Bab 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Jepang merupakan negara yang terletak sebelah timur laut Asia, dikelilingi oleh laut
pasifik utara dan laut Jepang. Seperti halnya Indonesia, negara Jepang terdiri dari kepulauan besar yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Honshu adalah pulau yang paling besar dan di sanalah terletak kota-kota seperti Tokyo, Osaka, Kyoto, Yokohama, dan Nagoya yang merupakan kota-kota besar dan penting di Jepang (Suryohadiprojo, 1989 : 1). Sampai saat ini Jepang merupakan sebuah negara kekaisaran yang menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional yang sangat membatasi kekuasaan kaisar Jepang. Kekuasaan pemerintah berada di tangan perdana menteri Jepang dan anggota terpilih parlemen Jepang, dan kaisar Jepang bertindak sebagai kepala negara dalam urusan diplomatik. Menurut buku kojiki (catatan kuno) yang selesai ditulis pada tahun 712, kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari yang bernama Amaterasu Omikami. Dewa Matahari ini memerintahkan cucunya yang bernama Ninigi no Mikoto turun ke bumi untuk mengatur pemerintahan, ia mendarat di pantai timur Kyushu. Kemudian cucu Ninigi no Mikoto yang bernama Kan Yamato Iwareshiko no Mikoto dengan anak buahnya menyusuri pantai timur bagian utara Kyushu sampai ke Yamato (propinsi Nara sekarang).
1
Jepang disebut juga sebagai negara matahari terbit. Orang Jepang memberi sebutan demikian karena mereka begitu bangganya akan keindahan negerinya yang tidak pernah kehilangan sinar matahari sepanjang tahun. Jepang adalah negara maju dalam beberapa bidang teknologi, pendidikan, dan hiburan. Walaupun sudah menjadi negara modern, orang Jepang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi mereka. Contohnya, kesenian-kesenian rakyat yang masih bertaham hingga sekarang, seperti Noh, Kyogen, dan Kabuki. Salah satu pelestari dari kebudayaan Jepang adalah para geisha (Underwood, 2000 :10) Istilah geisha secara harafiah berarti seniman, yang terdiri dari dua karakter kanji yaitu 芸(gei) yang berarti seniman 者(sha) yang berarti orang. Kata lain dari geisha adalah geiko ( 芸 子 ). Istilah geiko digunakan pada kota tertentu seperti di Kyoto. Menurut Downer, 2000 menjelaskan bahwa geisha (芸者)adalah seorang penari, musisi, entertainer dan pandai bercakap-cakap.
1.2 Geisha Geisha ( 芸 者 ) adalah pemusik, penari dan penghibur tamu yang melakukan latihan bertahun-tahun dengan keras dan disiplin untuk dapat menguasai seni tradisional Jepang. Di zaman modern ini geisha (芸者) masih tetap bertahan menghibur para wisatawan untuk membuat mereka kembali ke zaman dahulu. Geisha ( 芸 者 ) melayani tamunya dengan lemah lembut (Willems, 2007:22) Eleanor Underwood (2001) menjelaskan bahwa geisha (芸者)adalah penghibur dalam seni tradisional Jepang yang muncul pada jaman Edo (1600-1868). Ia memiliki banyak kecakapan, terutama dalam bidang seni. Geisha (芸者)disebut juga dengan 2
