BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Manusia secara individu seringkali melihat dirinya secara takjub dengan apa yang telah, sedang atau apa yang akan dilakukannya. Kagum dengan bakat yang dimiliki, jejaring yang dibangun, hasil karya dan pemikiran–pemikiran yang diciptanya, ideologi yang diperjuangkan, adat dan kepercayaan yang diimani, serta nilai dan komunitas yang dihidupi. Kadangkala kekaguman atas kehidupannya membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk sosial, yang mana keberadaan dirinya merupakan bagian dari bentukan komunitas tertentu, juga dipengaruhi oleh komunitas lain yang terhubung secara langsung atau tidak dengan kehidupannya. Kita pun tak luput dari hal tersebut. Keberadaan kita sebagai makhluk sosial menunjukkan bahwa tanpa orang lain kita bukanlah apa–apa. Kita memerlukan bantuan orang lain untuk menuntaskan apa yang sedang kita perjuangkan dalam kehidupan ini. Bahkan kita sadari atau tidak, kadang perjuangan
TIDAK ADA BAB 5
hidup orang lain kita jadikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup kita, supaya kita dapat tetap berdiri teguh sebagai manusia yang beradab.
Itulah hakikat manusia untuk terus berjuang menunjukkan eksistensi diri dan mendapatkan pengakuan. Sayangnya hal tersebut sering membuat kita tidak peka terhadap sekitar kita, bahkan acuh dan tak peduli atas eksistensi kehidupan orang lain. Lebih dalam lagi, ketidakpedulian pada lingkungan sekitar dan eksistensi hidup orang lain dilakukan disertai dengan membangun tembok yang tinggi, guna membatasi ruang gerak orang lain supaya tidak mengganggu kehidupan kita, baik personal maupun komunal. Apalagi bila kita memiliki perbedaan latar belakang suku, adat, kebudayaan, agama ataupun iman dan kepercayaan dengan mereka. Perbedaan latar belakang tersebut kadangkala semakin memperkokoh tembok–tembok yang kita bangun mengelilingi komunitas atau kelompok kita, untuk melindungi kita dari pengaruh luar. Padahal tembok–tembok tersebut justru semakin membuat kita tidak mengenal sesama kita yang berada di luar komunitas kita. Lebih lanjut, kita menjadi semakin tertutup dan sulit membangun kepercayaan dengan lingkungan sekitar kita. Tidak hanya sulit membangun kepercayaan, bahkan bisa jadi kita menjalani hidup tanpa didasari dengan kepercayaan pada lingkungan dan masyarakat di mana kita hidup dan tinggal di dalamnya. Hal ini menjadi makin parah, ketika makin banyak orang 1
yang merasa perlu membangun kelompok–kelompok yang berlatar belakang sama. Kemudian memperkuat ideologi masing–masing dan semakin anti terhadap orang–orang yang berada di luar komunitasnya. Padahal hal–hal tersebut dapat membutakan mata kita terhadap nilai–nilai kehidupan berdasarkan kebijaksanaan lokal yang memperhitungkan aspek–aspek kosmik dan kosmos. Hal tersebut juga dapat menulikan telinga kita terhadap suara–suara kenabian atas nilai– nilai kemanusiaan dan kebaikan yang berasal dari luar komunitas kita. Dengan demikian, kita menjadi tidak pernah mengenal, melihat dan mendengar orang–orang di luar komunitas kita dengan jernih. Terlebih pada orang–orang yang tidak memiliki komunitas, yang tidak pernah diperhitungkan keberadaannya di komunitas manapun. Sehingga, eksistensi hidup mereka pun juga akan semakin menghilang. Begitu pula dengan umat Kristiani di negara Indonesia yang sangat plural ini. Tidak dapat diingkari bahwa ada umat Kristiani yang membangun tembok–tembok tinggi dan kokoh dalam komunitas Gerejanya masing–masing. Sehingga muncul komunitas dari Gereja–Gereja yang berusaha membangun diri lebih baik dari orang–orang di luar Gereja. Gereja yang demikian menjadi semakin tertutup, menjadi antipati terhadap orang–orang di luar Gereja bahkan bisa jadi
TIDAK ADA BAB 5
