BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling utama
di
negara-negara
berkembang
termasuk
Indonesia.
Berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, virus, riketsia, jamur, dan protozoa merupakan penyebab dari infeksi (Gibson, 1996). Penyalahgunaan antibiotik telah meningkatan insidensi multiresistensi pada beberapa spesies bakteri patogenik dan menyebabkan pengobatan dengan antimikroba konvensional beberapa sudah tidak efektif lagi. Mikroba yang telah mengalami resistensi terhadap antibiotik diantaranya adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericia coli (Tenover, 2006), serta Candida albicans (Sukandar et al. 2006). Penggunaan tanaman obat sebagai antimikroba alternatif kini sudah mulai banyak direkomendasikan di negara-negara berkembang karena telah dilaporkan aman dengan sedikit atau bahkan tanpa efek samping yang merugikan, serta tidak dilaporkan adanya resistensi, terutama bila dibandingkan dengan obat-obatan sintetik (Maharani dan Oedijani, 2012). Agar peranan obat tradisional khususnya dari tanaman lebih meningkat, maka perlu adanya upaya pengenalan, penelitian, pengujian dan pengembangan khasiat serta keamanan suatu tanaman obat sehingga keberadaannya lebih dapat diterima di kalangan medik (Kusuma et al., 1993).
1
2
Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman kayu manis. Tanaman ini merupakan rempah-rempah dalam bentuk kulit kayu yang biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Kayu
manis
memiliki
zat-zat
yang
bersifat
antimikroba
antara
lain
cinnamaldehyde, eugenol, cinnamic acid, limonene, cathecin, coumarin, linalool, dan tannin (Cowan, 1999). Menurut Gupta et al. (2008) minyak atsiri kayu manis sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan beberapa bakteri antara lain B. cereus, S. aureus, E. coli, P. aeruginosa dan Klebsiella sp. Penghambatan bakteri dengan minyak atsiri kayu manis ini disebabkan oleh senyawa aktif seperti sinamaldehid dan asam sinamat. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al. (2015a, 2015b) membuktikan bahwa minyak atsiri yang diperoleh dari kulit batang kayu manis (C.burmaniii) aktif sebagai agen antimikroba terhadap Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa secara in vitro dengan MIC50 (Minimum Inhibitory Concentration 50%) pada rentang konsentrasi 0,01% hingga 0,12%. Beberapa minyak atsiri bersifat sangat toksik sehingga tidak boleh dikonsumsi ataupun diaplikasikan pada kulit tanpa perhatian khusus. Resiko sensitisasi, iritasi, fototoksisitas, hingga terjadinya aborsi merupakan hal yang dapat terjadi akibat penggunaan minyak atsiri (Dweck, 2009). Minyak atsiri larut dengan baik di dalam lemak, sehingga kebanyakan minyak atsiri dapat menimbulkan iritasi pada kulit dan selaput lendir. Jika kulit terkontaminasi oleh minyak atsiri dalam waktu yang lama, kulit akan menjadi kemerahan serta meradang dan akhirnya akan melepuh (Agusta, 2000).
3
Berdasarkan sifat minyak atsiri yang telah dipaparkan tadi, maka penting untuk mengetahui keamanan dari minyak atsiri kayu manis yang akan digunakan sebagai agen antimikroba alternatif. Sebelum dapat dikonsumsi dalam jumlah dan jangka waktu tertentu minyak atsiri kayu manis perlu diuji tingkat keamanannya pada sel manusia. Pengujian toksisitas awal suatu senyawa secara tidak langsung dapat dilakukan secara in vitro yaitu salah satunya dengan menggunakan sel eritrosit manusia. Eritrosit sering digunakan dalam penelitian efek toksik suatu senyawa karena fungsinya yang sangat penting dalam tubuh dan kerentanannya terhadap kerusakan membran (Amri, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji hemolisis eritrosit secara in vitro untuk mengetahui efek toksik minyak atsiri kayu manis terhadap sel normal. Uji hemolisis eritrosit yang dilakukan berprinsip pada pengukuran jumlah hemoglobin yang keluar dari sel akibat
hemolisis
melalui
pembacaan
absorbansi.
