen IMB merupakan salah satu bukti kepemilikan atas bangunan rumah tersebut, dan oleh sebab itu sebelum rumah tersebut akan dijaminkan maka bank akan memastikan terlebih dahulu mengenai apakah IMB tersebut sudah sesuai atas nama pihak pemilik rumah atau belum.
113 3.3
Potensi Hak Sewa Sebagai Hak Kebendaan Maraknya praktek penjaminan bangunan di atas hak sewa tersebut juga
membuat banyak pihak mengasumsikan bahwa hak sewa dapat dijaminkan, padahal yang sebenarnya dijaminkan adalah kebendaan berupa gedung yang ada di atas hak sewa tersebut. Hak sewa memang saat ini tidak memiliki suatu kedudukan sebagai objek jaminan karena tidak dapat digolongkan sebagai suatu hak kebendaan. Namun untuk kedepannya akan sangat penting untuk mengangkat derajat hak sewa sebagai suatu hak kebendaan sebagaimana yang telah diterapkan di Belanda. Di Belanda hak sewa menjadi dikategorikan sebagi suatu hak kebendaan karena setelah perjanjian sewa menyewa dibuat, perjanjian tersebut akan di register oleh Notaris kedalam arsip publik, sehingga pemenuhan prinsip publisitas pun terpenuhi. Peningkatan dan penegasan terhadap sifat dari hak sewa sebagai suatu hak kebendaan juga diperlukan karena nantinya hal ini tentunya dapat memberikan suatu kemudahan bagi masyarakat yang menguasai suatu objek dengan hak sewa, karena suatu objek sewa bahkan jika hanya berupa tanah kosong memiliki suatu potensi ekonomi yang terkadang merupakan suatu potensi ekonomi yang tinggi contohnya apabila tanah tersebut berlokasi strategis. Nantinya apabila pihak yang menjaminankan wanprestasi, pemegang jaminan dapat memanfaatkannya seperti dengan cara membangunnya ataupun menyewakan ulang. Saat ini aturan hukum yang paling memberikan kejelasan mengenai penjaminan bangunan di atas tanah hak sewa hanyalah aturan yang terkait dengan SKBG sarusun, yang mana aturan tersebut hanya terkait dengan objek bangunan rumah susun. Terdapat pula ketentuan pemenuhan asas
114 publisitas seperti dengan adanya suatu sertipikat laik huni untuk bangunan gedung dan juga IMB untuk bangunan grounded house sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun sebenarnya tidak secara jelas dan tegas ditentukan oleh suatu aturan hukum apakah dengan adanya sertifikat dan IMB tersebut suatu asas publisitas terhadap suatu kebendaan telah terpenuhi atau tidak sehingga nantinya bangunan tersebut dapat ditentukan sebagai suatu kebendaan dan dijadikan sebagai suatu objek jaminan. Pernah tercetus ide soal konsep penyederhanaan hak, yang nantinya akan hanya terdapat dua jenis hak kebendaan atas tanah, yang pertama untuk hak yang bersifat mutlak atau tetap adalah hak milik dan kedua untuk hak yang bersifat sementara adalah hak sewa. Konsep penyederhanaan hak ini tercetus untuk mengubah ketentuan PP No 40 Tahun 1996 dan juga PP No 41 Tahun 1996. Dalam konsep penyerdahanaan hak tersebut tidak lagi dikenal berbagi macam penggolongan hak kebendaan atas tanah seperti saat ini yang berlaku di Indonesia. Saat ini ada berbagai jenis hak, dengan penggolongan dan peruntukkan yang berbeda, namun pada intinya beresensi sama, yaitu hak yang bersifat sementara dan hak yang bersifat tetap. Contohnya adalah Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan, Hak sewa, HGB, dan sebagainya. Nantinya dengan konsep penyederhanaan hak tersebut semua hak yang bersifat sementara akan digolongkan sebagai hak sewa, dan semua hak sewa tersebut akan dianggap sebagai suatu kebendaan yang bersifat sementara, sehingga nantinya dapat dijadikan jaminan. Konsep lain mengenai penyerdehanaan hak adalah untuk membagi hak atas tanah yang bersifat kebendaan menjadi hak kepemilikan permanen untuk Warga Negara Indonesia
115 (WNI) dan hak kepemilikan temporer untuk Warga Negara Asing (WNA)97. Pembagian ini dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya praktek kepemilikan tanah oleh WNA menggunakan nama WNI atau penyelundupan hukum. Dapat dijaminkannya suatu hak sewa di masa depan harus dikaitkan dengan teori utilitas, yang mengatakan bahwa hukum harus memberikan suatu kemanfaatan, maka sudah seharusnya hukum harus mengakomodir kebutuhan yang ada di dalam masyarakat terkait dengan penjaminan hak sewa tersebut. Hak sewa sebagaimana halnya HGB mempunyai suatu nilai ekonomis, bahkan tidak menutup kemungkinan suatu nilai ekonomis yang sangat tinggi dan keduanya juga bersifat sementara. Diperlukan perangkat aturan yang nantinya akan menentukan kedudukan hak sewa sebagai objek yang tergolong sebagai suatu hak kebendaan yang dapat dijadikan jaminan atas hutang dalam suatu perjanjian kredit. Pengaturan ulang mengenai sifat dan konsep hak sewa sangat perlu untuk dilakukan, hal ini karena adanya suatu kebutuhan dalam masyarakat dan hukum harus memberikan jalan terkait dengan hal tersebut. 3.4
Praktek Penjaminan dan Pengalihan Kebendaan di atas Tanah Hak Sewa Penjaminan hak atas kebendaan berupa bangunan yang bukan berdiri di atas
tanah hak milik sangat marak terjadi di masyarakat saat ini. Salah satu contohnya adalah yang berkaitan dengan praktek penjaminan bangunan di atas tanah “surat hijau” di
97.
