BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Alun-alun merupakan sebuah lapangan yang luas dan dikelilingi oleh pohon-pohon berupa pohon beringin atau pohon lainnya serta memiliki sepasang pohon beringin di tengahnya; dapat berupa lapangan berumput maupun lapangan berpasir (Paulus,1917). Keberadaan Alun-alun dapat kita temui dalam perkembangan kota-kota berlatar belakang Kerajaan di Pulau Jawa; dan berkembang seiring dengan perkembangan fungsi yang terjadi di masyarakat. Alun-alun berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota tersebut, dengan karakter yang berbeda-beda di setiap kotanya (Handinoto, 1992). Sebuah kota yang mempunyai identitas adalah kota yang memiliki tujuan masa depan dan kenangan masa lalunya.
Adanya sejarah yang membentuk suatu kota,
seperti bermula dari sebuah bentuk kerajaan, dapat menggoreskan sedikit demi sedikit identitas suatu kota (Kartikawening, 2001). Identitas kota merupakan citra kota yang terbentuk bersama waktu yang menjadikan kota berwajah, bersuasana dan bermakna. Kehadiran konsep ruang Alun-alun ini sudah ada semenjak jaman prakolonial atau jaman kerajaan; yaitu semenjak jaman Kerajaan Majapahit sampai dengan jaman Kerajaan Mataram (sekitar abad 13 -18). Keberadaan Alun-alun di masa lalu ini melibatkan keberadaan elemen kekuasaan, yaitu Keraton serta keberadaan tempat untuk beribadah (candi). Tata letak keberadaan alun-alun adalah di utara keraton, dan pada sisi barat atau timur alun-alun terdapat tempat 1
beribadah atau pemujaan. Pada era Mataram Islam peran tempat beribadah berupa candi digantikan dengan masjid yang terletak disisi barat dari alun-alun. Alun-alun merupakan titik temu dari beberapa elemen, yaitu Keraton sebagai elemen kekuasaan; masjid sebagai elemen religi; dan pasar sebagai kegiatan ekonomi. Konsep pertemuan dari keempat elemen tersebut, yaitu Alun-alun, Keraton, Masjid, dan Pasar dikenal sebagai konsep “Catur gatra tunggal”. Konsep ini kemudian diyakini sebagai konsep yang selalu melandasi terbentuknya kota Jawa lama yang berlatarbelakang sebuah kerajaan (Ikaputra, 1995). Alun-alun pada masa yang lalu memiliki fungsi sentral dimana seluruh
elemen inti pembentuk kota akan bertemu, baik secara simbolik maupun riil. (Notosusanto dalam Koesmartadi, 1985). Keraton dan masjid selalu terletak di dekat
Alun-alun, sedangkan pasar terletak di arah dan lokasi yang berbeda terhadap Alun-alun. Ketiga elemen pertama, yaitu : Keraton, Masjid dan Alun-alun merupakan pusat kesakralan dan kosmologi yang melambangkan kekuatan politik, kehidupan spiritual dan sebagai tempat penyelenggaraan upacaraupacara tradisional keraton maupun keagamaan. Dalam konteks kota (urban), Alun-alun termasuk dalam ruang terbuka kota; yaitu merupakan salah satu dari beberapa elemen pembentuk suatu kawasan
perkotaan.