anti untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Sayangnya, makin tinggi dan kokoh tembok yang dibangun, justru semakin dipenuhi dengan ketakutan, ketidakpercayaan dan kecurigaan terhadap orang–orang di luar Gereja. Padahal sebagai makhluk sosial, kehidupan kita tidak dapat dibatasi oleh tembok–tembok agama, suku, budaya, adat dan ideologi–ideologi tertentu. Kehidupan manusia lebih luas dari itu semua. Perjuangan atas nilai–nilai kemanusiaan dan kebaikan memiliki nilai lebih berharga dan bermakna dari pada tembok–tembok perbedaan yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok perbedaan itulah yang menunjukkan bagaimana manusia beradab, manusia yang tidak kehilangan eksistensi dirinya sebagai manusia yang merdeka. Penulis menyadari bahwa fenomena tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita di Indonesia. Fenomena tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan mempengaruhi spiritualitas kehidupan kita sebagai umat Kristiani dan mempengaruhi kita dalam membaca serta memahami teks Kitab Suci. Oleh karena itu, kita perlu untuk menggumuli iman kita kepada Tuhan secara kontekstual, yakni dengan melibatkan pengalaman dan konteks hidup kita di samping melakukan pembacaan Kitab Suci dan penghayatan terhadap tradisi–tradisi Kekristenan. Berangkat dari hal tersebut, penulis melihat bahwa konsep yang diusung oleh teologi pembebasan dapat membantu kita untuk menghayati iman kita di tengah–tengah kehidupan ini. 2
Mengapa penulis menggunakan teologi pembebasan dalam melakukan penelitian ini? Penelitian ini dilakukan karena teologi pembebasan memiliki fokus pada perjuangan pembebasan bagi orang–orang yang tertindas dan tereksploitasi. Mereka biasanya adalah orang–orang yang ada di luar komunitas–komunitas eksklusif yakni orang–orang yang tidak memiliki komunitas apapun, bahkan orang–orang yang tidak diperhitungkan sama sekali dalam komunitas manapun. Dengan demikian, penulis berharap melalui teologi pembebasan dapat membantu untuk melihat hal–hal yang berada di luar tembok–tembok perbedaan yang ada. Di mana orang–orang yang tertindas dan tereksploitasi inilah biasanya yang ada di luar tembok–tembok tersebut, sebab keberadaan mereka yang miskin, sekarat, menderita entah karena masa lalu mereka atau karena lingkungan sekitar yang menjaga mereka tetap berada di luar tembok, menjadikan mereka tetap miskin, tak terlindung dan lemah. Hal ini penting dan menarik bagi penulis sendiri. Penulis menyadari jika selama ini penulis juga hidup berbatasan dengan tembok–tembok agama, suku, budaya bahkan juga tembok–tembok yang membatasi manusia dalam kelas–kelas ekonomi, sosial dan politik, meski batasan itu tidak terlalu kaku namun masih terlihat cukup jelas batasan yang memisahkan satu dengan lainnya.
TIDAK ADA BAB 5
Oleh sebab itu, penulis akan membaca teks Kitab Suci melalui teologi pembebasan, hal tersebut penulis lakukan dalam upaya untuk dapat menggali teks Kitab Suci tanpa terlepas dari teologi yang kontekstual. Sebagaimana yang diperkenalkan oleh Stephen B. Bevans dengan keenam model teologi kontekstual, yaitu model terjemahan, model antropologis, model praksis, model sintesis, model transendental dan model budaya tandingan. Model–model teologi kontekstual yang diusung Bevans tersebut didasarkan pada pengalaman, kebudayaan, perubahan budaya, konteks sosial dan juga amanat Injil serta tradisi1. Dari keenam model tersebut, model praksis adalah model yang paling mendekati dengan konsep teologi pembebasan. Model praksis mengawali langkah dengan melakukan tindakan yang penuh komitmen, dilanjutkan dengan refleksi yang berdasarkan pada analisis terhadap konteks sosial disertai dengan peninjauan terhadap Kitab Suci dan tradisi, lalu terus bergerak hingga pada tahap aksi. Tidak berhenti sampai di sini melainkan kembali melakukan refleksi menuju pada aksi dan begitu seterusnya.2 Model praksis dengan pergerakkannya yang dinamis dan terus berkelanjutan antara aksi dan refleksi mencakup serta di dalamnya teologi pembebasan, yang juga bergerak berlandaskan aksi–refleksi. Model praksis beserta di dalamnya teologi pembebasan sama–sama bertujuan untuk terjadinya perubahan sosial. 1 2
Stephen B. Bevans, Model – Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), h.59. Stephen B. Bevans, Model – Model Teologi Kontekstual, h.139.