Nilai
absorbansi
ini
menggambarkan besarnya hemolisis yang terjadi yang diakibatkan oleh minyak atsiri kayu manis. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan uji iritasi akut dermal terhadap minyak atsiri kayu manis karena pada umumnya minyak atsiri bersifat dapat mengiritasi kulit. Uji iritasi akut dermal yang dilakukan menggunakan metode yang ditetapkan oleh BPOM RI yang mengacu pada prosedur OECD Guideline for the Testing of Chemicals, Acute Dermal Irritation/ Corrosion. Uji iritasi akut dermal bertujuan untuk mengetahui efek iritasi dari suatu senyawa sebagai salah satu syarat uji keamanan pengembangan obat tradisional yang akan diaplikasikan secara topikal (BPOM RI, 2014). Hasil penelitian ini diharapkan
4
dapat bermanfaat sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk pengembangan minyak atsiri kayu manis sebagai antimikroba alternatif yang potensial dan aman digunakan baik secara internal maupun eksternal.
B. Rumusan Masalah 1. Pada konsentrasi berapakah penggunaan minyak atsiri kayu manis tidak menimbulkan efek iritasi terhadap kulit? 2. Pada konsentrasi berapakah penggunaan minyak atsiri kayu manis tidak menyebabkan hemolisis eritrosit secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meninjau keamanan penggunaan minyak atsiri kayu manis sebagai agen antimikroba alternatif dengan melakukan uji iritasi akut dermal dan hemolisis eritrosit.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi tentang efek minyak atsiri kayu manis terhadap hemolisis eritrosit dan sifat iritannya pada kulit. 2. Memberikan landasan bagi penelitian selanjutnya untuk uji keamanan minyak atsiri kayu manis secara klinik pada manusia.
5
3. Memberikan landasan bagi penelitian selanjutnya untuk pengembangan dan formulasi minyak atsiri kayu manis sebagai produk antimikroba alternatif yang potensial dan aman.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) a. Asal Tanaman Pohon kayu manis merupakan tanaman asli dari Asia Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina (Smith, 1986). Dari 54 spesies kayu manis (Cinnamomum sp.) yang dikenal di dunia, 12 di antaranya terdapat di Indonesia. Tiga jenis kayu manis yang menonjol di pasar dunia yaitu Cinnamomum burmannii (di Indonesia) yang produknya dikenal dengan nama Cassiavera, Cinnamomum zeylanicum (di Sri Lanka dan Seycelles) dan Cinnamomum cassia (di China) yang produknya dikenal dengan Cassia China. Di Indonesia, penghasil utama tanaman ini adalah Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Utara. Tanaman kayu manis yang diusahakan di daerah tersebut adalah jenis Cinnamomum burmanii (Rismunandar, 1990). Pada umumnya tanaman kayu manis ini dapat tumbuh baik pada daerah-daerah dengan ketinggian 500 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut, dimana kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Kayu manis akan tumbuh baik pada tanah lempung berpasir, banyak humus, kaya bahan organik dan berdrainase baik.
6
b. Taksonomi dan Morfologi Berdasarkan penggolongan dan tata nama tanaman, tanaman kayu manis termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Laurales
Famili
: Lauraceae
Genus
: Cinnamomum
Spesies
: Cinnamomum burmanii (BPOM RI, 2008)
Gambar 1. Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)
Tanaman kayu manis memiliki tinggi pohon yang mencapai 8 - 27 m dengan panjang daun antara 5 - 17 cm dan lebar daun 3 - 10 cm. Daun berwarna hijau muda dan pucuk berwarna merah muda (Zamarel dan Hamid, 1990). Bunga dari tanaman kayu manis berkeping dua atau bunga
7
