BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inflamasi merupakan suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan prostaglandin yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim lisosomal dan asam arakhidonat. Metabolisme asam arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin yang mempunyai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi (Katzung, 2004). Proses terjadinya inflamasi sebenarnya merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri dari tubuh terhadap benda asing, tetapi jika proses ini berlangsung secara terus menerus (kronis) justru akan merusak jaringan (Docke dkk., 1997; Westerndorp dkk., 1997; Opal dkk., 1996; De Poll dkk., 1997). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa inflamasi kronis berkaitan erat dengan adanya peningkatan mutasi seluler yang menginisiasi terjadinya kanker (Albini & Sporn, 2007; Anonim 2012). Inflamasi yang terjadi terus menerus pada pembuluh darah berkontribusi langsung pada terbentuknya plak dalam dinding pembuluh arteri sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah dan menyebabkan tekanan darah tinggi, serangan jantung, serta stroke (Anonim, 2007; Libby dkk., 2010; Lusis, 2000; Patel dkk., 2008). Penyakit lain yang melibatkan adanya proses inflamasi kronis dalam tubuh antara lain,
1
2
arthritis,
asma,
diabetes,
alergi,
anemia,
penyakit
Alzheimer,
fibrosis,
fibromyalgia, systemic lupus, psoriasis, pancreatitis, dan penyakit-penyakit autoimun (Borne, 1986, Borne dkk., 2008) sehingga diperlukan obat antiinflamasi. Sebagian obat-obat antiinflamasi bekerja pada mekanisme penghambatan sintesis prostaglandin yang diketahui berperan sebagai mediator utama dalam inflamasi. Terdapat beberapa golongan obat antiinflamasi diantaranya obat antiinflamasi golongan steroid dan non steroid. Obat antiinflamasi golongan steroid diketahui dapat menghambat phospholipase A2 dalam sintesis asam arakhidonat, sehingga memiliki efek antiinflamasi yang poten, namun diketahui penggunaan obat-obatan ini dalam jangka waktu yang lama justru akan mengakibatkan efek samping berupa hipertensi, osteoporosis, dan hambatan terhadap pertumbuhan. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa penggunaan steroid jangka panjang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker, penyakit jantung dan hati (Anonimc, 2013). Disebutkan pula bahwa penggunaan steroid secara topikal pada beberapa orang menunjukkan efek samping antara lain dermatitis, diabetes mellitus dan atrofi jaringan (Judarwanto & Dewi, 2012). Obat-obat antiinflamasi yang lain bekerja dengan mekanisme penghambatan enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2) sehingga akan menghambat sintesis prostaglandin dan tromboksan (Robert & Morrow, 2001). COX-1 diketahui berfungsi dalam memproduksi prostaglandin yang berperan dalam melindungi mukosa lambung dan ginjal (Okazaki dkk., 1981). Mekanisme penghambatan COX-1 dan COX-2 yang tidak selektif berhubungan dengan toksisitas penggunaan obat-obat antiinflamasi golongan non steroid (NSAIDs) pada dosis tinggi (Dewick, 2009). Inhibitor selektif COX-2 diketahui dapat meminimalisasi efek samping yang disebabkan
3
karena mekanisme penghambatan COX-1, seperti kerusakan lambung dan ginjal tetapi belakangan ini dilaporkan bahwa beberapa obat golongan inhibitor selektif terhadap COX-2 memiliki efek samping terhadap kardiovaskuler (Dogne dkk., 2005). Contohnya Rofecoxib (Vioxx) dan Valdecoxib (Bextra) telah ditarik dari pasaran karena meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler antara lain serangan jantung dan stroke (Topol, 2004; Fitzgerald 2004; Dogne dkk., 2005). Migrasi leukosit merupakan tahap yang penting dalam proses inflamasi (Robert & Morrow, 2001; Di Rosa , 1979; Spector & Willoughby, 1964). Indometasin diketahui dapat bekerja melalui mekanisme penghambatan enzim COX dan migrasi leukosit polimorfonuklear seperti yang terlihat pada Gambar 1 (Caramis & Varonos, 1980; Vane, 1971). Obat ini merupakan obat yang poten pada pengobatan antiinflamasi, tetapi pada saat ini obat tersebut sudah mulai jarang digunakan karena tingginya insidensi dan keparahan efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian dalam jangka waktu yang lama. Obat ini hanya digunakan pada kondisi tertentu jika demam tidak dapat memberi respon terhadap obat lain (Roberts & Morrow, 2001).
Gambar 1. Grafik penghambatan produksi Prostaglandin (open bars) dan migrasi leukosit (stippled bars). *P = < 0,1 ; ** P = < 0,01; ***P = < 0,005 (Vane, 1971)
4
Penggunaan obat-obatan tradisional menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan inflamasi yang dinilai lebih aman dari segi efek samping dan toksisitas (Awang, 2009). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai antiinflamasi adalah daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) (Anonima, 2013). Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya khasiat daun sukun sebagai antiinflamasi. Dekokta dari daun sukun telah diteliti memiliki aktivitas antiinflamasi (Sigh dkk., 2001, Abdasah dkk., 2009). Daun sukun pada dosis 60mg/kg BB terbukti mampu meningkatkan aktivitas antiinflamasi dengan durasi 0,5 sampai 4 jam, dan bereaksi sebagai antagonis PGE-2 dan bradikinin pada trakea (Sigh dkk., 2001) . Menurut Abdasah dkk.(2009) formulasi gel ekstrak daun sukun dengan konsentrasi 16% mampu memberikan efek inhibisi radang sebesar 6,96%. Penelitian ini perlu dilakukan karena belum terdapat penelitian mengenai aktivitas inflamasi daun sukun berdasarkan migrasi leukosit secara in vivo.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak etil asetat daun sukun memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi melalui mekanisme penghambatan migrasi leukosit? 2. Golongan senyawa apakah yang terdapat dalam ekstrak etil asetat daun sukun?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etil asetat daun sukun melalui mekanisme penghambatan leukosit pada mencit yang diinduksi oleh thioglikolat. 2. Mengidentifikasi golongan senyawa metabolit yang terdapat dalam ekstrak etil asetat daun sukun.
