1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada dekade terakhir ini, kasus anak yang melakukan tindak kejahatan semakin mengkhawatirkan. Sering terdengar berita tentang anak di bawah umur melakukan tindak kriminal. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa tahun 2013 yang lalu, terjadi hampir 4.000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Sebanyak 3.722 anak tersebar di 14 Lembaga Pemasyarakatan Anak (LP Anak). Terbatasnya jumlah LP Anak, memberi peluang anak berkonflik hukum berada di LP Dewasa dan Pemuda. Sementara, tindak kekerasan pada anak selama proses penyidikan maupun di LP masih banyak terjadi. Anak dinterogasi seperti lazimnya pada orang dewasa. Anak berkonflik dengan hukum sering tidak mendapat perlindungan yang wajar, dan tanpa bantuan hukum.1 Di wilayah hukum Polres Tegal pun terjadi fenomena yang sama di mana setiap tahun terjadi peningkatan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum baik anak sebagai pelaku tindak kejahatan maupun sebagai korban kejahatan. Menurut data di Polres Tegal, selama tahun 2012 sampai tahun 2014 terjadi 11 kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Pada kasus kejahatan anak yang berkonflik dengan hukum di Polres Tegal ternyata tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice.
1
http://www.puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859dc5a.pdf
2
Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diterapkannya diversi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum. Berdasarkan data temuan di Polres Tegal, maka dari 11 kasus anak yang berkonflik dengan hukum di Polres Tegal dari tahun 2012 sampai dengan 2014 terdapat 7 kasus yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategori
tindak
pidana
ringan
maka
pihak
Polres
langsung
mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku, sedangkan 4 (empat) kasus anak yang berkonflik hukum di Polres Tegal tetap diproses dengan diteruskan ke proses penuntutan di Kejaksaan Negeri Tegal. Pendekatan restorative justice sebenarnya mulai ditekankan di dalam Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki beberapa kriteria pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga musyawarah antar pelaku dan korban juga pada lembaga penegak hukum.
3
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru tersebut yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, terhadap anak dibawah umur delapan tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Namun dengan adanya Putusan No.1/PUU-VIII/2010 di mana di dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa 8 (delapan) tahun pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diganti menjadi 12 (dua belas tahun). Hal ini kemudian dikuatkan dengan disahkannya Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak. Akan tetapi sesuai pasal 108 dalam Undang-undang tersebut baru akan diberlakukan dua tahun setelah disahkan pada Juli tahun 2012 yakni Juli 2014 ini. Penekanan penggunaan pendekatan restorative justice melalui diversi pada kepolisian ini pun dipertegas di dalam Bab II tentang Diversi Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yakni di dalam Pasal 7 bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
4
perkara anak di pengadilan negeri, wajib diupayakan diversi dan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menerapkan diversi dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat menerapkan diversi secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum dan wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan seperti penganiayaan ringan, pencurian barang yang nilainya relatif kecil, dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice Retorative justice yang berlandaskan pada hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restorasi yang berlandaskan pemulihan terhadap korban. Hal ini merupakan usaha untuk mengubah paradigma legalistik yang sudah terdogma dalam pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka. Sedangkan proses hukum formal merupakan jalan terakhir dalam menangani Anak Konflik Hukum2. Dalam penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan semua pihak, termasuk pelaku sendiri3.
2 3
Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hal.12 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal.23
5
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimanakah fakta kondisi perlindungan anak pelaku kejahatan di Kabupaten Tegal?
2.
Apakah perlindungan dan penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice?
3.
Apakah terdapat hambatan-hambatan dalam penanganannya?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk memahami dan menganalisis fakta-fakta kondisi perlindungan anak pelaku kejahatan di Kabupaten Tegal.
2.
Untuk dapat menganalisis dan mengaplikasikan perlindungan dan penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice.
3.
Untuk memahami dan menganalisis hambatan-hambatan di dalam penanganan dan perlindungan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana anak, sistem peradilan pidana anak dan hukum acara pidana.
6
2.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit atau rekomendasi ataupun saran untuk digunakan para pihak yang berkepentingan baik praktisi, akademisi maupun aparat penegak hukum dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan restorative justice.
E. Metode Penelitian 1.
Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris di mana penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat tersebut dapat dikaji dari tingkat efektivitasnya hukum, kepatuhan terhadap hukum, peranan lembaga atau institusi hukum di dalam penegakan hukum, implementasi aturan hukum, pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya, pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum4. Di dalam penelitian ini akan mengkaji bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pelaku kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum sosiologis atau socio legal research, yaitu penelitian
4
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 20
7
hukum yang dilakukan cara meneliti data primer5 atau menurut pendapat Peter
Mahmud
Marzuki
bahwa
penelitian
sosio
legal
hanya
menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dalam hal demikian, hukum dipandang dari segi luarnya saja. Oleh karena itulah, di dalam penelitian sosio legal, hukum selalu dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitianpenelitian demikian, merupakan penelitian yang menitikberatkan pada perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.6 2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat deskriptif sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian. Penelitian menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Dengan kata lain penelitian ini hanya terbatas pada penggambaran satu atau lebih mengenai perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice di Polres Tegal tanpa perlu mengaitkan gejala-gejala tersebut dalam suatu penjelasan kausal.
3.
Sumber dan Jenis Data Sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut: a.
Bahan Hukum Primer, yaitu 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 14 6 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 87
8
4) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer 1) Makalah-makalah 2) Kepustakaan berupa buku literatur yang membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum melalui penmdekatan restorative justice.
c.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, terdiri dari 1) Kamus hukum 2) Kamus Besar Bahasa Indonesia 3) Artikel-artikel dan laporan-laporan dari media massa (Surat kabar, jurnal hukum, majalah dan sebagainya)
4.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer sebagai data utama. Data primer merupakan data yang berasal dari data lapangan yang diperoleh dari para responden yakni orang atau kelompok masyarakat yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti7 di
7
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit,. hal. 25
9
mana di dalam penelitian ini berupa wawancara dengan penyidik anak, anak pelaku kejahatan dan keluarga korban dan keluarga dari anak pelaku kejahatan. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder di mana data sekunder merupakan data yang tingkatannya kedua, bukan yang utama8, di mana dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperoleh data primer yang relevan guna menjawab permasalahan penelitian yakni perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice di Polres Tegal digunakan wawancara sebagai data utama. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yakni data primer berupa wawancara dan bahan-bahan hukum sebagai data sekunder yang dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Wawancara : pengumpulan data atau pencarian data dengan menggunakan wawancara secara langsung dan bebas terpimpin. Sebelum
wawancara
peneliti
mempersiapkan
pokok-pokok
pertanyaan, namun demikian hal tersebut tidak mengurangi kebebasan dalam proses wawancara, dengan para penyidik di wilayah hukum Polres Tegal, anak pelaku kejahatan, keluarga korban dan keluarga anak pelaku kejahatan yang berkaitan dengan
8
Ibid
10
penelitian mengenai perlindungan terhadap anak pelaku kejahatan melalui pendekatan Restorative Justice, dengan pengambilan sampel purposive random sampling (sampel bertujuan) yang dilakukan untuk memperoleh data utama dalam penelitian ini b.
Studi kepustakaan : pencarian data yang didasarkan bukti-bukti yang kuat yang dilakukan dengan cara mempelajari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dasar atau landasan yang bersifat teoritis dari permasalahan yang ada sekaligus untuk kepentingan analisis atas data primer yang telah ditemukan di dalam penelitian.
5.
Lokasi dan Subyek Penelitian Lokasi penelitian adalah di Polres Tegal, sedangkan subyek penelitian adalah penyidik anak di wilayah hukum Polres Tegal.
6.
Jalannya Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu sarana menemukan suatu kebenaran. Langkah-langkah yang ditempuh penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu a.
