1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar, sehingga Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dituju oleh masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah salah satu universitas yang dikaitkan dengan Yogyakarta. UGM memiliki 18 Fakultas, terbagi atas ilmu eksakta dan ilmu sosial. Mahasiswa dari berbagai fakultas diwadahi oleh kegiatan-kegiatan kampus dengan cakupan jurusan, fakultas sampai pada skala universitas. Kegiatan-kegiatan mahasiswa tersebut dapat berupa kegiatan akademis dan non-akademis. Kegiatan akademis dan non-akademis memberikan keberagaman tipikal mahasiswa. Tipikal mahasiswa yang fokus pada belajar sehingga mampu bersaing dengan teman-teman di kampus. Hal ini terkait dengan orientasi mahasiswa yang mengarah pada pencapaian prestasi akademis. Tipe lainnya yaitu mahasiswa yang fokus pada keterlibatan dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan memberikan sebuah lingkungan pertemuan bagi mahasiswa yang memiliki dengan ideologi dan karakter tersendiri pada masing-masing organisasi tersebut. Sisi lain dari mahasiswa adalah pergaulan sosial, sehingga terdapat mahasiswa dengan tipe fokus pada pergaulan sosial. Pergaulan sosial tersebut dapat berupa adanya aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada tempat populer di kalangan muda. Tempat tersebut dapat disebut dengan “tempat
1
2
nongkrong” seperti, kafe, pusat perbelanjaan, tempat kuliner dan lokasi-lokasi favorit lainnya. Setiap lingkungan pergaulan sosial menentukan penampilan dan gaya hidup yang berbeda. Selain menekuni aktivitas sebagai mahasiswa, mahasiswa juga fokus pada hobi yang digemari. Hobi yang ditekuni seperti, bermain alat musik, olahraga, menulis, fotografi, dan hobi lainnya. Kecenderungan hobi tersebut terbentuk
dalam
komunitas.
Komunitas
ini
memberikan
lingkungan
pertemanan yang sesuai dengan kelompok hobi masing-masing. Keberagaman dimensi aktivitas mahasiswa terdapat aktivitas inti di dalamnya yaitu mengikuti perkuliahan. Aktivitas perkuliahan ini menciptakan lingkungan pertemanan di lingkungan kampus. Lingkungan pertemanan ini membangun interaksi antara mahasiswa dan teman. Selain itu, lingkungan kampus dapat membangun interaksi serta interaksi mahasiswa dan dosen. Interaksi mahasiswa dan teman dapat berupa teman untuk belajar bersama atau teman untuk mengerjakan tugas bersama. Terdapat kebiasaan lain dari mahasiswa, yaitu teman untuk meminjam catatan matakuliah. Terdapat tipe interaksi dengan teman untuk mencurahkan segala cerita yang terkait permasalahan pribadi. Teman untuk menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat yang digemari, seperti yang disebutkan sebelumnya. Interaksi lainnya yaitu interaksi mahasiswa dengan dosen. Interkasi dengan dosen dan mahasiswa juga memberikan beberapa gambaran, seperti, mahasiswa yang hanya mendengarkan penjelasan dari dosen. Terdapat tipe mahasiswa yang mengajukan pertanyaan disetiap kelas yang ada. Terdapat mahasiswa yang hanya diam saat proses perkuliahan berlangsung. Selain
3
kegiatan di dalam kelas terdapat beberapa bentuk interaksi dengan dosen saat terdapat aktivitas yang membutuhkan intensitas yang tinggi, seperti kegiatan akademis di luar jam mata kuliah yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Menjalani aktivitas sebagai mahasiswa tentunya mendapat dukungan penuh dari keluarga, khususnya orangtua. Orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi sebagai bagian dari keinginan orangtua agar anak-anaknya mampu memiliki masa depan yang cerah. Selain itu, memiliki anak yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, orangtua menganggap anaknya telah beranjak mandiri tetapi belum secara utuh. Menjadi mahasiswa masih mendapatkan dukungan dari orang tua, berupa dukungan materil dan moril. Situasi tersebut di atas memberikan gambaran diri pada mahasiswa sebagai individu. Sebagai individu, mahasiswa memiliki kemampuan untuk menggambarkan
dirinya
secara
keseluruhan.