Pada
kenyataan
fisiknya
alun-alun
hampir
selalu
mempunyai bentuk segi empat, jajaran genjang atau hampir bujur sangkar. Alunalun berbentuk segi empat atau hampir bujur sangkar karena adanya konsep “Mancapat” yang dianut oleh Orang jawa sebagai pusat orientasi spasial (Zoetmulder, 1935 dalam P. Wiryomartono, 1995). Konsep “Mancapat” adalah konsep yang berdasarkan empat arah mata angin; yaitu ara utara, arah timur, arah selatan dan arah barat. Konsep empat arah mata angin ini dipegang dan 2
dijadikan pedoman oleh orang Jawa pada masa lalu untuk diterapkan pada berbagai tatanan kehidupan sehari-hari; misalnya sebagai pedoaman pada tata ruang rumah tinggal sampai pada tatanan sebuah kawasan, termasuk Alun-alun. Proses perkembangan kota sampai pada dewasa ini menempatkan keberadaan Alun-alun sebagi ruang terbuka (“square”) kota yang dapat dimanfaatkan sebagai wadah berkegiatan masyarakat kota; baik berupa kegiatan yang bersifat periodik sampai pada kegiatan yang bersifat temporer. Kegiatan yang dilakukan disini juga sangat beragam, baik kegiatan yang bersifat aktif maupun pasif, kegiatan komersial maupun non komersial, serta kegiatan yang dilakukan secara berkelompok maupun kegiatan yang bersifat individual. Adanya perubahan yang terjadi di dalam sebuah Alun-alun terkait dengan fungsinya; dimana pada awalnya adalah sebagai ruang privat sebuah keraton dan pada saat ini berkembang menjadi ruang publik kota, tidak akan terlepas dari sejarah panjang dari perkembangan sebuah Keraton itu sendiri dalam menjadi sebuah kota yang majemuk. Bisa dikatakan bahwa Alun-alun tidak akan terlepas dari perubahan jika ada elemen-elemen utama pembentuk kota yang lain mengalami perubahan (Ikaputra, dalam Cecilia Kristywulan, 2003). Salah satu model kota yang dapat dilihat sebagai prototype kota berlatar belakang kerajaan di Pulau Jawa pada jaman pra-kolonial yang lebih muda adalah
Kota
Yogyakarta.
Berawal
sebagai
pusat
Kerajaan
Kasultanan
Yogyakarta, Kota Yogyakarta pada saat ini berkembang menjadi sebuah kota yang sangat majemuk dengan segudang predikat yang melakat padanya. Mulai dari predikat sebagai kota pendidikan, sebagai kota perjuangan, sampai dengan sebagai kota pusaka budaya yang membuktikan bahwa keberadaan atau kehadirannya mempunyai arti dan harus tetap terjaga citranya. 3
Sebagai model dari kota lama di Pulau Jawa, Kota Yogyakarta juga memiliki Alun-alun pada pusat kotanya. Keberadaan Alun-alun di Yogyakarta ini tidak bisa lepas dari adanya tata rakit Keraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Alun-alun menjadi elemen penting dalam membentuk struktur utama pusat pemerintahan kerajaan Keraton Yogyakarta pada masa lalu. Yang menarik dari Alun-alun di Yogyakarta adalah keberadaan atau munculnya Alun-alun Selatan. Konsepsi/keberadaan Alun-alun Selatan ini dapat memberikan ciri yang membedakan Kota Yogyakarta dengan kota lainnya. Hampir sama dengan Kota Surakarta (solo) yang mempunyai dua buah Alun-alun, namun di Yogyakarta Alun-alun Selatan dibuat lebih kecil dan terletak di dalam tembok benteng Keraton Yogyakarta. Alun-alun Selatan disini nampak seperti halaman belakang dari Keraton Yogyakarta. Pada Alun-alun Selatan tidak temukan lagi adanya konsep “Catur Gatra Tunggal” seperti pada Alun-alun Utara yang memang dipersiapkan sebagai sarana hubungan Keraton dengan Kota (dunia luar). Ide atau gagasan mengenai Alun-alun Yogyakarta pada masa lalu dipengaruhi oleh kesakralan Keraton Kasultanan Yogyakarta memang sulit dilepaskan dari unsurunsur misteri dan mitos yang mendasari konsepsi filosofi tatanan/susunan Keraton Yogyakarta. Kepercayaan pada waktu itu meyakini bahwa Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah dua sumber kekuatan gaib. Dengan demikian tata rakit Keraton tidak boleh membelakangi Gunung Merapi dan Laut Selatan. Guna menghormati kedua sumber kekuatan gaib tersebut maka pada sisi utara dan selatan Keraton di buat sebuah Alun-alun. Alun-alun Utara, selain sebagai konsepsi “Catur Gatra Tunggal” juga sebagai penghormatan kepada Gunung Merapi; sedangkan Alun-alun Selatan dibuat sebagai sebagai penyeimbang Alun-alun Utara serta penghormatan kepada laut Selatan. Dengan Adanya dua 4
buah Alun-alun tersebut Keraton seolah-olah menghadap ke utara dan selatan. Semenjak Keraton berdiri pasca perjanjian Giyanti pada tahun 1755, masyarakat meyakini adanya sumbu imajiner antara jagad cilik (mikro kosmos) dengan jagad gedhe (makro kosmos) Keraton itu. Sumbu itu berupa poros yang memanjang dari Pantai Selatan ke Gunung Merapi. Sebuah poros berupa garis lurus dari Selatan ke Utara melewati Panggung Krapyak – Keraton Yogyakarta – Tugu – terus ke puncak Gunung Merapi. Poros ini sekarang dipercaya menjadi garis imajiner dari konsepsi filosofis cikal bakal terbentuknya kota Yogyakarta. Bentuk tata ruang berdasar garis imajiner ini dimaknai dengan Sangkan Paraning Dumadi – Manunggaling Kawulo Gusti, yang menggambarkan proses dari kelahiran seorang manusia menuju dewasa sampai kemudian akan kembali lagi kepada sang pencipta. Sejumlah tempat yang berada dalam garis imajiner tersebut merupakan simpul sosial, budaya dan ekonomi kegiatan Keraton pada masa lalu.
