BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi semua mamalia dan spesies burung. Sekitar sepertiga manusia di seluruh dunia telah terinfeksi T. gondii (Evengard, 1999; Ghoneim et al., 2009). Kucing merupakan hospes definitif dan semua spesies hewan sebagai hospes perantara (Innes, 1997; Ghoneim et al., 2009). Hampir semua hewan berdarah panas dapat menjadi hewan yang menularkan T. gondii. Hewan yang sering berada di sekitar manusia seperti sapi, kuda, domba, babi, ayam, anjing, hamster, kucing, burung, tikus dan satwa liar seperti musang, harimau, anjing hutan, dan sebagainya dapat terinfeksi T. gondii, sehingga otomatis dapat menularkannya. Semua orang dapat terinfeksi T. gondii, laki-laki dan perempuan, baik muda ataupun tua. Infeksi T. gondii
pada manusia dapat terjadi secara vertikal oleh
takizoit ke janin melalui plasenta, atau transmisi secara horizontal yang melibatkan tiga tahap siklus hidup yaitu menelan ookista infektif dari tinja kucing yang mencemari makanan dan air, menelan kista jaringan dalam daging mentah atau daging yang dimasak setengah matang dan transmisi dari seorang ibu ke janin melalui plasenta atau melalui transfusi darah atau pencangkokan organ (Tenter et al., 2000; Ghoneim et al., 2009). Gejala klinis toxoplasmosis sebagian
1
2
besar asimptomatik, dengan masa inkubasi 1 sampai 2 minggu. Prevalensi penyakit berbeda pada tiap daerah umumnya berhubungan dengan berbagai faktor seperti umur, kebiasaan makan, iklim, lokasi, status kesehatan lingkungan dan keberadaan kucing domestik (Al-Qurashi, 2001; Ghoneim et al., 2009). Siklus seksual T. gondii hanya terjadi di dalam saluran pencernaan kucing sebagai hospes definitif, hal ini berarti produksi ookista hanya terjadi pada kucing yang terinfeksi, sehingga kucing tersebut menjadi sumber pencemaran ookista pada lingkungan sekitarnya. Kucing mengeluarkan ookista bersama dengan tinja setelah 3–10 hari menelan ookista. Proses pelepasan ookista berlangsung selama 10–14 hari, dan jumlah ookista yang dilepaskan mencapai 107 – 108 per siklus. Ookista yang dilepaskan tersebut menjadi infektif setelah 1–21 hari di lingkungan tergantung suhu, kadar oksigen dan kelembaban tanah dan dapat tahan berbulan-bulan atau lebih dari 1 tahun di lingkungan tersebut (Dubey, 1998). Prevalensi toxoplasmosis di seluruh dunia tergantung pada iklim, geografis dan adanya kucing di suatu daerah. Hasil survey menunjukkan bahwa persentase seropositif terhadap T. gondii pada orang dewasa bervariasi antara 13– 59 %, di Amerika sekitar 10–59 %, sedangkan di Eropa dan Brasil jauh lebih tinggi yaitu 50–80 % (Sukthana, 2006). Prevalensi toxoplasmosis di beberapa daerah Indonesia bervariasi antara 2–63 %. Pada Tahun 1998, prevalensi toxoplasmosis di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah 28,95 %. Di Indonesia faktor-faktor terjadinya toxoplasmosis umumnya berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan serta banyaknya sumber penularan terutama kucing dan famili
3
Felidae (Gandahusada et al., 1998). Penelitian serologis pada ternak di seluruh dunia menunjukkan rerata prevalensi toxoplasmosis 14 % pada sapi, 27 % pada kambing, 25 % pada babi, 66 % pada domba dan 44 % pada kuda (Tenter et al., 2000; Natadisastra and Agoes, 2009). Pulau Lombok, Provinsi NTB merupakan
salah satu daerah
produsen dan pemasok ternak potong dan bibit ternak untuk kebutuhan berbagai daerah di Indonesia. Hal ini memungkinkan terjadinya toxoplasmosis pada hewan di Pulau Lombok lebih tinggi, sehingga potensi penularan toxoplasmosis pada manusia di Pulau Lombok juga tinggi. Prevalensi toxoplasmosis pada hewan di Indonesia diperoleh hasil pada sapi 8,77 %, kambing 51,03 % dan domba sebesar 45,01 % (Artama et al., 2010). Angka kejadian toxoplasmosis di Indonesia ditunjukkan dengan adanya antibodi terhadap T. gondii, pada manusia adalah 2-63 %, kucing 35-73 %, babi 11-36 %, kambing 11-61 %, anjing 75 % dan pada ternak lain kurang dari 10 %. Hewan yang terinfeksi atau pernah terinfeksi T. gondii akan menghasilkan antibodi terhadap T. gondii tersebut (Gandahusada, 2003). Secara klinis, toxoplasmosis tidak memiliki gejala yang khas sehingga penetapan diagnosis berdasarkan gejala klinis tidak dapat dijadikan tolok ukur (Jin et al., 2005). Oleh sebab itu, peneguhan diagnosis untuk toxoplasmosis umumnya dilakukan secara serologis, baik pada hewan maupun manusia (Figueiredo et al., 2001). Dasar pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasma bereaksi dengan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah penderita. Sejak tahun 2007 telah diperoleh protein rekombinan hasil ekspresi gen untuk digunakan sebagai