Tahap persiapan Dalam tahap ini dimulai dengan mengumpulkan bahanbahan kepustakaan dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian, kemudian dikonsultasikan dengan pembimbing
11
untuk memperoleh penyempurnaan serta melakukan penyusunan instrumen penelitian dan penyusunan ijin penelitian. b.
Tahap Pelaksanaan Tahap ini dilakukan dengan dua tahap yaitu 1) Pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan dengan mendatangi responden atau subyek penelitian untuk mengumpulkan data utama yang diperoleh dengan wawancara dengan kuisioner yang sudah disiapkan sebelumnya kepada penyidik di wilayah hukum Polres Tegal, anak pelaku kejahatan, keluarga korban dan keluarga anak pelaku kejahatan. 2) Pelaksanaan penelitian kepustakaan, kegiatan ini dilakukan sebagai pengumpulan data sekunder. Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
c.
Tahap Penyelesaian Tahap ini dilakukan berbagia kegiatan meliputi identifikasi masalah dan mengklasifikasi, menganalisis data penelitian, penulisan draft penelitian serta konsultasi pembimbing kemudian dilakukan penyusunan akhir.
7.
Analisis Data Data yang telah dikumpulkan, dikelompokkan, diseleksi dna selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif
12
dengan cara menginterpretasikan data berdasarkan teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan dan pengertian hukum.
F. Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka A.Pengertian Anak B. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum C. Hak dan Kewajiban D.Restorative Justice E. Teori Yang Digunakan
Bab III
Hasil Penelitian dan Pembahasan A.Hasil Penelitian B. Pembahasan
Bab IV
Penutup A.Kesimpulan B. Saran-saran
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Anak Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa (minderjarig) apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya ia sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak kurang dari 9 (sembilan) tahun.9 Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan Zakiah Daradjat berpendapat bahwa batas usia anak dan dewasa berdasarkan pula remaja yang menyatakan pula bahwa masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa di mana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka
9
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, hal, 82
14
bukan lagi anak-anak bentuk badan sikap berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa.10 Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun demikian diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.
B.
Pengertian Anak Yang Berkonflik dengan Hukum Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak, anak korban dan anak saksi. Pengertian anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum yang dimuat di dalam Pasal 1 angka 3 bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak, adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Adapun perbedaan perumusan pengertian anak antara Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Anak dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak tidak disyaratkan belum pernah kawin dan tidak menggunakan istilah anak nakal, namun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.11 Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan Hukum adalah anak yang
10
Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 84 11 Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta: Laksbang Grafika, hal. 19
15
melakukan perbuatan yang dilarang di masyarakat ; dan disebut sebagai “anak nakal” ; sebagai pelaku tindak pidana, anak dipandang juga sebagai korban, setidaknya korban salah asuhan, korban lingkungan yang tidak bersahabat, atau korban bujukan orang dewasa untuk melakukan kejahatan12. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka atau dituduh telah melanggar Undang-undang Hukum Pidana13. Fenomena anak konflik hukum di masyarakat diartikan sebagai perbuatan yang menyimpang, dengan memberikan anggapan negatif terhadap mereka. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku anak konflik hukum. Faktor yang menonjol antara lain dikarenakan gagalnya orang tua atau masyarakat dalam memenuhi keinginan anak. Kondisi ini menimbulkan kecenderungan anak memenuhi keinginan sendiri dengan cara, kemampuan, dan persepsi yang dianggap tepat baginya. Dalam penanganan anak konflik hukum sering dijumpai adanya Aparat Penegak Hukum masih kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana
dalam
kaidah-kaidah
perlindungan,
penghargaan,
pengembangan, dan pemenuhan hak anak konflik hukum. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
12
HAL. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 137 13 Ibid
16
1.
Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.
Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
3.
Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
4.
a.
non diskriminasi;
b.
kepentingan yang terbaik bagi anak
c.
hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
d.
penghargaan terhadap pendapat anak
Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
17
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 5.
Pasal 16, menentukan bahwa: a.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
b.
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
c.
Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
6.
Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk a) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan, b) mendapatkan
perlakuan
secara
manusiawi
dan
penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa, c) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, d) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum
18
7.
Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
8.
Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara
ekonomi
dan/atau
seksual,
anak
yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lain-nya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran 9.
Pasal 64, menentukan bahwa: Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui: a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. c. penyediaan sarana dan prasarana khusus. d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak. e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
19
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual,
anak
yang
diperdagangkan,
anak
yang
menjadi
korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
20
melalui: 1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. 2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini. 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus. 4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga. 7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.14 Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:
14
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003), hal. 2
21
1.
Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2.
Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum
C.
Hak dan Kewajiban Anak Hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan anak berhak atas suatu naka sebagai identitas diri dan status kewaganegaraan. Setiap anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua. Pasal
7
Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak menyebutkan 1.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
22
2.
Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku Setiap anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai keseusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristiraat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Sedangkan anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasim bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejehtaraan sosial
23
Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari 1.
penyalahgunaan dalam kegiatan pemilu
2.
pelibatan dalam sengketa bersenjata
3.
pelibatan dalam kerusuhan sosial
4.
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
5.
pelibatan dalam peperangan Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak mengatur bahwa 1.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
2.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara yang baik dan berguna
3.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan
4.
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar Negara,
berkewajiban
pemerintah, dan
masyarakat,
bertanggung
jawab
keluarga terhadap
dan
orang
tua
penyelenggaraan
perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah
24
terhadap anak diuraikan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan
Anak
bahwa
negara
dan
pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati, dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Perlindungan hukum bagi anak diatur dalam Pasal 68 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu sebagai berikut : 1.
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual
merupakan
kewajiban
dan
tanggung
jawab
pemerintah dan masyarakat 2.
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi tersebut dilakukan melalui a. Penyebarluasan
dan/atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
25
b. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi dan c. Perlibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual d. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
D.
Restorative Justice Penegasan penggunaan Restoratif justice di dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dirumuskan didalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menentukan bahwa di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif . Restorative justice adalah sebuah model yang menekankan kepada perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat. Restorative justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan
26
menggunakan
kesadaran
dan
keinsyafan
sebagai
landasan
untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat.15 Pengertian Restoratiuve Justice di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebut sebagai Keadilan Restoratif yang diartikan di dalam Pasal 1 ayat (6) bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan Restorative justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan lebih manusiawi sebagai model pemidanaan terhadap anak, yang lebih mengedepankan pemulihan atau penggantian kerugian yang dialami korban daripada penghukuman pelaku. Proses penyelesaian perkara pidana anak bukan semata-mata menghukum anak namun bersifat mendidik dan yang penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana. Restorative justice menggeser nilai filsafati penanganan anak dari penghukuman menuju rekonsiliasi, pembalasan terhadap pelaku menuju penyembuhan korban, pengasingan dan kekerasan menuju keperansertaan dan kekerabatan masyarakat keseluruhan, destruktif yang negatif menuju ke perbaikan, pemberian maaf yang sarat dengan limpahan kasih.16 Fokus utama peradilan restoratif adalah untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga 15
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta: Laksbang Grafika, hal. 161 16 Abintoro Prakoso, Op Cit, hal. 162
27
merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif17.
Penerapan model
restorasi justice dilaksanakan melalui diversi yang diatur didalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pengertian Restorative justice menurut Marlina adalah sebagai proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara18. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan 17 18
M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 47 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 25
28
kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan kerugian yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya. Keadilan restoratif menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Tujuan utama restorative justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi
29
pelaku,
korban
dan
masyarakat.