3
Ada tokoh–tokoh yang mewarnai tiap model dalam model–model teologi kontekstual. Pada model praksis, khususnya pada tema teologi pembebasan. Penulis akan menggunakan gagasan yang diusung oleh tokoh Gustavo Gutiérrez, seorang teolog pembebasan berlatar belakang konteks Amerika Latin dan Aloysius Pieris, seorang teolog pembebasan yang berlatar belakang konteks Asia. Gagasan–gagasan yang diusung oleh kedua teolog pembebasan tersebut akan dipakai penulis sebagai rekan dialog dalam membaca teks 1 Raja–Raja17:7–24. Teori kedua tokoh teolog pembebasan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab dua. Selain dua tokoh di atas, penulis juga akan berdialog dengan gagasan yang dikemukakan oleh Marcella Althaus-Reid dan Mercy Amba Oduyoye. Kedua tokoh tersebut mengkaji konteks sosial dan budaya atas orang–orang yang menderita dan tak diperhitungkan, dengan berintisarikan pada teologi pembebasan. Altheus-Reid mengemukakan gagasannya melalui tulisannya berjudul The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded. Altheus-Reid berangkat dari konteks sosial Amerika Latin, di mana banyak sekali orang–orang yang mengalami kemiskinan yang dahsyat, hingga mengakibatkan berbagai krisis multidimensi yang harus ditanggung oleh orang–orang miskin
TIDAK ADA BAB 5
tersebut. Orang–orang miskin tersebut sering mengalami penolakan bahkan dianggap tidak dapat diterima di dalam masyarakat. Mereka ini disebut dengan fracasados.3 Altheus-Reid berangkat dari konteks sosial tersebut yaitu dengan membaca orang–orang dalam konteks yang nyata terjadi saat ini di Amerika Latin untuk memahami Kitab Suci4. Melalui fracasados, Altheus-Reid melihat secara mendalam bagaimana mereka melakukan pembacaan Kitab Suci dalam penghayatan iman mereka kepada Yesus Kristus. Altheus-Reid menunjukkan beberapa hal yang dilakukan oleh fracasados dalam membaca Kitab Suci, di antaranya ialah dengan memotong–motong sebagian teks Kitab Suci kemudian mencampurkannya pada secangkir teh dan meminumnya. Mereka memilih teks yang dianggap menyentuh kehidupannya secara nyata, serta mereka meyakini bahwa hal tersebut dianggap mampu berdampak pada kehidupan mereka dengan memberikan kekuatan dan perlindungan atas diri mereka dari kekuatan jahat yang hendak menghancurkan kehidupan mereka. Misalnya,
3
Marcella Althaus-Reid, 2003, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, Ed. by Mercy Amba Oduyoye& Hendrik M. Vroom, (Amsterdam: Rodopi B.V, 2003), h.204. 4 Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.199.
