BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Daya tarik kepemimpinan dalam berbagai usaha dan bidang seperti bisnis, psikologi, sejarah, politik, sastra, sosiologi - menjadikannya "disiplin ilmu yang menjelaskan beberapa masalah kebutuhan manusia dan perubahan sosial" (Burns, 2003), menjadi fenomena topik pembicaraan saat ini (Burns, 1978; Rost, 1991). Fenomena kepemimpinan di negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana
kepemimpinan
membawa
pengaruh
sangat
besar
terhadap
kehidupan berpolitik dan bernegara. Berita penangkapan dan penahanan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar merupakan peristiwa besar yang memalukan bangsa Indonesia. Media internasional pun tak ketinggalan menyoroti kasus itu. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) ambruk. Lembaga produk reformasi yang sempat dihormati itu kini dicaci . Posisi Akil memang tinggi dalam sistem politik Indonesia! Dia ketua lembaga yang menjadi penjaga konstitusi (Kompas, Sabtu 5 Oktober 2013). Banyaknya skandal dalam dunia bisnis, pemerintahan, politik, olahraga, pendidikan dan kesehatan, membuat kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap organisasi dan kelangsungan hidup lembaga ataupun institusi yang dipimpinnya. Penelitian yang berjudul Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership (Percy, 2003), menunjukkan bahwa spiritualitas berpengaruh pada pola kepemimpinan dan berdampak pada lembaga yang dipimpinnya. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa para direktur dan Chief of Excutive Officer (CEO) yang efektif dalam hidup dan kepemimpinannya memiliki spiritualitas yang
1
2
tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Spiritualitas membantu membangun karakter dalam diri sehingga mempengaruhi pola kepemimpinan yang
dijalankannya
dan
berdampak
pada
lembaga
yang
dipimpinnya.
Sebaliknya, Frost (2003) membuktikan bahwa akibat krisis kepemimpinan, banyak orang yang menderita, yang mengalami burn-out, yang tidak dapat menikmati hidup dalam pekerjaannya, serta banyak biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sakit emosional di tempat kerja. Kedua penelitian ini menunjukkan, bahwa spiritualitas dan kepemimpinan dapat memberi pengaruh positif maupun pengaruh negatif kepada para anggotanya dan lembaga yang dipimpinnya. Menyadari betapa besarnya pengaruh kepemimpinan dalam berbagai bidang kehidupan, mendesak sekarang ini untuk mendiskusikan dan memikirkan kebutuhan akan pendidikan kepemimpinan bagi generasi mendatang, termasuk kepemimpinan dalam institusi pendidikan. Wong dan Davey (2007) dalam penelitiannya, mengungkapkan pentingnya kepemimpinan yang berorientasi pada orang dan masa depan; tidak lagi pada proses dan hasil. Tantangan utama manajemen dan kepemimpinan terlebih dalam institusi pendidikan adalah bagaimana mengembangkan orang-orang yang berbakat di dalam organisasi dengan menciptakan iklim kerja yang positif dan memberikan peluang untuk inovasi dan mengambil resiko menghadapi ketidakpastian di masa mendatang. Disadari bahwa untuk mencetak pemimpin masa depan yang mempunyai integritas dan kredibilitas maka dibutuhkan lembaga pendidikan yang tangguh. Lembaga pendidikan yang tangguh, tidak bisa lepas dari pemimpin (dan kepemimpinan) dalam lembaga pendidikan itu sendiri. Beberapa penelitian membuktikan bagaimana kepemimpinan dalam suatu lembaga pendidikan mempengaruhi seluruh kehidupan dan sistem kerja dalam pendidikan itu.
3
Penelitian
yang
dilakukan
Edmonds
(1979)
tentang
sekolah-sekolah
mengungkapkan bahwa kepala sekolah yang baik berpengaruh pada dinamika dan prestasi kerja sekolah yang dipimpinnya. Penelitian Hallinger dan Lithwood (1994) menyimpulkan bahwa sekolah yang efektif senantiasa dipimpin oleh kepala sekolah yang efektif pula. Kedua penelitian tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kepala sekolah merupakan pemimpin dan salah satu agen perubahan
sekolah
yang
terpenting.
