Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Permasalahan Jepang atau disebut juga dengan 日 本 (Nippon/Nihon) adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur dengan ibukota Tokyo. Jepang merupakan salah satu negara yang maju dalam teknologi, akan tetapi Jepang tetap mempertahankan budaya mereka dan mengembangkannya, misalnya saja ikebana, origami, ukiyo-e, boneka bunraku, tarian tradisional, kabuki, noh, rakugo, dan Chanoyu. Budaya Jepang berasal dari budaya asli Jomon yang bercampur dengan budayabudaya lain. Budaya dari Korea dan Cina adalah budaya yang banyak mempengaruhi Jepang sejak jaman Yayoi. Budaya tersebut kemudian melebur dengan kebudayaan Jepang asli hinga menjadi kebudayaan Jepang sekarang ini. Penyerapan yang dilakukan oleh Jepang dapat dilihat dalam banyak hal, terutama dalam hal kesenian dan agama.
1.1.1 Agama Zen Salah satu agama yang masuk dan tumbuh berkembang di Jepang yang berasal dari negara Cina adalah agama Buddha Zen (禅). Agama Buddha Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana, yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan dhyana. Di negara Cina sendiri aliran ini disebut dengan Chan, yang berarti meditasi. Aliran Zen dipercaya bermula dari seorang biksu di India yang bernama Bodhidharma. Beliau merupakan murid generasi ke-28 setelah Mahakasyapa. Kurang lebih pada tahun 520, Bodhidharma pergi ke Cina, dimana saat itu Cina sedang berkembang ajaran Taoisme dan
1
Kongfusianisme. Kemudian ajaran Buddha yang dibawa oleh Bodhidharma membaur dengan kedua ajaran tersebut dan melahirkan aliran Buddha baru yang dikenal sebagai Chan di Cina atau sebagai Zen di Jepang. Buddha Zen masuk ke Jepang dibawa oleh dua pendeta bernama Dogen dan Eisai yang kembali setelah belajar dari Cina sekitar abad ke-12. Pendeta Eisai mendirikan sekte Rinzai, sedangkan pendeta Dogen mendirikan sekte Sōtō. Menurut Wong (2002:135) pendeta Eisai selain memperkenalkan teh, dia juga memperkenalkan kebiasaan meminum teh. Pendeta Eisai menjelaskan bahwa meminum teh tidak hanya menyegarkan pikiran, tetapi juga mempunyai khasiat kesehatan yang dapat memperpanjang umur. Upacara meminum teh menjadi suatu ritual yang dilakukan oleh para murid yang mempelajari Zen, sehingga pada akhirnya upacara meminum teh di Jepang berkembang menjadi suatu seni yang dipengaruhi kuat oleh Zen. Upacara meminum teh tersebut kini dikenal sebagai Chanoyu (茶の湯) di Jepang.
1.1.2 Chanoyu Chanoyu adalah sebutan untuk upacara minum teh di Jepang. Kata Chanoyu itu sendiri terdiri dari dua kanji, yaitu kanji cha (茶) yang berarti teh dan kanji yu (湯) yang berarti air panas. Kemudian kedua kanji tersebut digabungkan dengan partikel no (の) sehingga menjadi kata Chanoyu (茶の湯) yang memiliki arti air panas untuk teh. Menurut Varley (2001:388) sebenarnya teh pertama kali diperkenalkan di Jepang pada awal jaman Heian, kemungkinan dibawa oleh para pendeta yang bernama Saichou dan Kuukai yang baru kembali setelah belajar di Cina. Kebiasaan meminum teh sendiri telah tersebar luas di Cina kurang lebih pada abad ke-7 atau ke-8, dan dibawa ke Jepang
2
pada saat gelombang penyerapan kebudayaan yang masuk pada akhir abad ke-6 hingga awal abad ke-9. Pada tahun 815, kaisar Saga memerintahkan agar teh ditanam di berbagai provinsi disekitar Kyoto, kemudian sebagian hasil panennya dipersembahkan kepada istana. Meminum teh terbagi menjadi dua kelompok elit di Jepang. Yang pertama adalah kelompok para bangsawan di istana. Mereka meminum teh dengan cara yang elegan, dimana teh tersebut dibuat kemudian disajikan kepada mereka, lalu dinikmati oleh mereka sambil membuat puisi dalam bahasa Cina. Kelompok yang kedua adalah para biksu di kuil yang meminum teh demi kesehatan. Hanya saja kebiasaan meminum teh tersebut menghilang pada akhir abad ke-9. Pada saat itu Jepang mulai kehilangan ketertarikan pada kebudayaan Cina, walaupun kebiasaan meminum teh tersebut masih dilakukan para biksu dengan tujuan kesehatan. Tidak ada indikasi adanya orang-orang di luar para biksu yang melakukan kebiasaan tersebut selama jaman Heian. Kemudian teh diperkenalkan kembali ke Jepang dari Cina pada akhir abad ke-12 (awal jaman Kamakura) oleh biksu yang bernama Yousai atau dikenal juga sebagai Eisai, yang baru kembali dari Cina. Jenis teh yang dia bawa ke Jepang adalah teh yang tak terfermentasi, teh hijau bubuk yang dikenal sebagai matcha (抹茶) di Jepang. Dalam Tanaka (1998:28) Eisai merupakan orang pertama yang menanam teh dengan tujuan keagamaan. Inilah pertama kalinya teh bergabung dengan Zen.
