BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Inflamasi merupakan suatu respon dari organisme terhadap invasi benda asing seperti bakteri, parasit, dan virus. Dalam konteks ini, respon inflamasi adalah reaksi pelindung yang penting untuk iritasi, luka, atau infeksi yang ditandai dengan rubor (merah), calor (panas), tumor (bengkak), dolor (nyeri), dan fungsio laesa (hilangnya fungsi). Rubor dan calor merupakan hasil dari peningkatan aliran darah, tumor berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan dolor merupakan konsekuensi dari aktivasi dan sensitisasi saraf. Peradangan kronis melibatkan peran sel darah putih terutama sel mononuklear antara lain : monosit, makrofag, dan limfosit (Calixto dkk., 2003). Pemahaman mengenai mekanisme inflamasi telah dibuktikan adanya penemuan untuk pengembangan obat baru yang dapat mengobati penyakit inflamasi yang kronis seperti arthritis, reumatik, alergi, asma, dan penyakit radang usus. Mediator-mediator inflamasi seperti kinin, platelete activating factor (PAF), prostaglandin, leukotrin, amina, purin, sitokin, kemokin, dan senyawa adhesi mampu menarik reseptor pada leukosit (e.g. mast cells and basophils) sehingga menyebabkan terjadinya peradangan (Calixto dkk., 2003). Adanya penemuan baru secara imunohistokimia, biokimia, senyawa, dan fungsional pada binatang dengan studi klinis meningkatkan minat dalam studi tentang mekanisme yang mendasari proses inflamasi. Dalam beberapa tahun terakhir, peran dari beberapa sel inflamasi dan mediator inflamasi dalam patologi
1
2
penting yang terkait dengan peradangan seperti Alzheimer dan gangguan kardiovaskular termasuk atherosclerosis serta kanker. Penemuan tersebut digunakan sebagai dasar untuk memahami mekanisme seluler dan senyawa pembentukan dasar dari proses inflamasi serta mengidentifikasi target baru untuk pengembangan inovatif suatu strategi terapi yang aman untuk mengelola penyakit inflamasi (Guyton & Hall, 2011). Penggunaan obat-obat tradisional menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan inflamasi yang dinilai lebih aman dari segi efek samping dan toksisitas (Awang, 2009). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai antiinflamasi adalah daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg). Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) diketahui mengandung beberapa zat aktif berkhasiat seperti flavonoid, sitosterol, asam hidrosinamat, asetilkolin, tanin, riboflavin, saponin, dan fenol. Daun sukun juga mengandung kuersetin, kaemperol, dan artoindonesianin (Wang dkk., 2007). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Secara umum flavonoid telah dipelajari lebih dari 70 tahun baik secara in vivo ataupun in vitro. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional (Robinson, 1995; Yanez & Davies, 2013). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa flavonoid dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Menurut Calixto dkk., (2003), senyawa flavonoid seperti rutin, kuersetin, wogonin, apigenin, galanin, morin, dan narigenin mampu
3
menghambat ekspresi COX-2 dan aktivitas makrofag. Dekokta dari daun sukun telah diteliti memiliki aktivitas antiinflamasi (Singh dkk., 2001; Abdasah dkk., 2009). Daun sukun pada dosis 60 mg/kgBB terbukti mampu meningkatkan aktivitas antiinflamasi dengan durasi 0,5 sampai 4 jam, dan bereaksi sebagai antagonis PGE-2 dan bradikinin pada trakhea (Singh dkk., 2001). Menurut Hastuti (2014) ekstrak etil asetat daun sukun 1.000 mg/kgBB
mempunyai aktivitas
antiinflamasi dan mampu menurunkan ekspresi COX-2 secara signifikan dengan senyawa pembanding indometasin. Ekstrak etil asetat daun sukun mampu menghambat inflamasi pada mencit yang diinduksi dengan thioglikolat (Andriani, 2013). Flavonoid dapat membentuk kompleks dengan AlCl 3. Sifat flavonoid yang dapat membentuk kompleks dengan AlCl 3 melalui dua macam gugus yang berbeda merupakan dasar penetapan adanya gugus hidroksi pada kedudukan tertentu dalam senyawa flavonoid dan juga menjadi dasar bagi penetapan kadar flavonoid (Pramono, 1989). Menurut Mujahid (2011) penetapan kadar flavonoid total dengan metode Chang dapat diterapkan pada semua standar atau baku flavonoid yang digunakan yaitu apigenin, kuersetin, rutin, dan hesperidin. Penelitian ini perlu dilakukan karena belum terdapat penelitian mengenai pelarut yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak daun sukun berdasarkan perbedaan polaritasnya yaitu etil asetat, etanol, dan air, sehingga dapat dibandingkan ekstrak apa yang memiliki aktivitas antiinflamasi yang paling baik dan adakah korelasi antara kadar flavonoid pada ekstrak daun sukun terhadap penghambatan migrasi leukosit.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Ekstrak apa yang memiliki aktivitas paling baik terhadap penghambatan migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi dengan thioglikolat?