hal 37
Barly Haliem dan M.Omar Idris, 2003, Mingguan Kontan No. 4 Tahun VIII,
116 Surabaya. Surabaya dengan luas wilayah 326,36 km² merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaan dalam hak mengelola tanah98. Pemerintah kota memiliki aset yang disewakan pada masyarakat. Hak sewa atas tanah yang dikelola Badan Pengelola Tanah dan Bangunan pemerintah kota Surabaya tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai Surat Hijau, karena secara fisik surat sewa yang diterbitkan tersebut berwarna hijau. Disaat ekonomi mulai bertumbuh, masyarakat berkeinginan untuk menjadikan surat hijau sebagai jaminan pada bank untuk memperbesar kegiatan usahanya. Namun pada kenyataannya tidak semua bank mau menerima surat hijau tersebut sebagai jaminan. Pertimbangan pihak bank adalah surat hijau tidak melahirkan suatu hak preferensi atas tanah meskipun bangunan di atasnya dimungkinkan untuk terbit suatu preferensi dengan melakukan pendaftaran fidusia. Terdapat suatu persoalan kepastian hukum, karena sejauh ini belum terdapat ketentuan peraturan undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu perlunya penilaian untuk properti dengan tujuan jaminan kredit berbasis nilai pasar. Dimana properti yang dijadikan agunan tersebut harus memiliki kualifikasi legalitas yang jelas, haknya dapat dipindahkan atau dibebani hak tanggungan atau sejenisnya, status fisik atas properti teridentifikasi dengan jelas dan properti tersebut memiliki potensi pasar. Pemerintah kota Surabaya memiliki hak untuk mengelola tanah dalam pengawasan Negara tersebut untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah dalam
98.
Andrew Pardede, 2010, Tinjauan Yuridis Pengikatan Bangunan Sebagai Pengikatan Fidusia (Studi Kasus Pada Bank CIMB Cabang Surabaya), Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 1
117 rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Landasan hukum terhadap Penguasaan Tanah Negara yang dikelola Pemerintah Kota adalah: a.
Dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945
b.
Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1953 (TLN 1953-14) tentang Penguasaan tanah–tanah Negara oleh Instansi Pemerintah serta penjelasannya.
c.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1963, yang menyangkut Hak Penguasaan yang
merumuskan
“Beeter
Recht”
tentang
Jawatan
Instansi/
Departemen/Daerah Swatantra mengenai Hak Penguasaan. d. Undang-undang No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi e.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No.1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.
Sedangkan landasan hukum yang mengharuskan setiap orang atau badan hukum yang menggunakan tanah aset pemerintah kota Surabaya harus memiliki Ijin Pemakaian Tanah adalah: a.
Perda No.1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah
b.
Perda No.21 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
c.
S.K. Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No.1 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penyelesaian Ijin Pemakaian Tanah.
d.
S.K. Walikota Surabaya No.21 Tahun 2002 Pemakaian Tanah di kota Surabaya.
tentang Pemutihan Ijin
118 e.
S.K. Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No.27 Tahun 1995 tentang Tata Cara mendapatkan HGB di atas HPL (Hak Pengelolaan) Pemerintah Daerah tingkat II Surabaya.
Peraturan daerah yang berlaku bagi pemegang Surat Hijau diatur di dalam ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Surabaya No.1 tahun 1997, terdapat beberapa point yang dapat diambil dalam Perda tersebut, antara lain : 1.
Lahan harus dipergunakan sesuai peruntukan
2. Selambat lambatnya satu tahun sejak dikeluarkan ijin, pemegang surat harus mendirikan bangunan yang dilengkapi IMB 3. Dilarang mengalihkan ke pihak lain tanpa ijin tertulis kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk 4.
Jika pemegang Surat Hijau meninggal, ahli waris bisa melanjutkan Ijin Pemakaian Tanah dengan mengajukan permohonan ke kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk Semua pajak dan beban lain ditanggung pemegang ijin
6. Pemegang ijin wajib membayar retribusi. Besarnya retribusi dapat berubah sesuai ketentuan yang ditetapkan. 7. Keterlambatan pembayaran retribusi dikenakan denda: 8. Sampai 3 bulan sebesar 50% dari retribusi yang berlaku, sedangkan keterlambatan lainnya : Lebih dari 3 bulan – 1 tahun sebesar 100%
119 1 – 2 tahun sebesar 200% 2 – 3 tahun sebesar 300% 3 – 4 tahun sebesar 400% Lebih dari 4 tahun sebesar 500% 9. Ijin bisa dicabut sewaktu-waktu apabila: Tanah tersebut dibutuhkan untuk kepentingan pemerintah daerah Pemegang ijin melanggar ketentuan Pemegang ijin menelantarkan atau tidak memanfaatkan tanahnya selama lebih dari tiga tahun Persyaratan yang diajukan untuk mendapatkan ijin tidak dapat dipertanggung-jawabkan 10. Masa berlaku ijin pemakaian tanah dalam Surat Hijau dapat dibedakan menjadi : Ijin Pemakaian Tanah Jangka Pendek (2 tahun) Ijin Pemakaian Tanah Jangka Menengah (5 tahun) Ijin Pemakaian Tanah Jangka Panjang (20 tahun) 99 Bangunan yang berdiri di atas suatu tanah bukan hak milik sebagaimana dicontohkan dalam kasus surat hijau yang terjadi di Surabaya sebelumnya memang dapat dijadikan jaminan melalui lembaga fidusia. Ketentuan mengenai hal ini dilakukan dengan mengingat asas pemisahan horizontal sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab
99.