sempurna dengan warna kuning dan berukuran kecil. Buahnya berbiji satu dan berdaging. Bentuknya bulat memanjang, buah muda berwarna hijau tua, dan buah tua berwarna ungu tua (Rismunandar, 1990). c. Kandungan Kimia Kulit batang dan daun Cinnamomum burmanii mengandung minyak atsiri, saponin, dan flavonoida. Di samping itu kulit batangnya juga mengandung tanin, serta daunnya juga mengandung alkaloida dan polifenol (Depkes RI, 1991). Kandungan minyak atsiri dari kulit kayu manis diantaranya adalah eugenol, safrol, dan sinamaldehid (Rismunandar, 1990). Daun dari kayu manis mengandung sekitar 0,9% minyak atsiri dengan komposisi
terbesar sinamaldehid,
isoeugenol,
3,7,11-trimetil-1,6,10-
dodekatrien-3-ol, dan kariofilen (Agusta, 2000). d. Khasiat secara Empiris Minyak atsiri dari kayu manis digunakan dalam industri sebagai obat kumur dan pasta, penyegar bau sabun, deterjen, lotion parfum, dan krim. Dalam pengolahan bahan makanan dan minuman minyak kayu manis digunakan sebagai pewangi atau peningkat cita rasa, diantaranya untuk minuman keras, minuman ringan (softdrink), agar–agar, kue, kembang gula, bumbu gulai dan sup (Rismunandar dan Paimin, 2001). Efek farmakologis yang dimiliki kayu manis diantaranya sebagai peluruh kentut (carminative), peluruh keringat (diaphoretic), antirematik, penambah nafsu makan (stomachica) dan penghilang rasa sakit (analgesic) (Hariana, 2007). Sedangkan menurut Rismunandar dan Paimin (2001),
8
minyak atsiri dari kayu manis mempunyai daya bunuh terhadap mikroorganisme (antiseptic). Hasil penelitian Pratiwi et al. (2015a, 2015b) menunjukkan minyak atsiri dari kulit batang kayu manis (C.burmaniii) aktif sebagai agen antimikroba secara in vitro terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans. Penghambatan bakteri dengan minyak atsiri kayu manis ini disebabkan oleh senyawa aktif seperti sinamaldehid dan asam sinamat (Gupta et al., 2008). Tabel I. Nilai MIC50 Minyak Atsiri Kayu Manis (C.burmanii) (Pratiwi et al., 2015a, 2015b) Bakteri / Fungi Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Candida albicans
PMIC50 (v/v) 0,12% 0,12% 0,06%
MBIC50 (v/v) 0,03% 0,03% 0,01%
MBEC50 (v/v) 0,12% 0,12% 0,03%
Catatan : PMIC = Minimum planktonic growth inhibitory concentration MBIC = Minimum biofilm formation inhibitory concentration MBEC = Minimum biofilm eradication concentration
e. Minyak Atsiri Kayu Manis Minyak atsiri kayu manis diperoleh dengan cara penyulingan kulit batang, kulit ranting, maupun kulit dahan. Metode penyulingan yang dianjurkan dalam penyulingan minyak kayu manis adalah dengan metode uap langsung (steam distillation) atau dengan pengukusan (water and steam distillation) (Djajeng dan Ma’mun, 1997). Harun (2010) menyatakan bahwa kandungan minyak atsiri kayu manis C.burmanii berkisar antara 1,3%-2,7% tergantung daerah asal dan tingkat mutunya. Minyak atsiri kayu manis mengandung senyawa-senyawa seperti kamfer, safrol, eugenol, sinamaldehid, sinamil asetat, terpen sineol, sitral, sitronela, polifenol dan benzaldehid (Perry, 1980). Hasil analisis GCMS
9
minyak atsiri dari kulit batang kayu manis (C.burmanii) yang dilakukan oleh Pratiwi et al. (2015a, 2015b) menunjukkan sinamaldehid merupakan komponen utama dengan kandungan hingga 92,02%. Selain senyawa golongan fenilpropanoid (seperti eugenol dan sinamaldehid), minyak atsiri kayu manis juga mengandung senyawa golongan terpenoid hidrokarbon (seperti α-pinen dan limonen). Senyawa tersebut dapat terakumulasi dalam jaringan lipid membran sel bakteri dan menyebabkan terganggunya struktur dan fungsi dari membran sel disebabkan oleh ekspansi (pembengkakan) membran sel dan perubahan permeabilitas membran sel bakteri (Sikkema et al., 1994).