Kepala
sekolah
yang
memiliki
kepemimpinan yang kuat menurut Blumberg dan Greenfield (1980) mampu memerankan diri dalam delapan peran: organisator (the organizer), pengakrobat berdasarkan nilai (the value-based juggler), penolong sejati (the authentic helper), perantara (the broker), humanis (the humanist), katalis (the catalyst), rasionalis (the rationalist), dan politikus (the politician). Kepemimpinan
dalam
lembaga
pendidikan
tidak
semata-mata
mengandalkan unsur manajerial, melainkan membutuhkan kombinasi, selain budaya korporasi yang dapat dijabarkan dalam ukuran-ukuran konkrit; juga semangat yang menjiwai kerjasama para anggotanya. Semangat yang menjiwai ini dapat dibahasakan dengan istilah lain yaitu ‘spiritualitas’. Wheatley (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang meningkat untuk mempelajari peran spiritualitas dalam dunia kepemimpinan sekolah yang kompleks. Penelitian ini mengeksplorasi perilaku dan praktek kepemimpinan yang dicirikan sebagai kepemimpinan spiritual. Spiritualitas berbeda dengan agama. Houston (2002) menyatakan "agama memberi sebuah rubrik untuk bekerja dengan ketuhanan, sedangkan spiritualitas adalah energi yang menghubungkan.
4
Studi tentang kepemimpinan spiritual yang difokuskan pada pendidikan, khususnya, pemimpin, sangat diperlukan untuk memberikan wawasan ke dalam pengembangan profesional dan mempekerjakan pemimpin pendidikan masa depan. Dinamika kegiatan belajar mengajar di lembaga pendidikan, baik pendidikan
menengah
maupun
pendidikan
tinggi
dipengaruhi
aspek
kepemimpinan pada lembaga tersebut. Dalam konteks ini, kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu pencapaian target lembaga pendidikan tersebut. Keberadaan pemimpin dalam organisasi merupakan hal yang terpenting karena merupakan tulang punggung dan memiliki peranan yang strategis dalam mencapai tujuan organisasi, kepemimpinan berperan sebagai penggerak segala sumber daya manusia dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi, dan juga sebagai faktor kunci dalam aspek managerial. Penelitian Reave (2005) terkait tentang kepemimpinan menemukan kualitas spiritual yang universal (integritas, kejujuran, kesopanan) dan perilaku (hormat terhadap orang lain, perlakuan yang adil, cinta dan perawatan, pengakuan atas kontribusi, mendengarkan, respon, refleksi diri) merupakan sosok pemimpin yang sukses. Fairholm (1996) melakukan survai yang hasilnya cukup
menarik.
Ditemukan
100%
anggota
grup
percaya
spiritualitas
berhubungan dengan pekerjaan mereka. Sebanyak 85% menyatakan spiritualitas pemimpin berpengaruh terhadap organisasi mereka. Dan sebesar 63% menyatakan bahwa perlu peningkatan integrasi spiritualitas ke dalam tempat kerja mereka. Pemimpin yang spiritualis mengarahkan bawahan melalui dialog dan dia mempercayai bawahannya. Ketika pemimpin tersebut terlibat dan diberi informasi yang akurat, maka mereka akan membuat keputusan yang cerdas dan
5
bertanggungjawab dengan keputusan yang mereka buat karena berimplikasi terhadap kehidupan mereka (Powers, 1979). Bagaimana jika kepemimpinan dan spiritualitas diterapkan bersama-sama dalam suatu lembaga pendidikan? Fenomena menarik ada pada komunitas lembaga pendidikan yang terkenal dengan nama kolese. Kolese adalah lembaga pendidikan sekolah tingkat menengah yang didirikan dan dipimpin oleh para religius katolik; tepatnya mereka, kaum religius yang tergabung dalam kelompok (Ordo Jesuit) dengan spiritualitas Ignatian. Sejak awal, kaum religius Jesuit ini telah menempatkan pendidikan sebagai karya kerasulan utama. Jesuit mengelola 8 Kolese di Indonesia yang terdiri dari SMA Kolese Kanisius (Jakarta), SMA Kolese Aloysius Gonzaga (Jakarta), SMA Kolese Loyola (Semarang), SMA Kolese De Britto (Yogyakarta), SMTIK-PIKA (Semarang), SMA St. Mikael (Surakarta), SMA Le' Cocq D Armandville (Papua), dan Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan (Magelang). Tiga SMA di antara delapan kolese tersebut dikelola langsung oleh para Jesuit, yaitu: SMA Kolese Kanisius (Jakarta), SMA Kolese Loyola (Semarang) dan SMA Kolese De Britto (Yogyakarta). Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa kolese sebagai sebuah lembaga pendidikan dipimpin oleh seorang kaum religius dengan spiritualitas tertentu yang menjiwai dinamika kehidupan sekolah tersebut. Dalam bahasa umum, spiritualitas yang menjiwai ini dekat dengan istilah budaya organisasi yang sangat berpengaruh (efektif) pada dinamika suatu organisasi (Schein, 2004). Budaya sebagai sebuah fenomena kognitif dengan pemograman pikiran kolektif (Hofstede, 2004) menjadi asumsi dan keyakinan oleh anggota organisasi, hal ini diwujudkan secara nyata dalam bentuk perilaku oleh seluruh organisasi.