Njo Anastasia, 2008, Jurnal Ekonomi Manajemen : Penilaian Atas Agunan Kredit Berstatus Surat Hijau, Universitas Kristen Petra, Surabaya, hal. 117
120 sebelumnya dan juga diatur di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C.HT.01.10-22 tanggal 15 Maret 2005, yang mengatur bahwa bangunan yang didirikan di atas tanah hak milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, dapat dibebani jaminan fidusia, dengan syarat: 1. Ada bukti kepemilikan bangunan yang terpisah dengan kepemilikan tanah. 2. Ada ijin dari pemilik tanah. Ketika debitur melakukan wanprestasi dan nantinya objek kebendaan berupa bangunan tersebut diserahkan kepada pihak kreditur, nantinya dapat terjadi suatu bentrokan antara hak yang dimiliki berupa hak sewa atas tanah tersebut dan juga hak untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang ada di atas tanah hak sewa yang dimiliki oleh pihak kreditur. Situasi ini terkadang membuat pihak kreditur kesulitan untuk mengeksekusi jaminan tersebut, karena tentunya bangunan tersebut, apalagi apabila berupa suatu bangunan permanen baru akan bernilai jika dalam keadaan utuh dan tidak terbongkar, sementara disisi lain pihak debitur masih merasa memiliki suatu hak atas tanah tersebut, karena sekalipun ia wanprestasi dan kemudian bangunannya tersebut akan dieksekusi oleh pihak kreditur, pihak debitur masih akan merasa memiliki hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri, karena hak sewa atas tanahnya tidak ikut berkedudukan sebagai suatu jaminan. Oleh karena itulah sebagai suatu langkah antisipasi, diawal perjanjian kredit tersebut dibuat, haruslah terdapat suatu klausula persetujuan pengalihan hak sewa dari pihak debitur dengan diketahui pemilik dari tanah kepada pihak kreditur apabila
121 nantinya debitur wanprestasi dan nantinya dilakukan eksekusi atas jaminan yang diberikan oleh debitur. Dalam praktek pihak bank juga akan melakukan tindakan antisipasi dengan melaporkan kepada Pemerintah Kota mengenai objek yang akan dijadikan agunan tersebut untuk nantinya memudahkan bank dalam melakukan eksekusi. Jadi disini pengalihan hak sewa sangatlah terkait dengan perbuatan hukum penjaminan kebendaan berupa bangunan yang dimiliki dan didirikan oleh pihak penyewa tanah, namun yang perlu diingat, pengalihan tersebut hanya sebagai suatu komponen pendukung agar dapat terlaksananya eksekusi jaminan ketika debitur wanprestasi, bukan sebagai suatu bagian/ objek hak yang juga turut dijaminkan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur.
3.5
Lembaga Penjamin Objek Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa Lembaga penjaminan di Indonesia sesuai dengan pembagian yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya dibagi menjadi lembaga jaminan hak tanggungan yang objeknya adalah tanah, dan diatur di dalam ketentuan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Lembaga jaminan hipotek, yang mengatur mengenai objek jaminan yang benda tidak bergerak bukan tanah seperti kapal laut dan juga pesawat terbang dan pengaturannya ada di dalam ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata dan juga KUHD. Kemudian ada juga lembaga jaminan gadai yang mengatur mengenai objek jaminan benda bergerak yang ketentuannya ada di dalam KUHPerdata. Oleh karena lembaga jaminan gadai ini kurang memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang jaminan benda bergerak maka timbullah lembaga jaminan fidusia. Lembaga ini semula
122 juga untuk benda benda bergerak seperti halnya gadai, namun dalam perkembangannya lembaga fidusia juga berlaku untuk benda tidak bergerak yang tidak terdaftar. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia menyatakan bahwa : ”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Perbedaan penguasaan benda inilah yang membedakan antara gadai dan fidusia. Dari perumusan tersebut, dapat diketahui bahwa yang diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditur (pemegang fidusia) adalah hak kepemilikan suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditur. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Fidusia, objek jaminan Fidusia meliputi benda bergerak dan tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dengan syarat bahwa kebendaaan tersebut ”dapat dimiliki dan dialihkan”. Dengan demikian dapat disimpulkan objek Jaminan Fidusia meliputi : 1. Benda bergerak yang berwujud; 2. Benda bergerak yang tidak berwujud;
123 3. Benda bergerak yang terdaftar; 4. Benda bergerak yang tidak terdaftar; 5. Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan; 6. Benda tidak bergerak tidak tertentu, yang tidak dibebani dengan Hipotik; 7. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan. Dalam penjelasan Pasal 6 huruf c UU Fidusia disebutkan uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya sehingga apabila dikaitkan dengan topik tesis ini, debitur yang ingin menjaminkan bangunan harus memiliki bukti kepemilikan atas bangunan yang berdiri pada tanah yang disewa tersebut. Bukti kepemilikan dapat ditunjukkan dengan dokumen-dokumen sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya yaitu suatu SKBG Sarusun untuk bangunan satuan rumah susun yang berdiri diatas tanah hak sewa, serifikat laik huni untuk suatu bangunan gedung, dan juga IMB untuk bangunan rumah pada umumnya. Penggunaan sertifikat laik huni dan juga IMB sebagai pemenuhan asas publisitas dan bukti kepemilikan atas suatu bangunan merupakan pendapat dari penulis, dan belum terdapat suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas menyatakan demikian. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Fidusia menegaskan bahwa undang-undang ini tidak berlaku terhadap : a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