1.1.3 Chashitsu Upacara Chanoyu diadakan disebuah ruangan yang disebut dengan chashitsu (茶室). Ada dua jenis chashitsu. Pertama adalah sebuah bangunan tersendiri yang dibangun khusus untuk melakukan upacara Chanoyu, disebut juga dengan rumah teh yang dalam
3
bahasa Jepang disebut dengan kakoi atau sukiya (数奇屋). Sedangkan yang kedua adalah sebuah ruangan yang berada didalam sebuah bangunan yang dikhususkan untuk melakukan upacara Chanoyu, atau disebut juga sebagai ruang teh atau chaseki (茶席). Dalam chashitsu (2001), sukiya berdasarkan luasnya dibagi menjadi tiga jenis. Ukuran yang umum dipakai adalah ruangan yang seluas 4 ½ tatami (畳), tikar khas Jepang yang terbuat dari jerami, disebut dengan yojouhan (四畳半). Akan tetapi, jika ruangan yang digunakan luasnya kurang dari 4 ½ tatami, maka ruangan tersebut disebut koma (小間) dan apabila ruangan yang digunakan luasnya lebih dari 4 ½ tatami, maka ruangan tersebut disebut hiroma (広間) Seiring berkembangnya jaman serta terdapatnya perbedaan dalam cara pandang oleh beberapa orang ahli teh, menyebabkan gaya arsitektur dalam rumah teh juga mengalami perubahan. Meskipun demikian masing-masing gaya arsitektur memiliki dasar pemikiran yang sama, yaitu Zen. Menurut Tanaka (1998:94) terdapat empat jenis gaya arsitektur yang berbeda dalam membangun rumah teh, yaitu gaya shoin (書院), gaya kozashiki (小座), gaya sukiya (数寄屋) dan gaya souan (草庵). Shoin sebenarnya adalah sebuah ruangan yang digunakan sebagai ruang belajar atau melukis pada kuil. Rumah teh yang bergaya shoin mengambil gaya arsitektur yang terdapat pada kuil dan memiliki ukuran ruangan yang luas. Detil dalam gaya ini diadopsi untuk menjadi desain dalam ruang upacara minum teh sekarang ini. Seperti tokonoma dan chigaidana. Gaya kozashiki merupakan rumah teh yang dibangun seperti pondok sederhana yang mengekspresikan selera kaum pedagang, sedangkan rumah teh yang bergaya sukiya merujuk kepada kaum samurai dan kaum bangsawan.
4
Gaya yang terakhir adalah gaya souan. Rumah teh yang bergaya souan mirip dengan gaya shoin, tetapi gaya souan lebih sederhana. Di Jepang sekarang ini masih terdapat beberapa rumah teh dan sebagian merupakan peninggalan dari para ahli teh jaman dahulu. Untuk membangun rumah teh pada jaman sekarang ini agak sulit. Faktor penyebabnya antara lain orang yang dapat membangun rumah teh sekarang ini sangat sedikit, karena diperlukan keterampilan khusus untuk membangun rumah teh. Yang kedua adalah kurangnya lahan untuk membangun rumah teh tersebut, sehingga lebih banyak terdapat ruang teh daripada rumah teh. Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai chashitsu yang berupa sukiya, yang berluas 4 ½ tatami. Yang membuat penulis tertarik mengangkat tema ini menjadi bahan analisis untuk skripsi penulis adalah bagaimana pengaruh unsur Buddha Zen tersebut mempengaruhi suatu arsitektur bangunan. Karena unsur yang mempengaruhi arsitektur chashitsu bukan bertujuan agar mendatangkan kemujuran bagi sang pemilik bangunan, melainkan membuat bangunan tersebut menjadi suatu perwujudan dari agama itu sendiri.
1.2 Rumusan Permasalahan Aliran Buddha Zen adalah salah satu aliran Buddha yang terkenal di Jepang yang menurut memiliki tujuh karakteristik. Dalam rumusan permasalahan penulis akan menganalisis pengaruh unsur-unsur aliran Buddha yang terdapat pada chashitsu.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
5
Penulis akan menganalisis unsur-unsur aliran Zen dengan menggunakan tujuh karakteristik Zen yang terdapat dalam arsitektur chashitsu berupa sukiya yang dibangun dengan gaya souan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tujuh karakteristik aliran Zen yang terdapat dalam arsitektur chashitsu yang berupa sukiya yang dibangun dengan gaya souan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu kita mengetahui lebih mendalam tentang chashitsu yang berupa sukiya dengan gaya souan, aliran Zen terutama mengenai tujuh karakteristiknya dan hubungan diantara kedua hal tersebut.
1.5 Metode Penelitian Dalam menulis skripsi ini, penulis melakukan metode kajian kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal dan internet. Pengumpulan data-data tersebut berasal dari perpustakaan Japan Foundation, Universitas Bina Nusantara, serta dari internet dan jurnal. Data-data tersebut kemudian penulis gunakan dalam analisis penulis, yang menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu cara kerja membahas suatu masalah dengan cara menata dan mengklarifikasikan data serta memberikan penjelasan tentang keterangan yang terdapat pada data dan menganalisisnya.
1.6 Sistematika Penulisan Berikut ini sistematika penulisan yang akan penulis gunakan dalam skripsi penulis:
6
Bab 1, bab ini berisi tentang pendahuluan dari skripsi. Disini penulis akan menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2, pada bab ini penulis akan menuliskan landasan teori yang penulis gunakan, serta menguraikan tentang konsep arsitektur Jepang, konsep chashitsu dan tentang aliran Zen. Bab 3, bab akan berisi analisis tentang chashitsu yang berupa sukiya bergaya souan dan hubungannya dengan aliran Zen. Penulis akan menganalisis letak pencerminan aliran Zen yang terdapat pada arsitektur chashitsu yang berupa sukiya bergaya souan. Bab 4, berisi kesimpulan dari analisis yang penulis lakukan pada Bab 3. Bab 5, bab ini merupakan ringkasan dari seluruh analisis yang penulis lakukan pada skripsi ini.
7