Kemampuan
seseorang
menggambarkan dirinya diperoleh dari pemikiran mengenai diri, perasaanperasaan yang muncul dalam diri, dan perilaku-perilaku dalam keseharian individu. Gambaran diri sendiri juga dapat memberikan informasi mengenai karakter-karakter dari individu, emosi-emosi yang dimiliki sebagai manusia, kepribadian yang khas sebagai individu yang unik. Kemampuan individu menggambarkan dirinya disebut self dalam ilmu psikologi. Gambaran self tidak hanya refleksi diri sendiri tetapi juga berdasarkan refleksi dari hasil relasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Self adalah kajian mengenai pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu (Caselman & Self, 2007). Self merupakan konsep mendasar dalam psikologi (Fronzi, 2009). Self disebut
4
mendasar karena pembahasan mengenai self berkaitan erat dengan aspekaspek utama kehidupan manusia (Myers, 2007). Dalam rangka mengetahui epistimologi dan ontology terciptanya aspek-aspek realita sosial, kajian mengenai self dianggap penting karena kajian ini adalah materi utama (Schmarmer, 2007). Kehdidupan manusia terbagi atas kehidupan individu dan kehidupan sosial. Kajian penelitian mengenai self menurut Baumeister (1998) terbagi atas kajian self sebagai individu dan self dengan interaksi sosial. Kajian self sebagai individu yaitu, kesadaran reflektif dan self sebagai eksekutif. Kajian self dengan interkasi sosial yaitu interpersonal self yaitu mengkaji self saat berinteraksi dengan orang lain. Hasil kejian-kajian interpersonal self menunjukkan adanya kondisi tipe hubungan antara self dengan orang lain dan siapa saja orang-orang tersebut (Uleman, Rhee, Bardoliwalla, Semin, & Toyama, 2000). Kajian self pada setiap manusia akan berbeda, khususnya yang berkaitan dengan budaya (Batersby, 2006). Terdapat dua budaya yang sangat populer dalam psikologi lintas budaya yaitu budaya individualistik dan kolektivistik. Dua budaya tersebut dikembangkan oleh Triandis pada tahun 1980, kemudian beberapa bidang ilmu lain menerapkan dua budaya tersebut (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen 2002). Selajutnya, Traindis dan rekannya (1980) memaparkan beberapa karakteristik terkait dua budaya tersebut. Karakteristik budaya individualistik yaitu self-reliance, kompetisi, adanya jarak emosional dari in-groups, dan hedonisme (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Karakteristik budaya kolektivistik yaitu interdependence atau saling ketergantungan, integritas keluarga, dan kebersamaan (Berry, Poortinga,
5
Segall, & Dasen, 2002).
Dua budaya ini diterapkan pada konsep self oleh
Markus dan Kitayama (1991). Terkait dengan salahs atu kajian self yaitu interpersonal self, Markus dan Kitayama (1991) memberikan sebuah konsep interpersonal self berdasarkan latar belakang budaya individu. Markus dan Kitayama (1991) membagi menjadi dua konsep yaitu independent- self bagi orang dengan budaya indivisualitik yang menganggap self adalah hal yang utama, sedangkan konsep lain yaitu interdependent-self yang menganggap self terikat dengan orang lain dan penting untuk selaras dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Konsep independent-self dan interdependent-self menjadi dasar dari beberapa kajian self dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Penelitian
dilakukan oleh
Nishikawa,
Norlander,
Fransson,
dan