124 b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh)M3 atau lebih; c. Hipotik atas pesawat terbang; dan d. Gadai. Dalam penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia dijelaskan juga sebagai berikut :”Berdasarkan ketentuan ini, maka bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan berdasarkan UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.” Arrest BPM-Clinett merupakan tonggak awal lahirnya lembaga fidusia sebagaimana dijelaskan di dalam bab sebelumnya, terdapat satu Arrest lagi yang berperan dalam pembentukan lembaga fidusia di Indonesia. Arrest tersebut adalah Arrest HGH tanggal 16 Februari 1933 yang menetapkan bahwa hak grant yaitu hak atas tanah yang dulu dianugerahkan oleh Sultan di Sumatera Timur dapat digunakan sebagai jaminan hutang dengan lembaga fidusia yang kemudian dicatat dalam register.100 Terkait dengan awal praktek jaminan fidusia di Indonesia yang merupakan jalan keluar dari praktek lembaga gadai yang tidak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Arrest BPM-Clinett dapat dikatakan sebagai awal dijaminkannya suatu objek yang merupakan benda bergerak, yaitu mobil kepada penjamin atas dasar suatu kepercayaan. Sedangkan Arrest HGH merupakan suatu awal dari dijaminkannya objek hak atas benda tidak bergerak, yaitu hak grant atas tanah atau bangunan, kepada penjamin atas dasar suatu kepercayaan.
100.
Agus Wahyu Nugroho,2005, Penjaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri di Atas Tanah Hak Sewa Pada Bank BNI Cabang Semarang, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 54
125 Karena fidusia berasal dari suatu unsur utama, yaitu kepercayaan, maka undangundang tidak mengatur secara detail mengenai jenis objek benda yang dapat dijaminkan oleh lembaga jaminan ini. Oleh sebab itu dalam prakteknya, hak sewa atau lebih tepatnya benda berupa bangunan yang ada di atas hak sewa dijaminkan dengan menggunakan lembaga fidusia.
126 BAB IV PENGALIHAN HAK SEWA TERKAIT DENGAN PENJAMINAN KEBENDAAN DIATASNYA SEBAGAI BENTUK CESSIE
4.1 Objek Pengalihan Dalam Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata Sebagaimana telah dijelaskan di dalam sub bab sebelumnya, ketentuan yang terkait dengan doktrin Cessie ada di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan tersebut menyatakan mengenai pemindahan hak atas piutang atas nama dan juga kebendaan tak bertubuh lainnya dari pihak kreditur lama kepada pihak kreditur baru. Adapun yang dimaksud dengan “benda tak bertubuh lainnya” adalah benda yang bukan berupa tagihan atas nama dan bahkan bukan berupa suatu tagihan. Sebab penyerahan tagihan atas tunjuk (aan toonder) dan tagihan kepada order mempunyai caranya sendiri, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata. Tagihan dapat disebutkan sebagai “atas nama” apabila memiliki suatu ciri utama yaitu krediturnya tertentu dan diketahui dengan baik oleh pihak debitur. Tagihan kepada order (aan order) adalah tagihan-tagihan yang menunjuk orang tertentu kepada siapa tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan hak untuk memindahkannya kepada orang lain melalui endosemen101. Sedangkan tagihan atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihantagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi untuk memudahkan pengalihannya) tidak tertentu. Untuk mudahnya orang menyebut tagihan atas nama sebagai semua
101.
J.Satrio IV, Op Cit, hal. 106
127 tagihan yang bukan tagihan kepada order dan juga bukan tagihan atas tunjuk atau aan toonder.102 Kebendaan tak bertubuh merupakan satu sifat dari benda yang diatur di dalam ketentuan KUHPerdata.Terdapat 3 (tiga) cara untuk membeda-bedakan kebendaan sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Bab I bagian ke II Buku Kedua KUHPerdata, antara lain : 1. Bertubuh dan tidak bertubuh (sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 503 KUHPerdata). Kebendaan adalah bertubuh apabila berwujud, yang artinya dapat dilihat, diraba oleh pancaindera manusia, seperti misalnya mobil, jam tangan dan sebagainya. Sedangkan disebut tidak bertubuh apabila tidak memiliki suatu wujud dan juga dirasakan melalui pancaindera, contohnya seperti hak atas sesuatu, hak mengenai piutang, hak menuntut sesuatu, hak atas saham, dan sebagainya. 2. Dapat dihabiskan dan Tidak Dapat Dihabiskan (sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 505 KUHPerdata). Benda yang dikatakan dapat dihabiskan adalah benda yang apabila digunakan menjadi habis, contohnya adalah arang, kayu bakar, makanan, minuman, dan sebagainya. Sedangkan benda yang tidak dapat dihabiskan adalah benda-benda yang apabila digunakan tidak akan habis, tetapi perlahan akan berkurang, contohnya seperti tas, sepatu, dan sebagainya.