6
D. Tinjauan Pustaka 1. Inflamasi a. Definisi Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas dkk., 2010). Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak. Tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. (Judarwanto, 2012). b. Mekanisme Inflamasi Inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut (respon awal terhadap cidera jaringan), respon imun (pengaktifan sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan untuk merespon organisme asing), dan inflamasi kronis (Katzung, 2004). Proses inflamasi akut dan inflamasi kronis ini melibatkan sel leukosit polimorfonuklear sedangkan sel leukosit mononuklear lebih berperan pada proses inflamasi imunologis
7
(Sedwick & Willoughby, 1994). Secara umum, dalam proses inflamasi ada tiga hal penting yang terjadi yaitu : a. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. b. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang memungkinkan pergerakan molekul yang lebih besar seperti antibodi. c. Fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju menuju ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. Leukosit terutama fagosit PMN (polymorphonuclear neutrophilic) dan monosit dikerahkan dari sirkulasi ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. (Hamor,1989) Terjadinya respon inflamasi ditandai oleh adanya dilatasi pada pembuluh darah serta pengeluaran leukosit dan cairan pada daerah inflamasi. Respon tersebut dapat dilihat dengan munculnya gejala-gejala seperti kemerahan (erythema) yang terjadi akibat dilatasi pembuluh darah, pembengkakan (edema) karena masuknya cairan ke dalam jaringan lunak serta pengerasan jaringan akibat pengumpulan cairan dan sel-sel (Ward, 1993). Mekanisme terjadinya inflamasi secara umum dapat dilihat pada Gambar 2. Adanya rangsang iritan atau cidera jaringan akan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi. Senyawa ini dapat mengakibatkan vasokontriksi singkat pada arteriola yang diikuti oleh dilatasi pembuluh darah, venula dan pembuluh limfa serta dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler pada membran sel. Peningkatan permeabilitas vaskuler yang lokal dipengaruhi oleh komplemen melalui jalur klasik (kompleks antigen-antibodi), jalur lectin (mannose binding lectin) ataupun jalur alternatif.
8
Peningkatan permeabilitas vaskuler lokal terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a, C4a, C5a). Aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan basofil untuk melepaskan histamin. Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos, memberikan jalan untuk migrasi sel-sel leukosit serta keluarnya plasma yang mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen ke jaringan perifer tempat terjadinya inflamasi (Abbas dkk., 2010). Sel-sel ini akan melapisi lumen pembuluh darah selanjutnya akan menyusup keluar pembuluh darah melalui sel-sel endotel (Ward, 1993). Aktivasi komplemen C3a, C5a dan C5-6-7 dapat menarik dan mengerahkan selsel fagosit baik mononuklear dan polimorfonuklear. C5a merupakan kemoaktraktan untuk neutrofil yang juga merupakan anafilatoksin. Makrofag yang diaktifkan melepaskan berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamasi. Beberapa jam setelah perubahan vaskuler, neutrofil menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga jaringan, memakan patogen dan melepaskan mediator yang berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan akan melepaskan sitokin diantaranya IL-1 (interleukin-1), IL-6 dan TNF-α (tumor necrosis factor-α)
yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi. IL-1 akan menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel sedangkan TNF-α akan meningkatkan ekspresi selektin-E yang kemudian menginduksi peningkatan eksresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Neutrofil, monosit, dan limfosit mengenali molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah selanjutnya
9
bergerak menuju ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga berperan dalam memacu makrofag dan sel endotel untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influks neutrofil melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN-γ (interferon-γ) dan TNF-α akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil yang dapat meningkatkan fagositosis dan pelepasan enzim ke rongga jaringan (Abbas dkk., 2010).
Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Inflamasi (Anonim, 2012)
Mediator-mediator inflamasi dalam keadaan normal akan didegradasi setelah dilepaskan dan diproduksi secara serempak jika ada picuan. Selama proses inflamasi berlangsung, diproduksi sinyal untuk menghentikan reaksi inflamasi. Mekanisme ini meliputi perubahan produksi mediator proinflamasi menjadi mediator antiinflamasi
10
antara lain antiinflamasi lipoxin, antiinflamasi sitokin, transforming growth factor-β (TGF-β) dan perubahan kolinergik yang menghambat produksi TNF pada makrofag. Sistem tersebut dibutuhkan untuk mencegah terjadinya inflamasi yang berlebihan yang dapat memicu kerusakan jaringan. Hal yang sama juga dapat terjadi ketika infeksi jaringan yang terjadi terlalu besar dan respon inflamasi akut yang terjadi tidak mampu mengatasinya. Proses inflamasi tersebut akan tetap berlangsung terus-menerus dan dapat memicu terjadinya inflamasi kronis seperti yang terlihat pada Gambar 3, misalnya pada mekanisme penyakit tukak lambung (Kumar dkk., 2005).