Sunnbom, 2007 menemukan bahwa remaja Jepang memiliki self - concept yang lebih rendah dibandingkan orang barat dan memiliki perbedaan besar antara actual-self dengan ideal-self atau self-discrepancy yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja di Swedia. Remaja Jepang merasa lebih tidak puas dengan diri mereka saat ini dibandingkan dengan remaja Swedia. Studi pertama dari Neumann, Steinhäuser, dan Roeder, 2009 menemukan bahwa orang-orang dengan interdependent-self (orang Cina) lebih bangga atas prestasi orang lain daripada prestasi diri sendiri, dibandingkan orang-orang independent-self (orang Jerman). Studi kedua menemukan bahwa terjadi peningkatan rasa bangga terhadap prestasi orang lain pada responden orang Jerman, setelah dikondisikan pada situasi interdependent self. Neumann, et.al. (2009) menegaskan bahwa self-construal (independent-self dan indeterdependent-self) berpengaruh pada tingkat rasa bangga atas prestasi
6
orang lain. Penelitian Neumann, et.al. (2009) menggunakan independent-self dan interdependent-self sebagai acuan teoritis untuk membandingkan kelompok-kelompok responden peneltian berdasarkan negara asal dari setiap kelompok responden. Hasil dari dua penelitian di atas menunjukkan adanya kecencerungan satu kelompok responden memiliki tingkatan dimensi self lebih rendah dan kelompok lainnya memiliki dimensi self lebih tinggi. Penelitian
lainnya
yang
mengacu
pada
independent-self
dan
interdependent-self sebagai acuan teoritis, menemukan hasil penelitian yang berbeda dari dua hasil penelitian di atas. Hasil penelitian dari Eaton dan Louw (2000) menjelaskan bahwa independent-self dan interdependent-self saling tumpang tindih dan saling berhubungan pada konteks self orang Afrika. Kedua konsep self
pada orang Afrika dapat berjalan bersamaan. Temuan ini
menekankan bahwa self-construal yang dikotomis tidak dapat diterapkan pada orang Afrika. Penelitian lainnya yakni hasil penelitian dari Lu (2008) menemukan kajian self pada orang Cina yang memiliki faktor bicultural yang mana dimensi budaya individualistik dan kolektivistik terdapat pada orang Cina. Self orang Cina dapat berupa individual-oriented self dan social-oriented self sebagai proses bicultural tersebut. Sisi lainnya, Orang Cina memusatkan pada diri sendiri yaitu kebahagiaan dan prestasi pribadi, sedangkan di sisi lain, orang Cina juga memusatkan pada hubungan yang kuat, terkait dengan diri orang lain, berorientasi pada komunal, memiliki hidup harmonis, berpikir dengan pertimbangan holistik, dan memiliki motivasi berprestasi bersama-sama. Berdasarkan dua hasil penelitian ini, maka penggunaan independent-self dan interdependent-self sebagai pijakan utama dalam penelitian tidak dapat
7
menjelaskan hasil penelitian yang bersebrangan dengan dua konsep self tersebut. Penjelasan ini sejalan dengan temuan dari Watkins dan Gerong (1997) yang menemukan bahwa responden orang Filipina memiliki persentase yang lebih tinggi pada self-description yang positif dibandingkan dengan responden Orang Amerika atau responden orang Cina. Hal ini mengidentifikasikan perbedaan-perbedaan
persentase
tingkat
self-description
tidak
dapat
dijelaskan oleh konsep independent-self dan interdependent-self. Hasil yang seharusnya muncul adalah self-description positif yang rendah pada responden Filipina dan Cina, sedangkan self-description positif yang tinggi pada responden Amerika. Matsumoto (1999) memandang bahwa penggunaan independent-self dan interdependent-self belum ada pembuktian secara empiris mengenai latar belakang budaya dari sampel penelitian dan cakupan studi budaya belum diteliti secara meluas, sehingga tidak ada dua budaya yang telah dibandingkan. Pemaparan ini memberikan pandangan bahwa mengacu pada konsep self dari Markus dan Kitayama (1991) tidak mampu memberikan temuan yang sesuai dengan apa yang terjadi pada konteks lokal manusia dan kekinian dari dimensi budaya manusia. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan lain untuk mengkaji self yang mampu menggali data awal yang berasal dari sudut pandang atau interpretasi anggota suatu komunitas budaya. Pendekatan seperti ini dapat digunakan untuk mengkaji self sebagai individu dan self saat berelasi dengan orang-orang yang ada disekitarnya.