102.
J. Satrio I, Op Cit, hal. 4
128 3. Benda bergerak dan tidak bergerak (diatur pada ketentuan Pasal 504 KUHPerdata). Menurut ketentuan KUHPerdata kebendaan bergerak dibagi dalam dua golongan, yaitu karena sifatnya (dalam ketentuan Pasal 509 dan juga Pasal 510KUHPerdata) dan juga karena ketentuan undang-undang (ketentuan Pasal 511 KUHPerdata). Benda bergerak karena sifatnya adalah benda yang mudah dipindahtangankan, seperti meja, kursi, almari, sepeda, dan sebagainya. Sedangkan
benda
bergerak
karena
ketentuan
undang-undang adalah
sebenarnya merupakan kebendaan tak bertubuh yaitu hak-hak dan tuntutantuntutan yang objeknya adalah benda bergerak, seperti hak pakai atas kebendaan bergerak, hak atas bunga yang diperjanjikan, dan sebagainya. Tindakan penyerahan, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merupakan suatu tindakan yang tidak berdiri sendiri, tindakan tersebut merupakan suatu konsekuensi lebih lanjut dari suatu peristiwa hukum, yang mewajibkan orang menyerahkan sesuatu, yang apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata berupa tagihan atas nama atau suatu benda tidak bertubuh lain. Penyerahan terjadi karena adanya suatu hubungan hukum yang bersifat obligatoir, yang dapat timbul dari suatu perjanjian ataupun undang-undang. Hubungan hukum tersebut mengakibatkan adanya suatu rechtstitel (hubungan keperdataan) yang melahirkan perikatan-perikatan diantara dua pihak, dimana satu pihak berkedudukan sebagai kreditur dan pihak lainnya berkedudukan sebagai debitur. Jika suatu Cessie bersumber dari hubungan obligatoir yang bersumber dari perjanjian, maka perjanjian
129 merupakan suatu awal yang menyatakan kesepakatan para pihak bahwa tagihan tersebut akan diserahkan dengan nama tertentu, sedangkan tindakan Cessie merupakan tindakan nyata yang mengikutinya, berupa penyerahan suatu tagihan atas nama dari debitur kepada krediturnya. Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu “hak” merupakan tergolong sebagai suatu kebendaan tak bertubuh. Namun yang perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut adalah, apakah suatu hak yang memberikan penguasaan namun tidak terkait dengan hak kebendaan atau kepemilikan atas suatu objek dapat pula dikategorikan sebagai hak kebendaan tak bertubuh sebagaimana halnya hak sewa?. Sebagaimana diketahui dan dijelaskan di bab sebelumnya, hak sewa merupakan suatu hak yang memberikan kewenangan bagi pemiliknya untuk menguasai suatu objek, namun pemilik hak tersebut tidak memiliki suatu kewenangan mutlak atas objek yang disewanya tersebut sebagaimana pemilik dari objek tersebut. Pemilik hak sewa memang memiliki suatu kewenangan untuk menempati ataupun menggunakan objek sewa tersebut, namun perbuatan kepemilikan yang dilakukan oleh pemilik hak sewa tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, sampai jangka waktu sewanya habis. Apabila jangka waktunya sudah habis maka pemilik hak sewa harus mengembalikan bendanya kepada pemilik dari benda yang disewanya tersebut. Karena adanya keterbatasan tersebutlah maka suatu hak sewa tidak dapat dikategorikan sebagai suatu hak kebendaan sebagaimana halnya hak milik, melainkan hanya merupakan suatu hak perseorangan yang mengikat para pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut.
130 Hal lain yang perlu untuk diingat adalah ketentuan Pasal 613 ayat (1) merupakan suatu ketentuan yang timbul karena adanya ketentuan Pasal 584 KUHPerdata, yang mengatur mengenai perolehan hak milik. Jadi suatu “kebendaan tak bertubuh lainnya” yang ada di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merujuk pada hak atas suatu benda, dan hak yang berkaitan dengan kepemilikan / kebendaan, bukan suatu hak penguasaan atas benda. Suatu hak sewa tidak dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kebendaan tak bertubuh yang dimaksud di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata.
