12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat pelik dan seringkali menimbulkan sengketa berkepanjangan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan disamping Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 begitu banyak tersebar, sehingga membingungkan dan terkesan kompleks tidak hanya bagi masyarakat luar, namun juga bagi para akademisi, pejabat dan banyak instansi yang terkait dengan masalah pertanahan tersebut. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekwensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal yang dapat memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Menurut Boedi Harsono, walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria digunakan dalam
1
Universitas Sumatera Utara
13
arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.1 Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA, hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi, hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air, hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian, hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air, hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan Space Law) yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.2 Menurut Imam Sudiyat, sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara 1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 6 2 Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
14
yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.3 Sebenarnya, jauh sebelum pendapat Imam Sudiyat muncul, UUPA dalam pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.4 Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.5 Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan. Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena semacam ini. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 1. Conditio sine qua non merupakan istilah dari bahasa latin yang berarti syarat mutlak atau syarat yang absolut. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 82. 4 Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan. 5 Ibid., Pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
15
tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Di tengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liar6 pun bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya. Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemilikan hak pakai atas tanah negara.7 Penetapan status Pulau Batam sebagai zona industri lewat Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri tetapi juga kebijakan di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut kebijakan pertanahan menjadi 6
Rumah liar merupakan rumah yang didirikan di atas tanah yang bukan diperuntukkan untuk pemukiman. Markus Gunawan, “Rumah Liar, Problematika Multidimensial,” Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002 : 4. 7 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996, LN No. 59 Tahun 1996, TLN No. 3644, Pertimbangan.
Universitas Sumatera Utara
16
kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya disebut Otoritas Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.8 Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
9
yang memberikan kekuasaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.10 Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.11 Dengan berbekal undang-undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini, Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada Otorita Batam termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa
8
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437. 10 Ibid, Pasal 1. 11 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40. 9
Universitas Sumatera Utara
17
sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Status hukum hak pengelolaan atas seluruh areal yang terletak di Pulau Batam termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang, Pulau Kasem, dan Pulau Moi-moi, yang diperoleh Otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 197712 menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di Pulau Rempang dan Galang. Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. Mengingat pentingnya pemahaman yang komprehensif dalam menyikapi problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menjadikan problematika pertanahan yang terjadi di pulau seluas 610 hektar ini sebagai topik penyusunan tesis. Untuk 12
Pemerintah Kota Batam, Op.cit, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
18
melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap kewenangan pemerintah daerah Kota Batam dalam bidang pertanahan. Adapun judul penyusunan tesis ini adalah Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah? 2. Bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ? 3. Bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ?
Universitas Sumatera Utara
19
C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui bagaimana penyerahan kewenangan bidang pertanahan pada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Mengetahui bagaimana status kewenangan otorita Batam dalam bidang pertanahan berkaitan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Mengetahui bagaimana keabsahan peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya terutama dibidang pertanahan yang menyangkut status hukum kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya
Universitas Sumatera Utara
20
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga bila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini dapat memberi sumbang saran kepada pemerintah, praktisi dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan apabila terjadi peralihan kewenangan dari otorita Batam kepada Pemerintah Kota Batam.
E. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik diperpustakaan Karya Ilmiah Magister Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian tentang “Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah, Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)”, memang telah pernah dilakukan, namun memiliki perbedaan dalam hal substansi permasalahan yang dibahas, oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. Secara akademik penelitian ini dapat saya dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
21
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.13 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami masalah kewenangan antara pemerintah daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum, yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum pertanahan, kewenangan antara Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, batasbatas kewenangannya antara pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan
13
DJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203. 14 Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
22
daerah industri pulau Batam di bidang pertanahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.15 Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum perdata, khususnya dibidang hukum pertanahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.16 Teori yang dipakai adalah teori keseimbangan kewenangan Pemerintah Daerah Kota Batam dan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan di Kota Batam yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.17 Keseimbangan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Batam dan otorita pengembangan dan arah industri kota Batam dengan mengacu kepada batas-batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah oleh kedua instansi berwenang di pulau Batam tersebut.18 Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana Ia menyatakan bahwa hukum harus diluruskan penegakannya sehingga memberi keseimbangan yang 15
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal. 17. 16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 102. 18 Ibid, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
23
adil terhadap orang-orang yang mencari keadilan. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.19 Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.20 Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan. Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”21 AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih 19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87. Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1990, hal. 15. 21 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, hal. 39. 20
Universitas Sumatera Utara
24
berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat didalam UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asasasas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional22. Sehingga dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :23 a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan. b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghambat pembangunan negara. Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II, VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak diberlakukan lagi (tidak diadatkan).24
22
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 47. 23 Alvi Syahrin, Op. cit, hal. 40. 24 Iman Soetikjno, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 48-49.