Gambar 3. Dampak Imflamasi Akut (Kumar dkk., 2005)
Inflamasi diketahui berkontribusi pada patofisiologi dari banyak penyakit kronis. Ketika proses inflamasi tersebut berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan fungsi jaringan menjadi terganggu bahkan dapat
11
meluas sehingga mengakibatkan kerusakan organ. Proses inilah yang kemudian akan mengakibatkan berbagai macam penyakit (Kumar dkk., 2005). Interaksi antara sel dengan sistem imun bawaan, sistem imun adaptif, dan mediator-mediator inflamasi menginisiasi terjadinya inflamasi yang mendasari banyak penyakit pada organ (Libby, 2007). Peningkatan ekspresi gen proinflamasi dapat dipicu oleh adanya senyawa radikal dan faktor transkripsi. Menurut Chung dkk. (2011), adanya faktor-faktor transkripsi seperti redoxsensitive transcription factor, nuclear factor-kappaB (NF-κB), dan forkhead box O (FOXO) memegang peranan penting dalam ekspresi mediator-mediator proinflamasi. Ekspresi gen proinflamasi IL-1β, IL-6, TNF-α, COX-2, lipooksigenase dan iNOS ditingkatkan oleh redox-sensitive transcription factor, NF-κB selama proses degenerasi sel. IL-6 berkontribusi pada atropi neural, diabetes tipe 2 dan arterosklerosis. Mediatormediator proinflamasi lain seperti molekul adhesi (VCAM-1, ICAM-1, P-selectin, dan E-selectin) semuanya ditingkatkan oleh aktivasi NF-κB dalam aorta selama proses tersebut. Proses signaling cellular redox, misalnya protein kinase biasa diawali dengan transfer protein tyrosine kinase/ protein tyrosine phosphatase (PTK/PTP). PTP dapat menginisiasi fosforilasi tirosin yang berkontribusi terhadap patogenesis penyakit seperti kanker dan diabetes (Bouallegue dkk., 2009; Parkkila dkk., 2009). Aktivasi NF-κB dapat merangsang ekspresi mediator-mediator proinflamasi seperti COX-2, TNF-α, iNOS dan molekul adhesi pada aorta dan ginjal (Kim dkk., 2002) serta menginisiasi terjadinya inflamasi kronis (Rahman dkk., 2004; Yu & Chung, 2006). Penghambatan mediator-mediator proinflamasi dan faktor trankripsinya diperlukan dalam pengobatan penyakit yang terkait dengan inflamasi.
12
2. Obat-obat antiinflamasi
Obat-obat antiinflamasi merupakan golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu dengan menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang, dan menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya (Robbert & Morrow, 2011). Pada saat terjadi inflamasi, enzim fosfolipase akan diaktifkan dengan mengubah fosfolipid yang terdapat pada jaringan menjadi asam arakhidonat seperti yang terlihat pada Gambar 4. Asam arakhidonat sebagian akan diubah menjadi enzim siklooksigenase dan seterusnya menjadi prostaglandin. Sebagian lain dari asam arakhidonat diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi leukotrien. Kedua zat tersebut ikut bertanggungjawab pada sebagian besar gejala inflamasi (Tjay & Raharja, 2002).
Gambar 4. Biosintesis tromboxan, prostasiklin dan leukotrien (Borne dkk., 2008)
13
Secara umum berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan steroid dan golongan non steroid (Neal, 2006). a. Obat Antiinflamasi Golongan Steroid Obat antinflamasi steroid bekerja dengan mekanisme penghambatan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan cara melepas lipokortin yang dapat menghambat fosfolipase A2 pada sintesis asam arakhidonat seperti yang terlihat pada Gambar 5. (Higgs dkk.,1974; Vane & Botting, 1987), sehingga bisa dikatakan bahwa steroid merupakan obat antiinflamasi yang poten. Steroid pada dasarnya merupakan hormon atau senyawa endogen yang secara alami dapat dihasilkan oleh tubuh untuk menjaga sistem homeostasis. Ketika terjadi kondisi stress atau cidera, tubuh akan mensekresi hormon kortisol tetapi terdapat kondisi tertentu dimana hormon ini tidak cukup untuk mengatasi rasa sakit yang timbul sehingga diperlukan tambahan dari luar. Contoh obat-obat antiinflamasi golongan steroid adalah kortison, hidrokortison, prednisolon, deksametason, dan lain-lain (Miller dkk., 2008). Hormon steroid sering disebut juga kortikosteroid karena diproduksi oleh korteks adrenal yang terletak di atas ginjal. Hormon ini terdiri dari dua macam yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Hormon glukokortikoid dapat memicu terjadinya apoptosis sel. Hormon ini dapat menurunkan diferensiasi dan proliferasi sel-sel inflamatori sehingga dapat berperan sebagai immunosupresan. Glukokortikoid dapat menghambat inflamasi dengan cara mengaktivasi reseptor glukokortikoid yang menghambat ikatan antara nukleus dengan proinflammatory DNA-binding transcription factor seperti activator protein (AP-1) dan Nuclear factor (NF-κB) (Karin, 1998; Ito
14
dkk., 2000). Glukokortikoid diketahui dapat menghambat pembentukan sitokin melalui jalur jak-STAT (Bianchi dkk., 2000). Glukokortikoid juga berfungsi menstimulasi glukoneogenesis, sehingga penggunaannya harus dibatasi pada penderita diabetes mellitus karena dapat menaikkan kadar gula darah. Penguraian protein pada jaringan yang disebabkan oleh adanya glukokortikoid menyebabkan berbagai efek samping berupa osteoporosis, penghambatan pertumbuhan pada anak-anak, dan atrofi kulit (Thompson & Lippman, 1974; Bassam & Mayank, 2012) Beberapa
obat
kortikosteroid
juga
memiliki
efek
mineralokortikoid.