Restorative
justice
bertujuan
memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran dan
keinsyafan
bermasuyarakat. kesejahteraan
sebagai
landasan
Restorative masyarakat,
untuk
justice memperbaiki
juga
memperbaiki
kehidupan
bertujuan
merestorasi
manusia
sebagai
anggota
masyarakat dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya. Korban yang biasanya terabaikan dalam proses peradilan, berperan serta dalam proses peradilan19. Restorative justice telah berkembang secara global di seluruh dunia. Di banyak negara restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus-menerus dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka timbul beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. Restorative justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan anak yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan merupakan bagian penting dari konsep restorative 19
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2005, Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation), Kumpulan Tulisan, Jakarta, hal. 66
30
justice. Konsep restorative justice bukanlah merupakan sebuah konsep yang sudah mantap dan sempurna, untuk menerapkannya dengan baik dalam sebuah tatanan masyarakat suatu negara harus dibangun konsep yang sesuai dengan akar budaya masyarakat negara tersebut. Ketika konsep ini diterapkan maka banyak pertimbangan yang harus disesuaikan dengan budaya dari masyarakat, karena salah satu pihak yang menjadi pelaksananya adalah masyarakat itu sendiri. Banyak versi konsep restorative justice diterima, bahwa pengadilan dapat menjatuhkan sanksi restorative sebagai ganti rugi resmi, melakukan kerja yang hasilnya untuk dana korban, atau kerja sosial dengan mempertimbangkan contoh sebagai berikut : 1.
Korban dan masyarakat setempat tidak dipersiapkan untuk setuju pada keadaan yang tidak adil terhadap pelaku. Mediasi antara korban dan pelaku tidak dapat dipaksakan sehingga seorang hakim hendaknya memutuskan untuk melaksanakan restorative justice.
2.
Pelaku bisa menolak untuk menerima tindakan restorative justice yang rasional, karena korban dan masyarakat tidak dapat memaksakan hal itu. Pilihan hanya untuk hakim untuk menjatuhkan sanksi. Namun sanksi yang dijatuhkan juga dapat berupa restorative justice.
3.
Ada beberapa pelanggaran yang sungguh-sungguh serius sehingga berdampak pada masyarakat lokal. Suatu intervensi publik memaksa atau sanksi oleh peradilan pidana mungkin lebih tepat sebagai rasa kekhawatiran korban dan masyarakat, sehingga aspek restorative justice tetap ada walaupun prosesnya dijalankan lembaga peradilan pidana. Isi
31
dari sanksi yang diputuskan harus diutamakan untuk kebaikan dan penyembuhan semuanya, kalau perlu mungkin pelaku dapat ditahan, namun itu harus diberi kesempatan restorative justice. Mengapa kita tidak menyebut hasil dari restorative justice sebagai hukuman? hal itu karena tidak ada tujuan atau maksud untuk membuat pelaku memperoleh penderitaan. Kepentingan restorative justice dan beban hanyalah
sisi
akibat
lain
dari
tindakan
restorative
justice.
Ketidakkenakan pada pelaku mungkin dan kadang merupakan konsekuensi dari kewajiban restorative justice, tapi tidak bermaksud mengakibatkan supaya menderita/luka. Restorative justice tidak melihat apa yang menjadi perasaan pelaku, sepanjang haknya sebagai warga negara dihormati dan sebuah konstribusi yang wajar dibuat untuk menyembuhkan kerugian, penderitaan, kegelisahan masyarakat yang diakibatkan kejadian itu20. Prinsip-prinsip dalam keadilan restoratif (Restorative Justice) meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.
Membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya
2.
Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif
20
Ibid, hal. 208
32
3.
Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya
4.
Menciptaan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah
5.
Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal21
E.
Teori Yang Digunakan Teori digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk menganalisis dan menerapkan pendekatan restorative justice dalam kasus penyelesaian tindak pidana anak adalah teori perlindungan hukum dan Model Restorative Justice. 1.
Teori Perlindungan Hukum Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang disasarkan pada teori ini yaitu masyarakat yang berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis.22 Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut theorie van de wettelijke bescherming dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz.23
21
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Modul Keadilan Restoratif, hal.358 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press, hal. 259 23 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Ibid. 22
33
Secara gramatikal, perlindungan adalah tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi. Memperlindungi adalah menyebabkan atau
menyebabkan
berlindung.
Arti
berlindung
meliputi
(1)
menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, (2) bersembunyi atau (3) minta pertolongan. Sementara itu, pengertian melindungi meliputi (1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2) menjaga, merawat atau memelihara, (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan24. Pengertian perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang tercantum dalam perundang-undangan berikut ini. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga telah disajikan rumusan tentang perlindungan bahwa perlindungan adalah “segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”. Tujuan perlindungan adalah memberikan rasa aman bagi korban. Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, tenteram, tidak merasa takut atau khawatir terhadap suatu hal. Sementara itu, yang hendak memberikan perlindungan meliputi pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya
24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 526
34
Menurut
Satjipto
Rahardjo,
perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak yang diberikan oleh hukum25. Sedangkan Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan sebagai berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang26. Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi dua bentuk yaitu a. Perlindungan yang bersifat preventif Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif sehingga perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang
25
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hal. 54 Maria Theresia Geme, 2012, Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Atau Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, hal. 99 26
35
berkaitan dengan azaz freies ermessen dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. b. Perlindungan represif Perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakat yang dikelompokkan menjadi dua badan yakni pengadilan dalam lingkup peradilan umum dan instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.27 2.
Model Restorative Justice Model restorative justice di negara-negara common law sangatlah beragam28 sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara penggunaan inisiatif
27
Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, hal. 2 28 Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, hal. 127
36
polisi atau pun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan. Jim Dignan, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan
retributif,
yang
penekanan
utamanya
adalah
pada
penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan ‘keadilan distributif’, yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah ‘keadilan restoratif’, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
37
Restorative justice dianggap sebagai salah satu cara untuk memediasi antara korban dan pelaku kejahatan dalam usaha untuk menyelesaikan permasalahan, yang mende-pankan kepentingan korban di atas yang lainnya. Namun demikian, berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukan oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah mediasi antara korban dan pelaku yang menekankan kepentingan korban dari pada yang lain. Lagi pula, dalam ajaran restorative justice, kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan memuaskan para pihak. Jim Dignan memberikan pandangan bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan tiga poin penting yakni, bahwa pertama, pendekatan restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada praktek restorative justice di lapangan dan ketiga, hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana.29 Selain pandangan Jim Dignan mengenai model restorative justice tersebut, Jon Braithwaite mempunyai pandangan adanya 2 model
29
Ridwan Mansyur, Op Cit, hal. 130
38
restorative justice yaitu partially integrated twin track model restorative justice dan a systemic model of restorative justice30. Model pertama yakni partially integrated twin track model restorative justice oleh John Braithwaite digambarkan dalam diagram sebagai berikut :
ASSUMPTION Incompetent or irrational INCAPACITATI
Rational actor
Virtuous actor
DETERRENCE
RESTORATIVE JUSTICE
Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice Jon Braithwaite Di dalam model pertama ini, John Braithwaite menggambarkan bahwa proses restorative justice berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya
30
Braithwaite, The Political agenda of republican criminology, paper yang dipresentasikan pada British Criminological Society Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001, hal. 18-21
39
negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice. Sedangkan model restorative justice kedua dari Jon Braithwaite digambarkan di dalam gambar berikut:
ASSUMPTION Incorrigible actor who is Determined to inflict serious Harm on others
Serious or persistence Repeat offender
Recalcitrant offender Or unwilling victim
Most offenders
INCAPACITATIO
COURT IMPOSED PRESUMPTIVE RESTORATIVE
COURT IMPOSED
INFORMAL RESTORAIVE JUSTICE PROCESS OR REPARATIVE OUTCOMES
Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon Braithwaite Di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada sistem peradilan pidana pada model kedua ini pertama kali dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan
40
maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah
mengantisipasinya
dengan
menggunakan
prinsip
active
deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan dari pada penyelesaian berdasarkan restorative justice31. Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau pun sebegai alternatif pilihan bagi para pihak. Namun bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis tetap harus menggunakan daya paksa yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan baik bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan yang dapat diberikan.32
31 32
Ibid, hal, 18-21 Ibid, hal. 18-21
41
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1.