6
Spiritualitas Ignatian menjadi semangat yang dihidupi dan mampu menjiwai seluruh dinamika kehidupan lembaga pendidikan kolese ini. Berikut petikan wawancara : “Seseorang yang mengalami dan menghidupi Latihan Rohani, seperti secara ringkas dalam spiritualitas Ignatian disebut pada Azas dan Dasar (LR Nomor 23), tahu tujuan hidupnya itu untuk apa. Tujuan hidup manusia itu untuk memuji, memuliakan dan mengabdi Allah. Orang tersebut lalu sadar bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini adalah sarana. Maka segala sesuatu yang ada mestinya dipakai untuk mengejar tujuan tersebut. Karena itu orang lalu bisa berkata segala sesuatu aku pakai kalau berguna, kulepaskan kalau tidak berguna untuk mencapai tujuan tadi. Itulah hal yang paling dasariah. Kalau diterapkan dalam bekerja, misalnya sebagai direktur, ketika akan membuat keputusan tentu saya akan selalu berpikir lebih dulu apakah keputusanku akan mengarah ke tujuan hidup tadi atau tidak” (wawancara awal Rm John Nugroho, pamong Kolese de Britto) Kolese Jesuit tidak menjadi lebih Jesuit hanya karena ada Jesuit yang bekerja di dalamnya, tetapi sejauh mana nilai-nilai dan spiritualitas berkembang menjadi budaya di kolese yang sungguh-sungguh bisa diterjemahkan dan menjadi inspirasi dalam setiap kegiatan yang ada didalamnya. Maxwell (2006) mengidentifikasikan lima prinsip untuk dapat menjadi teladan, yaitu: memperbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain, memperbaiki diri lebih banyak dari pada orang lain, mengejar apa yang benar daripada melakukan apa yang benar, melakukan apa yang dapat dilihat bukan hanya dengan kata-kata, dan belajar dari teladan orang lain. Jadi intinya adalah memimpin diri sendiri terlebih dahulu baru memimpin orang lain . “Dengan sendirinya kepemimpinan akan muncul pada orang yang sudah menghayati spiritualitas Ignatian, meski barangkali tidak diformulasikan secara eksplisit oleh orang yang bersangkutan. Kepemimpinan atau perilaku memimpin dalam spiritualitas Ignatian adalah cara hidup. Dan memang betul, kalau saya membahasakan Ignatian Leadership itu bukan sebuah semacam ilmu dan ketrampilan, tetapi suatu cara hidup. Karena Ignatian Leadership itu cara hidupku, maka entah secara formal aku
7
seorang pemimpin, misalnya pemimpin karya, direktor sekolah, atau bukan, spiritualitas itu tetap aku hidupi, aku jalani. Kepemimpinan Ignasian adalah cara hidup: our way of life and proccedings. Ignasius selalu mengatakan cara kita bertindak, jadi hidupku, maka kepemimpinan itu keluar dari diriku, bukan sekedar suatu skill atau ketrampilam, tapi seseuatu yang memang kuhidupi”. (wawancara awal Rm John Nugroho, pamong Kolese de Britto) Point yang menarik dan penting adalah bahwa pendidikan menurut tradisi Jesuit diarahkan pada pembentukan “pemimpin-pemimpin”, yakni orang yang akan memegang jabatan yang mempunyai tanggungjawab besar membentuk pribadi yang bermutu (Sudiarja, 1999). Kolese menjadi sebuah lembaga pendidikan Jesuit yang khas bukan pertama-tama hanya soal excellence dalam arti keunggulan akademis tetapi sejauh mana pendidikan kolese sungguh bisa menggerakkan dan membentuk orang-orang muda menjadi pribadi pemimpin yang berkarakter dengan 3 C (Competence, Compassion, dan Conscience). “Disini yang dilakukan setiap hari adalah examen conscientiae. Examen conscientiae atau pemeriksaan batin (suara hati) itu adalah salah satu kekhasan Ignasian dan merupakan dasar kehidupan seorang pemimipin Ignasian. Orang lain mungkin hanya membuat evaluasi sistematis-ilmiah, tetapi examen conscientiae bukan hanya soal evaluasi, tetapi soal bagaimana Tuhan itu memimpin saya secara konkret pada hari ini. Jadi tidak hanya sekedar dalam konteks kepemimpinan organisasional, tetapi mencakup sebagai membaca hari ini bagaimana di hadirat-Nya. Aktivitas examen itu tidak hanya dibiasakan pada guru, pada direktur, tetapi juga pada para murid setiap hari agar mereka punya pengalaman yang sama, konkret, diwujudkan secara nyata, ada break down. Spiritualitas dan kepemimpinan itu memang di-break down dalam sebuah kegiatan, dalam konteks lembaga.” (wawancara awal Rm John Nugroho, pamong Kolese de Britto) Dalam hal ini, orang belajar untuk melihat realitas dirinya dan juga realitas lingkungan sekitarnya (masyarakat, budaya, keadilan dan dialog antar umat beriman) serta siap menjadi man for others (manusia bagi sesama).
8
Selanjutnya, untuk mencapai output pendidikan yang semacam ini, pemimpin kolese menerapkan metode/model pendidikan khas yang dikenal dengan pedagogi Ignatian. Pedagogi Ignatian adalah penerapan konkret spiritualitas Ignatian dalam dunia pendidikan. Pendampingan yang khas dalam pedagogi Ignatian adalah cura personalis (pendampingan personal) sehingga mampu mendampingi siswa berkembang sesuai dengan potensinya. Dalam pendampingan personal (cura personalis) ini ditanamkan nilai-nilai (karakter) seperti kebiasaan refleksi, discernment (penelitian suara hati), dan semangat ‘magis’ “Para siswa dididik dalam suasana kebebasan menjadi manusia yang bebas, yaitu yang mampu mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang benar, tidak terbelenggu oleh gengsi, materi, atau kecenderungan untuk ikut-ikutan saja. Manusia yang bebas adalah manusia yang mandiri dan bertanggungjawab atas pilihan dan tindakannya.” (wawancara awal Rm John Nugroho, pamong Kolese de Britto) Dalam pendekatan cura personalis, tentu bukan dihindari sebuah pendekatan yang prosedural, namun penghargaan atas masing-masing pribadi sebagai subjek yang memiliki dinamika tertentu, lebih diutamakan. Selalu ada ruang untuk diskusi, untuk menggali dan memperkuat kembali pondasi nilai, suara hati yang ditanamkan. “Saya jadi ingat cerita Rm. Bagus Dwiko ketika mendapati tiga siswa Kolese de Britto merokok di sekolah. Rm. Dwiko adalah “pamong” atau wakil kepala sekolah untuk urusan kesiswaan di Kolese de Britto. Dia cerita bahwa di kolese itu siswanya dilarang merokok. Tatkala ia mendapati tiga siswanya merokok di sekolah, yang pertama kali ia lakukan adalah bertanya: siapa di antara ketiga anak itu yang berinisiatif menyulut rokok? Ketika si pelopor mengaku, ia justru disuruh kembali ke kelas, sementara dua temannya harus berurusan lebih jauh dengan Rm. Dwiko. Sebabnya yang dua ini ternyata cuma ikut-ikutan merokok. Orang yang cuma ikut-ikutan dianggap tidak bebas. Ini dianggap lebih gawat daripada melanggar larangan merokok di sekolah. Beda-beda perlakuan yang diterima ketiga siswa ini mungkin bisa jadi contoh pendekatan “cura
9
personalis” di Kolese de Britto. Dari sini juga mungkin bisa kelihatan bahwa nilai kebebasan di Kolese de Britto hirarkinya lebih tinggi dari norma sekolah yang melarang merokok” (dalam Buku Menjadi Manusia Bebas oleh F. Wawan Setyadi, SJ, mantan sub-pamong Kolese de Britto)
Penelitian lanjutan mengenai kepemimpinan dan spiritualitas Ignatian pada suatu komunitas lembaga pendidikan menjadi penting dilakukan karena penelitian sebelumnya lebih menekankan kepemimpinan dan spiritualitas Ignatian pada para eksekutif dengan latar belakang profesi yang berbeda yang bekerja dalam sektor industri. Data yang diperoleh dari penelitian awal juga menggugah peneliti untuk menindaklanjuti penelitian dengan memfokuskan bagaimana seorang pemimpin menghidupi, menghayati, dan menerjemahkan spiritualitasnya dalam sebuah organisasi, secara khusus di lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan calon-calon pemimpin yang berkarakter di masa depan. Pastinya, penelitian ini menjadi penting di tengah dunia modern yang diwarnai dengan budaya persaingan dan semangat untuk mencapai sukses dan prestasi.