Gambar 1.1 Konsepsi Filosofis Sumbu Imajiner Kota Yogyakarta Sumber : FGD haribakti PU DIY ke-63, 2013
5
Proses perjalanan dan perkembangan kota seiring dengan waktu membuat Kota Yogyakarta berubah. Berawal dari kota yang homogen (kerajaan) menjadi kota yang heterogen (menyandang berbagai predikat). Perkembangan Kota Yogyakarta pada saat ini terkesan semrawut; hal ini dapat dilihat pada beberapa fenomena perkembangan, yaitu : berawal dari kota yang damai dan tenang menjadi kota yang hiruk pikuk dan dimana-mana macet; dari kota yang sejuk menjadi kota yang panas; serta dari kota yang berbudaya menjadi kota yang
komersial.
Hal
ini
dapat
terjadi
dikarenakan
perencanaan
dan
pengembangan Kota Yogyakarta tidak memadukan konsep Yogyakarta pada masa lalu, pada masa kini dan pada masa mendatang. “Kalau Yogyakarta ingin tetap terjaga citranya, akar budaya dan sejarah tidak boleh ditinggalkan” (KGPH Hadiwinoto, 2000). Pemikiran tersebut dikemukakan dalam diskusi rangkaian
“Parade Karya Arsitektur” yang bertema Citra Kota Yogyakarta : Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Mendatang di Keraton Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut KGPH Hadiwinoto mengatakan bahwa sejarah awal kota, merupakan akar bagi pertumbuhan kota selanjutnya. Pengembangan kota yang dinamis tetap tidak boleh kehilangan akar sejarah dan budayanya (Kedaulatan Rakyat, 2000).
Perkembangan Kota Yogyakarta juga berimbas pada perkembangan kedua Alun-alun kota Yogyakarta. Alun-alun yang dulu merupakan halaman privat sebuah Keraton kini berkembang menjadi area publik bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Bahkan kegiatan-kegiatan informal pendukung komersial mulai tampak dan tumbuh di Alun-alun Kota Yogyakarta. Bila dibandingkan antara Alun-alun Utara dengan Alun-alun Selatan pada saat ini, maka dapat dilihat bahwa aktivitas/kegiatan publik di Alun-alun Selatan nampak lebih hidup dan 6
berkembang dengan sendirinya. Alun-alun Selatan saat ini menjadi salah satu orientasi kegiatan publik bagi masyarakat Yogyakarta dan masyarakat luas. Segala bentuk kegiatan dan atraksi didalamnya mampu memberi warna bagi Kota Yogyakarta dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan; sehingga Alun-alun selatan dapat menjadi salah satu tujuan wisata Kota Yogyakarta. Dalam buku Toponim Yogyakarta (Dinas Pariwisata, Yogyakarta, 2007) di jelaskan bahwa pada era kerajaan atau pra-kolonial Alun-alun Selatan disebut dengan istilah “pengkeran”, (bentuk krama) dari “mburi” (belakang), yaitu merupakan halaman belakang privat Keraton Yogyakarta. Seluruh bagian Alunalun Selatan berada di dalam area benteng Keraton. Keberadaan ini berbeda dengan Alun-alun Utara yang merupakan peralihan antara area luar dan dalam benteng Keraton, dimana Alun-alun Utara merupakan penghubung antara istana dengan kota (gambar 1.2). Ukuran Alun-alun Selatan ini juga lebih kecil dibandingkan dengan Alun-alun Utara, atau sekitar 160 x 160 meter. Alun-alun Selatan pada masa ini berupa ruang terbuka berbentuk lapangan persegi empat yang tertutupi oleh pasir halus, serta memiliki pembatas berupa pagar dinding. Alun-alun ini memilki dua beringin di tengahnya dan diberi pagar pada tiap beringinnya; dan disebut dengan beringin “Supit Urang”. Selain sepasang beringin “Supit Urang” terdapat sepasang beringin lagi yang terdapat pada pertemuan/simpul lapangan Alun-alun dengan jalan yang mengarah ke selatan (ke arah Plengkung Nirbaya / Plengkung Gading) yang disebut dengan beringin “Wok”. Lapangan Alun-alun Selatan dikelilingi oleh pohon Pakel dan Kweni serta pohon Gayam. Semua pohon dan tatanannya di lapangan Alun-alun Selatan pada masa lalu memiliki makna khusus yang mendukung keberadaan Alun-alun 7
Selatan sebagai konsepsi dasar filosofis di bentuknya tata rakit Keraton Yogyakarta.