Struktur Organisasi Kepolisian Resor Tegal Kepolisian Resor Tegal dipimpin oleh Kepala Kepolisian Rolres Tegal yang disingkat Kapolres Tegal dalam pelaksanaan tugas dalam bidang penegakan hukum dalam hal ini hukum pidana yang dibantu oleh Kasat Reserse Kriminal / Reskrim. Adapun tugas pokok Kasat Reskrim sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik lapangan dan pembinaan,koordinasi dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dalam melaksanakan tugasnya Kasat Reskrim dibantu oleh Kepala Urusan Pembinaan Operasional Reskrim yang di singkat KBO Reskrim dan Kepala Urusan Adminitrasi dan Tata Usaha (Kaurmintu). Kasat Reskrim Polres Tegal dalam melaksanakan tugasnya membawahi 6 (enam) unit operasional yang dipimpin oleh seorang Kepala Unit ( Kanit ) yaitu:
42
a.
Kanit I Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Umum;
b.
Kanit II Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Ekonomi;
c.
Kanit III Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi;
d.
Kanit IV Idik yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana tertentu;
e.
Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yaitu melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terhadap Perempuan dan Anak;
f.
Kanit Identifiasi yaitu melaksanakan tugas identifikasi terhadap barang bukti dan para pelaku dalam suatu tindak pidana.
2.
Visi dan Misi Kepolisian Resor Tegal. a.
Polri sebagai integral Negara Kesatuan Republik Indonesia terus menata diri dan memperbaiki citra untuk benar-benar menjadi pelindung, pelayan masyarakat dan penegak hukum, langkahlangkah untuk mereformasi tubuh Polri mulai digulirkan dari tingkat pusat sampai daerah. Untuk itu Kepolisian Resor Tegal beserta jajarannya akan melakukan perubahan-perubahan dalam pelayanan, pengayoman dan perlindungan masyarakat serta penegakkan hukum terhadap masyarakat.
43
b.
Pembangunan di Kabupaten Tegal
perlu didukung oleh aparat
keamanan khususnya Kepolisian Resor Tegal dengan Undangundang Kepolisiannya memiliki saripati sebagai pelayanan, pengayom, pelindung masyarakat dan penegak hukum. c.
Daerah Hukum Kepolisian Resor Tegal mempunyai tugas sebagai penyangga
Kabupaten
Tegal
yang
merupakan
salah
satu
pemerintahan di Jawa Tengah dan merupakan daerah industri, pariwisata dan pertanian di mana perputaran ekonomi dan sirkulasi uang sangat tinggi. Semua merupakan tugas yang harus menjadi perhatian serius bagi aparat kepolisian khususnya Kepolisian Resor Tegal. 3.
Dasar Hukum Unit PPA Tegal a.
Unit Pelayanan Perempuan dan anak (UPPA) di tingkat Polres di bawah Kasat reskrim, sebagaimana tercantum dalam pasal 46 huruf d Bab II Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Tingkat Polres.
b.
Unit Pelayanan Perempuan dan anak (UPPA) di tingkat Polsek di bawah Kanit Reskrim, sebagaimana tercantum dalam paragraf 3 pasal 111 ayat (3) bab 111 Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Tingkat Polsek.
c.
Dengan adanyaa Peraturan Kapolri Nomor 21, 22, 23 Tahun 2010 tentang OTK Polri, uutuk Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) dan
44
Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2008 tentang TUK RPK (pembentukan Ruang Pelayanan Khusus) masih tetap di berlakukan 4.
Tugasdan Fungsi Unit PPA a.
Tugas UUPA UPPA bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlndungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.
b.
Fungsi UUPA Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Unit PPA menyelenggarakan fungsi 1) Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum. 2) Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana 3) Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait
c.
Lingkup UPPA Lingkup tugas Unit PPA meliputi tindak pidana terhadap perempuan dan anak, yaitu 1) Perdagangan orang (human trafficking) 2) Penyelundupan manusia (people smuggling) 3) Kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga) 4) Susila (perkosaan, pelecehan, cabul) 5) Vice (perjudian dan prostitusi) 6) Adopsi ilegal, pornografi, dan pornoaksi
45
7) Money laundering dari hasil kejahatan tersebut di atas 8) Perlindungan anak (sebagai korban/tersangka) 9) Perlindungan korban, saksi, keluarga, dan teman 10) Kasus – kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak 5.
Data Kasus Anak yang Ditangani PPA Tegal Data Kasus Perempuan Dan Anak Yang Ditangani UPPA Polres Tegal Tahun 2012 NO
TINDAK PIDANA
JUMLAH
1.
Perlindungan Anak
35 Perkara
2.
KDRT
25 Perkara
3.
Bawa Lari Perempuan
1
Perkara
4.
Perkosaan
4
Perkara
5.
Aborsi
1
Perkara
6.
Pornografi
1
Perkara
7.
Perkawinan terhalang
1
Perkara
8.
Pencurian
13 Perkara
9.
Penganiayaan
6
Perkara
10
Perbuatan Tidak Menyenangkan
2
Perkara
11.
Penghinaan
1
Perkara
12.
Pengeroyokan
2
Perkara
13.
Penipuan dan Penggelapan
1
Perkara
JUMLAH
94 Perkara
46
Data Kasus Perempuan Dan Anak Yang Ditangani UPPA Polres Tegal Tahun 2013 NO
6.
TINDAK PIDANA
JUMLAH
1.
Perlindungan Anak
11 Perkara
2.
KDRT
6 Perkara
3.
Bawa Lari Perempuan
1
4.
Perkosaan
8 Perkara
5.
Aborsi
1 Perkara
6.
Pornografi
- Perkara
7.
Perkawinan terhalang
- Perkara
8.
Pencurian
7 Perkara
9.
Penganiayaan
9 Perkara
10
Perbuatan Tidak Menyenangkan
- Perkara
11.
Penghinaan
1
12.
Pengeroyokan
2 Perkara
13.
Penipuan dan Penggelapan
1
JUMLAH
47 Perkara
Perkara
Perkara
Perkara
Data Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan oleh Anak di Polres Tegal Di bawah ini disajikan data perkara tindak pidana anak di Polres Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai berikut :
47
Jenis Tindakan Pidana Kekerasan terhadap anak Pencurian HP olah anak 16th Perkelahian anak Pengrusakan sepeda motor oleh anak 16 th Perkelahian anak Kekerasan sesama anak Perkelahian antar anak Pencurian oleh anak
Pasal yang dilanggar Pasal 80 UUPA Pasal 362 KUHP Pasal 80 UUPA Pasal 406 KUHP
Pencabulan oleh anak 10 Pemerasan oleh anak 11 Pencurian helm oleh anak
Pasal 81, 82 UUPA Pasal 368 KUHP Pasal 362 KUHP
No 1 2 3 4
5 6 7 8
9
Pasal 80 UUPA Anak Pasal 80 UUPA Pasal 170 KUHP Pasal 362 KUHP
Penyelesaian
Keterangan
Restorative Justice Restorative Justice Restorative justice Restorative justice
Keluarga pelaku meminta maaf kekeluargaan
Restorative Justice diversi
damai
Diversi
damai Korban memaafkan
Korban memaafkan Mediasi
Diteruskan ke kejaksaan diproses
Mall menolak damai
Dilanjutkan peradilan Dikembalik an kepada orang tua
Kejahatan berat
Ancaman 5 th
Orang tua pelaku tergolong keluarga tidak mampu sehingga tidak mampu mengembalikan kerugian korban
Sumber: Unit PPA Polres Tegal 7.
Data Penyelesaian Kasus Perkara Pidana Yang dilakukan Oleh Anak di Polres Tegal Data penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polres Tegal dari tahun 2010 sampai dengan 2013
48
No
Tahun 2012 2013 5 16
2010 8
2011 12
5
8
5
12
10
11
Jumlah 36 Sumber : Unit PPA Polres Tegal
1
2 3
4
8.