B. Rumusan Penelitian Kepemimpinan spiritual melalui visi, keyakinan dan cinta sesama menyediakan dasar yang kuat untuk motivasi internal dengan keterlibatan tugas dan identifikasi tujuan. Hal ini menyebabkan pertemuan antara kebutuhan tertinggi individu seperti self efficacy, memberikan otonomi, dan kompetensi serta keterhubungan (Deci & Ryan, 2000). Kepemimpinan spiritualitas, bukanlah tentang kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, belas kasih, yang membentuk akhlak dan moral diri sendiri dan orang lain.
10
Kekhasan kepemimpinan yang disertai dengan spiritualitas inilah yang membuat penulis ingin mengungkap lebih jauh spiritualitas apa yang diyakini para
pemimpin
yang
berfungsi
membangun
kultur
efektivitas
lembaga
pendidikannya? Bagaimana cara para pemimpin lembaga pendidikan tersebut menerapkan spiritualitas yang dihayatinya hingga menjiwai seluruh aktivitas sekolahnya dan akhirnya mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang unggul?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kepemimpinan para kaum religius (Jesuit) dan spiritualitas yang dihidupi dan diterjemahkannya dalam lembaga pendidikan. Penelitian ini hendak menggali secara lebih mendalam terkait dengan (1) kepemimpinan kaum religius (Jesuit) dalam Kolese; (2) spiritualitas yang dihidupi oleh para Jesuit dalam karyanya sebagai pemimpin Kolese; dan (3) penerapan spiritualitas yang dihidupi para Jesuit sehingga mampu menjiwai seluruh pihak yang termasuk dalam lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai kepemimpinan dan spiritualitas pada lembaga pendidikan
ini,
diharapkan
sebagai
bentuk
penerapan
pengembangan
pendekatan kepemimpinan dan psikologi positif yang relevan dengan kebutuhan organisasi saat ini dan masa mendatang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola organisasi khususnya lembaga pendidikan;
membangun
budaya
organisasi;
pengembangan
model
kepemimpinan serta pengembangan sumber daya manusia terhadap pentingnya
11
aspek spiritualitas dalam meningkatkan kapasitas psikologis dan perilaku kerja positif pada lembaga pendidikan.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian ini hendak menggali secara lebih dalam dan mengungkapkan makna mengenai kepemimpinan dan spiritualitas pada lembaga pendidikan yang dihayati oleh seluruh anggota komunitas. Senada dengan tema ‘kepemimpinan’, Lecourt dan Pauchant (2011) dalam penelitiannya yang berjudul: Ignatian Spirituality & Management A Study of “Ignatian Executives” menjelaskan bahwa para eksekutif dari beragam latar belakang profesi dalam organisasi yang bergerak di bidang industri mempraktekkan spiritualitas Ignatian dari Latihan Rohani, menunjukkan kemampuan para eksekutif mengelola pekerjaan menjadi berbeda dengan organisasi yang lain. Pengambilan keputusan tidak tergesagesa melainkan mengambil jeda untuk merefleksikan sesat tentang keputusan yang akan ditentukan, promosi jabatan bukan menjadi hal yang penting dan lebih menekankan
pada
bentuk
pengabdian,
pelayanan
sebagai
wujud
pengembangan masyarakat. Membuat eksekutifnya lebih “humanis”. Penelitian “The Effect of Personal Meaning and Calling on Organizational Commitment: An Empirical Investigation of Spiritual Leadership” (Markow & Klenke, 2005), menunjukkan secara empiris ada keterkaitan antara panggilan dan makna personal pada komitmen organisasi dalam konteks keemimpinan spiritual. Makna personal digunakan untuk membangun sumber-sumber makna itu sendiri dan untuk menidentifikasi mengenai sumber-sumebr makna personal yang mampu menelaah panggilan. Penelitian ini juga menunjukkan ada korelasi positif yang signifikan antara makna personal transendensi diri dan panggilan.