4
menjauhkan dari para polisi yang akan menggusur tempat tinggal mereka.5 Selain itu mereka juga menggunakan simbol–simbol populer untuk membantu memahami teks Kitab Suci, misalnya dengan mengganti tokoh Samson dengan Lord San Son. Tokoh yang mereka gunakan adalah tokoh yang dianggap dapat menguatkan mereka dan yang memiliki kemiripan dengan konteks kehidupan mereka, meski demikian mereka tetap berdoa kepada Yesus Kristus.6 Altheus-Reid memulai dengan melihat konteks nyata, lalu melakukan identifikasi elemen– elemen kunci atas pokok–pokok kebudayaan dan spiritualitas mereka. Mereka menghidupi iman mereka kepada Tuhan dengan cara melakukan tindakan yang mencerminkan kehidupan nyata mereka dalam membaca teks Kitab Suci. Bisa jadi apa yang dilakukan itu merupakan suatu tindakan yang sangat sederhana, mengandung makna dan harapan begitu dalam kepada Kristus untuk mengayomi kehidupan mereka yang sangat dekat dengan penderitaan dan kematian. Justru melalui cara membaca teks Kitab Suci yang berbeda tersebut mereka mengalami pembebasan, dalam arti bahwa mereka tidak memahami Kitab Suci dari bentukan atau cara pihak lain memahaminya. Fracasados berani berdiri sendiri dalam upayanya menghayati Kristus melalui pembacaan dan pengalaman kehidupan mereka sehari–hari meski sedikit kesempatan untuk
TIDAK ADA BAB 5
mendapat pengakuan dan tempat dalam masyarakat.
Sedangkan tokoh yang seorang lagi, yaitu Mercy Amba Oduyoye melalui tulisannya berjudul African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective mengangkat konteks kehidupan keafrikaannya terkait dengan Kekristenan yang dibawa masuk oleh misionaris Eropa. Oduyoye mengungkapkan bahwa Kekristenan yang dibawa oleh para misionaris tidaklah murni mengabarkan Berita Sukacita bagi orang–orang pribumi Afrika, melainkan Kekristenan yang diboncengi dengan upaya–upaya memasukkan budaya Barat. Sehingga nilai–nilai yang dimasukkan oleh misionaris Eropa lebih banyak nilai–nilai kebudayaan Barat dari pada Berita Sukacita yang menjadi inti dari Kekristenan itu sendiri. Misalnya, penghapusan dan pelarangan poligami yang dilakukan oleh para misionaris melalui Gereja–Gereja. Padahal dalam kebudayaan Afrika, orang Afrika sangat menghargai kesakralan dan keutuhan keluarga dengan banyak istri dan banyak anak. Adanya penghapusan dan larangan poligami, membuat banyak keluarga di Afrika terpecah. Banyak perempuan menjadi janda dan menjadi orang tua tunggal. Padahal posisi perempuan yang telah menjadi janda secara sosial dan
5
Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.210. 6 Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.216.
5
politik semakin lemah, sehingga kaum perempuan makin termarginalkan tanpa bisa mengungkapkan protes dan argumen mereka. Hal ini diperparah dengan paham feminisme yang dimasukkan oleh para perempuan dari Eropa. Di mana perempuan–perempuan ini mengajarkan dan menunjukkan apa yang seharusnya para perempuan Afrika lakukan, misalnya dengan tidak melakukan poligami. Hal tersebut diajarkan kepada para perempuan Afrika tanpa terlebih dahulu membuka dialog dan mendengar pendapat dari para perempuan Afrika dalam konteks keafrikaan mereka.7 Apa yang dilakukan oleh para misionaris tersebut menimbulkan konflik dengan kebudayaan setempat. Konflik tersebut justru tidak terjadi antara nilai–nilai Kristiani yang diperkenalkan dengan masyarakat Afrika, melainkan konflik terjadi antara budaya setempat dengan budaya barat yang dibawa masuk oleh para misionaris.8 Oduyoye menilai bahwa inkulturasi yang dilakukan oleh misionaris Eropa seharusnya dapat membawa Berita Sukacita dalam Kitab Suci menjadi berita yang benar–benar membawa sukacita bagi orang–orang Afrika bila inkulturasi dilakukan dengan penuh penghormatan terhadap hak asasi manusia, menyatakan keadilan dan menghargai emansipasi wanita serta mengakui eksistensi orang–orang yang tertindas, bukan
TIDAK ADA BAB 5
justru menindas dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, inkulturasi dilakukan tanpa dilepaskan dari konteks budaya setempat, supaya pengabaran Berita Sukacita tetap menjadi berita yang membawa sukacita yang membebaskan bagi orang–orang Afrika. Oduyoye menyatakan bahwa dialog dan komunikasi dengan budaya setempat tidak dapat dielakkan dalam suatu proses inkulturasi, di samping itu juga perlu melihat konteks masyarakat setempat secara holistik termasuk juga dengan keberadaan kaum perempuan. Sebab perempuan memiliki nilai dan peranan penting dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan Afrika dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan seperti di atas. Para perempuan Afrika dengan kreatif dan berani menggunakan simbol–simbol, ritual, drama dan perayaan untuk menghayati dan mengekspresikan Injil, sehingga Injil dapat dihayati dalam berbagai bentuk ekspresi dengan media–media yang ada. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki cara hermeneutik sendiri yang berbeda namun mampu mentransformasi
7
Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h. 55 -56. 8 Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.42.