2.
Apakah aktivitas penghambatan migrasi leukosit berhubungan dengan kadar flavonoid total? C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etil asetat, etanol, dan air daun sukun melalui penghambatan migrasi leukosit. 2.
Mengetahui korelasi kandungan flavonoid dengan aktivitas inflamasi melalui penghambatan migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi dengan thioglikolat.
D. Tinjauan Pustaka 1. Daun Sukun a. Deskripsi Tanaman Sukun Sukun termasuk dalam genus Artocarpus famili (moraceae) merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m. Kayunya lunak, kulit kayu berserat kasar, dan semua bagian tanaman bergetah encer. Buahnya berbentuk bulat berkulit tebal dan kasar, dengan warna hijau muda dan kuning dengan berat sekitar 1,5–3 kg.
5
Tanaman sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) dapat digolongkan menjadi sukun yang berbiji (breadnut) dan yang tanpa biji (breadfruit). Di musim kering, di saat tanaman lain tidak dapat tumbuh atau merosot produksinya, justru tanaman sukun dapat tumbuh dan berbuah. b. Klasifikasi Tanaman Sukun Klasifikasi tanaman sukun adalah sebagai berikut : Tabel I. Klasifikasi tanaman sukun
Buah sukun Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Plantae Filum:
Magnoliophyta
Kelas:
Magnoliopsida
Ordo:
Rosales
Famili:
Moraceae
Genus:
Artocarpus
Spesies:
A. altilis
Nama binomial Artocarpus altilis
c. Morfologi Tanaman Sukun Tumbuhan sukun memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Habitus
: Pohon, tinggi 10 – 25 m.
6
Batang
: Bulat, percabangan simpodial, bergetah, permukaan kasar dan berwarna cokelat.
Daun
: Tunggal, berseling, ujung runcing, tepi bertoreh, panjang 50 – 70 cm, lebar 25 – 30 cm, pertulangan menyirip, tebal, permukaan kasar dan berwarna hijau. : Semu majemuk, bulat dengan diameter 10 – 20 cm,
Bunga
berduri lunak, berwarna hijau. Akar
: Akar tunggang yang berwarna cokelat. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997)
Gambar 1. Morfologi daun sukun
d. Distribusi Sukun dapat tumbuh pada ketinggian hingga 900 meter di atas permukaan laut, suhu 15°C - 40°C, dan curah hujan setiap tahun 2.000 – 3.000 mm. Sukun tersebar hampir merata di seluruh daerah di Indonesia, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur dan banyak dibudidayakan di Kabupaten Cilacap (Ragone, 1997).