Saran Petugas Diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku Diberikan pidana bersyarat Dilakukan restorative justice demi kepentingan masa depannya Dikembalikan kepada orang tua nya
Jml 41
% 27.7
10
28
18,9
7
13
42
28,4
7
9
10
37
25
37
26
49
148
100
Data Anak Pelaku Tindak Pidana di Polres Tegal Tahun 2013 No 1
Usia 12 th
Tindak Pidana Kekerasan
16 th 17 th
Pencurian Kekerasan
4 5
Nama Dedi Setiawan bin Tarlin Zaenal Arifin Sarah Matahemual Warja Nursitin
14 th 16 th
6
Sanusi bin Ratmo
15 th
Kekerasan Pengrusakan sepeda motor Perkelahian
7
Ozi
16 th
kekerasan
8
Tarmin
12 th
9
Septian
16 th
10
Nursana
17 th
Perkelahian antar pelajar Melakukan pencurian di Mall perampasan
11
Saipul
15 th
Pencabulan
2 3
Sumber; Diolah dari Unit PPA Polres Tegal
Keterangan restorative justice Kekeluargaan restorative justice Berdamai Kekeluargaan, Restorative justice Restorative justice Tidak dilanjutkan Mall menolak berdamai, pidana berat hukuman 5 th Dilanjutkan ke peradilan
49
9.
Kasus Perkara Anak Yang Diselesaikan melalui Pendekatan Restorative Justice di Polres Tegal Peristiwa yang dilaporkan adalah bahwa pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2013 pukul 17.00 WIB di rumah pelapor telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin umur 16 tahun, dengan cara tersangka datang ke rumah korban tiba-tiba meminta untuk tinggal di rumah korban karena tersangka sudah dianggap keluarga lebih kurang satu bulan selanjutnya tiba-tiba tersangka pergi tidak pamit dan ternyata tersangka mengambil barang berupa, satu buah HP Nokia dan atas kejadian tersebut korban merasa dirugikan dan melaporkan ke Polres Tegal Maka Polres Tegal dengan pertimbangan untuk kepentingan penyidikan tindak pidana, dipandang perlu mengeluarkan surat perintah penyidikan. Dasar dikeluarkannya surat perintah penyidikan adalah adanya laporan Polisi maka diperintahkan kepada untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP atas nama tersangka Zaenal Arifin umur 16 tahun, pekerjaan pelajar, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal dan membuat Rencana Penyidikan serta melaporkan setiap perkembangan pelaksanaan penyidikan tindak pidana tersebut kepada Kapolres Tegal.
50
Proses penyidikan dilanjutkan dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Saksi Pelapor. Saksi diperiksa dan dimintai keterangan selaku Saksi dalam perkara pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dan dalam berita acara pemeriksaan terhadap saksi tersebut, saksi memberikan keterangan antara lain bahwa Saksi diperiksa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan akan memberikan keterangan sebenar-benarnya dan Saksi mengerti diperiksa dan dimintai keterangan selaku saksi dalam perkara pidana mengambil barang milik orang lain tanpa seizin dari pemiliknya/pencurian biasa yang terjadi di sumah saksi sendiri di mana tersangka datang ke rumah korban tiba-tiba meminta untuk tinggal di rumah korban karena tersangka sudah dianggap keluarga lebih kurang satu bulan selanjutnya tiba-tiba tersangka pergi tidak pamit dan ternyata tersangka mengambil barang berupa satu buah HP Nokia dan atas kejadian tersebut korban merasa dirugikan dan melaporkan ke Polres Tegal. Namun
setelah
proses
mengajukan Surat permohonan
pemeriksaan
saksi,
Saksi
korban
untuk tidak melanjutkan perkara ini
dibuat oleh pihak korban dalam tindak pidana pencurian Dalam surat permohonan yang diajukan kepada Kapolres Tegal ini berisi permohonan bahwa sehubungan dengan adanya Laporan Polisi yang dilaporkan oleh Saksi Korban atau Pemohon sendiri bahwa telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal
51
Arifin, umur 16 tahun, pekerjaan pelajar pendidikan terakhir SD kelas 4, agama Islam, suku Jawa, warga negara Indonesia, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal Surat permohonan untuk mencabut perkara dengan alasan bahwa pelaku masih anak-anak dan masa depan masih panjang, anak tersebut melakukan tindak pidana pencurian namun tidak mengerti akibat hukumnya. Pemohon juga menyatakan bahwa Pelaku tersebut telah menyadari kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan orang tua pelaku juga telah mengganti kerugian materi sebesar Rp. 3.300.000,- dan atas permasalahan tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam penyelesaian mengenai tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh tersangka yang masih tergolong anak-anak, para pihak yakni pihak korban dengan pihak para tersangka kemudian membuat 2 (dua) buah surat pernyataan Kedua surat pernyataan ini merupakan perjanjian antara para pihak Tersangka dengan pihak korban dalam tindak pidana pencurian yang terjadi Yang dilaporkan oleh Saksi Korban, di mana peristiwanya adalah bahwa telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin, umur 16 tahun, pekerjaan pelajar pendidikan terakhir SD kelas 4, agama Islam, suku Jawa, warga negara Indonesia, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal
52
Pihak pertama yakni pihak tersangka yakni orang tua yang mewakili tersangka sedangkan pihak kedua atau Saksi korban di mana Surat Pernyataan ini berisi bahwa sehubungan Tersangka Zaenal Arifin anak dari pihak pertama telah melakukan perbuatan kurang baik terhadap pihak kedua yang mengakibatkan kerugian materi sebesar Rp. 3.300.000 maka kedua belah pihak telah melaksanakan musyawarah kekeluargaan dengan hasil kesepakatan sebagai berikut : a.
Pihak kedua menerima dan memaafkan pihak pertama
b.
Pihak pertama siap untuk mengembalikan uang sebesar tersebut di atas paling lambat 2 (dua) bulan setelah penandatanganan surat pernyataan ini
c.
Pihak kedua menerima jangka waktu tersebut dan tidak akan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib
d.
Permasalahan ini selesai dan kedua belah pihak akan tetap menjalin hubungan silaturahmi Surat pernyataan ini ditandatangani oleh masing-masing pihak
dan bermeterai. Tahap
berikutnya adalah dibuatnya Berita Acara Restorative
Justice antara Pihak Pelaku Zaenal Arifin dengan Pihak Saksi korban yang difasilitasi oleh Penyidik Polres Tegal di mana telah melakukan upaya restorative justice berupa pertemuan musyawarah di Kantor UUPA Sat Reskrim Polres Tegal yang dihadiri oleh Para Korban/Pelapor dengan Pihak Terlapor orang tua Tersangka Zaenal Arifin, umur 16 tahun yang
53
beralamat di Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal sebagai Terlapor. Restorative justice inipun dihadiri oleh Tokoh Masyarakat desa setempat Dalam perkara Laporan Polisi di mana Pelapor melaporkan bahwa telah terjadi tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan korban Pelapor sendiri yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin, umur 16 tahun, alamat Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal Adapun hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah bahwa kedua belah pihak yakni terlapor dan pelapor berhasil mencapai kesepakatan musyawarah dan pihak pelapor menyatakan tidak menuntut Terlapor dan mencabut laporannya serta tidak akan melanjutkan ke proses secara hukum pidana