Gambar 2. Struktur Sinamaldehid (EMA, 2011)
Minyak atsiri kayu manis merupakan minyak yang keras. Sebelum dapat digunakan minyak ini harus diencerkan terlebih dahulu dengan tingkat pengenceran yang lebih besar dibanding dengan minyak atsiri lainnya. Minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari kulit batang bersifat lebih kuat 30 kali lipat dibanding minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari daun (Peter, 2005). Belum terdapat data toksisitas minyak atsiri kayu manis yang diperoleh dari kulit batang C.burmanii. Namun penelitian toksisitas minyak atsiri kayu manis dari kulit batang C.verum atau yang
10
sering dikenal C.zeylanicum sudah pernah dilakukan. Minyak atsiri dari kulit batang C.verum memiliki nilai LD50 oral sebesar 4,16 g/kgBB pada tikus dan LD50 dermal 0,69 ml/kgBB pada kelinci. Sedangkan sinamaldehid yang merupakan kandungan utama dari minyak tersebut memiliki nilai LD50 oral 2,22 g/kgBB pada tikus dan LD50 dermal 0,59 mg/kgBB pada kelinci. Minyak atsiri kayu manis dalam keadaan murni tanpa larutan pengencer bersifat iritan ringan terhadap punggung tikus yang telah dicukur bulunya dan bersifat iritan kuat terhadap kulit kelinci utuh maupun kulit kelinci yang terluka (EMA, 2011). Data toksisitas minyak atsiri kulit batang C.verum tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran toksisitas minyak atsiri kulit batang C.burmanii karena kedua tanaman ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat (berada dalam satu genus yaitu Cinnamomum) dan memiliki kandungan utama yang sama yaitu sinamaldehid. Beberapa penelitian menyatakan bahwa sebagian besar efek samping yang ditimbulkan akibat pemakaian minyak atsiri kayu manis disebabkan oleh sinamaldehid. Sinamaldehid merupakan senyawa utama dalam minyak atsiri kayu manis yang dapat menyebabkan iritasi dan sensitisasi pada kulit yang bisa menjadi penyebab terjadinya dermatitis. Kandungannya sebesar 5% dalam petrolatum diketahui dapat menimbulkan iritasi pada kulit. Sinamaldehid bersifat depletor poten terhadap Glutation (GSH) intrasel yang merupakan antioksidan alami dalam tubuh pada konsentrasi 10-4 hingga 10-3M. Sinamaldehid juga bersifat sitotoksik terhadap sel hepatosit
11
tikus dengan konsentrasi ambang toksik sebesar 10-3M (EMA, 2011). Di samping itu, sinamaldehid merupakan senyawa yang memiliki gugus fungsi aldehid dan alkena terkonjugasi cincin benzen. Senyawa golongan aldehid diketahui dapat bereaksi di dalam tubuh dan menimbulkan efek toksik terhadap sel eritrosit. Penelitian yang dilakukan oleh Vassar et al. (1972) menunjukkan efek aldehid terhadap sel eritrosit diantaranya adalah menyebabkan kebocoran hemoglobin (hemolisis), kebocoran ion kalium, perubahan deformabilitas dan pembengkakan sel, serta penurunan nilai hematokrit.
2.
Uji Toksisitas Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan atau sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI, 2014). Uji toksisitas merupakan salah satu bagian dari uji pra klinik yang dilakukan pada hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan. Penelitian toksikologi menggunakan hewan uji merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksikologi karena mengungkapkan serangkaian efek akibat
12
pemejanan zat toksik pada berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas khusus yang muncul (Lu, 1995). Uji toksisitas dapat dibagi menjadi dua, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak khas ini adalah uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas adalah uji toksikologi untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk uji ketoksikan khas ini adalah uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji prenatal dan paska natal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku (Loomis, 1978).
3.
Uji Iritasi Akut Dermal Iritasi adalah suatu reaksi kulit terhadap zat kimia misalnya basa kuat, asam
kuat, pelarut, deterjen, dan bahan kimia lainnya. Sedangkan iritasi primer merupakan jenis iritasi yang timbul di tempat kontak dan umumnya muncul pada sentuhan pertama (Lu, 1995). Iritasi kulit dapat terjadi pada setiap orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada beberapa faktor yang memegang peranan seperti keadaan permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan kulit, dan konsentrasi dari bahan (Irsan et al., 2013).
13
Gejala umum yang muncul ketika terjadi iritasi adalah kulit terasa panas yang disebabkan dilatasi pembuluh darah pada daerah yang terkena. Hal ini dapat dilihat dengan timbulnya kemerahan pada daerah kulit tersebut (eritema). Selain itu dapat juga menyebabkan terjadinya udema, yang dapat diamati dengan terjadinya perbesaran plasma yang membeku pada daerah yang terluka dan dipercepat dengan adanya jaringan fibrosa yang menutupi daerah tersebut (WHO, 2005). Tujuan uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit (BPOM RI, 2014). Dalam uji iritasi kulit, dapat digunakan hewan uji seperti kelinci, marmot, atau mencit dimana kemudian senyawa uji dioleskan pada kulit hewan uji yang sebelumnya telah dicukur. Menurut prosedur dalam OECD, uji iritasi dilakukan menggunakan kelinci New Zealand sehat dengan bobot sekitar 2000 g. Reaksi kulit terhadap senyawa uji kemudian diamati secara subjektif setiap hari pada 1 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Reaksi iritasi yang diamati adalah adanya eritema dan edema pada jaringan. Skoring dilakukan dengan sistem numerik dan kesimpulan akhir Indeks Iritasi Primer (IIP) dievaluasi sesuai prosedur OECD Guideline for the Testing of Chemicals, Acute dermal Irritation/ Corrosion (OECD, 2002).