7
e. Khasiat Daun Sukun Masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan daun sukun untuk pengobatan penyakit hati, inflamasi, jantung, ginjal, sakit gigi, dan gatal-gatal. Masyarakat Taiwan secara tradisional menggunakan akar dan batangnya sebagai pengobatan penyakit hati dan hipertensi. Masyarakat menggunakan sukun untuk pengobatan dengan merebus daunnya, tetapi masih kurang diketahui kandungan khusus yang bermanfaat besar, bagaimana cara penggunaannya dan dosisnya. Daun sukun berkhasiat mengobati berbagai penyakit seperti, ginjal, jantung, liver, pembesaran limpa, tekanan darah tinggi, kencing manis, menurunkan kolesterol, meringankan asma dan juga bisa menyembuhkan kulit yang bengkak atau gatal-gatal (Ragone, 1997). f. Kandungan Kimia Daun Sukun Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) diketahui mengandung beberapa zat aktif berkhasiat seperti flavonoid, sitosterol, asam hidrosinamat, asetilkolin, tanin, riboflavin, saponin, dan fenol. Daun sukun
juga
artokarpin,
mengandung sikloartokarpin,
kuersetin,
kaemperol,
isosiklomorusin,
artoindonesianin, isosiklomulberrin,
sikloaltilisin, artonin E, sikloartobiloxanton, sikloaltilisin 7, sikloaltilisin 6, artoindonesianin F, artonol B, chaptashin (Hakim dkk., 2006; Patil dkk., 2002; Wang dkk., 2007).
8
a.
b.
c.
d.
e. Gambar 2. Kandungan beberapa senyawa daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) a. Artokarpin, b. Sikloaltilisin, c. Artonin E, d. Sikloartobilosantone e. Sikloaltilisin 6
9
2. Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat. Adapun tujuan dari ekstraksi yaitu untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia (Harborne, 1973). Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut, perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harborne, 1973). Keberhasilan ekstraksi suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bahan baku berupa simplisia, pelarut, dan metode ekstraksi. a. Simplisia Pembuatan simplisia terdiri atas pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan asing lainnya dari simplisia. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada simplisia. Untuk simplisia yang mengandung senyawa yang mudah larut dalam air, pencucian dilakukan dalam waktu yang singkat. Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan, dan penggilingan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dari simplisia agar dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan idealnya dilakukan secara cepat pada suhu kurang dari 60°C. Pengeringan yang lama dapat menyebabkan tumbuhnya kapang. Pengeringan dengan suhu terlalu tinggi dapat merusak senyawa yang tidak tahan panas. Sortasi kering
10
bertujuan untuk menghilangkan bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih ada dalam simplisia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985). Pembuatan serbuk simplisia dilakukan setelah sortasi kering. Tahap ini bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel simplisia agar permukaan simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas. Semakin halus serbuk maka semakin besar luas permukaan serbuk yang bersentuhan dengan penyari. Proses penyarian tergantung pada sifat fisika dan kimia simplisia. Serbuk yang terlalu halus dapat menyebabkan pecahnya dinding sel sehingga zat yang tidak diinginkan ikut ke dalam hasil penyarian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
b. Pelarut Pelarut atau cairan penyari yang akan digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk senyawa aktif yang diinginkan sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh pelarut yang baik adalah murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan terbakar, selektif yang berarti hanya menarik zat aktif yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan menurut peraturan. Pelarut yang banyak digunakan oleh
11
