BAB I INTRODUKSI
Bab I dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang, konteks riset, rumusan masalah, pertanyaan riset, tujuan riset, motivasi riset, kontribusi riset, proses riset, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Kondisi geografis yang luas dan perbedaan karakteristik di setiap daerah di Indonesia menyebabkan permasalahan tersendiri dalam
hal pengelolaan
pemerintahan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota negara akan sangat kesulitan apabila harus mengurus sendiri segala sesuatunya. Supaya lebih efektif dan efisien dalam mengurusi pengelolaan pemerintahan ke seluruh pelosok wilayah negara, dibentuklah pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan dan fungsi pemerintahan di daerah guna mendukung pelayanan kepada masyarakat di daerah. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahannya sendiri sebagai daerah otonom disebut dengan desentralisasi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan desentralisasi memberikan kewenangan yang luas dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, sampai evaluasi.
Adanya kebijakan desentralisasi tersebut tidak serta-merta melepas tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Meskipun pemerintah daerah telah menjadi daerah yang otonom, mempunyai hak untuk mengurus pemerintahannya
sendiri,
pemerintah
daerah
harus
tetap
mempertanggungjawabkan urusan pemerintahannya ke pemerintah pusat. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya yaitu pemerintah daerah diwajibkan untuk bisa menerapkan prinsip good corporate governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. World Bank dalam Murwanto et. al. (2006) mendefinisikan kepemerintahan yang baik sebagai cara bagaimana kekuasaan negara/daerah digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. Sementara United Nations Development Programs (UNDP) mendefinisikan kepemerintahan yang baik sebagai penggunaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Beberapa prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menurut UNDP dalam Adisasmita (2011) antara lain: (1) akuntabilitas (accountability) yang diartikan sebagai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya, (2) keterbukaan dan transparansi (oppennes and transparency), (3) ketaatan pada hukum, dalam arti seluruh kegiatan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku dan aturan hukum tersebut dilaksanakan secara adil dan konsisten, dan (4) partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan. Tanggung jawab pemerintah daerah tersebut diwujudkan dalam pelaksanaan
kegiatan operasional pemerintahannya baik dari segi aspek keuangan maupun nonkeuangan. Dilihat dari segi aspek keuangan menurut Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan daerah merupakan keuangan negara yang dikuasakan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dikelola. Keuangan negara diartikan sebagai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik itu berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus mematuhi tiga paket undang-undang keuangan negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga paket undang-undang tersebut digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan
pengelolaan keuangan daerah. Bentuk dari pengelolaan keuangan daerah yaitu dengan disusunnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun. APBD kemudian dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (2) huruf e menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas menyusun Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Penilaian Kinerja menyebutkan bahwa LKPD setidak-tidaknya terdiri atas: a. Laporan realiasasi anggaran, yaitu laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama satu periode. b. Neraca, yaitu laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah seperti aset, utang, dan ekuitas dana pada suatu tanggal tertentu. c. Laporan arus kas, yaitu laporan yang menggambarkan arus kas masuk dan keluar selama suatu periode. d. Catatan atas laporan keuangan, yaitu informasi tentang penjelasan pos-pos laporan keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai. Dari beberapa laporan di atas, neraca menjadi salah satu yang paling penting karena menggambarkan posisi keuangan suatu pemerintah daerah. Untuk mendukung kehandalan dari neraca tersebut unsur-unsur yang terkandung di dalamnya seperti aset, harus bisa dipertanggungjawabkan nilainya dan sumber dari nilai tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan pengelolaan aset yang baik, sesuai dengan standar dan peraturan yang berlaku. Pengelolaan aset di pemerintah daerah salah satunya diwujudkan dalam bentuk pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). BMD terdiri atas aset tetap daerah dan persediaan. Pengelolaan BMD menjadi sangat penting karena BMD