6
nilai–nilai Kekristenan pada budaya Afrika, sehingga mereka mengalami inkulturasi yang benar– benar membebaskan.9 Sebagaimana Altheus-Reid dan Oduyoye, penulis akan melakukan penelitian dengan nilai–nilai yang terkandung dalam teologi pembebasan. Penulis tidak meninjau secara langsung konteks sosial dan budaya pada masyarakat tertentu sebagaimana kedua tokoh tersebut, melainkan lebih berfokus langsung kepada teks meskipun juga akan bersinggungan dengan konteks sosial di Indonesia. Teks yang akan penulis teliti adalah salah satu teks yang ada dalam Perjanjian Lama. Pada teks Perjanjian Lama banyak diwarnai oleh kisah–kisah “pembuangan”. Pembuangan dalam sejarah bangsa Israel oleh bangsa Asyur pada 722 SM dan oleh bangsa Babel pada 586 SM. Jauh sebelum itu, telah ada kisah “pembuangan” yang dialami oleh orang–orang pilihan Allah, yaitu “pembuangan” dalam arti harus keluar dari wilayah atau tempat tinggalnya menuju ke wilayah yang sama sekali asing baginya, dengan penuh kesadaran untuk diutus Allah. Misalnya, “pembuangan” Abraham yaitu Abraham mematuhi perintah Allah untuk pergi dari negerinya menuju negeri yang sama sekali belum diketahuinya. Dari seluruh kisah “pembuangan” yang tertulis dalam Perjanjian Lama, penulis tertarik dengan kisah
TIDAK ADA BAB 5
“pembuangan” nabi Elia dalam teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 untuk kemudian dibahas dalam penelitian ini.
1 Raja–Raja 17: 7–24 berisi tentang kisah nabi Elia yang mengalami “pembuangan” yakni nabi Elia diutus oleh Allah untuk pergi dari sungai Kerit ke Sarfat, wilayah Sidon yang berada di luar wilayah tempat tinggalnya. Kepatuhan nabi Elia kepada Allah, membawa nabi Elia pergi dari tempat tinggalnya, tercabut dari kebiasaan dan kehidupannya untuk ditempatkan pada konteks kehidupan yang berbeda sama sekali. Dari sini, nabi Elia kemudian bertemu dengan seorang perempuan yaitu seorang janda yang miskin di Sarfat. Kedua tokoh dalam teks tersebut, yaitu nabi Elia dan janda miskin di Sarfat, memiliki latar belakang konteks sosio-budaya yang berbeda, juga iman dan kepercayaan yang berbeda pula. Akan tetapi ada kesamaan di antara keduanya yaitu keduanya menderita kelaparan. Nabi Elia dalam pelariannya tanpa bekal apapun mengalami kelaparan. Demikian juga dengan janda tersebut, yang dalam kemiskinannya hanya memiliki sedikit tepung terakhir dan sedikit minyak bagi dirinya dan anaknya. Kemudian setelah tepung dan minyak terakhir itu habis, maka janda tersebut dan anaknya akan mati.
9
Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.60.