Gambar 1.2 Peta Kasultanan Yogyakarta pada awal dirancang (sekarang menjadi KCB “Jeron Beteng”) Sumber : FGD haribakti PU DIY ke-63, 2013
Fungsi dari Alun-alun Selatan pada masa lalu (masa kerajaan) adalah sebagai wadah kegiatan-kegiatan privat dari Keraton Yogyakarta, seperti untuk berlatih prajurit Keraton sampai dengan sebagai jalur prosesi dalam upacara pemakaman jenazah seorang Sultan yang akan dimakamkan ke Pajimatan Imogiri. Alun-alun Selatan dipergunakan untuk membantu mempersiapkan acaraacara yang akan digelar di Alun-alun Utara, misalnya acara Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Ini merupakan upacara ritual keagamaan Keraton yang disesuaikan dengan peristiwa penting dalam Islam. Alun-alun 8
Selatan melambangkan kesatuan kekuasaan yang sakral antara raja dengan para bangsawan yang tinggal di sekitar Alun-alun Selatan. Dengan demikian keberadaan serta segala bentuk aktivitas dan kegiatan di Alun-alun Selatan lebih bersifat intern dan oleh pihak-pihak dalam KeratonYogyakarta.
Gambar 1.3 Situasi & Kondisi Alun-alun Selatan di Sekitar Beringin Kurung tahun 1920 Sumber : Koleksi Foto Jogja Tempo Doeloe - gudeg net
Kondisi Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta pada saat ini berbeda dengan kondisi Alun-alun Selatan pada masa lalu. Pada area Alun-alun Selatan pada saat ini terdapat lapangan berumput yang ditengahnya terdapat dua pohon beringin. Lapangan ini dikelilingi oleh jalan aspal yang tersambung dengan lima jalan/akses keluar-masuk Alun-alun. Disamping jalan aspal yang mengelilingi lapangan juga terdapat perkerasan sebagai jalur pejalan kaki/pedestrian ways. Didalam Alun-alun Selatan pada saat ini berkembang berbagai aktivitas publik oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Perkembangan atau perubahan pada kondisi Alun-alun Selatan ini seiring dengan adanya perkembangan dinamika kehidupan Kota Yogyakarta. Berbagai macam kegiatan publik dan atraksi oleh masyarakat muncul dan berkembang disini seiring dengan modernisasi kehidupan kota Yogyakarta. Salah satu kebutuhan dalam perkembangan fisik pusat kota seperti 9
Kota Yogyakarta adalah pemenuhan suatu ruang publik, sebagai wadah bersosialisasi masyarakat; dimana sosialisasi telah menjadi salah satu kebutuhan dasar dari manusia dalam masyarakat kota pada saat ini (Maslow, 1995). Masyarakat Kota Yogyakarta memanfaatkan Alun-alun Selatan sebagai
wadah kegiatan sosialisasi yang bersifat rekreatif, seperti bertemu teman, berolah raga, bermain, makan dan minum, maupun hanya sekedar duduk santai.