merupakan salah satu unsur komponen neraca yang digunakan sebagai bahan untuk penyusunan LKPD. Pengelolaan BMD merupakan pengelolaan keuangan daerah yang harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel, baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah (Mustika, 2012). Sebagai tindak lanjut dari perwujudan good corporate government, penyelenggaraan pemerintah dalam hal pengelolaan BMD harus dilaksanakan secara efektif dan efisien. Optimalisasi penyusunan laporan tentang BMD harus disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, dan Permendagri 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah sebagai petunjuk teknis dalam pengelolaan BMD itu sendiri. Bentuk pengelolaan BMD menurut PP Nomor 27 Tahun 2014 meliputi: 1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, 2) pengadaan, 3) penggunaan, 4) pemanfaatan, 5) pengamanan dan pemeliharaan, 6) penilaian, 7) pemindahtanganan 8) pemusnahan, 9) penghapusan, 10) penatausahaan, dan
11) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Peraturan PP Nomor 27 Tahun 2014 menuntut pengelolaan BMD harus dilaksanakan dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, serta kepastian nilai. Hasil penelitian Bosko (2010) tentang analisis pengelolaan aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Kabupaten Manggarai NTT menghasilkan kesimpulan bahwa penatausahaan aset tetap merupakan faktor utama dalam pengelolaan aset daerah. Hal itu didukung juga dengan penelitian Paulus (2011) tentang pengelolaan aset tetap pada Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan memberikan kesimpulan bahwa kriteria yang paling bepengaruh dalam optimalisasi pengelolaan aset adalah kriteria penatausahaan aset tetap daerah. Dari dua hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penatausahaan memegang peranan penting dalam pengelolaan BMD. Penatausahaan BMD dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 terdiri atas tiga tahapan yaitu pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan. Untuk menjamin penatausahaan BMD yang baik dan optimal diperlukan penatausahaan yang sistematis. Dengan adanya penatausahaan yang sistematis, tingkat kepercayaan terhadap penatausahaan akan selalu dapat dipercaya oleh pembaca laporan tersebut (Yusuf, 2010). Pelaporan dari BMD ini nantinya akan masuk dalam komponen neraca LKPD. Salah saji atau bahkan bentuk kecurangan dalam pengelolaan BMD sering menjadi temuan BPK dan menjadi perhatian khusus dari para pemeriksa karena BMD sangat rentan terhadap penyalahgunaan maupun korupsi. Pemeriksaan atas
pengelolaan BMD oleh BPK ini merupakan bentuk dari penerapan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. BPK memeriksa laporan keuangan daerah dengan tujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan BMD telah dilakukan sesuai dengan standar dan peraturan yang berlaku serta disajikan dengan wajar. Salah saji atau ketidakwajaran pada pengelolaan dan penyajian BMD dalam neraca, akan berpengaruh terhadap pemberian opini auditor BPK atas LKPD pemerintah daerah yang bersangkutan. Ada empat hasil opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), dan Tidak Menyatakan Pendapat (TMP). Dari keempat opini tersebut, peringkat WTP merupakan yang paling baik. Semua organisasi pemerintah pusat/daerah yang mengelola keuangan negara/daerah tentu menginginkan opini WTP dari BPK. Masalah pengelolaan BMD masih menjadi kendala besar yang banyak dihadapi oleh entitas pemerintah daerah di Indonesia. Pengelolaan BMD masih sering menjadi temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan yang tertuang dalam suatu opini BPK. Hasil Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2015 BPK menunjukkan bahwa masih banyak Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang belum mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Tabel 1.1 Opini BPK atas LKPD tahun 2014 Jenis Opini
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I
WTP
WDP
TW
TMP
Pemerintah Daerah
251
230
4
19
Total
504
Sumber: IHPS BPK Semester I (sumber diolah) Tabel tersebut menunjukkan bahwa masih banyak pemerintah daerah yang mendapatkan opini WDP dan beberapa memperoleh TW dan TMP dari BPK. Hal itu menunjukkan masih adanya kendala pemerintah dalam menyusun laporan keuangan daerah. IHPS 1 Tahun 2015 BPK menyebutkan bahwa terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah, salah satu diantaranya ialah: “Aset tetap tidak diketahui keberadaannya atau dikuasai pihak lain, tidak didukung dengan bukti kepemilikan, penghapusan dan penyusutannya tidak sesuai ketentuan. Selain itu, pelaporan aset tetap tidak didukung dengan pencatatan dalam Kartu Inventaris Barang (KIB) dan tidak ada rekonsiliasi serta tidak dilakukan inventarisasi yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa pengamanan aset tetap secara administrasi, hukum, dan fisik juga belum dilakukan secara memadai. Permasalahan ini terjadi pada 230 entitas”. Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa kendala umum yang dihadapi pemerintah daerah dalam pertanggungjawaban LPKD adalah penatausahaan aset daerah/BMD. Mengerucut pada hasil temuan BPK atas LKPD di Indonesia, dari LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah untuk periode pemeriksaan tahun 2014, terdapat 12 pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP sementara 23 pemerintah daerah sisanya mendapatkan opini WDP. Pemerintah Daerah