8
Selain pendekatan kajian self, beberapa hal yang perlu diperhatikan pada kajian self dalam konteks budaya yakni perubahan budaya masyarakat. Seperti perubahan masyarakat Indonesia terjadi dari masa ke masa. Perubahan suatu kelompok masyarakat membawa pada perubahan sistem sosial, budaya, nilai-nilai, pola tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, dan cara pemenuhan kebutuhan (Soemardjan, 1981). Penyebab adanya perubahan sosial dan budaya pada suatu kelompok masyarakat yaitu adanya pergantian generasi (Soemardjan, 1981). Empat dekade yang lalu, budaya jawa dikenal sebagai budaya yang menkankan pada hubungan komunal (Mulder, 1992). Artinya, keberadaan orang lain sangat dibutuhkan karena manusia tidak hidup sendiri di dunia ini. Seperti keterlibatan secara utuh pada kegiatan lingkungan tempat tinggal (kampung) dan turut membantu persiapan acara-acara yang diselenggarakan oleh tetangga atau kerabat. Selain itu, adanya percakapan yang intensif antar tetangga menandakan bahwa keberadaan orang lain menjadi penting. Hubungan yang komunal ini terdapat nilai harmonis di dalamnya. Nilai harmonis ini termuat dalam kehidupan yang harmonis, memiliki hubungan yang baik, dan hubungan interpersonal yang harmonis. Semakin tinggi keterlibatan seseorang pada kegiatan kampung dan acara-acara lainnya maka menciptakan kehidupan yang harmonis. Semakin mampu meluangkan waktu untuk melakukan percakapan dengan tetangga maka semakin harmonis hubungan antar tetangga tersebut. Mulder (1992) menemukan adanya perubahan sosial budaya orang jawa khususnya Yogyakarta. Hubungan komunal semakin menipis ditandai dengan adanya kebutuhan akan privasi seseorang. Artinya, seseorang tidak memiliki waktu yang banyak untuk terlibat aktif pada setiap
9
kegiatan kampung dan acara keluarga. Percakapan antar tetangga tidak lagi dilakukan secara intensif. Aktivitas tersebut hanya dilakukan secara formalitas semata. Misalnya, menghadiri kegiatan kampung atau acara lainnya hanya sebatas memperlihatkan keberadaan diri pada acara tersebut, tetapi tdiak terlibat secara utuh. Hal ini dikarenakan adanya tendensi orang-orang yang mengarah pada pencapaian tujuan pribadi. Seperti adanya kecenderungan untuk fokus mencapai jenjang pendidikan tinggi dan fokus pada pekerjaan yang ditekuni. Interaksi interpersonal didasarkan oleh adanya kesamaan kepentingan
berupa
hubungan
yang
terkait
dengan
pekerjaan
atau
berdasarkan keperluan bisnis. Hubungan interpersonal antara orangtua dan anak juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya orangtua dan anak tidak mampu dekat secara emosional, maka kecenderungan hubungan orangtua dan anak yang lebih dekat secara emosional. Selain itu, hubungan orangtua dan anak lebih fleksibel. Hal ini terlihat dari orangtua dan anak jarang bahasa jawa halus. Kecenderungan menggunakan bahasa jawa “kasar” atau Bahasa Indonesia. Perubahan ini disebut oleh Mulder (1992) sebagai perubahan sosial budaya yang mengarah pada masyarakat yang modern. Perkembangan terus berlanjut pada saat ini yang disebut sebagai zaman digital. Interaksi interpersonal secara fisik digantikan oleh interaksi media digital. Perubahanperubahan sosial budaya masyarakat di Yogyakarta membutuhkan adanya kajian kekinian mengenai orang-orang yang hidup di budaya Yogyakarta. Relasi manusia menjadi penting dalam kehidupan sosial manusia. Pada kenyatannya relasi manusia tidak selamanya berjalan baik dan menimbulkan indikasi-indikasi negatif pada relasi. Berdasrkan pemaparan Mulder (1992) tersebut, perubahan masyarakat saat ini dapat menimbulkan gambaran yang
10