7
Pertemuan kedua tokoh yang sama–sama mengalami kelaparan tersebut menarik bagi penulis. Justru dalam berbagai keterbatasan yang ada sekaligus perbedaan yang melatarbelakangi keduanya, menjadikan kedua tokoh tersebut saling menolong seorang akan yang lain hingga keduanya mampu untuk melanjutkan hidup. Kisah ini terasa dekat dengan konteks kehidupan di Indonesia yang kental dengan penderitaan dan kemiskinan sekaligus memiliki masyarakat yang plural dengan berbagai macam adat, budaya dan iman kepercayaan. Tampaknya kisah pada teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 akan menarik dan semakin memperkaya makna bila dibaca melalui perspektif teologi pembebasan yang banyak mengajarkan akan perjuangan bagi orang–orang yang menderita demi kebebasan dan kelanjutan hidup. A.2 Rumusan Pertanyaan Skripsi Melihat latar belakang yang telah penulis utarakan di atas, maka rumusan pertanyaan dalam skripsi ini ialah: -
Nilai–nilai dan praksis liberatif seperti apakah yang digaungkan oleh teks 1 Raja–Raja 17:7–24?
-
TIDAK ADA BAB 5
Pemerkayaan seperti apa yang muncul apabila teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dibaca melalui perspektif teologi pembebasan?
B. Judul Skripsi Orang Lapar yang Saling Membebaskan : Tinjauan Teologis atas 1 Raja–Raja 17: 7–24 dari Perspektif Teologi Pembebasan
C. Tujuan Penulisan Skripsi Penulis menggunakan teologi pembebasan sebagai lensa dalam membaca teks, sebab teologi pembebasan memiliki fokus terhadap suara–suara dari ‘pinggir’, yakni suara–suara yang hampir tidak terdengar bahkan mungkin sengaja tidak didengar karena suara mayor yang mendominasi. Mengapa suara dari ‘pinggir’ tersebut menjadi penting? Sebab orang–orang pinggir melakukan perjuangan yang hebat untuk hidup. Orang–orang pinggir adalah orang–orang dengan jumlah mayoritas, keberadaan mereka jauh lebih banyak dari pada kaum elitis dan orang–orang kaya. 8
Mereka adalah orang–orang yang berada dalam berbagai keterbatasan terutama keterbatasan sistem yang membuat suara mereka semakin tidak terdengar. Orang–orang pinggir berjuang untuk melawan mental miskin, sebab miskin adalah dosa, baik itu pemiskinan ataupun tanpa upaya membiarkan dirinya dimiskinkan. Dalam kehidupan nyata, suara–suara dari ‘pinggir’ itu tampak dari orang–orang miskin yang keberadaannya tidak diperhitungkan dalam masyarakat secara umum, mereka adalah orang–orang yang tertindas dan tereksploitasi, sehingga seringkali suara yang terdengar adalah suara–suara dari kaum elitis. Demikian juga dalam teks Kitab Suci, seringkali suara yang muncul dan diulas mendalam adalah suara kaum elitis, misalnya tentang raja Daud, raja Salomo dan sebagainya. Maka, tujuan dari penulisan skripsi ini ialah bahwa penelitian yang dilakukan penulis dapat menjadi salah satu alternatif dalam memunculkan suara–suara dari ‘pinggir’ pada pembacaan teks Kitab Suci, khususnya teks 1 Raja–Raja 17: 7–24. Selain itu, alternatif tersebut bisa digunakan dalam melihat konteks di Indonesia, di mana banyak sekali orang–orang ‘pinggir’ yang tidak mampu menyuarakan suaranya. Sehingga, alternatif tersebut dapat dijadikan model dalam pembacaan Kitab Suci sekaligus dalam melihat konteks kehidupan di Indonesia.