Gambar 1.4 Situasi & Kondisi Alun-alun Selatan di Sekitar Beringin Kurung tahun 2014 Sumber : Dokumantasi di lapangan, 2014
Pada pagi hari sekali banyak masyarakat yang beraktivitas jogging dan berolah raga di area Alun-alun Selatan ini. Pagi menjelang siang dapat kita jumpai beberapa komunitas masyarakat yang berkumpul disini, dan pada hari– hari tertentu pada jam sekolah, di lapangan Alun-alun Selatan ini digunakan sebagai lapangan olah raga oleh beberapa sekolah yang terletak tidak jauh dari kawasan Alun-alun. Aktifitas baru beranjak ramai pada waktu sore hingga malam hari;
Alun-alun
Selatan
diisi
oleh
pengunjung
yang
berolahraga
dan
menghabiskan waktu untuk bersantai, jalan-jalan serta berekreasi menikmati suasana dan atraksi permainan yang ada. Selain itu, pada waktu-waktu tertentu Alun-alun juga digunakan sebagai sarana untuk mengadakan acara-acara kontemporer seperti konser musik, kampanye politik, pesta olah-raga (contoh : 10
Funbike); serta pegelaran budaya (contoh: pertunjukan wayang kulit). Segala bentuk aktivitas/kegiatan dan berbagai atraksi publik yang rutin sehari-hari ataupun berkala oleh masyarakat yang terjadi di Alun-alun Selatan pada saat ini dapat dilihat sebagai refleksi kebudayaan dari masyarakat Yogyakarta pada saat ini dalam menggunakan dan memanfaatkan ruang terbuka Alun-alun Selatan; dimana kebudayaan dapat terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (life style), dan akhirnya aktivitas (activities) yang bersifat konkrit yang terjadi dalam masyarakat (Amos rapoport, 1977).
Gambar 1.5 Kegiatan Olah Raga oleh Masyarakat pada Pagi Hari di Alun-alun Selatan Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014
Gambar 1.6 Rekreasi dan Refreshing oleh Masyarakat pada pagi sampai malam hari di Ruang Alun-alun Selatan Yogyakarta Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014
Perkembangan aktivitas/kegiatan publik yang terjadi di dalam Alun-alun Selatan memicu pertumbuhan sektor-sektor informal pendukung komersial di dalam Alun-alun Selatan. Pada saat ini di dalam Alun-alun Selatan dapat kita jumpai kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pendukung komersial yang tumbuh didalamnya yang menunjang keberadaannya sebagai ruang terbuka publik bagi Kota Yogyakarta; seperti : berkembangnya Pedagang Kaki Lima 11
(PKL) mengisi dominasi fungsi penggunaan ruang didalam Alun-alun Selatan dengan rentang waktu yang cukup panjang dan rutin; berkembangnya persewaan atraksi permainan yang menempati atau mengisi ruas jalan di sekeliling Alun-alun pada waktu sore hingga malam hari; munculnya spot-spot sebagai area parkir (kendaraan roda dua maupun empat) di dalam Alun-alun Selatan.
Gambar 1.7 Sektor Informal Pendukung Komersial di Alun-alun Selatan Sumber : Dokumentasi di lapangan, 2014
Berkembangnya berbagai aktivitas publik seperti olah raga, rekreasi; serta berkembangnya sektor informal pendukung komersial seperti munculnya pedagang kaki lima yang sporadis, persewaan atraksi permainan yang bertebaran di pinggir jalan dan di lapangan Alun-alun, serta parkir yang menempati badan jalan dikawatirkan dapat berpotensi kurang aman dan nyaman. Kondisi-kondisi yang seperti ini dapat memberikan beberapa dampak, yaitu; selain membuat kualitas halaman belakang Karaton Yogyakarta crowded secara visual juga mengganggu aktifitas sosial warga di dalam alun-alun itu sendiri (rekreasi, bermain dan olahraga) pada saat Alun-alun Selatan ramai atau dipadati oleh pengunjung. Kondisi ini memberikan kesan menjadi tidak rapi atau tidak tertata dengan baik. Bila kondisi ini terjadi berkelanjutan dikawatirkan akan menurunkan
kualitas
citra
Alun-alun
Selatan
sebagai
kelengkapan
keprabondalem Keraton Yogyakarta dan pemberi identitas bagi Kota Yogyakarta; yang kemudian berimbas juga pada penurunan kualitas citra Kota Yogyakarta. 12