mengarah pada valensi negatif dan positif pada setiap relasi yang ada di lingkungan masyarakat. Langkah awal yang dilakukan untuk mendapatkan sudut pandang dari kelompok budaya responden yaitu pengambilan data yang dilakukan oleh Tim Peneliti Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) tahun 2011. Penelitian pelajar SMA dan Mahasiswa sebagai responden. Penelitian tersebut mengemukakan kecenderungan relasi self saat berinteraksi dengan Ibu, Ayah, dan teman dekat. Hasil analisis tematik menunjukkan manifestasi dari bentuk interaksi yang saling berkaitan antara ibu dan anak yang diperkuat dengan kategori kebersamaan. Kebersamaan ditekankan oleh responden bahwa hubungan dekat antara ibu dan anak adalah penting bagi responden. Nilai-nilai yang khas yaitu anak mampu berbakti kepada ibu. Anak diberikan emosi positif oleh ibu sehingga tercipta emosi positif tersebut dalam diri anak. Selanjutnya, terdapat identitas sebagai anggota keluarga yaitu sebagai anak. Pada interaksi dengan Ayah, komponen emosi positif berbeda dengan komponen emosi positif pada ibu. Hasil analisis ini, terdapat dua hal yang menjadi ciri khas dari emosi positif yaitu bersemangat dan bangga. Kategori berbakti terdapat saat bersama ibu dan ayah, kategori ini merupakan aspek diri yang seharusnya terdapat dalam diri seseorang. Nilai-nilai selanjutnya adalah kebersamaan yang dapat diindikasikan bahwa baik dengan ibu atau ayah, anak membutuhkan kebersamaan dengan kedua orangtua. Kategori jarak pada ayah tetapi tidak terdapat pada ibu merupakan penegasan bahwa ikatan emosional pada ibu lebih kuat dibandingkan dengan ayah. Hal yang unik ditemukan bahwa ayah menjadi sosok yang membimbing anak. Temuan ini sejalan dengan pendapat Mulder (1992) mengenai hubungan orang-tua
11
dan anak. terdapat ketergantungan secara emosional pada anak terhadap orangtua. Interaksi dengan teman dekat hasil analisis tematik menunjukkan adanya emosi yang berbeda dengan emosi positif pada orang tua. Teman dapat menciptakan hal-hal yang terkesan memberikan “kesenangan”. Kesenangan yang dimaksud adalah berbagi pada konteks berbagi cerita (curhat) dan melakukan aktivitas bersama yang menyenangkan. Selanjutnya, kategori sosok teman yang baik mengarah pada memiliki sikap yang baik. Teman dekat juga ditandai dengan adanya kategori keakraban dan bermakna sebagai orang yang berarti. Hasil analisis ini juga digambarkan bahwa adanya kecenderungan untuk menjadi diri sendiri dan bersikap biasa saja tanpa ada rasa berpura-pura, karena saat bersama dengan teman, responden mampu bercanda, menjadi humoris, dan bersenang-senang bersama dengan teman dekat. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya gambaran diri, ekspresi diri, afeksi, dan perilaku saat berinteraksi dengan orangtua dan teman dekat. Hasil penelitian Tim CICP membutuhkan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai self saat berelasi dengan orang-orang disekitarnya dan gambaran self sebagai individu. Selain itu, perlu adanya fokus kajian self pada kelompok masyarakat tertentu sehingga mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai kelompok masyarakat tersebut. Mahasiswa menjadi kelompok khusus dalam kajian self pada penelitian ini. Berdasarkan pandangan mengenai teori barat yang tidak dapat diterapkan pada konteks orang Indonesia, sehingga kajian khusus orang Indoensia menjadi penting. Perubahan generasi membawa pada perubahan
12
sosial budaya pada kelompok masyarakat. Adanya perubahan tersebut bagaimana kekinian mengenai self pada konteks orang Indonesia. Mengkaji self
pada mahasiswa terdapat relasi-relasi yang penting
sebagai bentuk dari interaksi individu dengan sosial. Relasi tersebut yaitu mahasiswa dan teman, mahasiswa dan dosen. Sebagai individu, terdapat interaksi yang juga tidak dapat dipisahkan yaitu interaksi antara orangtua dan anak (Kim & Park, 2000). Masyarakat Indonesia, khususnya jawa selalu mengaitkan seorang anak dengan orangtunya (Mulder, 1992). Misalnya, saat seorang anak berperilaku tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai masyarakat maka yang akan ditanyakan adalah siapakah orangtua dari anak tersebut (Mulder, 1992). Lingkungan keluarga merupakan tahap pertama perkembangan sosial bagi kehidupan manusia (Matsumoto & Juang, 2003). Mengkaji self pada mahasiswa juga tidak dapat dipisahkan dari relasi antara anak dan orangtua. Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat diajukan. Bagaimana gambaran self saat berelasi dengan teman, dosen, dan orangtua pada mahasiswa? Apa yang menjadi ciri khas gambaran self saat berelasi pada mahasiswa? Apakah berupa relasi instrumental, relasi emosional,
atau
bentuk
relasi
lainnya?