Mineralokortikoid berfungsi untuk meregulasi reabsorpsi ion natrium dalam tubulus ginjal dan meningkatkan pengeluaran ion kalium. Ketika natrium ditahan maka tubuh akan menjaga agar konsentrasi garam dalam tubuh tetap sama yaitu dengan menahan air. Akibatnya volume cairan tubuh akan naik dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Sekresi hormon ini juga memicu pelepasan renin angiotensinogen
menjadi
angiotensin
penyebab
vasokontriksi
yang mengubah sehingga
dapat
menyebabkan hipertensi (Miller dkk., 2008). Penggunaan obat-obat antiinflamasi golongan steroid tidak dapat dihentikan secara tiba-tiba karena dapat menyebabkan insufisiensi adrenal dimana tubuh akan kekurangan hormon kortisol. Ketika tubuh menerima tambahan hormon dari luar maka tubuh akan merespon dengan mengurangi produksi hormon tersebut sehingga ketika pemakaiannya tiba-tiba dihentikan maka tubuh belum siap untuk mensekresikannya kembali dalam keadaan normal. Penghentian penggunaan obat-obat golongan ini dilakukan dengan menurunkan dosis secara bertahap (Barnes & Adcock, 2009; Schwartz dkk., 1968; Szefler & Leung, 1997).
15
b. Obat Antiinflamasi Golongan Non Steroid Obat antiinflamasi golongan non steroid bekerja melalui mekanisme lain seperti isoenzim COX-1 dan COX-2 seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5. Enzim COX ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakhidonat. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses inflamasi. Inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung sering kali dapat menyebabkan kerusakan gastrointestinal (dispepsia, mual, dan gastritis). Efek samping yang paling serius adalah pendarahan gastrointestinal (Neal, 2006). Penghambatan enzim COX juga akan menghambat sintesis tromboksan sehingga dapat menurunkan agregasi platelet. Pemberian obat pada dosis yang rendah secara terus-menerus digunakan sebagai terapi pada penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke berikutnya. Selain itu, penghambatan COX juga berakibat pada peningkatan produksi leukotrien yang berperan dalam proses kontraksi pada bronkus sehingga dapat memicu terjadinya asma (Roberts & Morrow, 2011). Menurut Tjay & Raharja (2002), obat-obat antiinflamasi non steroid dapat digolongkan menjadi: 1) Turunan asam salisilat : Aspirin, Salisilamid, Diflunisal. 2) Turunan 5-pirazolidindion : Fenilbutazon, Oksifenbutazon. 3) Turunan asam N-antranilat : Asam mefenamat, Asam flufenamat. 4) Turunan asam arilasetat : Natrium diklofenak, Ibuprofen, Ketoprofen. 5) Turunan heteroarilasetat : Indometasin. 6) Turunan oksikam : Peroksikam, Tenoksikam.
16
Efek samping terhadap gastrointestinal terjadi karena penghambatan COX-1 sementara COX-2 diketahui hanya disekresi ketika terjadi reaksi inflamasi, sehingga dikenallah golongan inhibitor COX-2 selektif untuk mengatasi masalah efek samping tersebut. Penghambatan COX-2 sendiri dapat berakibat pada peningkatan sekresi enzim COX-1 yang dapat mengkatalisis pembentukan tromboksan yang berperan dalam meningkatkan agregasi platelet termasuk agregasi platelet pada pembuluh arteri dan memicu terjadinya arteriosklerosis.
Gambar 5. Mekanisme Obat-Obat Antiinflamasi (Kumar dkk., 2005)
3. Indometasin Indometasin merupakan suatu senyawa turunan indol termetilasi seperti yang terlihat pada Gambar 6. Efek antiinflamasi dicapai melalui mekanisme penghambatan enzim siklooksigenase secara tidak selektif, obat ini juga diketahui dapat menghambat
17
migrasi leukosit polimorfonuklear (Caramis & Varonos, 1980; Roberts & Morrow, 2001). Obat ini memiliki sifat antiradang yang lebih poten dan analgetik-antipiretik yang mirip dengan obat-obat turunan salisilat. Efek analgetik dan antipiretik indometasin dicapai melalui kerja sistem saraf pusat dan perifer (Roberts & Morrow, 2001).
Gambar 6. Struktur Indometasin (Borne dkk., 2008)
Indometasin banyak digunakan untuk mengatasi nyeri pada penyakit-penyakit seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis, ankylosing spondyliti, bursitis, dan tendinitis. Dosis pemakaian Indometasin biasanya mulai dari 25 mg 3 kali sehari. Penggunaan indometasin pada dosis tinggi memiliki efek samping seperti halnya obat-obat antiinflamasi non-steroid yang lain. Efek samping tersebut antara lain gangguan pencernaan, reaksi anafilaksis, dermatitis, hipersensitivitas, serta gangguan pada sistem saraf pusat. (Anonim, 2007; Anonim, 2010). Indometasin dapat berinteraksi dengan beberapa obat antihipertensi, diuretik, probenesid, dan penggunaan bersama antikoagulan oral dapat berpotensi meningkatkan pendarahan saluran cerna (Roberts & Morrow, 2001). 4. Leukosit Menurut Kelly (1984), leukosit terdiri dari dua tipe yaitu polimorfonuklear
18
leukosit (granulosit) dan mononuklear leukosit (agranulosit). Leukosit granuler dibagi menjadi neutrofil, basofil, dan eosinofil, sedangkan leukosit agranuler dibagi menjadi dua yaitu limfosit dan monosit. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing dengan memproduksi mediator-mediator kimia. Tubuh menciptakan berbagai sistem yang dikembangkan untuk menangkap kemudian menyingkirkan setiap bahan yang berhasil menghindari pertahanan luar. Suatu sistem sel mampu mengikat, menelan, dan menghancurkan bahan asing melalui proses yang dinamakan fagositosis (Brown, 1980). Tabel I. Mediator kimia yang diproduksi oleh sel mast, basofil, dan eosinofil (Costa dkk., 1994) Tipe sel jenis Mediator efek dan fungsi patologis mediator sel mast dan basofil disimpan di dalam granul sitoplasma