4.2 Pengalihan Hak Sewa Pendukung Jaminan Sebagai Suatu Bentuk Cessie Ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengatur mengenai “penyerahan tagihan atas nama” dan “benda-benda tak bertubuh lainnya”, menyebabkan orang sering tidak jeli untuk membedakan penggunaan istilah Cessie untuk penyerahan tagihan atas nama dengan akta yang memindahkan “benda tak bertubuh lainnya”. Penyerahan benda-benda tak bertubuh lainnya memang sebagaimana juga penyerahan tagihan atas nama dilakukan dengan membuat suatu akta, tetapi dalam doktrin tidak disebut sebagai akta Cessie. Ini perlu dibedakan, sebab kalau tidak dibedakan, maka kita tidak bisa lagi mengatakan, bahwa Cessie selesai – dalam arti objek Cessie telah beralih ke dalam pemilikan Cessionaries – dengan ditandatanganinya akta Cessie, sebab (sebagai contoh) penyerahan saham, yang merupakan suatu contoh kebendaan tak bertubuh, melalui akta penyerahan, dengan ditandatanganinya akta penyerahan saham, belum mengalihkan hak milik atas saham
131 yang bersangkutan kepada pembelinya, karena masih diperlukan suatu proses balik nama dalam daftar saham. Dalam praktek suatu proses pengalihan hak sewa yang dilakukan berkaitan dengan proses penjaminan kebendaan berupa bangunan diatasnya banyak yang menganggap dilakukan sebagai suatu bentuk Cessie, namun setelah adanya beberapa kajian yang dibahas sebelumnya, harusnya dapat dipahami bahwa suatu perbuatan hukum pengalihan hak sewa bukan dilakukan dengan bentuk Cessie. Hak sewa memang dialihkan melalui akta sebagai yang disebutkan dalam Pasal 613 BW, tetapi mestinya tidak disebut Cessie. Ini perlu dibedakan dengan “tagihan sewa”, yang memang merupakan tagihan atas nama103. Pengalihan atas hak sewa ini dimungkinkan asalkan adanya suatu persetujuan dari pemilik, sebagaimana dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa : Si penyewa, jika kepadanya tidak diperizinkan, tidak diperbolehkan mengulangsewakan barang yang disewanya, maupun melepas sewanya pada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa. Dikaitkan dengan apa yang terjadi di dalam praktek kenotariatan, dimana masih banyak peristiwa pengalihan hak sewa yang dibuat sebagai bentuk Cessie, maka dapat diperoleh juga suatu argument dengan mengaitkannya pada teori kausal. Menurut teori kausal (sebab – akibat) suatu peristiwa penyerahan akan sangat berkaitan dengan peristiwa perdata dan juga alas hak (recht titel) yang melandasinya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu proses pengalihan merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak 103.
Rachmad Setiawan dan J. Satrio,2010, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal. 8
132 berdiri sendiri, terdapat peristiwa dan perbuatan hukum yang melandasinya yang bersifat obligatoir dan timbul karena perjanjian ataupun undang-undang. Pengalihan hak sewa sebagaimana yang dibahas di dalam tesis ini merupakan suatu perbuatan hukum yang timbul berdasarkan dari perjanjian sewa menyewa. Sewa menyewa merupakan suatu hak yang bersifat perorangan, dan bukan merupakan cara memperoleh kepemilikan suatu benda. Sedangkan Cessie, yang diatur di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata merupakan salah satu cara memperoleh hak milik, karena ketentuan tersebut berasal dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Jadi dapat disimpulkan tidak ada sinkronisasi antara model penyerahan (apabila dianggap sebagai Cessie) dan dasar hubungan obligatoir yang menjadi dasar penyerahan. Oleh sebab itu maka berdasarkan teori kausal, maka penyerahan hak sewa yang dilakukan dalam bentuk Cessie merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan teori kausal. Penyerahan hak sewa merupakan suatu penyerahan hak tersendiri dan tidak dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk Cessie. Di Belanda mekanisme pengalihan hak sewa sedikit berbeda, hal ini dikarenakan hak sewa memang secara jelas dianggap sebagai suatu hak kebendaan. Ketika pemilik yang sekarang dan yang akan datang perlu membuat suatu kesepakatan tentang pengalihan atau pemindahtanganan tanah, pemilik dan penyewa yang akan datang itu perlu membuat suatu kesepakatan tentang pembentukan sewa-menyewa tersebut. Dalam tahap prosedur ini, mereka juga akan mencapai kesepakatan tentang isi spesifik dari kesepakatan penyewaan itu. Sebagian besar hal ini dilakukan dengan bantuan seorang Notaris yang tahu persis bagaimana menuliskan keinginan-keinginan spesifik dari kedua
133 belah pihak. Notaris akan menjamin bahwa isi digambarkan sehati-hati mungkin dalam akta pembentukan perjanjian sewa-menyewa itu. Namun, setelah ini tetap tidak ada yang lebih dari kesepakatan antara pemilik dan calon penyewa itu, pihak ketiga belum terikat. Oleh karena itu, ada keperluan untuk “mengalihkan”, mirip dengan pengalihan harta. Notaris akan memeriksa apakah pembentuk atau pembuat perjanjian hak sewa itu diperbolehkan untuk melakukannya: apakah dia benar benar pemilik tanah itu? Apakah dia sudah membuat kesepakatan hak sewa lain yang menguntungkan orang lain itu? Dalam kasus tersebut, hak sewa yang lebih tua atau lebih dahulu akan mendapat prioritas pada peringkat yang tertinggi, sehingga hak sewa yang baru itu akan sia-sia. Serupa dengan pengalihan hak milik, penyewa yang akan datang itu juga harus membayar untuk pembentukan haknya. Jika semuanya berjalan sebagaimana mestinya, Notaris
akan
menetapkan
hak-hak
kebendaan
dengan
memasukkan
akta
pembentukannya ke dalam arsip publik. Pengalihan tersebut tetap dianggap sebagai suatu bentuk pengalihan tersendiri, bukan digolongkan sebagai Cessie.