geigi (芸妓). Mereka menghibur para tamunya dengan percakapan, permainan serta nyanyian dan tarian khas Jepang yang diiringi oleh alunan alat musik tradisional Jepang seperti shamisen (三味線). Shamisen adalah alat musik petik yang terdiri dari tiga dawai. Geisha menghibur para tamunya di ochaya (御茶屋) yaitu rumah minum teh dimana geisha menampilkan kebolehanya di depan para tamunya. Menurut Kawamura (2007:58) mengatakan mengenai geisha bahwa: 彼女たちは芸のプロフェッショナルです。お客様にいい加減な姿は決 して見せないという礼様を守っている。ただ美しいだけではない、伝 統を守った本物の芸を必ず見せてくれる。仕事として尊敬できる芸事 のプロフェッショナルしか様は紹介したくないし、そういったプロフ ェッショナルな芸を外国の人たちに体験してほしいんです。 Yang terjemahannya adalah : Mereka seniman yang sungguh profesional. Mereka selalu menjaga tata krama untuk tidak memperlihatkan keburukan para tamunya. Mereka tidak hanya indah, tetapi mereka juga mempertahankan tradisi seni yang sesungguhnya. Saya mengharapkan orang-orang di luar negeri dapat menikmati seni asli yang profesional yang tidak diperkenalkan sebagai pekerjaan seni yang profesional. Menjadi geisha (芸者)tidaklah mudah, karena harus melewati proses tertentu yang disebut dengan minarai (見習い). Minarai adalah proses belajar melalui observasi yang harus dilalui oleh seorang maiko (舞妓) yaitu geisha (芸者)yang sedang magang. Jika ia ingin memperoleh status penuhnya sebagai geisha ( 芸 者 ), maka ia harus melewati tahap minarai ( 見 習 い ) ini. Salah satu contohnya adalah anak-anak perempuan berumur 10-12 tahun bekerja di ochaya (お茶屋). Ochaya (お茶屋) adalah kedai minum teh dimana geisha (芸者)biasa menghibur para tamunya. Anakanak ini bekerja sebagai shikomi-san (仕込みさん) yaitu seseorang yang memiliki tugas seperti pelayan dan melakukan observasi terhadap maiko dan geiko. Mereka diajarkan 3
untuk memahami profesi geisha dengan cara mengamati semua yang terjadi khususnya hal-hal yang berhubungan dengan profesi geisha ( 芸 者 ) di tempat tersebut. Pengamatan ini dilakukan untuk menunjang karir mereka sebagai geisha (芸者)di kemudian hari (Dalby, 1998 : 48). Selama minarai (見習い)berlangsung adakalanya mereka menderita karena harus menghadapi berbagai masalah, tetapi sedikit penderitan yang mereka alami itu sebenarnya sangat membantu mereka untuk menjadi wanita yang kuat secara fisik dan mental untuk menjadi geisha yang lebih baik. Namun di beberapa Hanamachi(花町) yaitu daerah komunitas geisha(芸者) yang telah memiliki ijin resmi dari pemerintah, tahap shikomi-san (仕込みさん)ini tidak ada, pendatang baru itu langsung menjadi minarai-san (見習い)(calon maiko) (Dalby, 1998 : 47). Dalam proses ini, yang biasanya berlangsung selama lima tahun, maiko mempelajari seni khususnya tarian, lagu dan alat musik tradisional Jepang. Seni lain yang dipelajari tetapi tidak diwajibkan adalah chanoyu (茶の湯) yaitu upacara minum teh Jepang, shodou (書道) kaligrafi Jepang, ikebana (生け花) seni merangkai bunga dan melukis. Pada akhir proses minarai, maiko harus melewati sebuah proses yang dikenal dengan mizuage (水揚げ) yaitu penyerahan keperawanan kepada salah seorang pelanggannya. proses ini bukanlah sebuah proses pelacuran, karena dalam hal ini seorang maiko hanya melakukan proses mizuage (水揚げ) ini sekali seumur hidupnya untuk mencapai tingkat menjadi geisha (芸者)seutuhnya. Pelanggan tersebut merupakan salah satu dari tamu yang telah diseleksi terlebih dahulu oleh okaasan (お母さん) (Downer,2001:267).