B. Pembahasan 1.
Fakta Kondisi Perlindungan Anak Pelaku Kejahatan di Kabupaten Tegal Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort Tegal menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Tegal tidak semua berkasnya dilimpahkan ke
54
Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban dan pelaku melakukan perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa kasus sebagian besar berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan dimana korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan perdamaian dengan adanya surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan33. Namun masih banyak kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan kepolisian untuk menerapkan keadilan restoratif dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana belum dipergunakan secara maksimal. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan pendekatan restoratif dalam menangani perkara anak. Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan pendekatan restoratif secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus
33
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
55
pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan pendekatan restoratif dengan melibatkan keluarga korban dan tokohtokoh masyarakat setempat34. Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Tegal, bahwa: “Untuk diterapkannya restorative justice pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak, biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau narkoba semua dilimpahkan dan diteruskan ke kejaksaan dan diproses melalui proses hukum yang berlaku. Namun biasanya yang pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di Polres dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”35. Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat dengan membaca Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia di mana dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai penerapan restorative justice dalam proses penyidikan anak pelaku tindak pidana. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar hukum pidana. Pasal 16 ayat (1) menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara 34 35
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
56
Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umum
pejabat
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pernyataan ini bertentangan dengan Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan dalam kasus
orang
di
bawah
umur,
prosedur
yang
dipakai
harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. Oleh karena itu, semestinya setiap anak yang melakukan tindak pidana tetap harus diterapkan pendekatan restorative justice tanpa memandang berat kecil dan jenis tindak pidana yang dilakukan si anak. Namun terkadang dalam melaksanakan tugasnya, seperti fakta yang terjadi di Polres Tegal, kepolisian tidak menawarkan penerapan restorative justice dengan berbagai alasan. Selain pihak keluarga korban
57
juga tidak bersedia melakukan perdamaian, berat dan jenis tindak pidana maupun karena keengganan pihak kepolisian untuk menerapkan pendekatanm restorative justice tersebut Berdasarkan temuan di lapangan, ditemui juga fakta bahwa tidak dilakukannya pendekatan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan perdamaian melalui jalur restorative justice. Sehubungan hal tersebut, Kapolres Tegal mengatakan bahwa: “Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya, terutama kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara korban dan pelaku memilih penyelesaiannya melalui jalan perdamaian, karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarutlarut, namun sebagian besar kasus tetap diproses penuntutan. Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang mengatakan bahwa: “Mengingat kasus yang ditangani oleh penyidik Polres Tegal cukup banyak, maka untuk efisiensi dan kecepatan penanganan perkara, memang ada beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, penyidik menerapkan konsep keadilan restoratif yang tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan kecil, tidak menimbulkan
58
korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan restorative justice”36. Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik, yang mengatakan bahwa: “Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang ada beberapa kasus yang kami selesaikan dengan melalui pendekatan restorative justice, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus anak yang kami tangani kami selesaikan melalui pendekatan restorative justice, terutama kasus-kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti curanmor, penganiayaan berat tetap kami proses sesuai ketentuan yang berlaku”. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas tentunya kenyataan di lapangan seseorang
yang menjalani
pemidanaan pada lembaga
pemasyarakatan (yang tujuannya memberikan efek jera), ternyata setelah kembali ke masyarakat, orang yang bersangkutan justru terdidik menjadi pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang yang telah menjalani pemidanaan tetap saja mengulangi perbuatan (pidana) atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana, sehingga perlu dicari cara lain yang lebih dapat menjamin penyelesaian kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi prinsip
36
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 19 Agustus 2014
59
keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud adalah dengan pendekatan keadilan restoratif. Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal lebih banyak menggunakan positivisme yakni ke jalur pengadilan, namun ada beberapa yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, meskipun belum sepenuhnya,
terutama bagi anak pelaku tindak
kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 7 (tujuh) tahun. Diharapkan dengan diberlakukannya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagi anak pelaku tindak pidana meskipun ancamannya kurang dari 7 (tujuh) tahun, tetap diterapkan pendekatan restorative justice, mengingat masa depan anak yang masih dapat berkembang melalui pendidikan dan pembinaan dari berbagai pihak. 2.
Perlindungan dan Penanganan Anak Pelaku Kejahatan di Polres Tegal Yang Menggunakan Pendekatan Restorative Justice Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, terhadap anak dibawah umur delapan
60
tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut. Penyidikan terhadap anak Yang Berhadapan dengan Hukum berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa
tersangka
anak,
penyidik
tidak
memakai
pakaian
seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah anak,
maka
juga
sebenarnya
sangat
penting
kehadiran
orang
tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada diri si anak.
61
Apabila
dipandang
perlu,
penyidik
juga
dapat
meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara.37 Garis besar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum juga telah diatur di dalam Bab III Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum yakni penyidik di dalam menanganai anak sebagai pelaku kejahatan menerima pelaporan ataupengaduan dari seseorang atau menemukan sendiri adanya tindak pidana.. setelah menerima pelaporan atau menemukan sendiri, penyidik segera melakukan penyidikan untuk mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ditemukan cukup bukti segera diterbitkan Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penyidikan. Kemudian Kepala Unit PPA menunjuk penyidik atau beberapa orang penyidik yang disesuaikan dengan kasus dan jenis kelamin anak. 37
Paramita dan Tamba BIT, Perlindungan Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana pada Tahap Penyidikan, Jurnal Hukum No 1 Januari 2003, hal. 29
62
Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada BAPAS dan meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sebelum melakukan pemanggilan kepada anak, sebagai pelaku tindak pidana, penyidik wajib memeriksa terlebih dahulu pelapor dan para saksi termasuk konsultasi dengan ahli. Pemanggilan kepada anak wajib mempertimbangkan dampak psikologi atau lainnya. Anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dipanggil atau tertangkap tangan langsung dibawa ke ruang pelayanan khusus pada unit PPA. Dalam hal polisi terpaksa melakukan penangkapan tindakan tersebut harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan janka waktu penangkapan tidak lebih dari 12 jam Terhadap
anak
yang
tertangkap
tangan
penyidik
wajib
memberitahukan kepada keluarga, wali, orang tua asuh, penasehat hukum, advokat dan BAPAS dalam waktu 11x12 jam. Pemeriksaan awal terhadap anak wajib memperhatikan kondisi kesehatan dan kesiapan anak. Pemeriksaan terhadap anak dapat dilakukan apabila anak dalam kondisi kesehatan baik dalam hal anak dalam kondisi tidak sehat, baik fisik maupun psikis, maka penyidik wajib menunda pemeriksaan awal terhadap anak.
63
Penyidik melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi kesehatan anak jika perlu merujuk ke puskesmas, rumah sakit, pusat pelayanan terpadu (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) dan psikolog Waktu pemeriksaan anak untuk pembuatan BAP tidak lebih dari empat jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari. Diusahakan untuk menghadirkan orang tua anak, wali dan penasehat hukum dan selama melakukan pemeriksaan, penyidik wajib memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan dengan pendekatan efektif, afktif/kasih sayang dengan simpatik. Dalam proses penilaian terhadap anak dan kasusnya penyidik mengumpulkan informasi dalam suasana kekeluargaan dan dalam melakukan penyidikan penyidik wajib segera meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan dalam waktu 1x12 jam dan apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya Penentuan identitas anak sebagai pelaku khususnya terkait dengan unsur anak sedapat mungkin dibuktkan dengan akte kelahiran/surat lahir atau surat keterangan lainnya yang sah seperti ijazah, buku rapor, kartu keluarga dan surat keterangan dari RT, RW dan sebagainya Dalam hal dicapai kesepakatan maka hasil kesepakatan tersebut ditandatangani oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, pelaku,
64
orang tua/wali, korban/orang tua/wali, tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru namun dalam hal tidak dicapai kesepakatan, proses hukum tetap dilanjutkan dan penyidik segera melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum dengan melampirkan hasil kesepakatan. Berdasarkan temuan di lapangan dikaitkan dengan pengaturan perlindungan terhadap anak yang herhadapan dengan hukum, tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice. Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga penerapan pendekatan restorative justice belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak penyidik kepolisian belum sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice Dari data temuan di dalam hasil penelitian seperti kasus perkara pencurian HP yang dilakukan oleh tersangka Zaenal Arifin yang berusia 16 tahun, diuraikan bahwa ada beberapa perkara anak yang diselesaikan melalui restorative justice, sebagian lagi diproses melalui proses litigasi dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa
65
kasus juga yang mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang dikembalikan kepada orang tuanya oleh pihak penyidik Kepolisian Resort Tegal melalui pendekatan restorative justice Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun seperti pencabulan, pemerasan, pencurian dengan pemberatan Ada juga yang melalui pidana bersyarat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana namun keluarga korban menolak untuk memaafkan dan menolak untuk berdamai, akhirnya pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses litigasi namun pada akhirnya anak tersebut dijatuhkan pidana bersyarat Sebagian besar kasus anak yang berhadapan dengan hukum di Polres Tegal yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategori tindak pidana ringan maka pihak Polres langsung mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku.
