BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berurusan dengan pengukuranpengukuran. Timbangan berat badan, thermometer suhu, speedometer kendaraan bermotor, dan penggaris adalah contoh-contoh alat ukur yang biasa digunakan manusia. Pengukuran tidak hanya berlangsung di ranah fisik akan tetapi juga banyak pengukuran-pengukuran yang diterapkan pada bidang-bidang non-fisik. Pengukuran non-fisik pun memiliki manfaat dan dampak yang luas pada kehidupan manusia sehari-hari, yang dalam hal ini disebut sebagai pengukuran psikologis. Beberapa contoh dari pengukuran psikologis antara lain ialah seorang siswa melakukan pengukuran terhadap kemampuan dirinya sebelum melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mengukur reaksi masyarakat terhadap kandidat politik meski tidak sedikit uang yang dihabiskan, begitu pula untuk mengukur sikap konsumen terhadap produk ataupun acara televisi yang baru (Nunnally, 1978). Contoh sederhana tersebut menggambarkan bahwa pengukuran psikologi adalah bagian yang penting dan sulit dipisahkan dari keseharian manusia. Furr dan Bacharach (2008) mendefinisikan pengukuran psikologi sebagai sebuah proses untuk menunjukkan kuantitas dari suatu atribut psikologi melalui penempatan angka-angka. Angka berfungsi untuk mengungkap seberapa besar atribut psikologis yang hendak diukur itu terdapat pada obyek. Proses pengukuran dapat dikatakan sukses apabila angka yang ditempatkan kepada sebuah atribut mampu mencerminkan jumlah atribut yang
1
2 “sesungguhnya” (Furr & Bacharach, 2008). Meskipun agaknya sulit untuk mendapatkan gambaran jumlah atribut yang sesungguhnya secara pasti karena pengukuran pada umumnya termasuk pengukuran psikologi selalu mengandung eror. Maka yang diharapkan dari pengukuran adalah menjaga seminimal mungkin terjadinya eror. Pada ranah penelitian, pengukuran memiliki peranan penting terutama bagi dasardasar penelitian psikologi (Nunnally, 1978). Pengukuran adalah jantung dari setiap proses penelitian baik itu penelitian eksperimen, survey dan pada setiap jenis penelitian kuantitatif; jika sebuah konsep tidak dapat diukur atau tidak terukur dengan baik maka konsep tersebut tidak dapat dipelajari dengan validitas ilmiah apapun (Furr dan Bacharach, 2008). Sejalan dengan hal itu Kerlinger (1990) menekankan pentingnya pengukuran yang memadai terhadap variabel penelitian secara khusus dalam penelitian-penelitan behavioral. Artinya apabila alat ukur yang dipakai kurang memadai maka hasil dari penelitian apapun menjadi kurang dapat dipercaya. Selain itu obyektifitas dalam penelitian pun sulit untuk tercapai. Pengukuran psikologi mengukur fenomena-fenomena sosial yang wujudnya ada namun mustahil untuk dilakukan pengamatan secara langsung terhadapnya. Konstruk sosial atau atribut yang dimaksud biasa disebut sebagai variabel laten yaitu variabel terselubung, variabel yang tak kelihatan, sebuah konstruk yang diduga mendasari perbedaan-perbedaan perilaku; contoh variabel laten antara lain kecemasan, konservatisme, dan kemampuan verbal (Kerlinger,1990). Para ahli yakin bahwa kemarahan, kebahagiaan, atau kecemasan itu wujud pada diri manusia tetapi tidak bisa diamati secara langsung, dengan demikian pengukuran psikologi punya pendekatan yang berbeda dan relatif lebih kompleks daripada pengukuran fisik, terutama dalam hal menetapkan validitas dan reliabilitas alat ukurnya. Pendekatan pengukuran tersebut terangkum dalam psikometri