4
Seorang maiko berubah menjadi geiko pada usia 20-21 tahun, atau ketika dia telah dinilai cukup dewasa oleh okaasan(お母さん). Okaasan adalah ibu dari maiko dan geisha(芸者), namun makna ibu di sini bukanlah ibu secara biologis. Okaasan (お 母 さ ん ) yang mengadopsi anak-anak dari para petani miskin dan kemudian menjadikan mereka sebagai geisha
(芸者). Okaasan
(お母さん) sangat
berperan penting di dalam sebuah okiya (おきや). Okiya adalah rumah dimana maiko ( 舞 子 ) dan geisha ( 芸 者 ) tinggal. Okaasan ( お 母 さ ん ) mengatur semua kegiatan perekonomian dari geisha(芸者) yang tinggal di okiya
tersebut. Semua
pengahasilan yang didapatkan oleh geisha (芸者) akan masuk ke dalam okiya, karena semua yang telah didapatkan seorang geisha ( 芸 者 )
di okiya tersebut
dianggap sebagai hutang oleh okaasan. Apabila hutang-hutangnya belum lunas maka geisha(芸者) tersebut tidak dapat meninggalkan okiya (Aihara, 2005 : 44) Profesi para geisha (芸者) di dunia bisnis hiburan Jepang agak khas, karena berbeda dengan profesi wanita penghibur yang pada umumnya hanya dilakukan pada usia tertentu, profesi geisha (芸者) bisa menjadi profesi seumur hidup. Sebab yang diutamakan dalam profesi itu adalah keterampilan berkesenian dan kemampuan berbincang dengan para tamunya, bukan kebeliaan serta kecantikan fisik belaka, sehingga seorang geisha(芸者) dapat menjalankan profesinya sampai lanjut usia (Damandjaja, 1997 : 392). Para perempuan yang berprofesi sebagai geisha(芸者), bekerja di daerah yang punya ijin dari pemerintah Jepang untuk bisnis hiburan seperti distrik geisha(芸者) di Kyoto yang disebut dengan Hanamachi yaitu Gion, Pontochō, Kamishichiken, 5
Miyagawa, Shimabara dan Higashi Shichi. Sementara di Tokyo seperti di Akasaka atau di Shimbashi. Geisha (芸者) yang bekerja di daerah-daerah tersebut dilarang untuk melayani pelanggan yang telah terlebih dahulu menjadi pelanggan dari yujo. Untuk mengatur kegiatan para geisha(芸者) ini, pemerintah Jepang membentuk kantor resmi yang disebut dengan kenban pada tahun 1779 (Dalby, 1998 : 57). Kenban mengeluarkan peraturan yang mengaharuskan geisha menggunakan kimono yang berbeda dari yujo, yang lebih sederhana dan tidak menggunakan perhiasan di rambut, begitu pula dengan tatanan rambut yang sederhana berbeda dengan tatanan rambut yang mencolok seperti yang digunakan para yujo tersebut. Perbedan antara yujo dan geisha sangat tipis karena keduanya berfungsi sebagai penghibur. Pemerintah Jepang membentuk kenban untuk menjaga perbedaan keduanya. Keberadaan geisha ( 芸 者 ) sejak akhir jaman Edo sangat populer di kalangan masyarakat Jepang. Juga bahwa geisha (芸者) telah menjadi simbol Jepang sejak awal jaman Meiji. Seiring dengan proses modernisasi di Jepang, setiap aspek dalam kehidupan manusia tentu mengalami banyak perubahan, baik itu yang signifikan maupun tidak karena proses tersebut mencakup perubahan ekonomi, politik dan sosial suatu masyarakat yang sedang berkembang. Bagi mereka yang tertarik dengan geisha (芸者), untuk menikmati makan malam bersamanya tidaklah semudah menyewa wanita penghibur pada umumnya. Seorang pria harus cukup kaya untuk dapat membiayai makan malam di ochaya (お茶屋). Ichigensan yaitu orang asing atau orang yang tidak dikenal tidak akan diterima dalam sebuah jamuan makan malam bersama geisha (芸者) walaupun ia sanggup membiayainya.