Bagaimana
mahasiswa
menggambarkan self sebagai individu? Apa yang menjadi ciri khas gambaran self mahasiswa sebagai individu? B. Rumusan Permasalahan Individu yang berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya memberikan dampak dalam bentuk-bentuk relasi dan penggambaran diri.
13
Dewasa ini, relasi antara manusia memiliki kendala-kendala seperti tidak berjalannya relasi yang baik antara individu dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Selain itu, terdapat konflik yang memungkinkan terjadi dalam relasi antar manusia. Sehingga, self yang seperti apa yang akan tampak pada relasi yang bervalensi positif dan negative. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa teori barat yang tidak dapat diterapkan pada konteks orang Indoensia. Berbicara mengenai budaya, terjadi perubahan dari generasi ke generasi. Perubahan budaya ini membawa pada perubahan pola pikir dan tingkah laku manusia serta pola interaksi antar manusia. Perubahan yang terjadi pada masyarakat di Indonesia, khususnya Yogyakarta dibutuhkan adanya gambaran kekinian mengenai self dan self saat berelasi dengan orang lain. Adanya kelompok masyarakat yang beragam membutuhkan fokus kajian self pada mahasiswa, sebagai kelompok masyarakat yang spesifik. Selanjutnya, cakupan self
yang luas maka
difokuskan pada kajian self saat berelasi dengan teman, dosen, dan orangtua serta self
sebagai individu.
Berdasarkan pemaparan tersebut
maka
dirumuskan permasalahan pada penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana mahasiswa menggambarkan self saat berelasi dengan teman? 2. Apa yang menjadi ciri khas pada self saat berelasi dengan teman? 3. Bagaimana mahasiswa menggambarkan self saat berelasi dengan dosen? 4. Apa yang menjadi ciri khas pada self saat berelasi dengan dosen? 5. Bagaimana mahasiswa menggambarkan self saat berinteraksi dengan orangtua?
14
6. Apa yang menjadi ciri khas pada self saat berelasi dengan orangtua? 7. Bagaimana mahasiswa menggambarkan self sebagai individu? 8. Apa yang menjadi ciri khusus self pada mahasiswa sebagai individu? C. Tujuan Penelitian 1. Menggali gambaran self pada mahasiswa saat berelasi dengan orangtua, teman, dosen, dan gambaran self pada mahasiswa sebagai individu. 2. Menemukan ciri khas dan penekanan khusus dari gambaran self saat berelasi dan self sebagai individu pada mahasiswa. 3. Menggali tipe relasi antara mahasiswa dengan orang-orang terkait yaitu, orangtua, dosen, dan teman. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan wawasan psikologi sosial terutama dalam wawasan mengenai self mahasiswa berdasarkan konteks relasi yang ada sebagai mahasiswa. Selain itu penelitian ini dapat menjadi tahap awal pengembangan mengenai self sebagai individu dan self saat berelasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. E. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya Beberapa tesis di Indonesia, berusaha mengkaji dan mengeksplorasi mengenai konsepsi diri, makna diri, dan self-construal yang dikaitakn dengan budaya orang Indoensia. Berikut adalah teisis mengenai diri : 1. Analisis Self-Construal (Makna Diri) dalam pendekatan dialogical self : Sebuah Telaah Psikologi Sosial (Murty, 2005). Penelitian ini mengenai
15