Kekawatiran ini juga pernah disampaikan oleh beberapa tokoh pengemuka di Yogyakarta sebagai berikut : “jika para kerabat Keraton merasa gerah dengan situasi alun-alun saat ini, itu merupakan hal yang wajar. Pasalnya, alun-alun merupakan aset dan bukti kebesaran Keraton Yogyakarta yang harus dilestarikan. Jika kondisinya kumuh serta tidak teratur, maka secara langsung akan mencoreng peninggalan leluhur tersebut” (Kepala Dinas Kebudayaan DIY yang juga merupakan budayawan Yogyakarta, Djoko Dwiyanto; Kedaulatan Rakyat, 25 Februari 2010 )
Sri Sultan Hamengku Buwono X juga berpendapat : “Pada dasarnya kekumuhan dari alun-alun itu memang mencerminkan citra dari DIY. "Kekumuhan alun-alun itu punya cerminan kekumuhan keraton dan pribadi yang jumeneng (pemimpinnya. red). Alun-alun itu kan memang tempat publik tapi bukan berarti untuk tempat jualan dan parkir. Itu kelengkapan keprabondalem, dimana ada keraton ya disitu ada alun-alun" (Sri Sultan HB X; Kedaulatan Rakyat, 25 Februari 2010)
Kawasan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu contoh dari sekian banyak pusaka Yogyakarta yang wajib dijaga dan dilestarikan. Kawasan yang menjadi pusat cikal bakal Kota Yogyakarta yang di kenal juga dengan area “Jeron beteng” ini diharapakan mampu memberikan wajah bagi Kota Yogyakarta. Wajah yang memberikan kesan dan membentuk memori kolektif bagi siapa saja mengunjunginya;
yang
menunjang
pada
pembentukan
identitas
Kota
Yogyakarta. Alun-alun Selatan sebagai salah satu komponen dari kawasan Keraton perlu diperhatikan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Jika kita melihat gambaran kondisi Alun-alun Selatan pada saat ini dan melihat gambaran 13
kondisi Alun-alun Selatan pada masa lalu, maka dapat diketahui adanya perbedaan/perubahanan pada tatanan fisik di dalam Alun-alun Selatan. Perbedaan/perubahan tatanan fisik pada Alun-alun Selatan ini juga diikuti adanya perubahan pemanfaatan serta aktivitas/kegiatan yang terjadi di dalam Alun-alun Selatan. Perbedaan ini tentunya akan memunculkan pemaknaan yang berbeda di Alun-alun Selatan pada masa lalu dan sekarang. Dijaga dan dilestarikan bukan berarti dikekang perkembangannya, pelestarian berhubungan erat dengan keberlanjutan kota, dibiarkan berkembang dan dikendalikan sekaligus. Perancangan kawasan kota yang baik adalah perancangan yang memperhatikan pada masa lalu, pada masa sekarang, dan pada masa yang akan datang. Dilestarikan dan berkembang sekaligus, dalam untaian benang merah sejarah, agar karakteristiknya sebagai pendukung karakter Kawasan Cagar Budaya Keraton tetap terjaga; yang berarti pula turut menjaga citra Kota Yogyakarta.
1.2 Pertanyaan Penelitian Dari uraian latar belakang dapat diketahui adanya perkembangan yang terjadi di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Kondisi perkembangan Alun-alun Selatan sampai pada saat ini dikawatirkan dapat mempengaruhi kualitas citra/karakter Alun-alun Selatan sebagai kelengkapan keprabondalem Keraton dan sebagai identitas kawasan pusaka budaya yang telah terbentuk pada masa lalu. Citra/karakter suatu kawasan/tempat berkaitan dengan tatanan fisik, fungsi/kegiatan, serta makna tempat. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagi berikut : 14
1. a. Seperti apakah karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta pada masa lalu dan pada saat ini ? b. Seperti apakah perubahan karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta saat ini ? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan karakter Alunalun Selatan ? 3. Strategi apakah yang dapat dilakukan dalam upaya melestarikan Alun-alun Selatan sebagai salah satu karakter kawasan pusaka budaya Yogyakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan pada Alun-alun Selatan Yogyakarta yang telah mengalami perbedaan/perkembangan semenjak direncanakan sampai pada saat ini. Tempat yang semula direncanakan sebagai halaman privat sebuah keraton serta lambang kesatuan kekuasaan yang sakral antara raja dengan para bangsawan keraton yang tinggal di sekitar Alun-alun Selatan kini berkembang menjadi
ruang
terbuka
publik
bagi
Kota
Yogyakarta.