6
Sebagai seorang calon tamu harus diundang oleh seseorang yang telah dikenal oleh ochaya (お茶屋). Selain hal di atas, hal yang paling menonjol yang membuat geisha (芸者) berbeda dengan profesi wanita penghibur lainya adalah gei-nya, yakni pengabdian mereka terhadap seni tradisional. Mereka mencurahkan waktunya untuk belajar dan menampilkan bentuk tradisional musik dan tari. Bahkan di jaman modern pun mereka tetap mempertahankan keaslian penampilan mereka yang selalu mengenakan kimono walaupun tidak selalu dengan kimono yang formal. Hal inilah kiranya yang membuat orang Jepang sendiri menganggap geisha ”lebih Jepang” daripada orang Jepang lainnya (Dalby, 1998 : xiii). Geisha(芸者) dengan profesinya yang unik, yaitu seorang wanita penghibur yang mengandalkan keahliannya dalam bidang seni, tentu tidak terlepas dari pandangan orang luar, baik itu bernada positif ataupun yang mencela. Pada akhir jaman Edo, ketika munculnya geisha (芸者) sedang populer di Jepang, orang Barat pada umumnya yaitu Eropa-Amerika manganggap geisha ( 芸 者 )
yang eksotis adalah wanita
penggoda yang ahli dalam seni bercinta. Walaupun banyak komentar yang negatif terhadap geisha ( 芸 者 ), keberadaan mereka kiranya tetap kuat sebagai simbol Jepang. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang asing yang biasanya merasa bahwa kunjungan mereka ke Jepang belum lengkap tanpa sebuah jamuan makan bersama geisha (芸者), meskipun hanya sekedar rasa ingin tahu (Dalby, 1998 : 20-22). Namun sebenarnya, rasa ingin tahu mereka terhadap geisha (芸者) itulah yang justru membuktikan batapa geisha (芸者) merupakan bagian dari
7
Jepang yang sangat khas sehingga mereka merasa harus mengetahuinya sebelum kembali ke negerinya masing-masing. Menurut Liza Dalby (1988) seorang antropolog Amerika yang pernah menjadi geisha (芸者), mengatakan dalam bukunya yang berjudul Geisha, sebagai berikut : Geisha are different from any other Japanese women who had been dominated by men, but on the contrary they have very high status on their profession so they can interact equally with men. Terjemahannya : Geisha tidak seperti wanita Jepang pada umumnya yang didominasi pria, tetapi sebaliknya mereka memiliki tingkat pergaulan sosial yang tinggi dalam profesinya sehingga dapat berinteraksi dengan kaum pria secara seimbang. Berbicara tentang geisha(芸者), tentu saja ada sebuah pertentangan umum yang selalu membuat orang ingin tahu mengenai profesi geisha(芸者)yakni apakah geisha (芸者) itu seorang pelacur? Lebih lanjut Dalby menjelaskan bahwa jika dilihat dari kehidupan seorang geisha (芸者) yang harus melewati sebuah prosesi mizuage, maka hal ini jelas merupakan pelacuran. Tetapi di lain pihak seorang geisha (芸者) tidak menerima sembarang pria. Ia hanya akan memberikan pelayanan lebih untuk dannanya yaitu seseorang yang melindunginya serta membiayai pengeluaran untuk hidupnya yang mewah. Jika geisha (芸者) kelas atas tidak memiliki seorang danna maka ia akan dianggap gagal. Ajip Rosidi dalam Yurista (2006) memiliki pandangan yang senada dalam hal julukan pelacur terhadap geisha (芸者). Dalam bukunya ia mengatakan bahwa geisha (芸者) memang mempunyai citra yang bagi umumnya orang kira-kira sama dengan wanita “pelacur ala Jepang”. Tetapi menurutnya jika karena anggapan tersebut lantas
8
geisha(芸者)
disamakan begitu saja dengan wanita pelacur, penilaian tersebut
rasanya kurang tepat dan terlalu gegabah. Terlepas dari geisha (芸者) pantas disebut pelacur atau tidak, keberadaan mereka sejak akhir jaman Edo begitu populer di kalangan masyarakat Jepang juga bahwa geisha(芸者) telah menjadi simbol Jepang sejak awal jaman Meiji. Seiring dengan proses modernisasi di Jepang, setiap aspek dalam kehidupan manusia tentu mengalami banyak perubahan, baik itu yang signifikan maupun tudak karena proses tersebut mencakup perubahan ekonomi, politik dan sosial suatu masyarakat yang sedang berkembang. Geisha (芸者), dalam hal ini tidak terkecuali, terutama pada awal jaman meiji ketika mereka berada pada puncak kejayaannya, namun pada saat yang bersamaan pula Jepang memulai proses modernisasinya. Hal ini tentu saja menghantarkan geisha (芸者) pada sebuah dilema maupun situasi yang berubah-ubah akibat proses modernisasi mengingat dunia geisha (芸者) yang sangat erat dengan seni tradisi Jepang harus berhadapan dengan arus modernisasi beserta segala hal yang bernuansa modern. Menurut Everett Rogers (1991 : 5) modernisasi merupakan proses dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah. Dalam bahasa Jepang, modernisasi disebut dengan kindaika(近代化). Dalam Koujien (広辞苑), kindaika memiliki arti perubahan menuju keadaan yang modern; berkaitan erat dengan berbagai keadaan, seperti industrialisasi, kapitalisme, dan demokratisasi. Pada jaman Meiji modernisasi mulai dilakukan. Menjadi modern berarti benar-benar mengadopsi cara barat. Gaya barat berarti modern, dan gaya Jepang identik dengan mode tradisional. Hal ini menjadi problema yang menarik bagi geisha(芸者) karena 9
mereka yang pada zaman Edo menjadi patokan dalam dunia mode terbaru, seni dan simbol keanggunan masyarakat Jepang telah tersingkirkan oleh adanya modernisasi di Jepang (Dalby,1998:76)
1.3 Rumusan Permasalahan Permasalahan dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis perubahan kehidupan geisha (芸者) akibat dampak positif dan negatif dari modernisasi yang terjadi di Jepang pada zaman Taisho yang menyebabkan penurunan jumlah geisha(芸者) dan perubahan pelayan kesenian geisha (芸者).