4.3
Pengalihan Hak Sewa Sebagai Pendukung Jaminan Kebendaan Dalam Praktek Kenotariatan Emiritius Notaris J.S Wibisono mengatakan bahwa saat ini di kalangan Notaris,
banyak yang melakukan suatu praktek pengalihan hak sewa yang terkait dengan penjaminan melalui jalan pembuatan Akta Cessie. Hak sewa atas suatu objek dianggap sebagai suatu hak kebendaan tak bertubuh, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata yang terkait dengan ketentuan Cessie. Sebelum membahas
134 mengenai hal ini lebih lanjut ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sumber beberapa metode praktek kenotariatan di Indonesia. Apabila kita melihat sejarah, maka dapat diketahui bahwa profesi Notaris berasal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Notaris pertama yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kelchem, sekretaris dari sebuah sekolah tinggi yang didirikan oeh Belanda, yangbernama College van Schenpenen, di Jakarta pada tanggal 27 agustus 1620. Selanjutnya berturut turut diangkat beberapa Notaris lainnya, yang kebanyakan adalah keturunan Belanda atau timur asing lainnya.104 Pada tanggal 26 januari 1860 diundangkanlah Notaris Reglement yang selanjutnya dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris. Reglement atau ketentuan ini dapat dikatakan sebagai turunan dari peraturan – peraturan dalam Notariswet yang berlaku di Belanda. Peraturan jabatan notaris terdiri dari 66 pasal. Sistem tersebut terus berjalan selama sekian lama, namun setelah Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai Negara merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, sempat terjadi kekosongan jabatan notaris, karena para Notaris yang telah diangkat tersebut memilih untuk pulang ke negeri Belanda. Untuk mengisi kekosongan ini, pemerintah menyelenggarakan kursus-kursus bagi warga negara Indonesia yang memiliki pengalaman di bidang hukum (biasanya wakil notaris). Jadi, walaupun tidak berpredikat sarjana hukum saat itu, mereka mengisi kekosongan pejabat notaris di Indonesia.
104.
Vinca Adriana Setiawan,2010, Peran Notaris Dalam Melakukan Penemuan Hukum Dikaitkan Dengan Sikap Netral Notaris Dalam Kode Etik dan Undang –Undang Nomor 30 Tahun 2004, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 2
135 Pembelajaran bagi calon Notaris di Indonesia saat itu dilaksanakan dengan berpedoman terhadap praktek kenotariatan di Belanda. Calon Notaris saat itu mempelajari literatur dan juga contoh perjanjian serta akta yang berasal dari Belanda. Salah satu contoh literatur yang dipelajari adalah literatur yang berjudul Modellen van Notarieke Acten karangan HJJ Lamers berisikan contoh akta di Belanda. Sangatlah jelas bahwa praktek Notaris di Indonesia sangat berkiblat pada praktek yang ada di Belanda, karena adanya pengaruh asas koonkordansi dalam masa penjajahan Belanda. Dikaitkan dengan dianggapnya suatu pengalihan hak sewa dalam penjaminan kebendaan sebagai suatu bentuk Cessie maka kita harus dapat mengkaitkannya dengan sifat hak sewa pada sistem hukum di Belanda. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, hak sewa meskipun ia bersifat sementara pada prakteknya di Belanda digolongkan sebagai suatu hak kebendaan. Dengan digolongkannya hak sewa sebagai suatu hak kebendaan maka cara perolehannya mengikuti seperti apa yang diatur di dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, KUHPerdata di Indonesia tidak pernah mengalami perubahan signifikan sejak mulai diberlakukan di Indonesia, sedangkan KUHPerdata yang berlaku di Belanda saat ini sudah mengalami banyak perubahan, mengikuti dan mengakomodiir perkembangan zaman. Contohnya adalah penggolongan hak sewa sebagai suatu kebendaan itu sendiri. Praktek Notaris di Indonesia yang berkiblat di Belanda sebagaimana dijelaskan sebelumnya menurut pendapat penulis juga melihat praktek pengalihan hak sewa yang berhubungan dengan penjaminan di Belanda yang dilakukan dalam bentuk Cessie. Praktek inilah yang kemudian diadopsi dan juga digunakan sampai saat ini di Indonesia.
136 Tentunya praktek yang demikian apabila dilakukan di Indonesia belum memperoleh dukungan dari ketentuan aturan hukum yang berlaku, berbeda halnya dengan Belanda yang ketentuan aturan hukumnya telah banyak mengalami perubahan sehingga dapat menggolongkan hak sewa sebagai suatu kebendaan. Cessie sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya merupakan suatu doktrin yang terkait dengan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merupakan salah satu cara memperoleh hak kebendaan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata. Karena suatu hak sewa belum dikategorikan sebagai suatu hak kebendaan di dalam sistem hukum Indonesia, maka sudah seharusnya pengalihannya tidak dapat dilakukan dalam bentuk Cessie. Lain halnya dengan sistem di Belanda yang telah mengkategorikan hak sewa sebagai suatu hak kebendaan, sehingga perolehannya dapat dilakukan salah satunya dengan cara Cessie. Dari beberapa pemaparan tersebut maka penulis dapat mengatakan bahwa telah terjadi insinkronisasi praktek kenotariatan pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan dengan aturan hukum perdata di Indonesia. Insinkronisasi ini terjadi karena para Notaris di Indonesia yang berpedoman terhadap praktek di Belanda tidak memperhatikan bahwa sistem hukum yang berlaku saat ini di Indonesia belum dapat mengakomodiir praktek pengalihan hak sewa terkait dengan penjaminan sebagai bentuk Cessie, sebagaimana aturan hukum yang berlaku di Belanda. Aturan hukum di Indonesia belum mengakomodiir hak sewa sebagai suatu hak kebendaan dan salah satu cara memperolehnya dengan bentuk Cessie, sementara di
137 Belanda hak sewa sudah dianggap sebagai suatu hak kebendaan dan dapat diperoleh salah satunya melalui Cessie.
138 BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Dari berbagai pemaparan dan uraian yang terdapat di bab-bab sebelumnya maka
terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil berkaitan dengan permasalahan yang diangkat di dalam Tesis ini, antara lain : 1.