Dimana
dalam
perkembangannya tersebut disinyalir adanya perubahan/perbedaan tatanan fisik dan fungsinya, yang berakibat pada pembentukan makna tempat yang baru; dan ini dikawatirkan yang akan berimbas/berpengaruh pada kualitas citra/makna Alun-alun Selatan yang menjadi kelengkapan keprabondalem keraton dan sebagai bagian kawasan pusaka budaya Yogyakarta. Dari kondisi yang ada tersebut, tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
15
1. Mengetahui karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta pada masa lalu (sebagai karakter dasar yang dimiliki oleh Alun-alun Selatan sebagai elemen pusaka budaya) dan karakter Alun-alun Selatan pada saat ini. 2. Mengidentifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan karakter Alunalun
Selatan
sehingga
dapat
dijadikan
pertimbangan
dalam
mempertahankan/melestarikan serta menjaga karakter Kawasan Alun-alun Selatan Yogyakarta kedepannya. 3. Merumuskan strategi/design guidlines yang dapat dilakukan pada Alun-alun Selatan dalam upaya melestarikan karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta sebagai bagian dari kawasan pusaka budaya Keraton Yogyakarta.
1.4 Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan karakter kawasan pada hal tatanan fisik, kegiatan dan lainnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan fokus detail yang berbeda di beberapa lokasi. Penelitianpenelitian tersebut digunakan sebagai ‘prevous study’ dan rujukan. Penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, yaitu : Kajian Karakter Kawasan Historis “Alun-alun lama Semarang” oleh FX Prasetya Cahyana, 2013 dalam hal cara membaca komponen karakter yang ada dalam sebuah kawasan berserta elemen Urban Design yang membentuk karakter kawasan, dimana elemen yang membentuk karakter kawasan ini akan dikerangkakan lebih lanjut dengan melihat Alun-alun Selatan Yogyakarta sebagai ruang terbuka “square” yang merupakan bagian dari Urban Design, sebagai lokus penelitian ini. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya sebagai “previous study “ dan rujukan adalah sebagai berikut : 16
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No 1
Peneliti Maria Triatmandany Dyah Irianawati
Tahun 2002
2
Yohannes Firzal
2002
3
Endi Hasary
2004
4
Faizrul Ramdan
5
Judul Arahan Rancangan Sebagai Dasar Pengembangan Kawasan Kota Baru di Yogyakarta Untuk Mempertahankan Citra Kawasan Arahan Rancangan Menjaga Karakter Visual Kawasan. Studi Kasus : Jl.Asia-Afrika, Bandung
Fokus Citra Kawasan terkait dengan perubahan fungsi, langgam bangunan dan vegetasi kawasan
Lokus Kota Baru, Yogyakarta
Metode Deskriptif kualitatif, Observasi, Pengkategorian melibatkan pakar & awam
Jalan AsiaAfrika, Bandung
Observasi, Deskriptif kualitatif
Perubahan Identitas Kawasan Alun-alun Klaten sebagai Ruang Terbuka publik
Karakter visual : uniqueness & spirit of place dengan elemen signifikan kawasan : massa bangunan, ruang, sirkulasi, fungsi, aktivitas, vegetasi Morfologi kawasan Alunalun Klaten sebagai ruang terbuka Publik
Kawasan Alun-alun Klaten
Rasionalistik, Observasi, Wawancara
2009
Arahan Rancangan Pengendalian Karakter Visual Kawasan Kota Lama Padang
Arahan Rancangan Pengendalian Karakter Visual Kawasan Kota Lama Padang
Kawasan Kota Lama Padang
Rasionalistik kualitatif
Muhammad Zaki
2010
Morfologi kawasan dan Kajian Spasial Historikal Lapangan Karebosi Makassar sebagai Ruang Terbuka Publik
Kawasan Lapangan Karebosi Makassar
Rasionalistik, observasi, wawancara.
6
Fx. Prasetya Cahyana
2013
Perubahan karakteristik kawasan Karebosi sebagai Ruang Terbuka Publik ditinjau dari kajian Spasial dan Historikal Karakter Kawasan Historis Alun-alun lama Semarang
Kawasan Alun-alun lama Semarang
Observasi, Deskriptif Kualitatif
7
Ary Prasetiyo
2015
Kajian karakter kawasan meliputi aspek fisik, fungsi dan makna kawasan Kajian karakter kawasan meliputi aspek fisik, fungsi dan makna kawasan
Alun-alun Selatan Yogyakarta
Observasi, Deskriptif Kualitatif
Karakter Alun-alun Selatan Yogyakarta
17