mediator lipid
Histamin enzim : netral protease (triptase dan chymase), asam hidrolase, cathepsin G, karboksipeptidase prostaglandin D2
IL-3
vasodilatasi, bronkokontriksi, neutrophil chemotaxis memperlama terjadinya bronkokontriksi, sekresi mucus, peningkatan permeabilitas vaskuler chemotaxis, aktivasi leukosit, bronkokontriksi, peningkatan permeabilitas vaskuler menginduksi poliferasi sel mast
TNF-α, MIP-1α
menginduksi inflamasi/reaksi fase akhir
IL-4, IL-13
menginduksi diffensiasi TH2
IL-5
merangsang poduksi dan aktivasi eosinofil
eosinofil protein kationik
bersifat toksik pada cacing, bakteri, dan sel inang degradasi cacing dan dinding sel protozoa, kerusakan jaringan/remodeling merangsang produksi dan aktivasi eusinofil chemotaxis leukosit
leukotrien C4, D4, E4
platelet-activating factor
Sitokin
Meningkatkan permeabilitas vaskuler, menstimulasi kontraksi sel otot degradasi mikroba, kerusakan jaringan/ remodeling
Eosinofil disimpan di dalam granul sitoplasma
eosinofil peroksidase, lisosomal hidrolase, lisofosfolipase IL-3, IL-5, GM-CSF
Sitokin IL-8, IL-10, RANTES, MIP-1α, eotaxin
19
a. Leukosit Polimorfonuklear Menurut Kelly (1984), ketiga leukosit tipe polimorfonuklear diproduksi oleh ekstravaskulerisasi dari sumsum tulang panjang. Bentuk leukosit polimorfonuklear dapat dilihat pada Gambar 7. Bentuk awal polimorfonuklear disebut dengan mieloblast. Mieloblast akan berkembang dan mengalami proses proliferasi menjadi progranulosit yang kemudian membentuk generasi berikutnya yaitu mielosit yang dapat dibedakan antara satu dengan yang lain pada pembentukan granuler dan memungkinkan untuk identifikasi neutrofil, eosinofil, dan basofilik mielosit. Tahap selanjutnya setelah mielosit dewasa adalah metamielosit. Menurut (Leavel and Thorup 1960) pada tahap ini, struktur kromatin nukleus menjadi lebih kasar, proses pembentukan granul terus berlanjut lebih spesifik, dan nukleus bisa teridentifikasi. Metamielosit ini akan berkembang menjadi band cell dan segmented cell. Menurut Tizard (1982), sel utama dalam sistem mieloid adalah sel granulosit polimorfonuklear neutrofil.
Gambar 7. Jenis-jenis leukosit polimorfonuklear (Judarwanto, 2012) a.
Neutrofil, b. Basofil, c. Eosinofil
1) Neutrofil Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi dan jumlahnya 60 sampai 70% dari leukosit yang beredar. Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula yang spesifik. Menurut Tizard (1982), terdapat 2 granul pada neutrofil yaitu:
20
a) Azurofilik yang mengandung enzim lisosom dan peroksidase. b) Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik dan dapat memfagositosis partikel kecil secara aktif. Neutrofil memiliki sifat fagositik yang mirip dengan makrofag dan mampu menyerang patogen dengan serangan respiratori menggunakan berbagai
macam
substansi
beracun
yang
mengandung
bahan
pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit (Judarwanto, 2012). Neutrofil yang lepas dari sumsum tulang akan mengalami 6 tahap morfologis yaitu mielosit, metamielosit, neutrofil non segmen (band), dan neutrofil segmen. Neutrofil segmen merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang rusak terlihat sebagai nanah. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrofil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt dan meningkatkan glikogenolisis (Tizard, 1982)
21
2) Eosinofil Jumlah eosinofil hanya 1 sampai 4 % dari leukosit darah, mempunyai diameter yang sedikit lebih kecil dari neutrofil. Inti biasanya berlobus dua. Eusinofil mempunyai granula ovoid yang mengandung asam fosfatase, katepsin, dan ribonuklase, tetapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil bergerak secara amuboid dan mampu melakukan fagositosis lebih lambat tetapi lebih selektif dibanding neutrofil. Eosinofil dapat memfagositosis komplek antigen dan antibodi yang spesifik. Eosinofil
mengandung
profibrinolisin
yang
diduga
berperan
mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses patologi. Obat-obat golongan kortikosteroid dapat menimbulkan
penurunan
jumlah
eosinofil
darah
dengan
cepat
(Judarwanto, 2012). 3) Basofil Basofil adalah granulosit dengan populasi paling kecil, yaitu sekitar 0,01 sampai 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granula sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil dapat tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat teraktivasi, basofil akan mengeluarkan zat-zat seperti histamin, heparin, kondroitin, elastase, lisofosfolipase, leukotrien, dan beberapa macam sitokin (Delmann & Brown, 1989). Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi. Contohnya pada penyakit asma. Granula basofil bersifat metakromatik dan dapat mensekresi histamin
22
dan heparin dalam keadaan tertentu. Basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan dan sering dinamakan hipersesitivitas kulit basofil (Guyton, 1995). b. Leukosit Mononuklear Leukosit mononuklear terdiri dari limfosit dan monosit seperti yang terlihat pada Gambar 8. Sel mononuklear memiliki sitoplasma yang tidak memiliki granul seperti pada leukosit polimorfonuklear dan hanya memiliki satu inti.