66
3.
Hambatan-hambatan dalam Penanganan Anak Pelaku Kejahatan di Polres Tegal Yang Menggunakan Pendekatan Restorative Justice Pendekatan restorative justice sebenarnya
mulai ditekankan di
dalam Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki beberapa kriteria pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga musyawarah antar pelaku dan korban juga pada lembaga penegak hukum. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru tersebut yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui diversi di mana diversi merupakan pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melapaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan Pendekatan Restorative Justice melalui diversi tersebut dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada
67
tahap
pelaksanaan
putusan.
Penerapan
ini
dimaksudkan
untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut38, sehingga diharapkan melalui penerapan diversi dampak proses peradilan yang ditimbulkan dapat diminimalisir, terutama dalam penanganan anak yang terlibat di dalam tindak pidana. Proses penyidikan sendiri dari mulai penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan, di mana semua proses dan tahapan peradilan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak yang pada akhirnya akan mengganggu proses belajar pendewasaan anak serta melanggar hak-hak anak, meski anak tersebut diduga melakukan suatu tindak pidana. Di dalam proses penyidikan anak sebenarnya Undang-undang telah menetapkan agar anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan melalui pendekatan Restorative Justice melalui diversi, di mana penyidikan merupakan titik tolak yang mempengaruhi kepribadian anak, ia dapat menjadi baik atau sebaliknya, oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kesatuan khusus kepolisian yang terlatih dalam melayani dan menanganai tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam diterapkannya pendekatan Restorative Justice dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah antara lain sifat dan kondisi perbuatan, pelanggaran yang sebelumnya dilakukan, derajat keterlibatan anak dalam
38
Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Tegal, 18 Agustus 2014
68
kasus, sikap anak terhadap perbuatan tersebut, reaksi orangtua dan/atau keluarga anak terhadap perbuatan tersebut dan
dampak perbuatan
terhadap korban. Namun dalam penelitian ini di mana Kepolisian Resor Tegal belum secara maksimal menerapkan pendekatan restorative justice dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di mana dasar hukum penerapan restorative justice melalui diversi ini dalam proses penyidikan diatur di dalam Pasal 18 ayat 1 huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian pada TR Kabareskrim Nomor Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD. 3 terdapat pengertian mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian
yang bersifat
proses pidana
formal
ke alternatif
penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/ profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia..
69
Sebenarnya ada beberapa jenis diversi yang secara garis besar terdiri dari tiga jenis yaitu peringatan, informal, dan formal. Peringatan diberikan oleh Polisi untuk pelanggaran ringan. Informal, untuk pelanggaran ringan dimana dirasa kurang pantas apabila hanya diberikan peringatan. Adapun pada diversi formal, korban dan pelaku bertemu muka, suatu peristiwa yang dikenal dengan Restorative Justice. Namun dalam penerapan diversi pada penelitian ini Kepolisian Resor Tegal selaku penyidik menggunakan diversi baik yang formal maupun yang informal Di dalam penerapan pendekatan restorative justice oleh pihak penyidik terhadap anak yang melakukan berhadapan dengan hukum, ditemui kendala yakni antara lain : a.
Penerapan pendekatan restorative justice dianggap oleh sebagian pihak tidak akan menyelesaikan masalah, seperti dari pihak korban atau pihak penyidik sendiri, apalagi untuk tindak pidana yang dianggap berat oleh sebagian masyarakat seperti pencurian, penganiayaan sampai pembunuhan. Seperti di dalam penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice oleh Kepolisian Resor Tegal ini, sebenarnya
melibatkan lebih dari seorang
tersangka, karena tersangka Zaenal Arifin yang berusia 16 tahun dikenalkan oleh temannya kepada pihak keluarga korban yang telah merencanakan kejahatannya sebelumnya, bahkan kalau penyidikan
70
ini dikembangkan maka akan melibatkan lebih banyak tersangka lagi. Oleh karena itu, kalau suatu tindak pidana dapat diselesaikan secara tuntas, mestinya diselesaikan sampai jalur ke pengadilan, dan pengadilanlah yang menentukan apakah tindak pidana tersebut dapat diterapkan pendekatan restorative justice atau tidak. b.
Meski penerapan pendekatan restorative justice mengandung banyak keuntungan yang memihak perlindungan HAM anak dan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, oleh karena itu perlu benar-benar direalisasikan dan direspon oleh pihak terkait demi kepentingan semua pihak, terutama yang berhubungan dengan proses peradilan seperti penyidikan, penuntutan hingga ke muka persidangan. Walau pada dasarnya bisa dilakukan pada setiap tahap pemeriksaan, tetapi pada kenyataannya tidak semua aparat penegak hukum mau melaksanakan pendekatan restorative justice ini. Seperti penerapan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan, tidak semua anggota kepolisian yang satu suara atau sepakat dalam penerapan pendekatan restorative justice ini dengan berbagai alasan. Keberatan juga datang dari pihak korban adalah sebab lain mengapa dalam perkara yang melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum tidak selalu ditempuh melalui upaya restorative justice. Meski banyak mengandung kelebihan dan kemanfaatan bagi anak, tak urung pendekatan restorative justice yang notabene adalah penyelesaian
71
non-litigasi ini pula tidak lepas dari kendala dari berbagai unsur. Berdasarkan studi di Polres Tegal dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tak semua korban atau keluarga korban mau menerima cara penyelesaian restorative justice ini hingga diperlukan pendekatan oleh pihak penyidik kepada berbagai pihak, terutama pihak korban. Alasan yang sering dikemukakan oleh pihak korban adalah keinginan untuk membuat pelaku kapok jika dimasukkan dalam penjara. Alasan lain adalah kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah kejahatan yang diancam dengan pidana yang berat, penegak hukum kurang mendukung perdamaian. Selain itu, tidak ada petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum untuk mengimplementasi cara penyelesaian non-litigasi ini. c.
Ketidaksempurnaan penyelesaian melalui penerapan pendekatan restorative justice ini ‘meninggalkan’ berbagai jejak yang tak jelas seperti penanganan yang tidak selesai dan kenyamanan dari masyarakat yang kurang setuju dengan penerapan pendekatan restorative justice ini. Seperti dalam proses pendekatan restorative justice terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di Kepolisian Resor Tegal dalam penelitian ini, yang dikhawatirkan pelaku akan mengulangi lagi perbuatan pencurian tersebut kelak, karena tidak adanya unsur jera di dalam penerapan restorative justice.
72
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Fakta kondisi perlindungan anak pelaku kejahatan di Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa masih banyak kasus yang diteruskan ke kejaksaan sehingga dapat dikatakan kewenangan kepolisian untuk menerapkan Restorative Justice dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana belum dipergunakan secara maksimal. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan pendekatan restoratif dalam menangani perkara anak. Tidak dilakukannya pendekatan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan perdamaian melalui jalur restorative justice
2.
Perlindungan dan penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal yang menggunakan pendekatan Restorative Justice, berdasarkan temuan ternyata tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice. Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga penerapan pendekatan restorative justice belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang
73
bermasalah dengan hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa pihak penyidik kepolisian belum sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice 3.
Hambatan-hambatan dalam penanganan anak pelaku kejahatan di Polres Tegal dengan menggunakan Pendekatan Restorative Justice adalah a.
Penerapan pendekatan restorative justice dianggap oleh sebagian pihak tidak akan menyelesaikan masalah, seperti dari pihak korban atau pihak penyidik sendiri, apalagi untuk tindak pidana yang dianggap berat oleh sebagian masyarakat seperti pencurian, penganiayaan sampai pembunuhan.
b.