perusahaan obat tradisional adalah air, etanol, atau etanol-air (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Air banyak digunakan karena murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan alami. Penggunaan air dalam proses penyarian juga memiliki kerugian, yaitu tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak, dan proses penguapan memerlukan waktu yang lama (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena merupakan pelarut semi polar yang dapat melarutkan berbagai senyawa, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif cepat. Kerugian penggunaan etanol sebagai penyari adalah etanol lebih mahal harganya dibandingkan dengan air. Etanol sering dicampurkan dengan air dalam berbagai perbandingan dengan meningkatkan selektivitas penyarian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Wang dkk., (2007) menggunakan penyari etanol untuk ekstraksi secara maserasi dalam penelitian mereka mengenai isolasi flavonoid daun sukun. c. Metode Ekstraksi Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar
12
sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana dan paling sering digunakan. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope, umumnya terpotong-terpotong atau berupa serbuk kasar disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung untuk mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna dan digojog berulang kira-kira 3 kali sehari. Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil ekstrak yang diperoleh. Prinsip metode maserasi adalah pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan. Maserasi kinetik berarti adanya pengadukan yang berlanjut. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Alat yang dibutuhkan untuk melakukan maserasi adalah bejana dan pengaduk. Bejana digunakan sebagai wadah dalam proses perendaman simplisia oleh cairan penyari. Untuk simplisia yang mengandung senyawa yang memiliki gugus orto dihidroksi atau hidroksi karbonil harus menggunakan baja yang tahan karat atau bahan logam lain yang dilapisi email. Hal ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya kompleks antara logam berat
13
dengan senyawa yang memiliki gugus orto dihidroksi atau hidroksi karbonil. Pengaduk digunakan untuk mengaduk rendaman simplisia agar gradien konsentrasi tetap terjaga. Pengadukan dapat dilakukan secara manual atau menggunakan
pengaduk
mekanik
(Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, 1986).
3. Flavonoid a. Definisi Flavonoid Flavonoid (atau bioflavonoid) (dari kata latin flavus yang berarti kuning, warna alami) adalah subkelompok polifenol yang paling besar dan paling banyak dipelajari. Ada ribuan flavonoid yang berbeda dalam buahbuahan, sayuran, dan minuman yang dibuat dari tanaman. Kebanyakan flavonoid adalah pigmen alami yang memberi warna buah dan sayuran. Meskipun tidak dinilai sebagai nutrisi penting, banyak dari senyawa ini yang berfungsi sebagai antioksidan atau memainkan peran penting lain dalam menjaga kesehatan (Harborne, 1973). b. Klasifikasi Senyawa Flavonoid Flavonoid tersusun atas kerangkan karbon C6-C3-C6, atau termasuk golongan fenilbenzopiron. Menurut tata nama IUPAC (International Uniform
of
Pure
and
Applied
Chemistry)
diklasifikasikan menjadi 3 sebagai berikut:
senyawa
flavonoid
14
1) Flavon Adalah derivat (turunan) dari 2-fenil-1,4-benzopiron Contoh : Kuersetin dan rutin. Rumus senyawa : OH OH
HO
O
O
OH O
OH
a.
O
b.
Gambar 3. a. Struktur senyawa flavon, b. Struktur senyawa kuersetin
Flavon dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : a) Flavon (2-fenil-1,4-benzopiron) Contoh : Luteolin, apigenin, dan tangerin. b) Flavonol atau 3-hidroksiflavon (3-hidroksi-2-fenil-1,4-benzopiron)
O
OH O
Gambar 4. Struktur senyawa flavonol
Contoh: Kuersetin, kamferol, mirisetin, fisetin, dan isorhamnetin. c) Flavanon (2,3-dihidro-2-fenil-1,4-benzopiron)
O
O
Gambar 5. Struktur senyawa flavanon
Contoh : Hesperetin, naringenin, eriodiktol, dan homoerioditol.