1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahannya adalah faktor-faktor yang mendukung perubahan dan modernisasi tersebut pada zaman Meiji-Taisho yang telah mempengaruhi perubahan pada kehidupan geisha (芸者).
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui dampak modernisasi terhadap kehidupan geisha (芸者) dan menjelaskan proses perubahan kehidupan geisha (芸 者) menuju perubahan kehidupan sosial masyarakat geisha (芸者) yang terjadi pada masa-masa mulai terjadinya modernisasi. Adapun manfaat dalam penulisan ini diharapkan akan berguna bagi pembaca dan pelajar kebudayaan Jepang khususnya yang ingin mempelajari tentang kehidupan geisha(芸者) pada zaman Taisho. 10
1.6 Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi pustaka yakni untuk melengkapi data yang ada penulis membaca buku-buku yang berhubungan dengan penyusunan skripsi ini, seperti buku tentang geisha dan modernisasi, diktat, majalah, artikel, jurnal, serta internet. Buku-buku tersebut penulis dapatkan dari perpustakaan Bina Nusantara, Japan Foundation, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Universitas Darma Persada, perpustakaan fakultas sastra Universitas Indonesia dan Universitas Nasional. Sedangkan untuk untuk pengkajian datanya penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dan penelitian kualitatif. Dimana dalam Metode Penelitian Pendidikan, penelitian deskriptif mempunyai definisi yaitu suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya. Penggambaran kondisi bisa individual atau kelompok, dan menggunakan angka-angka (Sukmadinata, 2005 : 54). Sedangkan penelitian analitis terdiri dari beberapa macam, dan yang saya ambil adalah analisis isi atau dokumen, yaitu ditujukan untuk menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen resmi, dokumen perundangan dan kebijakan maupun hasil-hasil penelitian. Analisis juga dapat dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris (Sukmadinata, 2005: 81). Lalu penelitian secara kualitatif yang memiliki arti yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial,
11
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2005 : 60)
1.7 Sistematika Penulisan Penulis menyusun skripsi ini dengan sistematika dalam lima bab : Dalam bab 1 pendahuluan, memaparkan tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Di dalam bab 2 landasan teori, penulis menjelaskan tentang teori yang akan digunakan untuk meneliti perubahan sosial budaya gaya hidup geisha yang diakibatkan oleh adanya modernisasi di Jepang yang telah mengakibatkan westernisasi dalam masyarakat Jepang. Di dalam bab3 analisis data, penulis menganalisis data tentang pengaruh modernisasi yang mengakibatkan westernisasi pada masyarakat Jepang sehingga memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan geisha pada zaman Taisho (19121926). Dalam bab 4 simpulan dan saran, berisi simpulan dari hasil analisis bab 3 sehingga pembaca mengetahui jawaban dari penelitian, serta saran yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Di dalam bab 5 ringkasan, berisi ringkasan skripsi secara singkat dari latar belakang, rumusan penelitian, serta tujuan penelitian sampai hasil penelitian.
12