fleksibilitas dan kompleksitas makna diri, yaitu, suatu hal yang tidak dapat “dikungkung” dalam pen-tipologi-an independent dan interdependent self. Tesis pertama, bahwa dalam menghadapi masa-masa kritis kehidupan terdapat kecenderungan munculnya kondisi multivoiceness dalam makna diri individu. Tesis kedua, dalam keadaan terjadinya kondisi multivoiceness tersebut, posisi internal merupakan posisi yang paling menentukan bagi makna diri untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu. Subyek penelitian yaitu tiga orang yang memiliki permasalahan dalam hidup yaitu masalah perceraian. Hasil Penelitian : a. Internal and external positions repertoire Internal positions repertoire : subyek sebagai “ibu”, “istri”, “si bodoh”, “si pemalas”. Eksternal positions repertoire : “suami”, “si X (pria idaman lain)”, ‘anakanak”, “ayah”, “mertua”. b. Multivoicedness Pemarah saat bersama pasangan, ibu yang tidak baik saat bersama anak dan seharusnya menjadi role model bagi anak, wanita yang penuh gairah sehingga memiliki pasangan idaman lain. (poliponisasi = persetujuan, kontras, konflik, dan fragmen naratif) c. Culture positioning i. Internal
: ibu, istri, pemarah, ketidaknyamanan secara sosial.
16
ii. Eksternal
: suami, anak-anak, ayah, mertua, BR, surroundings.
Penekanan pada hasil penelitian yaitu (1) bahwa dimensi waktu menjadi unsur yang signifikan untuk diperhitungkan dalam proses pembentukan posisi budaya (cultural positions). Seperti diperlihatkan dalam kasus subyek penelitian, terjadinya proses pemosisian secara budaya tidak serta merta melahirkan posisi-posisi budaya dalam makna diri informan. (2) diemensi affect, seperti emosi dan preferensipreferensi, harus menjadi salah saru faktor yang dianalisa dalam situasi multivoicedness ataupun ketika menjadi moving positions dalam makna diri informan. Dimensi affect akan melengkapi penjelasan lebih lanjut mengenai pemaknaan (valuations) ketika makna diri mengalami perubahan-perubahan. 2. Diri Plural (Plural Self) : Analisis Diskursif Konsep tentang “Diri” : Studi Kasus pada Kaum Muda. (Chusairi, 2008). Penelitian di dilaterbelakangi adanya kemajuan zaman dan era globalisasi membuat nilai dan budaya tradisi bahkan kemudian dianggap kuno (absolete) sedangkan nilai-nilai baru tidak pernah lagi mencapai derajat kepastian yang dinikmati nilai dan tradisi sebelumnya. Diri yang merupakan konsep-konsep yang digunakan individu untuk merumuskan dirinya pada dasaranya menggunakan nilai dan simbol budaya yang sama dengan yang kini sedang mengalami krisis. Latar belakang sosial-budaya seperti yang diungkapkan di atas menjadi dasar pokok penelitian ini untuk berusaha mengeksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana diri pada kaum muda (remaja). Tujuan penelitian ini adalah Konsep-konsep pokok kaum muda dalam mengkonstruksi “diri”nya? Keragaman isi konstruksi tentang “diri”nya.
17
Hasil penelitian : Makna-makna yang kini memang diproduksi dan direproduksi system kapitalisme untuk berjual-belikan itu digunakan untuk merumuskan dirinya, khususnya sumber daya yang dapat dimiliki dengan memiliki. Kepemilikan itu yang terutama digunakan individu yang menjadi partisipan penelitian ini untuk mengkonstruksi dikurusus tentang dirinya. Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan penelitian tesis ini. Perbedaan terletak pada gambaran self saat berelasi spesifik dituju pada mahasiswa dengan significant others. Selain itu, penelitian ini juga menggali gambaran self pada mahasiswa sebagai individu. Penelitian ini diharapkan menjadi gambaran kekinian dari self pada mahasiswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan indigenous psychology.