15
d) Flavanonol (3-hidroksi-2,3-dihidro-2-fenil-1,4-benzopiron)
O
OH O
Gambar 6. Struktur senyawa flavanonol
Contoh : Taksifolin (dihidrokuersetin) dan dihidrokamferol. 2) Isoflavonoid Adalah derivat (turunan) dari 3-fenil-1,4-benzopiron Contoh : Genistein, dan daidzein. O
O
Gambar 7. Struktur senyawa isoflavonoid
3) Neoflavonoid Adalah derivat (turunan) dari 4-fenil-1,2-benzopiron O
O
Gambar 8. Struktur senyawa neoflavonoid
Ketiga kelas flavonoid di atas semuanya mengandung senyawa keton, flavonoid, dan flavonol. Kelas ini adalah yang pertama kali dinamakan “bioflavonoid”. Kata flavonoid dan bioflavonoid sering
16
kali digunakan untuk menggambarkan senyawa polihidroksi polifenol yang lebih spesifik disebut flavonoid, flavan-3-ols atau katekin (Harborne, 1973). c. Manfaat Senyawa Flavonoid Aktivitas farmakologi dari flavonoid adalah sebagai antiinflamasi, analgesik, dan antioksidan. Mekanisme antiinflamasi terjadi melalui efek penghambatan pada jalur metabolisme asam arakhidonat, pembentukan prostaglandin, dan pelepasan histamin pada radang (Harborne, 1973). d. Analisis Kadar Flavonoid Total Spektofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan senyawa atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom. Hampir semua senyawa organik dan gugus fungsinya dapat terlihat jelas menggunakan spektrofotometri UV-Vis (Pavia dkk., 1979) Metode spektrofotometri UV-Vis digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat dalam jumlah yang cukup banyak. Metode ini mendasarkan pada penggunaan nilai
suatu obat. Nilai
merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100ml) dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu (Gandjar & Rohman, 2010). Cara lain untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku,
17
atau dengan menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar & Rohman, 2010). Beberapa
hal
yang
harus
diperhatikan
dalam
analisis
spektrofotometri UV-Vis adalah pembentukan senyawa yang dapat menyerap sinar UV-Vis, waktu operasional (operating time), pemilihan panjang gelombang, pembuatan kurva baku, dan pembacaan absorbansi sampel dan cuplikan. Pembentukan senyawa yang dapat menyerap sinar UV-Vis dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada daerah tersebut. Waktu operasional merupakan waktu tertentu yang dibutuhkan agar diperoleh absorbansi yang stabil. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Hal ini dikarenakan panjang gelombang maksimal akan memberikan kepekaan yang juga maksimal. Panjang gelombang pada spektrofotometri untuk senyawa organik yaitu antara 190 nm – 800 nm (Pavia dkk., 1979). Penetapan kadar flavonoid secara spektrofotometri didasarkan pada panjang gelombang khas yang dihasilkan oleh golongan flavonoid utama pada pita I akibat adanya variasi pada pola hidroksilasi dan derajat substitusi gugus hidroksil. Penambahan pereaksi juga akan mempengaruhi perubahan spektrum yang khas akibat adanya interaksi pereaksi geser dengan gugus hidroksil. Flavonoid mempunyai sistem aromatik yang
18
terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak. Spektroskopi ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola okigenasinya. Kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan penambahan pereaksi geser ke dalam cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Secara tidak langsung, cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol (Markham, 1988; Harborne, 1987). Intensitas dari masing-masing serapan tergantung pada panjangnya system terkonjugasi serta adanya substitusi terutama pada kedudukan C3 dan C5.
4. Inflamasi a. Definisi Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas dkk., 2010). Menurut Guyton & Hall (2011), inflamasi ditandai dengan (1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat
19
yang berlebihan, (2) kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran banyak sekali cairan dalam ruang interstisial, (3) pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, (4) migrasi sejumlah besar granulasit dan monosit ke dalam jaringan, dan (5) pembengkakan sel jaringan. Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekruitmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak. Tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. b. Mekanisme Inflamasi Inflamasi dibagi menjadi dua yaitu inflamasi akut dan kronis. i. Inflamasi Akut Inflamasi akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang dirancang untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik (Robbins & Kumar, 1992). Terdapat dua komponen utama dalam proses inflamasi akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta migrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan
20
struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan migrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera. ii. Inflamasi Kronik Radang kronik disebabkan oleh rangsang yang menetap seringkali selama beberapa minggu atau bulan dan menyebabkan infiltrasi mononuklir dan proliferasi fibroblas (Robbins & Kumar, 1992). Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut atau respon sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi kronik berlangsung apabila respon radang akut tidak reda disebabkan oleh agen jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Penyebab jejas terkadang memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Dikenal tiga kelompok besar, yaitu : infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu, kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur, dan pada keadaan tertentu terjadi
reaksi
imun
terhadap
menyebabkan penyakit autoimun.