14
4.
Uji Hemolisis Eritrosit Sel darah merah atau eritrosit adalah sel yang paling banyak terdapat pada
plasma darah. Sebanyak 5 juta sel darah merah terkandung dalam darah manusia per milliliter, dan sebanyak 25x 1012 sel darah merah bersirkulasi dalam tubuh manusia (Hopson dan Wessells, 1990). Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon eritropoietin yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dan asam folat mempengaruhi eritropoiesis pada tahap pematangan akhir dari eritrosit. Sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang berada dalam sirkulasi (Meyer dan Harvey, 2004). Eritrosit tersusun oleh hemoglobin dalam jumlah besar. Eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbondioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas berberapa protein. Diameter eritrosit ini kira-kira 7.8 μm, dengan ketebalan 2.5 μm pada bagian paling tebal dan kurang lebih 1 μm pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 μm3 (Guyton dan Hall, 1997). Sifat dinding eritrosit fleksibel serta semipermebel dimana permeabel untuk air, anion, dan kation serta impermeabel untuk hemoglobin. Di bagian luar terdiri atas membran yang melindungi hemoglobin, protein, dan enzim sedangkan di dalamnya terdiri dari lapisan glukoprotein dan fosfolipid (Murray et al., 2003).
15
Gambar 3. Sel Eritrosit Normal (Buhler, 2000)
Karena fungsinya yang sangat penting di dalam tubuh dan kerentanannya terhadap oksidasi, banyak sekali penelitian yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk mempelajari kerusakan oksidatif biomembran dan pengaruh berbagai senyawa yang terdapat pada makanan dalam memicu maupun menghambat terjadinya kerusakan pada membran. Pada umumnya parameter yang digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan pada membran adalah persentase hemolisis yang terjadi pada eritrosit. Semakin tinggi persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin parahnya kerusakan yang terjadi pada membran eritrosit, begitu pula sebaliknya, semakin rendah persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin tahan membran sel terhadap kerusakan (Amri, 2007). Hemolisis adalah kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan integritas membran sel yang menyebabkan pelepasan hemoglobin ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan sel darah merah diperkirakan dapat terjadi karena peristiwa oksidasi membran atau denaturasi hemoglobin (Hatherill et al., 1991). Menurut Ganong (1990), sel darah merah juga dapat
16
mengalami lisis akibat pengaruh penggunaan obat dan infeksi. Pada peristiwa hemolisis, membran sel darah merah yang terdiri dari protein dan lipid akan rusak dan pecah. Sebagai akibatnya berbagai senyawa yang ada di dalam sel seperti hemoglobin, ion-ion, dan beberapa jenis enzim akan keluar dari sel darah merah. Hemoglobin inilah yang nantinya menyebabkan larutan sel darah merah yang mengalami hemolisis berwarna merah (Niki et al., 1988).