Gambar 8. Jenis-jenis leukosit mononuklear (Judarwanto, 2012) a. Limfosit, b. Monosit
1) Limfosit Limfosit merupakan sel yang sferis, dan berjumlah 20 sampai 30% dari leukosit darah. Limfosit memiliki inti relatif besar, bulat, dan sedikit cekungan pada satu sisi. Sitoplasmanya sedikit sekali, bersifat basofilik, mengandung granula-granula azurofilik yang berwarna ungu serta mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening akan tampak dalam darah pada keadaan patologis (Kelly, 1984).
23
Limfosit besar memproduksi antibodi yang disebut dengan immunology complement lymphosit. Limfosit dapat digolongkan menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B akan bereaksi sebagai pertahanan, terutama saat ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Limfosit B akan bekerja dengan bantuan makrofag dan limfosit T. Limfosit B dapat mengirimkan reseptor berupa interleukin-1 yang akan mengaktifkan munculnya limfosit T. Setelah itu limfosit T akan memperbanyak diri dan menuju tempat benda asing tersebut. Selain menghasilkan interleukin-1, limfosit B juga menghasilkan sel memori. Apabila ada paparan terhadap tanggal kebal sekunder, memori ini dengan cepat bisa mengenali dan akan dihasilkan antibodi lebih banyak daripada pada saat tanggap kebal yang pertama (Guyton, 1995).
2) Monosit Monosit merupakan sel leukosit yang besarnya sekitar 3 sampai 8% dari total leukosit. Inti biasanya eksentris terdapat lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Monosit memiliki jumlah lisosom primer lebih banyak tapi lebih kecil ukurannya. Jumlah retikulum endoplasma, ribosom, dan pliribosom sedikit, sedangkan mitokondrianya banyak. Aparatus golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti (Tizard, 1982). Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuklear dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung.
24
Monosit dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel imunokompeten dengan antigen (Guyton, 1995). Monosit dikenal sebagai makrofag setelah meninggalkan aliran darah dan masuk ke dalam jaringan (Delmann & Brown, 1995; Judarwanto, 2012). 5. Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg)
Gambar 9. Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.) (Ragone, 1997)
a. Sinonim
: Artocarpus incise L.f ., A.communis Forst.
b. Nama daerah : sukun (Aceh, Jawa, Bali) c. Klasifikasi Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angisopermae
Kelas
: Dicotyledoneae
25
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Artocarpus
Jenis
: Artocarpus altilis (Park.) Fosberg
d. Morfologi Sukun merupakan tanaman yang berupa pohon tegak, berkayu, berakar tunggal, batangnya berbentuk bulat, dan memiliki percabangan simpopodial. Tanaman sukun berdaun tunggal yang tersebar, tepi daun bertoreh, ujung daun meruncing, pangkal daunnya membulat, memiliki pertulangan daun menjari dengan permukaan licin, dan tulang daun menonjol. Buahnya berbentuk lonjong dengan permukaan bergigi tumpul yang tersusun teratur dan berwarna hijau. Buah ini dapat mengeluarkan getah. Bijinya berwarna cokelat dan berbentuk lonjong dan pipih (Ragone, 1997). e. Budidaya tanaman Sukun merupakan spesies anggota suku Moraceae. Tanaman sukun banyak tumbuh di daerah tropis (Ragone, 1997). Sukun dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah alluvial maupun daerah pantai (Massal & Barrau 1954) tetapi paling cocok ditanam pada tanah liat yang berpasir dan banyak mendapatkan hujan (Coronel, 1983) dengan ketinggian 600-650 m di atas permukaan air laut (Coronel, 1983, Rajendran, 1992). Tanaman ini mampu bertahan hidup di tanah yang gersang atau pada musim kering. Sukun dibudidayakan secara vegetatif dengan cara memotong bagian akar atau tunasnya. (Ragone, 1997). f. Kandungan kimia
26
Daun dan kulit batang sukun banyak mengandung tanin dan polifenol. Menurut Siddesha (2011), daun sukun mengandung tanin, fenolik, glikosida, saponin, steroid, terpenoid, dan antrakinon. Ekstrak kloroform dari kulit akar sukun mengandung senyawa prenilflavonoid (Lin dkk., 2008; Ko dkk., 2005; Weng dkk., 2006) sedangkan ekstrak etil asetat daun sukun mengandung senyawa sitosterol dan flavonoid (Wang dkk., 2006). Fraksi etil asetat yang diisolasi dari ekstrak metanol daun sukun juga mengandung senyawa geranyl dihydrochalcone dan geranyl flavonoid (Wang dkk., 2007), sedangkan fraksi kloroformnya mengandung senyawa auron yaitu atilisin (Mai, 2012). g. Khasiat dan Kegunaan Tanaman sukun banyak dibudidaya untuk diambil buahnya dan dijadikan sebagai bahan makanan (Ragone, 1997; Anonima, 2013). Getah dari tanaman sukun dapat digunakan untuk mengobati diare, sakit perut, dan disentri (Ragone, 1987). Daun sukun juga berkhasiat sebagai obat hipertensi, diabetes, dan rematik (Lans, 2006; Do, 2005; Ragone, 1997). Ekstrak daun sukun terbukti memiliki aktivitas antihipertensi sebagai inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), antagonis α-adrenoreseptor dan mengeblok kanal kalsium (Shiddesa, 2011; Nwokocha, 2012). Ekstrak metanol daun sukun memiliki aktivitas sebagai antimikroba (Raman dkk., 2012). Menurut Mai dkk. (2012), senyawa geranyl aurone yang diisolasi dari daun sukun memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim tirosinase dan enzim α-glukosidase. Ekstrak etil asetat daun sukun menunjukkan adanya efek cytoprotective pada sel yang teroksidasi oleh adanya LDL (Wang
27
dkk., 2006). Komponen fenolik dan geranyl flavonoid bersifat sitotoksik terhadap sel kanker (Arung dkk., 2009; Wang, 2007). Beberapa komponen flavonoid yang diisolasi dari tanaman A. communis dan A. heterophyllus menunjukkan adanya efek penghambatan terhadap aktivitas beberapa mediator kimia yang berperan dalam inflamasi secara in vitro, diantaranya adalah dihydroisocycloartomunin yang secara signifikan telah terbukti menghambat pelepasan β-glucuronidase dan histamin pada sel mast peritonial tikus. Komponen senyawa yang lain adalah artocarpanone yang secara signifikan menghambat pelepasan lysozyme dari neutrofil tikus. Senyawasenyawa lain yaitu cycloheterohyllin, artonis B, dan artocarpanone dapat menghambat formasi anion superoxide pada neutrofil tikus sedangkan senyawa cyclomorusin, dihydrocycloartomunin, dihydroisocycloartomunin, cudraflavone A, dan cyclocommunin dapat menstimulasi
superoxide anion generation.