Wonogiri merupakan salah satu dari 23 pemerintah daerah yang mendapatkan opini WDP dari BPK. Opini yang sama juga diperoleh untuk beberapa tahun belakangan diantaranya tahun 2011, 2012, dan 2013. Dengan jumlah aset tetap sebanyak Rp2.870.175.214.903,25, terbanyak ke-6 dari 23 pemerintah daerah di wilayah Jawa Tengah yang memperoleh opini WDP, penatausahaan BMD memang menjadi sangat penting. Dari hasil temuan BPK untuk pemeriksaan tahun 2014 tentang pengelolaan atas aset tetap pada Pemerintah Daerah Wonogiri diperoleh bahwa: “Sebagaimana diungkap dalam catatan 5.2.C.2.d. atas Laporan Keuangan, Pemerintah Kabupaten Wonogiri menyajikan saldo aset jalan irigasi dan jaringan dalam Neraca per 31 Desember 2014 dan 2013 masing-masing senilai Rp697,15 milyar dan Rpl,46 trilyun. Dari nilai tersebut, terdapat aset tetap jalan irigasi dan jaringan pada Dinas Pengairan Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar Rp55,02 milyar tidak memiliki rincian objek, nilai dan lokasi yang jelas dan nilai sebesar Rp12,65 milyar pada Dinas Pekerjaan Umum belum tercatat dalam aset tetap jalan irigasi dan jaringan. Data yang tersedia tidak memungkinkan BPK untuk melaksanakan prosedur pemeriksaan yang memadai untuk memperoleh keyakinan atas nilai aset tetap jalan irigasi dan jaringan per 31 Desember 2014 dan 2013 tersebut.” Berkaitan dengan pernyataan BPK tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan penatausahaan
BMD
pada
Pemerintah Daerah Wonogiri.
Permasalahan itu terjadi hampir berulang di setiap tahunnya. Salah satu contoh dari hasil temuan BPK masih banyak aset tetap daerah yang belum tercatat ke dalam neraca daerah Pemerintah Daerah Wonogiri. Hal ini mengindikasikan bahwa penatausahaan BMD di Pemerintah Daerah Daerah Wonogiri belum optimal.
1.2. Konteks Riset Analisis terhadap penatausahaan BMD menjadi sangat penting dilakukan terhadap entitas pemerintah di Indonesia, tidak terkecuali entitas pemerintah daerah. Temuan BPK berupa masih kurang memadainya penatausahaan BMD masih sering dijumpai dalam setiap periode pemeriksaan. Pemerintah Daerah Wonogiri dipilih sebagai konteks riset karena dalam beberapa tahun terakhir masih terdapat permasalahan dan temuan BPK atas penatausahaan BMD di Pemda Wonogiri. Hal itu menjadi salah satu penyebab gagalnya Pemda Wonogiri meraih predikat WTP. Pada penelitian ini, analisis terhadap permasalahan penatausahaan BMD di Pemda Wonogiri dilakukan dengan menggunakan benchmark pemda lain yang penatausahaannya sudah bagus, yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta. Hasil audit BPK terhadap penatausahaan BMD Pemerintah Kota Yogyakarta tidak ditemukan catatan terkait permasalahan penatausahaan BMD. Hal itu tercermin juga dari perolehan opini WTP dari BPK selama 6 tahun berturut-turut atas penatausahaan BMD. Dengan demikian, Pemerintah Kota Yogyakarta sesuai apabila digunakan sebagai benchmarking evaluasi penatausahaan BMD. Selain itu, prestasi Pemkot Yogyakarta yang menjadi rujukan nasional atas inovasi layanan yang pernah dibuat sebagaimana dimuat dalam Harian Jogja, contohnya aplikasi yang digunakan ialah Sistem Informasi Manajemen Barang Persediaan (Simbara). Inovasi layanan tersebut nantinya akan dipublikasikan secara nasional oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sehingga dapat ditiru oleh daerah lain di Indonesia. Pemkot Yogyakarta juga sering menjadi tujuan
studi banding dari daerah lain yang ingin memperdalam pengetahuan mengenai penatausahaan BMD, contohnya Belitung dan Pangkal Pinang (sumber: website jogjakota.id). 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa proses penatausahaan BMD Pemerintah Daerah Wonogiri tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan terdapat temuan BPK terhadap pengelolaan aset Pemerintah Daerah Wonogiri. Temuan-temuan BPK yang berulang atau masih sering terjadi atas penatausahaan BMD Pemerintah Daerah Wonogiri dapat menjadi catatan penting untuk melihat sejauh mana keoptimalan penatausahaan BMD Pemerintah Daerah Wonogiri. Penatausahaan pada konteks ini mencakup pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan aset. 1.4. Pertanyaan Riset Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah mengapa terjadi permasalahan penatausahaan BMD di Pemerintah Daerah Wonogiri? 1.5. Tujuan Riset Dari pertanyaan riset yang dijabarkan di atas tujuan yang diambil pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi permasalahan penatausahaan BMD Pemerintah Daerah Wonogiri.