Gambar 4. Eritrosit yang Mengalami Hemolisis (Niki et al.,1988)
Eritrosit sangat rentan terhadap oksidasi dikarenakan tingginya kandungan lemak tak jenuh ganda, suplai oksigen, dan kehadiran logam transisi seperti besi dan tembaga. Reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan dalam plasma, sitosol, atau membran sel dapat menyerang membran eritrosit, mengganggu integritas membran, dan menginduksi oksidasi lipid dan protein mengakibatkan hemolisis (Zhu et al., 2002). Oleh karena itu, eritrosit merupakan media yang tepat untuk menganalisa kapasitas antioksidan ataupun daya toksik suatu zat tertentu terutama terhadap stabilitas biomembrannya. Eritrosit dipilih sebagai model in vitro karena membrannya kaya akan asam lemak tidak jenuh yang sangat
17
rentan terhadap peroksidasi yang diperantarai oleh radikal bebas sehingga dianggap dapat mewakili membran plasma secara umum (Shiva et al., 2007). Eritrosit sendiri memiliki beberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air (berada di plasma) dan α-tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit ( Zhu et.al., 2002). Pengujian aktivitas antihemolisis pada sel darah merah banyak dilakukan dengan penambahan larutan pengoksidasi seperti H2O2 atau senyawa-senyawa aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid). Senyawa-senyawa aldehid dapat bereaksi mengakibatkan hemolisis dengan banyak cara (Andel et.al., 2002). Dalam pengujian antihemolisis eritrosit in vitro dilakukan penambahan H2O2 dalam suspensi eritrosit sebagai inisiator reaksi peroksidasi. H2O2 menginduksi terjadinya peroksidasi lipid pada membran sel yang menyebabkan reaksi berantai peroksidasi dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Younkin et al., 1971). Selain itu digunakan pula metode pewarnaan biru trifan untuk menghitung tingkat proliferasi sel pada uji hemolisis eritrosit. Adanya perbedaan permeabilitas membran antara sel hidup dan sel mati menjadi dasar pada metode ini. Biru trifan hanya dapat diserap oleh sel yang membrannya sudah rusak, sedangkan sel yang masih hidup dan tidak mengalami kerusakan membran sel tidak dapat menyerap biru trifan (Sharper, 1988). Sel yang sudah rusak atau mengalami hemolisis akan
18
berwarna biru dan tampak gelap, sedangkan sel yang hidup akan tampak jernih, berbentuk bulat dan memiliki struktur dinding yang kompak.
F. Landasan Teori Minyak atsiri dari kulit batang C.verum atau yang sering dikenal C.zeylanicum memiliki nilai LD50 oral sebesar 4,16 g/kgBB pada tikus dan LD50 dermal 0,69 ml/kgBB pada kelinci. Sedangkan sinamaldehid yang merupakan kandungan utama dari minyak tersebut memiliki nilai LD50 oral 2,22 g/kgBB pada tikus dan LD50 dermal 0,59 mg/kgBB pada kelinci (EMA, 2011). Data toksisitas minyak atsiri kulit batang C.verum tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran toksisitas minyak atsiri kulit batang C.burmanii karena penelitian toksisitas minyak atsiri kulit batang C.burmanii belum pernah dilakukan. Kedua tanaman ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat (berada dalam satu genus yaitu Cinnamomum) dan memiliki kandungan utama yang sama yaitu sinamaldehid. Beberapa penelitian menyatakan sebagian besar efek samping yang ditimbulkan akibat pemakaian minyak atsiri kayu manis disebabkan oleh sinamaldehid. Sinamaldehid merupakan senyawa yang dapat menyebabkan iritasi pada konsentrasi 5% dalam petrolatum dan sensitisasi yang bisa menjadi penyebab dermatitis. Sinamaldehid juga diketahui bersifat depletor poten terhadap Glutation (GSH) intrasel pada konsentrasi 10-4 hingga 10-3M dan bersifat sitotoksik terhadap sel hepatosit tikus dengan konsentrasi ambang toksik 10-3M (EMA, 2011). Di samping itu, sinamaldehid merupakan senyawa yang memiliki gugus fungsi aldehid dan alkena terkonjugasi cincin benzen. Penelitian yang
19
dilakukan oleh Vassar et al. (1972) menunjukkan senyawa golongan aldehid dapat bereaksi di dalam tubuh dan menimbulkan efek toksik terhadap sel eritrosit. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al. (2015a, 2015b) membuktikan bahwa minyak atsiri yang diperoleh dari kulit batang kayu manis (C.burmaniii) aktif sebagai agen antimikroba terhadap Candida albicans, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa secara in vitro dengan MIC50 (Minimum Inhibitory Concentration 50%) pada rentang konsentrasi 0,01% hingga 0,12%. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi toksisitas dari minyak atsiri kayu manis (C.burmanii) sehingga dapat diketahui tingkat keamanannya sebagai agen antimikroba alternatif yang dapat digunakan baik secara internal maupun eksternal.
G. Hipotesis Penggunaan minyak atsiri dari kulit batang kayu manis (Cinnamomum burmanii) pada konsentrasi yang merupakan nilai MIC50 tidak menyebabkan iritasi akut dermal dan hemolisis eritrosit.