Tidak semua aparat penegak hukum mau melaksanakan pendekatan restorative justice ini. Seperti penerapan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan, tidak semua anggota kepolisian yang satu suara atau sepakat dalam penerapan pendekatan restorative justice ini dengan berbagai alasan.
c.
Ketidaksempurnaan penyelesaian melalui penerapan pendekatan restorative justice ini ‘meninggalkan’ berbagai jejak yang tak jelas seperti penanganan yang tidak selesai dan kenyamanan dari
74
masyarakat yang kurang setuju dengan penerapan pendekatan restorative justice ini.
B. Saran 1.
Pendekatan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sudah ditegaskan di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yakni pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengamanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, sehingga pihak penyidik anak semestinya dapat menerapkan pendekatan ini kepada semua tersangka yang masuk kategori usia anak agar mengutamakan pendekatan restorative justice.
2.
Setelah proses penerapan restorative justice kepada para tersangka tindak pidana yang melibatkan anak-anak, perlu dipikirkan mengenai tindak lanjut dari penerapan restorative justice, agar para tersangka yang masih kategori anak-anak tidak mengulangi perbuatannya dan dapat kembali kepada lingkungan masyarakat, tidak tersisihkan karena perbuatannya, serta dapat kembali belajar agar dapat mengembangkan dirinya untuk meraih masa depan
75
DAFTAR PUSTAKA
Abintoro Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta: Laksbang Grafika Asri Wijayanti, 2011, Strategi Penulisan Hukum, Bandung, Lubuk Agung Braithwaite, The Political Agenda of Republican criminology, paper yang dipresentasikan pada British Criminological Society Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth International Conference of the International Network for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19 September 2001 Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia H. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo M. Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung; Refika Aditama Maidin Gultom, 2012, Perlindungan Hukum terhadap anak dan Perempuan, Bandung: Refika Aditama Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2005, Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation), Kumpulan Tulisan, Jakarta Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Rajawali Press
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur: Bandung
Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum acara Pidana Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Internet http://www.puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859 dc5a.pdf
77
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN 1.
Judul Penelitian
2.
Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP/NIPY d. Jabatan Fungsional e. Fakultas/Jurusan Jumlah Anggota Peneliti Nama
3.
4. 5.
: Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Kejahatan melalui Pendekatan Restorative Justice (Studi Kejahatan Yang Dilakukan oleh Anak di Polres Tegal)
Jangka Waktu Penelitian Pembiayaan
: Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H. : Perempuan : 14861051974 : Asisten Ahli : Hukum/Ilmu Hukum : 2 (dua) orang : 1) DR. Hamidah Abdurrachman. S.H., M.Hum 2) Soesi Idayanti, S.H., M.H. : 3 bulan (Juni, Juli, Agustus 2014) : Rp. 4.000.000,- Dana LPPM Rp. 2.000.000,- Dana dari Peneliti Rp. 1.000.000,- Dana Kantor Advokat Dyah Irma Permanasari & Asfad Romli Association Rp. 1.000.000,Tegal, Juni 2013
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum
Peneliti,
Mukhidin, S.H., M.H. NIPY. 51521071961
Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H. NIPY. 14861051974
Menyetujui Kepala LPPM Universitas Pancasakti Tegal
Dr. Dino Rozano, M.Pd NIP. 19530404 198803 1 001
78
TIM PENYUSUN PENELITIAN
1. Ketua
: Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H.
NIPY
: 14861051974
Jabatan Akademik
: Asisten Ahli
Fakultas
: Hukum
2. Anggota
: DR. Hamidah Abdurrachman. M.Hum
NIPY
: 195610221983032002
Jabatan Akademik
: Lektor Kepala
Fakultas
: Hukum
3. Anggota
: Soesi Idayanti, S.H., M.H.
NIPY
: 11552781064
Jabatan Akademik
: Lektor
Fakultas
: Hukum
79
LAPORAN HASIL PENELITIAN
ITAS PANCA RS
UNIV
KTI SA
E
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU KEJAHATAN MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE (Studi Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Anak di Polres Tegal)
TEGAL
Oleh : Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H. NIPY. 14861051974 DR. Hamidah Abdurrachman. S.H., M.Hum. NIP. 195610221983032002 Soesi Idayanti, S.H., M.H. NIPY. 11552781064
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2014
80
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa karena atas perkenanNya penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI POLRES TEGAL ini. Laporan Penelitian ini merupakan salah satu bentuk kewajiban selaku Dosen pada Universitas Pancasakti Tegal guna menambah wawasan dan wacana bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca dan khususnya lagi kepada dunia akademik. Pada kesempatan ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihakpihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini, 1. Rektor Universitas Pancasakti Tegal, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal 2. Bapak Mukhidin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal 3. Bapak DR. Dino Rozano, M.Pd., selaku Kepala LPPM Universitas Pancasakti Tegal 4. Segenap Dosen dan Karyawan di Universitas Pancasakti Tegal yang telah membantu kelengkapan penyelesaian skripsi ini 5. Pimpinan dan Staf di jajaran Polres Tegal yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di lingkungan Polres Tegal. 6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Akhir kata, sumbang saran dan kritik dari pembaca sekalian untuk penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan, dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat. Amiin.
Tegal, Agustus 2014 Peneliti
81
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
..................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN .............................
ii
HALAMAN TIM PENYUSUN PENELITIAN
………………………….
iii
KATA PENGANTAR......................................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………..
5
C. Tujuan Penelitian ………………………………………..
5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….
5
E. Metode Penelitian ……………………………………….
6
F. Sistematika Penulisan BAB II
…………………………………..
12
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………..
13
A. Pengertian Anak …………………………………………
13
B. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum …….
14
C. Hak dan Kewajiban
Anak …………………………….
21
……………………………………..
25
E. Teori Yang Digunakan ………………………………….
32
D. Restorative Justice
82
BAB III
HASIL PENELITIAN …………………………………………
41
A. Hasil Penelitian
………………………………………..
41
…………………………………………..
53
PENUTUP …………………………………………………….
72
A. Kesimpulan ………………………………………………
72
B. Saran-saran
………………………………………….
73
Daftar Pustaka ………………………………………………………………
75
B. Pembahasan BAB IV
LAMPIRAN-LAMPIRAN
83
LAMPIRAN RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN
A. PEMASUKAN 1.
Dana dari LPPM
Rp. 2.000.000,-
2.
Dana dari peneliti pribadi
Rp. 1.000.000,-
3.
Dana dari Kantor Advokat Dyah Permanasari & Asfad Romli Association
Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pemasukan
Rp. 4.000.000,-
B. PENGELUARAN 1.
2.
3.
4.
Honor Peneliti a.
Staff Peneliti
Rp. 1.500.000,-
b.
Tenaga Lapangan
Rp.
900.000,-
Alat Tulis a.
Kertas HVS
Rp.
35.000,-
b.
Tinta
Rp.
30.000,-
c.
Cartridge
Rp.
285.000,-
d.
Flashdisk
Rp.
125.000,-
e.
Buku Tulis
Rp.
50.000,-
f.
Kertas Folio
Rp.
15.000,-
g.
Foto Copy
Rp.
100.000,-
Transport dan Komunikasi a.
Survey Lapangan
Rp.
500.000,-
b.
Komunikasi
Rp.
300.000,-
Publikasi a.
Penjilidan
Rp.
60.000,-
b.
Publikasi
Rp.
200.000,-
Jumlah Pengeluaran
Rp. 4.000.000,-
84
85
TIME SCHEDULE PENELITIAN NO
KEGIATAN 1
1
Persiapan
2
Survey Pendahuluan
3
Penyusunan Proposal
4
Pengajuan Proposal
5
Penelitian Lapangan
6
Wawancara
7
Analisis Data
8
Penyusunan Laporan
9
Publikasi
JUNI 2 3
4
1
JULI 2 3
4
AGUSTUS 1 2 3 4