jaringan
individu
sendiri
dan
21
5. Obat Antiinflamasi Antiinflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang disebabkan bukan karena mikroorganisme (noninfeksi). Gejala inflamasi dapat disertai dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri atau sakit, fungsinya terganggu. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri atau sakit, fungsinya terganggu. Mediator yang dilepaskan antara lain histamin, bradikinin, leukotrin, prostaglandin, dan PAF. 1) Pembagian Obat-Obatan Obat antiinflamasi terbagi atas 2, yaitu : a) Golongan Steroid Contoh : Hidrokortison, deksametason, dan prednison. b) Golongan AINS (nonsteroid) Contoh : Parasetamol, aspirin, antalgin atau metampiron, asam mefenamat, ibuprofen, dan indometasin.
Gambar 9. Struktur senyawa indometasin
22
2) Mekanisme Kerja a) Steroid : Menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat. Tidak adanya asam arakhidonat berarti tidak terbentuknya prostaglandin. b) AINS (nonsteroid) : Menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) ataupun menghambat secara selektif COX-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator-mediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan. Berikut ini mekanisme kerja obat antiinflamasi : Rangsangan
Gangguan membran sel
Fosfolipid Dihambat kortikosteroid Enzim fospolipase Asam arakhidonat Enzim siklooksigenase (COX)
Enzim lipooksigenase
Leukotrien
LTB4
Atraksi/aktivitas Fagosit
Prostaglandin
Tromboksan
LTC4/D4/E4
Perubahan permeabilitas pembuluh darah, penyempitan bronkus, kenaikan sekresi
Modulasi leukosit
Inflamasi Inflamasi Bronchospasme, kongesti, penyumbatan mukosa
Gambar 10. Mekanisme kerja obat antiinflamasi steroid dan nonsteroid
Prostasiklin
23
6. Migrasi Leukosit Migrasi leukosit diawali dengan adhesi leukosit yaitu proses melintasi sel endothelial diawali oleh aktivasi sel endothelial oleh sitokin. Sel endothelial akan memproduksi senyawa adhesi yang akan berperan dalam migrasi leukosit. Senyawa adhesi (P-Selectin Glycoprotein Ligand 1 (PSGL-1); Lymphochyte Function Associated Antigen-1 (LFA-1); dan Intracellular Adhesion Molecule (ICAM-1) akan memediasi ikatan antara leukosit dengan permukaan endothelial. Sitokin dapat meningkatkan afinitas integrin. Adanya selectin (P-selectin dan L-selectin) akan mengakibatkan leukosit dapat menempel pada sel endothelial. Integrin akan berikatan dengan LFA-1 dan ICAM-1 yang akan memperlambat leukosit sampai akhirnya berhenti berputar. Kemudian leukosit akan memipih dan memanjang pada endothelial. Tahap tersebut akan memperkuat proses adhesi leukosit. Leukosit akan bergerak perlahan sampai akhirnya melintasi sel endothelial (Serhan & Gilrov, 2010).
7. Deskripsi Thioglikolat Thioglikolat
merupakan
senyawa
dengan
rumus
senyawa
C2H3O2SNa atau yang sering dikenal dengan nama sodium thioglikolat. Thioglikolat memiliki berat senyawa 114,1. Thioglikolat relatif tidak stabil dalam kondisi basa. Kecepatan oksidasi thioglikolat akan meningkat seiring dengan kenaikan pH. Thioglikolat berwarna kuning dalam kondisi basa. Adanya dekstrosa menyebabkan thioglikolat lebih mudah teroksidasi
24
pada keadaan netral dibanding ketika berada dalam kondisi basa (Cook & Steel, 1959).