Universitas Sumatera Utara
25
“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturanperaturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya”.25 Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. 26 Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
25
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 1 26 Ibid, hal. 179.
Universitas Sumatera Utara
26
terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsiderans UUPA yang menyebutkan “…perlu adanya hukum agraria nasional yang tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”……..”harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.27 Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun demikian,
penerapan
asas-asas
tersebut
dalam
kasus-kasus
konkrit
selalu
memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpang dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka pengembangan wilayahnya masing-masing untuk kemajuan daerahnya, agar
27
Alvi Syahrin, Op.cit, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
27
sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan bersama di semua sektor pembangunan. Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup kewenangan mengatur masalah pertanahan diwilayahnya demi mengembangkan otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahteraan rakyat, atau minimal daerah tidak kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.28
Keadaan ini dapat dipahami,
karena daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengabaikan peranan perusahaanperusahaan besar. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat.29
28
Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah, Artikel, dimuat Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 2, November 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 8. 29 Ibid
Universitas Sumatera Utara
28
Perlindungan hukum terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi serta petani masih perlu lebih ditingkatkan pelaksanaannya, mengingat dalam prakteknya masih sering terabaikan dan cukup memprihatinkan. Kendati sarana hukum yang tersedia dari segi kuantitas dalam hal perlindungan hukum tersebut sudah memadai, namun penegakan dan pengawasan peraturan itu masih lemah.30 1. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu berupa kegiatan : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama Negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 2. Hak
Ulayat
masyarakat-masyarakat
hukum
adat,
sepanjang
menurut
kenyataannya masih ada31.
30
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hal. 118. 31 Pasal 3 UUPA
Universitas Sumatera Utara
29
3. Hak-hak penguasaan individual, terdiri atas : a. Hak-hak atas tanah32, meliputi : Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh Negara33. Sekunder : Hak Guna Bangunan dan hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lain34. b. Hak Wakaf35, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional. c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.36 Dalam lingkup hak bangsa, para warga negara mempunyai hak bersama untuk menguasai tanah dan menggunakannya, serta dimungkinkannya para warga untuk menguasai dan menggunakannya secara individual dengan hak-hak yang bersifat pribadi, artinya bahwa tanah tersebut tidak harus dikuasai dan digunakan secara bersama-sama dengan orang lain. Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanahnya bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.37 32
Pasal 4 UUPA Pasal 16 UUPA 34 Pasal 37, 41 dan 53 UUPA 35 Pasal 49 UUPA 36 Pasal 23,33,39,51 UUPA dan UU No.4/1996 33
Universitas Sumatera Utara
30
Hak-hak individual yang bersifat pribadi tersebut, dalam konsepsinya mengandung unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama. Hak-hak primer (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) langsung bersumber dari hak bangsa, melalui pemberian oleh negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang lain seperti hak sewa, hak bagi hasil dan lain-lainnya merupakan hak-hak sekunder yang bersumber pada Hak Bangsa secara tidak langsung, melalui pemegang hak primer.38 Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual39 ini sesuai dengan alam pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahkluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Perintah untuk mengadakan perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah (Pasal 14 UUPA), meletakkan kewajiban kepada mereka yang mempunyai tanah untuk menggunakan tanah yang dihaki-nya (Pasal 10 UUPA), kewajiban untuk memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA), larangan pemilikan dan penguaaan tanah yang berlebihan (Pasal 7 dan 17 UUPA), serta kebijakan dan ketentuan yang digariskan dalam Pasal 11, 12 dan 13 UUPA, merupakan penjabaran sifat fungsi sosial yang menunjukkan adanya unsur kebersamaan. 37
Pasal 9 UUPA berikut penjelasannya. Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke-XXXII, Yogyakarta, 1992, hal. 15. 39 Pasal 6 UUPA, yang menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 38
Universitas Sumatera Utara
31
Dengan demikian, filosofis pemberian hak atas tanah kepada seseorang ataupun badan hukum didasarkan pada diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya yang nyata, serta adanya kewajiban untuk menggunakannya. Ini berarti, tanah bukan merupakan komoditi perdagangan, walaupun dimungkinkan untuk dijual kepada pihak lain jika ada keperluan. Tanah tidak bisa dijadikan obyek investasi semata-mata, lebih-lebih dijadikan obyek spekulasi.40 Selanjutnya, asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional terhadap para pemegang hak atas tanah41, adalah : 1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional; 2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU 51 Prp 1960); 3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya; 4. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada :
40 41
Boedi Harsono, Op.cit, hal. 16. Boedi Harsono, Op.cit, hal. 329-330.
Universitas Sumatera Utara
32
-
Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya (UU 51 Prp 1960);
-
Gangguan oleh penguasa; gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara;
5. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang menjadi hak seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya; 6. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri (seperti diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata) 7. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak atas tanah, yang diatur dalam UU 20/1961;
Universitas Sumatera Utara
33
8. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, melainkan juga kerugiankerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan; 9. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya. Batam sebagai bagian wilayah Indonesia, tidak terlepas dari fenomena konflik masalah pertanahan. Berbagai kasus tanah masih menyisakan persoalan-persoalan yang mau tidak mau harus diselesaikan secara bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, maka jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Akibatnya rumah-rumah liarpun bermunculan, tanpa usaha untuk membendungnya.42
42
Markus Gunawan, Rumah Liar Problematika Multidimensial, Syari Pos, Batam, 12 Juli 2002, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
34
Kepemilikan rumah tempat tinggal bagi warga negara asing yang bermukim di Batam juga menambah rumitnya persoalan. Menghadapi fenomena itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut merupakan pengecualian dari UUPA yang pada dasarnya berkaitan dengan status pemulihan hak pakai atas tanah negara. Penetapan status pulau Batam sebagai zona industri menurut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam tidak saja membuat perubahan dalam pola kebijakan dibidang industri tetapi juga kebijakan di bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, untuk selanjutnya disebut otorita Batam, dengan pemberian hak pengelolaan.43 Keadaan ini dalam perjalanan selanjutnya diperuncing dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 200444 yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.45
43
Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004, Pemko Batam, 2004, hal. 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Revisi tersebut tidak banyak, merevisi masalah pertanahan hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. 45 Pasal 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. 44
Universitas Sumatera Utara
35
Pemberian otonomi dibidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.46 Dengan berbekal Undang-Undang ini, Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini, otorita Batam mengacu kepada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kewenangan kepada otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan bahwa sudah saatnya kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota diantaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-Undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan, sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam. Status hukum hak pengelolaan atas seluruh aral yang terletak di pulau Batam, termasuk dalam gugusan pulau Janda berhias pulau Tanjung Sauh, pulau Ngenang, pulau Kasem dan pulau Moi-Moi yang diperoleh otorita Batam berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
46
Arie, S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
36
Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Februari 1977 menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di pulau Rempang dan Galang. Permasalahan tersebut juga terkait dengan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam.
2. Konsepsi Konsep
diartikan
sebagai
kata
yang
menyatakan
abstraksi
yang
digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.47 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut : yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/perbuatan hukum dibidang pertanahan dalam hal pemberian hak-hak atas tanah kepada masyarakat di Kota Batam.48 Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
47
Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 1010. 48
Universitas Sumatera Utara
37
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.49 Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.50 Otonomi Daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.51 Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.52
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini maka sifat penelitian
yang
digunakan
adalah
penelitian
deskriptif
analisis,
yang
mengusahakan/memaparkan bagaimana pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan dalam hal ini adalah batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh
49
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat (3), Ibid. 51 Pasal 1 ayat (5), Ibid 52 Pasal 1 ayat (6), Ibid 50
Universitas Sumatera Utara
38
Pemerintah Kota Batam dengan otorita pengembangan daerah industri pulau Batam dalam hal pemberian hak-hak atas tanah di Kota Batam, dalam hal memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di Kota Batam atas kewenangan pemberian hakhak atas tanah tersebut. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan juridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berawal dari premis umum, untuk kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran pokok (teoritis).
2. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual, dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah (otonomi) dibidang pertanahan dan juga UU yang terkait masalah pertanahan tersebut. Studi dokumen dalam bentuk buku teks, jurnal, makalah dan berbagai artikel yang terbit disejumlah media massa, kamus umum dan kamus Hukum.
Universitas Sumatera Utara
39
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan para pihak terkait seperti pejabat Pemerintah Kota Batam dan otorita Batam yang berwenang dalam bidang pertanahan, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.
3. Analisis Data Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi. Sebelum analisa dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier) untuk mengetahui
validitasnya.
disistematisasikan
sehingga
Setelah
itu
menghasilkan
keseluruhan
data
klasifikasi
yang
tersebut selaras
akan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.53 Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap
53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
40
permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.54 Ada 3 (tiga) alasan penggunaan penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif, antara lain : 1. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. 2. Data yang dianalisa beraneka ragam memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikualifisir. 3. Sifat dasar data yang dianalisa dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (hilistic) dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).55 Hasil penelitian ini bersifat evaluasif analisis yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.
54
Ibid, hal. 107. Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1 55
Universitas Sumatera Utara