3 yaitu ilmu tentang teori pengukuran psikologis yang mengkaji tentang pengembangan teori, model tes serta dasar-dasar evaluasi terhadap kualitas tes psikologi (Azwar, 2012). Patriotisme merupakan salah satu fenomena sosial yang sering kita saksikan efeknya dalam berbagai situasi nasional dan internasional (Otten dan Cohrs, 2010), sebuah atribut atau variabel laten yang jarang ditelaah oleh peneliti-peneliti di indonesia. Padahal sebagai fenomena kebangsaan, patriotisme diakui oleh berbagai pihak sebagai faktor dukungan penting bagi ketahanan bangsa. Bahkan sejumlah tokoh nasional menyeru untuk membangkitkan kembali semangat kebangsaan dan jiwa patriotisme terlebih lagi kepada generasi muda, diantaranya Ginanjar Kartasasmita (Irianto, 1997), Amien Rais (Republika.co.id), kemudian Syafi’i Maarif (Republika, 18 November 2014). Para tokoh sepakat bahwa permasalahan bangsa saat ini salah satunya disebabkan oleh semangat patriotisme yang menurun. Sehingga seorang individu tidak lagi memikirkan kepentingan sesama atau kepentingan bangsa yang lebih besar. Syafi’i Maarif menyebutkan bahwa seorang patriot sejati pasti tidak akan melukai bangsa dan tanah airnya dengan jalan merusak lingkungan, melakukan korupsi, mempermainkan pajak, berpolitik dengan niat busuk, dan berbagai bentuk perbuatan amoral yang lain. (Republika, 18 November 2014). Sejumlah peneliti memahami patriotisme sebagai modal penting bagi bangsa guna memperkokoh ikatan kebangsaan, memperkuat komitmen warganegara untuk melakukan kewajibannya kepada bangsa. Kahne dan Middaught (2007) menyatakan bahwa komitmen patriotik dapat memotivasi warganegara untuk terlibat secara aktif di dalam kehidupan bernegara dan berpolitik. Lebih rinci disebutkan komitmen patriotik dapat menuntun seseorang agar mampu lebih baik dalam menyeimbangkan antara kepentingan pribadinya
4 dan kepentingan masyarakat luas, mendahulukan kepentingan umum sama pentingnya dengan kepentingan pribadinya sendiri (Kahne dan Middaught, 2007). Penelitian yang dilakukan Lay dan Torney-Purta (2002) memperoleh hasil bahwa siswa yang memiliki kebanggaan kepada negara adalah lebih cenderung suka untuk berpartisipasi dalam politik konvensional (conventional politics) seperti bergabung dengan partai politik atau mengumpulkan dana dalam acara amal dan cenderung menghindari aktifitas-aktifitas illegal. Kemudian dijelaskan hal ini mungkin disebabkan karena kebanggaan terhadap suatu bangsa dapat menumbuhkan kesadaran akan kewajiban warga negara (civic duty) untuk mempraktekkan “good citizenship”. Dan bagi remaja secara umum, maksud dari karakter “good citizen” yang paling minimal adalah mematuhi hukum dan peraturan (Lay dan Torney-Purta, 2002). Keuntungan lain dari patriotisme yaitu sebagai motivasi konsumen untuk mencintai dan mendukung produk dalam negeri dari serangan impor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balabanis, Diamantopoulos, Mueller, dan Melewar (2001) menemukan bahwa consumer ethnocentrism (dalam artian konsumen lebih memilih produk dalam negeri daripada impor karena khawatir akan membahayakan ekonomi negara) warga Turki lebih banyak dimotivasi oleh patriotisme. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terkait dengan konsumsi, patriot kemungkinan besar memandang hal ini sebagai bagian dari kewajiban mereka kepada negara untuk melindungi ekonomi dan mendukung produsen-produsen domestik. Mereka juga cenderung untuk mencoba menghalangi invasi produk-produk impor jika itu dirasa akan membahayakan perekonomian bangsanya (Balabanis dkk., 2001).
5 Meskipun banyak pihak menyadari pentingnya patriotisme, ternyata kajian akademik yang membahas patriotisme terbukti minim. Selain itu patriotisme sebagai fenomena kebangsaan terlanjur dianggap sama dan sinonim dengan nasionalisme. Padahal dalam berbagai kajian belakangan ini banyak peneliti yang berpendapat bahwa patriotisme berbeda
dari
nasionalisme
(Kosterman
dan
Feshbach,1989;
Druckman,
1994;
Mummendey, Klink, dan Brown, 2001; Blank dan Schmidt, 2003). Dalam kajian bertema kebangsaan di Indonesia, diskusi tentang konsep patriotisme kurang populer dan tidak sebanyak nasionalisme. Penulis melakukan penelusuran judul karya ilmiah bertema kebangsaan pada laman pencarian elektronik tesis dan desertasi Universitas Gadjah Mada, hasilnya terdapat 40 judul penelitian dengan tema nasionalisme, 12 judul tema kebangsaan dan tidak ditemukan tema patriotisme. Sementara pada laman pencarian ETD Universitas Indonesia, ditemukan sembilan judul nasionalisme dan dua judul patriotisme. Wacana meningkatkan semangat patriotisme pada generasi muda, salah satunya dapat dimulai dengan mengetahui kondisi dan sikap patriotisme pemuda di masa sekarang ini. Mengetahui sikap patriotisme pemuda adalah langkah praktis yang dapat dilakukan saat ini, dengan demikian stakeholder dapat menyusun tahapan-tahapan selanjutnya untuk meningkatkan kesadaran patriotism generasi muda atau mengambil langkah pencegahan. Patriotisme adalah variabel sosial yang tidak dapat diamati secara langsung, maka digunakan pendekatan pengukuran psikologi untuk mengetahui sikap patriotisme. Patriotisme sebagai fenomena sosial memungkinkan untuk diukur dengan instrumen-instrumen pengukuran psikologi. Peneliti dibidang psikologi sosial acapkali menggunakan instrument ukur berupa inventori, tes psikologis maupun kuesioner untuk mengukur fenomena-fenomena psikologis yang rasa penting (Furr, 2011). Instrumeninstrumen tersebut termasuk yang paling luas penggunaannya dalam mengukur variablevariabel laten seperti sikap, traits, konsep diri, evaluasi diri, kepercayaan, kemampuan,
6 motivasi, tujuan, persepsi sosial dan variable sosial lainnya (Furr, 2011). Dalam pengembangan instrumen ukur, istilah tes umumnya digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur aspek afektif seperti sikap, minat, nilai dan sebagainya (Azwar, 2009). Sikap patriotisme merupakan aspek afektif atau performansi tipikal, maka penelitian ini akan menggunakan skala sikap sebagai instrumen dalam pengembangan alat ukur patriotisme. Adapun pengembangan skala sikap patriotisme belum banyak dilakukan oleh peneliti khususnya di Indonesia. Meskipun sejak dulu sudah banyak wacana digaungkan untuk membangkitkan kembali jiwa dan semangat kebangsaan patriotisme oleh sejumlah tokoh nasional. Karena hal itulah penulis merasa tertarik untuk mengembangkan skala pengukuran patriotisme. Dalam pengembangan skala sikap patriotisme ini penulis tidak menyusun skala dari awal, akan tetapi mengadaptasi skala patriotisme yang dikembangkan oleh Schatz, Staub dan Levine (1999).
7 B. Tujuan Penelitian Mengembangkan skala patriotisme dan mengekplorasi faktor-faktor skala patriotisme pada Mahasiswa perguruan tinggi negri. C. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan Psikologi khususnya bidang kajian Psikologi Politik serta dapat memberikan wawasan dan pengembangan alat ukur patriotisme.
2.
Manfaat Praktis Harapannya melalui penelitian ini akan didapatkan skala patriotisme yang memuaskan secara psikometris, maka skala patriotisme ini nantinya dapat dimanfaatkan dalam ranah pendidikan, pengembangan model pelatihan dan pemerintah sebagai penentu kebijakan. Hasil dari penelitan ini dapat menjadi batubata
pertama
untuk
dilanjutkan
ketahapan
menumbuhkan kembali patriotisme di Indonesia.
selanjutnya
dalam
rangka