Gambar 11. Struktur senyawa thioglikolat
Thioglikolat biasanya digunakan sebagai reagen pada penelitian mikroba untuk menjaga kondisi pada media. Thioglikolat juga dapat mencegah inaktivasi enzim dengan mekanisme proteksi terhadap gugus thiol pada protein (Dawson, 1983). Thioglikolat juga biasa digunakan pada penelitian mengenai inflamasi untuk memunculkan respon neutrofil dan makrofag pada uji in vivo (Potter, 2003).
8. Kromatografi Lapis Tipis a. Definisi Kromatografi merupakan cara yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran menjadi komponen-komponennya dalam waktu yang relatif singkat. Dasar pemisahannya adalah perbedaan kecepatan migrasi komponen yang dibawa oleh fase gerak dan ditahan secara selektif oleh fase diam. Menurut Gandjar & Rohman (2007), kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Setiap kromatografi memiliki 2 fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Fase diam KLT berupa lapisan
25
yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium, atau plat plastik. Fase gerak akan bergerak
sepanjang fase
diam
karena
pengaruh
kapiler
pada
pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar & Rohman, 2007). Teknik KLT menggunakan suatu adsorben yang disalutkan pada suatu lempeng kaca sebagai fase diamnya dan pengembangan kromatogram terjadi ketika fase gerak tertapis melewati adsorben itu. Kelebihan KLT dibanding kromatografi kertas antara lain, nyaman, cepat, ketajaman pemisahan yang lebih besar, dan kepekaannya tinggi (Fessenden & Fessenden., 1986). Selain itu keuntungan lain dari KLT adalah sederhana, mudah, waktu analisis relatif pendek, dan ekonomis.
b. Fase Diam KLT Fase diam adalah fase yang diam di tempat, baik pada kolom maupun dkk pada permukaan planar (Skoog., 2014). Fase diam yang biasa digunakan pada kromatografi lapis tipis adalah silika dan serbuk selulosa (Gandjar & Rohman, 2010). 1) Silika gel Silika gel memiliki struktur ikatan silika dan oksigen (siloksan) dan pemisahan terjadi karena migrasi diferensial senyawa sampel yang disebabkan oleh ikatan hidrogen, interaksi dipol-dipol dan
26
interaksi elektrostatik dengan silanol (Si-OH). Fase gerak pada silika gel biasanya lebih nonpolar dibandingkan silika gel sendiri yang bersifat polar, fase ini disebut fase normal (normal phase) (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Silika paling berguna untuk memisahkan aglikon yang kurang polar, misalnya isovlavon, flavanon, metil flavon, dan flavonol (Markham, 1988). 2) Selulosa Selulosa
terdiri
dari
rantai
panjang
polimerisasi
betaglukopiranosa yang terhubung pada posisi 1-4. Mekanisme pemisahannya adalah partisi fase normal (normal phase) dengan menyerap air sebagai fase diam (Waksmundzk-Hajnos dkk., 2008). Selulosa ideal untuk memisahkan glikosida yang satu dari glikosida yang lain, memisahkan glikosida dari aglikon, dan untuk memisahkan aglikon yang kurang polar. Selulosa sering digunakan untuk identifikasi flavonoid secara umum (Markham, 1988).
c. Fase Gerak Menurut Gandjar & Rohman (2007), fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan
27
dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak : 1) Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. 2) Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. 3) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut nonpolar seperti metil benzena akan meningkatkan harga Rf secara signifikan (Gandjar & Rohman, 2007).
d. Deteksi Bercak Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas (Gandjar & Rohman, 2007).