Hak sewa dapat lahir dari suatu perjanjian sewa menyewa yang objeknya adalah tanah kosong dan juga tanah yang sudah disertai dengan bangunan. Pihak yang melakukan hak sewa atas tanah kosong dan nantinya mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, nantinya pihak tersebut aadalah seorang pemilik kebendaan dari bangunan tersebut, khususnya karena adanya suatu asas pemisahan horizontal yang dikenal dalam sistem kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia. Bagi pemilik hak sewa yang mendirikan bangunan rumah susun di atasnya, tiap-tiap kepemilikan unit rumah susun nantinya akan di buktikan dengan suatu SKBG sarusun, yang oleh undang-undang memang menentukan bisa dijaminkan secara fidusia. Namun ketentuan tersebut hanya berlaku untuk bangunan rumah susun, dan dalam praktek counter yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Untuk
bangunan
gedung non sarusun pemenuhan asas
publisitasnya menurut pendapat penulis dipenuhi dengan adanya suatu sertifikat laik huni sebagaimana diatur di dalam Pasal 37 ayat (2) UU Bangunan Gedung. Sedangkan untuk bangunan non gedung dan juga non satuan rumah susun
139 seperti rumah tinggal dan rumah joglo, menurut pandangan penulis maka suatu IMB dapat dikatakan menjadi dasar dari kepemilikan bangunan di atas suatu tanah hak sewa sekaligus sebagai unsur publisitas yang akhirnya kemudian mengkategorikan bangunan tersebut sebagai suatu hak kebendaan yang dapat dijaminkan 2.
Pengalihan hak sewa yang biasanya dilakukan sebagai penunjang dalam penjaminan kebendaan di atas hak sewa tersebut sebagai suatu jaminan piutang dalam perjanjian kredit seharusnya dilakukan bukan dengan suatu akta Cessie. Hal ini dikarenakan suatu hak sewa tidak dapat digolongkan sebagai objek pengalihan yang ada di dalam ketentuan aturan hukum yang terkait dengan Cessie, yaitu ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan tersebut mengatur mengenai pengalihan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya. Kebendaan tak bertubuh yang dimaksud di dalam redaksional Pasal ini mengacu pada suatu “hak” yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan juga kebendaan. Dapat dikatakan demikian karena ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata merupakan salah satu cara memperoleh hak milik atas benda tidak berwujud sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata dan karenanya pengaturannya terdapat di dalam ketentuan buku II KUHPerdata yang bersifat tertutup mengenai kebendaan. Namun, dikarenakan terdapat suatu kebiasaaan yang juga dipandang tidak memiliki suatu dampak negatif di dalam praktek kenotariatan maka pengalihannya biasa dilakukan dengan bentuk suatu akta Cessie.
140
5.2
Saran Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab
sebelumnya terhadap permasalahan yang dikaji dalam tesis ini maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: 1.
Kepada pembuat undang-undang penting untuk diingat bahwa diperlukan suatu konsep dan juga aturan hukum baru yang bersifat sebagai suatu unifikasi konsep bagi pemenuhan asas publisitas terhadap bangunan yang ada di atas suatu tanah sewa dan juga mengenai penegasan dari sifat hak sewa sebagai suatu hak kebendaan. Unifikasi ini ini diperlukan karena tanpa adanya suatu dokumen yang memang menerangkan bahwa bangunan tersebut merupakan milik dari seseorang tentunya akan sulit untuk membuktikan atau mengatakan bahwa bangunan tersebut memang miliknya dan akan terdapat ketidakpastian dalam pemenuhan asas publisitas. Penguasaan terhadap bangunan tersebut tidaklah cukup, karena pemenuhan asas publisitas bagi suatu kebendaan melalui penguasaan hanya berlaku untuk suatu benda bergerak. Dengan adanya suatu konsep yang sama dalam pemenuhan asas publisitas pemilikan bangunan di atas tanah milik orang lain, maka kepastian hukum dalam usaha menjaminkan kebendaan itu akan lebih terjamin. Adanya penegasan terhadap ketentuan
141 tersebut akan mengangkat derajat hak sewa, sehingga pemiliknya dapat memperoleh keuntungan dari hak tersebut yang objeknya bisa jadi merupakan suatu benda bernilai ekonomis melalui penjaminan. Selain itu apabila hak sewa digolongkan sebagai suatu hak kebendaan barulah pengalihannya apabila terkait dengan jaminan dapat dikategorikan sebagai Cessie. 2.
Kepada praktisi kenotariatan hendaknya diperhatikan bahwa suatu pengalihan hak sewa yang terkait dengan proses penjaminan kebendaan bangunan yang diatasnya hendaknya tidak dilakukan dengan bentuk suatu Akta Cessie. Hal ini dikarenakan objek hak sewa merupakan suatu hak kebendaan, sementara menurut konsep hukum perdata di Indonesia hak sewa merupakan tergolong sebagai suatu hak perseorangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumya.