1
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sepsis adalah penyakit sistemik disebabkan penyebaran mikroba atau toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti disfungsi organ bahkan kematian. Sepsis adalah respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, yaitu Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) ditambah infeksi. Sepsis terjadi pada pasien dengan kondisi kritis dengan angka kematian tinggi terutama di negara yang sedang berkembang (Runtunuwu et al., 2008). Sepsis merupakan penyebab utama kematian kedua di bagian noncoronary intensive care units dan termasuk dalam 10 besar penyebab kematian di Amerika Serikat. Sepsis dialami sekitar 750.000 orang pertahunnya dan lebih dari 210.000 orang diantaranya meninggal (Hotchkiss dan Karl, 2003; Martin et al., 2003). Hall et al., melaporkan di a Centers for Disease Control and Prevention (CDC) NCHS Data Brief bahwa di rumah sakit (RS) Amerika Serikat kejadian sepsis meningkat dari 621.000 di tahun 2000 menjadi 1.141.000 di tahun 2008. Hasil survei di India bagian timur mendapatkan kejadian sepsis berat terdiri 17% dari semua kunjungan di Intensive Care Unit (ICU), dengan angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 45% (Todi et al., 2007). Sepsis merupakan suatu beban berat bagi seluruh pelayanan kesehatan di dunia, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Sepsis merupakan kondisi dengan biaya terapi termahal di rumah sakit Amerika Serikat yaitu mendekati 15,4 milyar dolar. Sepsis selain merupakan penyebab utama kematian juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang bertahan (Elixhauser et al., 2009). Data rekam medik
2
di RSUP Dr.sardjito menunjukkan pada tahun 2013 sepsis merupakan penyebab kematian pertama sebesar 84 kasus, dengan angka kejadian penyakit menempati urutan ketiga sebesar 1196 kasus. Sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tetapi tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah berdasarkan hasil kultur darah positif. Penegakan diagnosis sepsis memerlukan 3 kriteria yaitu SIRS, sumber infeksi dan kultur. Definisi infeksi berdasar konsensusThe American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) adalah proses patologik disebabkan invasi mikroorganisme patologik ke dalam jaringan atau cairan atau rongga tubuhyang seharusnya steril.Standar emas diagnosis infeksi adalah isolasi dan identifikasi organisme dengan kultur darah, namun kekurangan metode diagnosis kultur adalah sensitifitas kurang optimal serta lamanya diagnosis. Sensitivitas kultur darah kurang sehingga hasil kultur negatif belum menyingkirkan diagnosis sepsis karena dari semua penderita sepsis hanya 20% - 40% yang menunjukkan hasil kultur positif. Kultur darah negatif biasanya didapatkan pada lebih 70% pasien sepsis, meskipun terdapat gejala klinis yang jelas akan adanya infeksi. Spesifisitas kultur darah terganggu karena potensi terjadinya kontaminasi(Boneet al., 1992; Guntur, 2006; Rowther et al., 2009; Riedel et al., 2011; Schuetz et al, 2011). Hal inilah yang menyulitkan penegakan diagnosis sepsis itu sendiri, meskipun SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri tetapi tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia bersifat sepintas, dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa sehingga kultur darah
3
tidak harus positif.Hal ini terjadi karena didalam sirkulasi darah kemungkinan terdapat endotoksin dan eksotoksin sedangkan bakterinya berada di dalam jaringan (Guntur, 2006). Diagnosis kultur membutuhkan waktu beberapa hari, sementara pasien harus mendapat pengobatan cepat dan tepat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis. Diagnosis dan penatalaksanaan sepsis yang cepat dan tepat adalah komponen terpenting berdasarkan the International Surviving Sepsis Campaign. Risiko kematian akibat sepsis akan meningkat sampai dimulainya terapi antibiotik yang sesuai. Hal tersebut menunjukkan diperlukannya tes yang cepat dan mampu membedakan antara Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) karena infeksi atau non infeksi (Rowther et al., 2009; Riedel et al., 2011; Schuetz et al, 2011). Biomarker untuk infeksi bakteri yang ideal seharusnya dapat mendiagnosis sedini mungkin, memberikan informasi tentang keadaan penyakit tersebut pada pasien saat diperiksa dan prognosis penyakit tersebut sehingga dapat memfasilitasi keputusan terapi yang tepat untuk pasien. Diagnosis infeksi bakterial yang cepat dan tepat biasanya sulit, karena memperoleh biakan darah tradisional untuk diagnosis kultur adalah proses yang lama dan tidak memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang diinginkan. Tes laboratorium alternatif untuk menegakkan infeksi bakterial seperti laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP), jumlah lekosit atau persentase netrofil, dan the polymerase chain reaction (PCR) tidak memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang diinginkan (Kibe et al., 2011).
4
Saat ini telah dikembangkan beberapa marker sepsis antara lain Procalcitonin (PCT), tumor necrosis factor α (TNF α), Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Interleukin-10 (IL-10), dan lainnya yang memiliki kemampuan untuk membedakan SIRS dan sepsis. Procalcitonin (PCT) telah diusulkan sebagai penanda dalam diagnosis cepat infeksi bakteri karena kemampuan khususnya dalam mendiagnosis infeksi bakteri, terutama digunakan dalam Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Intensive Care Unit (ICU). Procalcitonin (PCT) lebih sensitif dan kadarnya paling cepat naik setelah terjadi paparan infeksi bakterial dibanding biomarker sepsis lainnya. Sensitivitas PCT 85% dan spesifisitas 91% untuk membedakan pasien SIRS dan sepsis. Kadar PCT pada keadaan fisiologis rendah bahkan tidak ada (dalam ng/mL). Terapi antibiotik yang sesuai akan menurunkan kadar PCT pada sepsis dan menunjukkan prognosis baik, kadarnya yang tetap atau bahkan meningkat menunjukkan prognosis buruk. Molekul PCT sangat stabil baik dalam kondisi in vivo maupun in vitro, tidak membutuhkan perlakuan istimewa saat preanalitikal dan penyimpanan sampel (Balci et al., 2010; Deepashree., 2010). Procalcitonin merupakan peptida dengan 116 asam amino, sebuah rangkaian identik prohormon calcitonin tetapi PCT sendiri tidak memiliki aktivitas sebagai hormon PCT. Procalcitonin diproduksi sebagai respon pelepasan endotoksin bakterial, eksotoksin, dan beberapa jenis sitokin serta berkorelasi kuat dengan keparahan infeksi bakterial. Infeksi yang disebabkan protozoa, non bakteri (virus) dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Berdasarkan hal tersebut PCT lebih spesifik sebagai penanda infeksi bakterial sehingga dapat digunakan
5
untuk membedakan infeksi yang diakibatkan oleh bakteri dengan infeksi yang tidak diakibatkan oleh bakteri. Penelitian Wang et al tahun 2013 menunjukkan kadar PCT secara signifikan lebih tinggi pada bakteremia dengan cut-off terbaik 0,80 ng/mL (Schuetz et al., 2011; Buchori dan Prihatini, 2006; Wang et al., 2013). Penelitian awal dampak ekonomis penggunaan PCT secara sistematis untuk mendiagnosis dan monitoring proses peradangan dan infeksi menunjukkan hasil yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengurangan pemakaian antibiotik, waktu yang lebih pendek di ICU, dan menurunkan biaya per pasien (Iskandar, 2010). B. Permasalahan Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Insidensi sepsis meningkat dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi, termasuk dalam 10 besar penyebab kematian di banyak rumah sakit, merupakan beban berat bagi seluruh pelayanan kesehatan di dunia baik dari segi ekonomi maupun sosial 2) Sepsis sebagian besar berhubungan dengan infeksi bakterial, standar emas diagnosis adalah kultur darah dengan sensitivitas kurang optimal serta waktu diagnosis lama 3) Diagnosis dan penatalaksanaan sepsis yang cepat dan tepat masih menjadi kendala, risiko kematian tinggi dengan terapi antibiotik yang tidak optimal 4) Tes laboratorium alternatif penegakkan infeksi bakterial seperti LED, CRP, jumlah lekosit, dan lainnya tidak memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
6
diinginkan, dibutuhkan biomarker sepsis seperti PCT yang lebih sensitif, spesifik, dan kadarnya paling cepat naik setelah infeksi bakterial. C. Pertanyaan Penelitian Adakah hubungan kadar PCT ≥ 0,80 ng/mL dengan hasil positif kultur bakteripada pasien sepsis dengan menentukan rasio prevalensi. D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang PCT terhadap pasien sepsis sudah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya namun penelitian tentang hubungan PCT dengan kepositifan hasil kultur pada pasien sepsis masih jarang. Tabel 1. Keaslian penelitian Nama peneliti Anand et al.
Tahun 2015
Tempat penelitian New Delhi, India
Sampel
Populasi
Metode
46 162
SIRS Sepsis
Kohort
Naffa et al.
2014
Haifa, Israel
40
Sepsis
Kohort
Wanget al.
2013
Beijing, China
586
Sepsis
Studi retrospektif
Previs dominet al. Riedel et al.
2012
Bellin zona Switzerland
231
Sepsis
Deskriptif retrospektif
2011
Amerika
295
Bakteremia dan sepsis
Prospektif
Lopez et al.
2011
Mexico
39
Sepsis
Prospektif
Hausfat er et al.
2002
Paris, Prancis
195
Infeksi sistemik
Prospektif
Hasil PCT secara signifikan (p<0,001) lebih tinggi pada kultur (-) (cutoff 1,43ng/mL; sensitivitas 92,2%; spesifisitas 72%) dan kultur (+) (cutoff 2,49 ng.mL; sensitivitas 94,4%; spesifisitas 87%) kelompok sepsis dibandingkan dengan kelompok SIRS. Analisis regresi logistik multivariat : hanya PCT berhubungan dengan kepositifan kultur darah OR=12,15 (95% CI 1,29-11,40). Cut-off PCT 1,35 dan 2,14 ng/mL identifikasi kultur darah positif 100% dan 90%. Kadar PCT secara signifikan lebih tinggi pada kultur darah positif, cut-off terbaik 0,80 ng/mL (sensitivitas 83%, spesifisitas 65%) Kadar PCT > 2 μg/L secara signifikan potensial sebagai prediktorkultur darah positif OR=9,68 (95% CI 1,81-51,93) Kadar PCT <0,1 ng/mL, sensitifitas 75%, spesifisitas 79%, PPV 17%, NPV 98% untuk menyingkirkan sepsis dan inflamasi sistemik hubungan bermakna (p<0,05) antara kadar PCT > 2mg/dL dengan kultur positif (RR=4) PCT >0,5 ng/mL diagnosis infeksi sistemik sensitivitas 0,35, spesifisitas 0,99. Analisis multivariat hanya PCT independen berhubungan dengan infeksi sistemik.
7
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pasien Pemeriksaan kadar PCT pada awal kejadian sepsis diharapkan dapat memberi informasi terkait hubungan PCT dengan hasil positif kultur bakteri, demi meningkatkanketepatan tatalaksananya sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. 2. Bagi klinisi Klinisi dapat lebih mengefektifkan tata laksana 3. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah dalam pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan PCT sebagai prediktor kultur positifselama perawatan sepsis. F. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan kadar PCT ≥ 0,80 ng/mL dengan hasil positif kultur bakteri pada pasien sepsis dengan menentukan rasio prevalensi.