28
Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah sinar UV 254 nm, indikator pada plat KLT akan memancarkan warna hijau dan pada UV 366 nm akan memancarkan warna ungu. Komponen yang menyerap cahaya pada 254 atau 366 nm akan tampak sebagai bercak gelap pada plat yang bercahaya. Metode deteksi lain adalah dengan menggunakan pereaksi semprot. Beberapa reagen (pereaksi semprot) untuk mendeteksi flavonoid tertera pada tabel di bawah ini : Tabel II. Reagen untuk deteksi flavonoid
Reagen AlCl3
Preparasi - Melarutkan 0,2-1 g alumunium klorida dalam 100 ml etanol - Melarutkan 20 g alumunium klorida dalam 100 ml etanol Sitroborat Melarutkan 5 g asam sitrat dan 5 g asam borat dalam etanol hingga 100 mL Uap ammonia Larutan amonia (25%) Anilin-difenilaminAsam fosfat 85%-asam asetat-anilin-difenilamin asam fosfat (20 mL + 100 mL + 5 mL + 5 g) Antimon (III) klorida Melarutkan 10 g antimon (III) klorida dalam (reagen Carr-Price) kloroform atau karbon tetraklorida hingga 50 mL 2,4Melarutkan 100 mg 2,4-dinotrofenilhidrazin dinitrofenilhidrazin dalam campuran 90 mL etanol dan 10 mL asam hidroklorid Asam difenilborat-2- Melarutkan 1 g asam difenilborat-2-aminoetil aminoetil ester ester dalam etanol hingga 100 mL (Jork dkk., 1990)
29
E. Landasan Teori Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas dkk., 2010). Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) merupakan salah satu tanaman yang telah banyak digunakan sebagai antiinflamasi, demam yang disebabkan karena malaria, diare, diabetes, dan infeksi cacing pita. Rebusan dari daun sukun telah diketahui dapat beraksi sebagai antagonis prostaglandin E2 (PGE2) dan bradikinin pada trakea yang merupakan mediator inflamasi (Singh dkk., 2001). Ekstrak air daun sukun panas dan dingin mengandung tannin, fenol, glikosida, dan saponin. Ekstrak etil asetat daun sukun panas dan dingin mengandung fenolik, glikosida, dan terpenoid. Ekstrak etanol daun sukun panas dan dingin mengandung tanin, senyawa fenol, glikosida, saponin, steroid, terpenoid, dan antrakinon (Siddesha dkk., 2011). Penelitian sebelumnya menurut Andriani (2013) dan Hastuti (2014) menyebutkan bahwa daun sukun mengandung senyawa flavonoid yang diduga sebagai antiinflamasi. Migrasi leukosit merupakan salah satu tahap yang penting dalam mekanisme terjadinya inflamasi yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur adanya mekanisme inflamasi dalam tubuh. Proses migrasi leukosit dapat terjadi salah
30
satunya dengan menginduksi thioglikolat secara peritoneal. Senyawa yang dapat menghambat proses migrasi leukosit memiliki efek sebagai antiinflamasi (Segal dkk., 2002). Metode identifikasi flavonoid yang digunakan berhubungan erat dengan senyawa flavonoid. Pencirian golongan dapat dilakukan berdasarkan reaksi warna dan sifat kelarutannya. Hampir semua senyawa organik dan gugus fungsinya dapat terlihat jelas menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Panjang gelombang pada spektrofotometri untuk senyawa organik yaitu antara 190 nm – 800 nm (Pavia dkk,, 1979). Penerapan kadar flavonoid total dengan metode Chang dapat diterapkan pada semua standar flavonoid yang digunakan yaitu apigenin, kuersetin, rutin, hisperidin (Mujahid, 2011).
F. Hipotesis 1. Ekstrak etil asetat daun sukun memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi dengan thioglikolat. 2. Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat, etanol, dan air daun sukun pada penghambatan migrasi leukosit berkorelasi dengan kadar flavonoid total pada ekstrak yang bersangkutan.