TIDAK ADA BAB 5
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan pembacaan teks 1 Raja–Raja17:7–24 ialah membaca teks dengan menggunakan perspektif dari teologi pembebasan. Tentu metode yang penulis pilih ini tidak terlepas dari kekurangan–kekurangan di samping kelebihan yang membuat metode ini layak dipakai dalam menafsir sebuah teks. Metode ini tidak dapat berdiri sendiri, ia tidak dapat digunakan hanya dengan menggunakan teori yang dipilih itu saja. Menurut penulis, hal ini menjadi kekurangan sekaligus juga menjadi kelebihan dari metode ini. Menjadi kekurangan sebab dalam menggunakan teologi pembebasan sebagai teori yang dipilih dalam metode tersebut, perlu bantuan dari disiplin ilmu lainnya dan juga dari metode–metode tafsir lainnya. Misalnya dalam proses pembacaan teks dengan menggunakan perspektif dari teologi pembebasan, pada saat itu juga diperlukan pandangan–pandangan dari disiplin ilmu lain seperti ilmu sosial dan politik, serta dibutuhkan juga metode historis kritis, narasi dan lainnya untuk membantu menafsirkan teks. Dengan banyaknya bantuan dari disiplin ilmu lain dan metode tafsir lain, penulis lihat dapat memunculkan berbagai kemungkinan–kemungkinan lain atas teks yang diteliti. Di sinilah letak kelebihan dari metode tersebut, yaitu dapat memperkaya nilai dan makna
9
dari teks terkait meskipun tidak menutup kemungkinan terhadap munculnya sanggahan– sanggahan yang dapat merevisi dan memperdalam kajian atas teks yang diteliti. Dalam proses penafsiran yang menggunakan perspektif teologi pembebasan, diperlukan pula wawasan yang luas terkait dengan konteks teks dan konteks hidup masa kini, supaya penafsiran yang dihasilkan bukanlah penafsiran yang naif serta tujuan semula dari penelitian ini tercapai, yakni menjadi salah satu alternatif dalam memunculkan suara–suara dari ‘pinggir’ pada pembacaan Kitab Suci. Itulah mengapa pembacaan teks Kitab Suci dengan menggunakan lensa tertentu menurut penulis adalah sesuatu yang menarik. Membaca teks menjadi lebih bergairah karena tidak hanya menggunakan satu sudut pandang dari satu disiplin ilmu saja atau satu metode tafsir saja. Penulis juga menyadari ketika melakukan pembacaan teks Kitab Suci dengan menggunakan metode ini perlu waspada supaya lensa yang digunakan untuk membaca teks tidak mendominasi dan memaksakan kehendak pada teks yang dibaca. Lensa yang digunakan dalam metode ini merupakan alat untuk membantu membaca teks guna memperkaya makna yang dimunculkan oleh teks dari sudut pandang yang lain, sehingga bukan lensanya yang menjadi fokus utama
TIDAK ADA BAB 5
melainkan teks Kitab Sucinya. Selain mengupayakan supaya lensa yang dipakai tidak mendominasi dan memaksakan kehendak atas teks Kitab Suci yang dibaca. Penulis menyadari bahwa pembaca teks yang menggunakan metode pembacaan teks Kitab Suci dari lensa tertentu perlu juga untuk menjaga agar disiplin ilmu lain yang dipakai untuk menunjang metode tersebut tidak membuat pembacaan teks Kitab Suci terlalu melebar ke arah disiplin ilmu tertentu, karena tanpa disadari dapat memaksakan kehendak atas teks Kitab Suci dalam memunculkan nilai dan makna yang terkandung di dalamnya.
E. Sistematika Penulisan Bab I
: Pendahuluan. Pada bagian ini berisi mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan serta tujuan dilakukannya penelitian ini.
Bab II
: Pada bab dua ini berisikan teori dari perspektif yang akan digunakan dalam penelitian yaitu teologi pembebasan, selanjutnya digunakan sebagai perspektif dalam melakukan pembacaan atas teks 1 Raja–Raja 17: 7–24.
10
Bab III : Menafsirkan teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dari perspektif teologi pembebasan. Pada bab ini, penulis akan melihat teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dengan menggunakan perspektif teologi pembebasan dalam proses penafsiran teks tersebut. Bab IV : Kesimpulan dan Penutup. Bab terakhir ini berisikan kesimpulan, evaluasi serta rekomendasi–rekomendasi bagi kehidupan masa kini.
TIDAK ADA BAB 5
11