Artocarpanone juga berperan dalam menghambat produksi nitric oxide (NO) dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada sel makrofag tikus (Wei dkk., 2005). Senyawa NO diketahui merupakan senyawa radikal bebas yang berperan dalam aktivasi makrofag pada daerah inflamasi (Thiermermann & Vane, 1990). 6. Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang terdapat dalam bahan sehingga terpisah dan larut dalam pelarut cair. Simplisia yang disari mengandung senyawa aktif. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbourne, 1973). Apabila senyawa aktif yang
28
dikandung simplisia sudah diketahui maka akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000). Proses ekstraksi dilakukan di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstraksi akan lebih baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas. Hasil yang diperoleh dari ekstraksi tersebut disebut ekstrak. Ekstrak merupakan sediaan yang dapat berupa kering, kental ataupun cair yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut dan cara yang sesuai. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar diperoleh kadar zat berkhasiat yang tinggi (Anief, 2000). Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari wujud dan bahan uji yang akan disari (Harborne, 1973). Metode dasar ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara panas dengan refluks dan penyulingan uap air serta ekstraksi secara dingin dengan maserasi, perkolasi, dan soxhlet (Anonim, 1986). Pemilihan terhadap metode tersebut harus disesuaikan dengan kepentingan agar didapatkan hasil yang baik (Harborne, 1973). Maserasi merupakan metode yang paling sering digunakan. Maserasi merupakan proses perendaman bahan yang sudah halus dalam cairan penyari sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Proses tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Selama proses maserasi
29
dilakukan pengadukan untuk mencegah cairan penyari jenuh. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur kamar dalam waktu 3 hari sampai bahan-bahan melarut (Ansel, 1985). Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap simplisia, akan semakin banyak hasil yang diperoleh. Hal tersebut tentu akan membutuhkan pelarut serta wadah yang besar sehingga tidak efektif (Voigt, 1995) Untuk memperbesar rendemen ekstrak yang didapat dapat dilakukan remaserasi karena ekstraksi yang dilakukan berkali-kali dengan pelarut yang mencukupi lebih efektif daripada ekstraksi satu kali dengan jumlah pelarut yang banyak. Faktor yang mempengaruhi maserasi antara lain volume penyari, polaritas cairan penyari, durasi ekstraksi, pengadukan, dan ukuran serbuk. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa dalam pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau pelarut lain. Secara umum, pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder (Darwis, 2000). Metanol juga lebih baik dalam hal menembus dinding sel dibandingkan etanol karena viskositas metanol lebih encer dibandingkan etanol, tetapi hal tersebut juga dapat menimbulkan kerugian mengingat senyawa yang tidak dibutuhkan juga akan ikut tersari dan dapat memperkecil konsentrasi dari zat aktifnya. Bila pelarut yang digunakan air, maka untuk mencegah timbulnya kapang dapat ditambahkan bahan pengawet yang diberikan pada awal ekstraksi (Anonim, 1986).
30
7. Kromatografi Lapis Tipis a. Definisi Kromatografi merupakan cara yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran menjadi komponen-komponennya dalam waktu yang relatif singkat. Dasar pemisahannya adalah perbedaan kecepatan migrasi komponen yang dibawa oleh fase gerak dan ditahan secara selektif oleh fase diam. Menurut Gandjar & Rohman (2007), Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Setiap kromatografi memiliki 2 fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Fase diam KLT berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik. Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar & Rohman, 2007). Teknik KLT menggunakan suatu adsorben yang disalutkan pada suatu lempeng kaca sebagai fase diamnya dan pengembangan kromatogram terjadi ketika fase gerak tertapis melewati adsorben itu. Kelebihan KLT dibanding kromatografi kertas antara lain, nyaman, cepat, ketajaman pemisahan yang lebih besar, dan kepekaannya tinggi (Fessenden & Fessenden, 1986). Selain itu keuntungan lain dari KLT adalah sederhana, mudah,
waktu
analisis
relatif
pendek,
dan
ekonomis.