1.6. Motivasi Riset LHP BPK pada pemerintah daerah di Indonesia masih didominasi oleh opini WDP. Salah satu pengecualian atas opini BPK tersebut adalah adanya permasalahan di sisi penatausahaan aset tetap/BMD. Pemerintah Daerah Wonogiri merupakan salah satu pemerintah daerah yang mengalami kendala tersebut sehingga masih mendapatkan opini WDP dari BPK. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penatausahaan BMD dan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi ketika melakukan penatausahaan BMD tersebut. Ketika sudah diketahui secara ilmiah permasalahan yang sebenarnya terjadi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pihak manajemen Pemda Wonogiri dalam menentukan dan merumuskan solusi atau kebijakan. 1.7. Kontribusi Riset Kontribusi yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: a. Kontribusi secara akademis yaitu dapat memberikan tambahan literatur dari penelitian kualitatif tentang permasalahan penatausahaan BMD pada pemerintah daerah. b. Kontribusi secara praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah khususnya Pemerintah Daerah Wonogiri berkaitan dengan permasalahan penatausahaan BMD.
1.8. Proses Riset Bagian ini menggambarkan tahapan dalam riset yang akan dilakukan. Tahap awal riset memunculkan adanya pertanyaan penelitian untuk menampung problem riset yang ada dengan memberikan latar belakang permasalahan sebagai penjelasan awal dari penelitian. Langkah berikutnya ialah menentukan tujuan riset untuk membuat landasan teoretis riset yang akan diambil dan menentukan metode riset yang akan digunakan. Temuan yang diperoleh nantinya akan dianalis dengan teknik tertentu sehingga dapat menjawab pertanyaan riset yang telah ditentukan di awal. Secara umum tahapan dalam proses riset di atas digambarkan seperti berikut: 2. Tujuan Riset
3. Fondasi Teoritikal Riset
1.
Pertanyaan Penelitian
4. Metode Riset
5. Temuan dan Analisis Gambar 1.1 Proses Riset
Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis (Magister Akuntansi, 2015) 1.9. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam riset ini akan disajikan dalam lima bab, seperti tercantum dalam buku panduan tesis Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (Magister Akuntansi, 2016) dengan rincian sebagai berikut:
BAB I INTRODUKSI: bab ini berisi latar belakang, konteks riset, rumusan masalah, pertanyaan riset, tujuan riset, motivasi riset, kontribusi riset, proses riset, dan sistematika penulisan. Bab II KAJIAN PUSTAKA: bab ini berisi landasan teoretis meliputi pengertian BMD, klasifikasi BMD, pengakuan, pengukuran dan perolehan BMD, penatausahaan BMD, evaluasi BMD, dan riset-riset terdahulu. Bab III DESAIN RISET: bab ini berisi penjelasan deskriptif mengenai objek riset, paradigma penelitian, pendekatan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, analisis data, serta kerangka pikir penelitian. Bab IV ANALISIS DAN DISKUSI: bab ini berisi mengenai uraian komprehensif mengenai temuan atas permasalahan berikut pembahasan atas hasil analisis. Bab V KONKLUSI DAN REKOMENDASI: bab ini berisi mengenai ringkasan dari riset, simpulan, keterbatasan, dan rekomendasi sebagai tindak lanjut dari hasil riset.