12
Ngunjiri (2010), dalam penelitiannya “Lessons in Spiritual Leadership from Kenyan Women” menunjukkan bahwa para perempuan Kenya menawarkan pemahaman
tentang
kepemimpinan
spiritual
dengan
nilai-nilai
produk
kepemimpinan spiritual dalam konteks budaya tertentu. Nilai tersebut adalah kebaikan, harapan, kesabaran, keberanian dan kemanusian (ubuntu, nilai khusus pada budaya di Afrika) yang bertujuan untuk membangun dan memelihara komunitas. Penelitian yang berjudul “The Influence of School Leadership Styles and Culture on Students’ Achievement in Cyprus Primary Schools” (Kythreotis, Pashiardis & Kyriakides, 2010)
membuktikan bahwa secara empiris ada
pengaruh langsung pola kepemimpinan kepala sekolah pada prestasi akademik siswa. Lebih dari itu dibuktikan juga adanya korelasi antara pencapaian prestasi siswa dengan kepemimpinan kepala sekolah dan empat dimensi dari budaya organisasi. Milliman dan Ferguson (2008) dalam penelitian yang berjudul “In Search of the ‘Spiritual’ in Spiritual Leadership: A Case Study of Entrepreneur Steve Bigari” menggunakan tiga dimensi kunci: visi/misi, harapan/keyakinan dan cinta yang altruistic dari teori Fry (2003), tentang kepemimpinan spiritual dan pengaruhnya pada efisiensi para pekerja dan organisasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan assessment eksternal dan contoh-contoh khusus tentang aspek spiritual dari pendekatan kepemimpinan pada bisnis dan eksekutif non profit. Selanjutnya Chia, Chau, Min dan Ping (2010) melibatkan 51 pekerja dari dua universitas di Taiwan dalam sebuah penelitian “Workplace Spirituality of Oriental Culture View”. Penelitian ini mengumpulkan pandangan empiris tentang spiritualitas dengan Focus Group Discussion (FGD) yang menghasilkan bahwa
13
dalam pola pikir dan budaya Oriental, spiritualitas merupakan bagian inheren dari manusia dan bawaan sejak lahir. Spiritualitas dapat dicapai melalui refleksi diri dan hubungan di tempat kerja, termasuk hubungan dengan orang lain sebagai wujud realisasi moralitas pribadi. Pada penelitian ini budaya Barat mengatakan organisasi dapat membangun spiritualitas kerja karyawan dengan sistem tertentu, menekankan pada kekuatan psikologis ilmiah (motivasi). Spiritualitas tempat kerja adalah spiritualitas yang dirasakan dan dialami oleh anggota organisasi dimana mereka bekerja. Moberg dan Calkins (2001) dalam penelitiannya “Reflection in Business Ethics: Insight from St. Ignatius’ Spiritual Exercises” menjelaskan bahwa Latihan Rohani yang dikembangkan oleh St. Ignatius Loyola bertujuan menginformasikan struktur refleksi yang menyentuh banyak tema penting dalam etika bisnis seperti: kebajikan,
pemodelan
peran,
keterlibatan
emosi,
menjaga
hubungan
interpersonal dan moral. Penelitian Gibson (2011) “Spirituality in Educational Leadership”, menerangkan bahwa spiritualitas dalam pendidikan kepemimpinan menjadi diskusi yang menarik bagi pemimpin pendidikan di berbagai sektor dengan menghargai spiritualitas pada profesionalisme dan budaya kelembagaan yang dibentuk oleh beragam perspektif dan pengalaman. Sekolah dengan pengalaman spiritualitas yang tinggi menunjukkan tingkat komitmen, motivasi serta retensi staf. Kekuatan spiritual meningkatkan kapasitas untuk tindakan praktis dan meningkatkan kepekaan etis dan orientasi yang luas di kalangan kepala sekolah. Spiritualitas memberi efek positif pada seluruh komponen sekolah yang terintegrasi. Berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas, terdapat masih sedikit penelitian tentang kepemimpinan dan spiritualitas (Ignatian) pada lembaga
14
pendidikan. Keaslian penelitian ini terletak pada tema pembahasannya, yakni kepemimpinan para kaum religius (Jesuit) yang bekerja pada lembaga pendidikan (dalam hal ini kolese) dan spiritualitas yang dijiwai para kaum religius (Jesuit). Dengan kata lain, penelitian ini hendak menggali secara lebih mendalam terkait dengan bagaimana nilai-nilai spiritualitas Ignatian dalam kepemimpinan para Jesuit mampu membentuk perilaku positif dalam lembaga pendidikan.