31
b. Fase Diam KLT Fase diam yang biasa digunakan ialah silika gel, aluminium oksida (alumina), kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, serta masih banyak lagi yang lain. Silika gel merupakan fase diam yang paling banyak digunakan. Silika gel biasanya ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung. Silika gel juga dapat ditambah senyawa fluoresensi, agar dapat berpendar jika disinari dengan sinar UV, sehingga dikenal dengan silika gel GF254 yang berarti silika gel yang dapat berpendar pada panjang gelombang 254 nm. Mekanisme pemisahan pada fase diam silika gel adalah adsorpsi dimana terjadi kompetisi antara fase diam dengan fase gerak untuk membentuk ikatan hidrogen dengan sampel. Silika gel adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam struktur kovalen yang besar dan pada permukaannya atom silikon tersebut berlekatan pada gugus –OH sehingga terbentuklah ikatan Si-O-H dan Si-O-Si. Gugus – OH ini bersifat sangat polar dan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa yang sesuai di sekitarnya, sebagaimana halnya gaya Van Der Waals dan atraksi dipol-dipol. c. Fase Gerak Menurut Gandjar & Rohman (2007), fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Kejenuhan bejana pengembang dapat mempengaruhi kualitas pemisahan dan pengulangannya. Kombinasi pelarut yang
32
mempunyai sifat berbeda memungkinkan didapatkannya sistem pelarut yang cocok. Menurut Stahl (1973), fase gerak yang baik adalah pelarut dengan polaritas rendah. Beberapa cara dapat dilakukan untuk memilih fase gerak yang optimal pada KLT antara lain sebagai berikut : 1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif 2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan 3. Polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metal benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan pada pemisahan dengan fase diam polar. 4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam. d. Penotolan Sampel Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi antara 0,1 dan 10 mg kation per cm3 dan dapat bersifat netral dan asam encer sekitar 1 μl larutan ditotolkan dengan sebuah pipa kapiler didekat salah satu ujung lempeng kromatografi (chromatoplate) (sekitar 1,5-2,0 cm dari pinggir lempeng) dan kemudian dibiarkan kering diudara (Fessenden & Fessenden, 1986).
33
e. Pengembangan Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan, ialah 100 mm di samping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas, pengembangan ganda dapat juga digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas berturut-turut pada pengembangan dua kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering diantara kedua pengembangan tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan plat di udara selama 5-10 menit (Stahl, 1973). f. Analisis KLT Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf dan hRf yang berguna untuk menunjukkan letak suatu senyawa pada kromatogram. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa baku. Oleh karena itu bilangan Rf selalu berupa pecahan dan terletak antara 0,01 dan 0,99. Namun akan lebih mudah jika bilangan tersebut dikalikan dengan 100 dan dinyatakan dengan hRf (Harborne, 1973). Berikut ini rumus untuk menghitung nilai hRf :
hR f =
jarak yang ditempuh oleh komponen ×100 jarak yang ditempuh oleh pelarut
g. Deteksi Bercak Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia
34
yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Bila komponen tersebut tidak berwarna dan sulit diamati dengan mata telanjang maka komponen tersebut dieksitasi dengan sinar ultra violet (UV) untuk menghasilkan fluoresensi atau fosforesensi pada panjang 366 nm (Sherma & Fried, 1994). Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi (Gandjar & Rohman, 2007). 8. Thioglikolat Thiglikolat merupakan senyawa dengan rumus molekul C2H3O2SNa atau yang sering dikenal dengan nama sodium thioglikolat. Thioglikolat memiliki rumus molekul seperti yang terlihat pada Gambar 10 dan berat molekul 114,1 (Anonimb, 2013). Thioglikolat relatif tidak stabil dalam kondisi basa. Kecepatan oksidasi thiglikolat akan meningkat seiring dengan kenaikan pH. Thioglikolat berwarna kuning dalam kondisi basa. Adanya dekstrosa menyebabkan thoglikolat lebih mudah teroksidasi pada keadaan netral dibanding ketika berada dalam kondisi basa (Cook & Steel, 1959)
Gambar 10. Sodium thoglikolat (Anonimb, 2013)
35
Thioglikolat biasanya digunakan sebagai reagen pada penelitian mikroba untuk menjaga kondisi pada media. Thioglikolat juga dapat mencegah inaktivasi enzim dengan mekanisme proteksi terhadap gugus thiol pada protein (Dawson, 1986). Thioglikolat juga biasa digunakan pada penelitian mengenai inflamasi untuk memunculkan respon neutrofil dan makrofag pada uji in vivo (Potter, 2003)
E. Landasan Teori Inflamasi merupakan respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologi. Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskuler dimana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih, dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan serta pelepsan berbagai mediator kimia (Katzung, 2004). Proses inflamasi yang berlangsung terusmenerus justru dapat merusak jaringan dan menyebabkan berbagai penyakit sehingga diperlukan obat antiinflamasi (Libby, 2007; Chung dkk., 2011; Glass dkk., 2010; Theoharides & Cochrane, 2004) Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) merupakan salah satu tanaman yang telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai antiinflamasi, demam yang disebabkan karena malaria, diare, diabetes, dan infeksi cacing pita (Jagtap & Bapat, 2010). Rebusan dari daun sukun telah diketahui dapat beraksi sebagai antagonis Prostaglandin E2 (PGE2) dan Bradikinin pada trakea yang merupakan mediator inflamasi (Singh dkk., 2001). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa senyawa-senyawa flavonoid yang terdapat dalam daun sukun dapat menghambat pelepasan mediator-mediator inflamasi (Wei, 2005).
36
Senyawa turunan fenolik dari ekstrak etil asetat dari tanaman bermarga Artocarpus telah terbukti dapat menghambat pembentukan i-NOS dan ekspresi enzim COX-2 pada inflamasi (Fang dkk., 2008). Migrasi leukosit merupakan salah satu tahap yang penting dalam mekanisme terjadinya inflamasi yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur adanya mekanisme inflamasi dalam tubuh. Proses migrasi leukosit dapat terjadi salah satunya dengan menginduksi thioglikolat secara peritoneal (Call dkk., 2001). Senyawa yang dapat menghambat proses migrasi leukosit memiliki efek sebagai antiinflamasi (Di Rossa, 1979; Spector & Willoughby, 1964) F. Hipotesis Ekstrak etil asetat daun sukun diduga memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat migrasi leukosit pada mencit yang diinduksi oleh thioglikolat melalui rongga peritonial.