4
antigen dalam uji ELISA untuk penentu prevalensi toxoplasmosis di Indonesia. Pengembangan metode ini diharapkan dapat membantu diagnosis dini, mengetahui prevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok baik pada hewan maupun pada manusia (Artama et al., 2008). Seroprevalensi pada penelitian ini menggunakan metode ELISA dengan protein rekombinan GRA-1 takizoit T. gondii isolat lokal sebagai antigen. Metode ini telah banyak digunakan dan Widayanti, (2008) telah berhasil melakukan sub kloning dan over ekspresi gen penyandi protein GRA-1 takizoit T. gondii isolat lokal. Uji diagnostik ELISA menggunakan protein ini sebagai antigen mempunyai sensitivitas 88,24 % dan spesifitas 94,12 % untuk IgM sedangkan untuk IgG mempunyai sensitivitas 100 % dan spesifitas 88,23 % (Sujono, 2010). Penelitian tentang seroprevalensi di Indonesia pernah dilakukan oleh Soeharsono, pada tahun 1995 melaporkan hasil penelitian lima pulau di Indonesia didapatkan 59,8 % serum ibu hamil positif IgG anti T. gondii, tertinggi di Pulau Sulawesi yaitu 76,5 % dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara sebesar 43,4 %. Irian Jaya menunjukkan IgM anti T. gondii tertinggi yaitu 20,0 %, daerah Kalimantan dan Sulawesi hampir sama yaitu 2,7 % dan 3,2 %. Pulau Lombok merupakan daerah sumber ternak sapi bibit dan sapi potong nasional. NTB memberikan kontribusi sebagai penyedia 12 ribu ekor bibit sapi untuk 14 Provinsi di Indonesia dan swasembada daging sapi nasional mencapai 31.728 per tahun (Dephut, 2013). Masyarakat di Pulau Lombok biasanya mengkonsumsi daging sapi dan kambing dalam bentuk sate yang banyak diperdagangkan di pedesaan maupun diperkotaan. Penularan toxoplasmosis
5
diperkirakan terjadi karena pada daging yang dikonsumsi tersebut masih terdapat sista dan tidak semua sista toxoplasma mati pada proses pengolahan sate. Penanganan daging kambing dan daging ternak mentah juga berpotensi menyebabkan toxoplasmosis pada peternak, tukang jagal, pedagang dan juru masak melalui perlukaan atau kebersihan yang kurang. Faktor lain yang dapat menyebarkan infeksi toxoplasmosis di Pulau Lombok adalah kebiasaan mengkonsumsi sayuran. Penduduk Pulau Lombok memiliki kebiasaan mengkonsumsi sayuran paling tinggi
di Indonesia. Hasil
survei ekonomi sosial nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011, tercatat konsumsi sayuran masyarakat Pulau Lombok mencapai 68 kilogram (kg) per kapita per tahun atau di atas rata-rata nasional sebanyak 48,8 kg per kapita per tahun. Tanaman sayuran banyak ditanam masyarakat Lombok salah satunya kangkung, yang merupakan tanamam air yang merambat. Kangkung sangat populer dikarenakan banyak di konsumsi sebagai makanan khas yakni pelecing kangkung, yang merupakan makanan khas Lombok (Bappeda, 2013). Oocyte dan sista toxoplasma dapat mencemari makanan, seperti sayuran segar dan daging setengan matang. Sayuran tersebut terdiri dari sayuran berdaun hijau, yang
sulit dibersihkan seperti kubis, sawi dimana untuk
membersihkannya harus dibuka kelopaknya dan tanaman air seperti kangkung yang mempunyai batang berongga. Keadaan topografi daerah menunjukkan bahwa di Pulau Lombok terbagi menjadi 3 bagian yaitu pegunungan, perbukitan dan dataran rendah. Gunung adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki ketinggian di atas 200
6
meter dari permukaan laut sedangkan bukit adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki ketinggian antara 200-400 meter di atas permukaan laut. Kumpulan dari berbagai bukit disebut perbukitan. Dataran Tinggi adalah bagian dari permukaan bumi yang terletak di antara pegunungan dan memiliki wilayah yang relatif datar dan luas, biasanya memiliki ketinggian antara 200-300 meter di atas permukaan laut. Dataran Rendah adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki wilayah relatif datar dan berbatasan dengan laut/pantai. Dataran rendah memiliki ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut (Dephut, 2013). Bagian tengah Pulau Lombok merupakan dataran rendah yang subur berupa daerah persawahan dengan ketersediaan air yang cukup sepanjang tahun, serta di bagian selatan merupakan bagian yang berbukit-bukit dan kering yang sebagian berupa sawah tadah hujan. Kondisi geografis dan iklim ini merupakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan ookista T. gondii yang berkisar antara 20–36 oC menjadi bentuk infektif (Dubey, 1998). Menurut data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada tahun 2011 temperatur maksimum di Pulau Lombok berkisar antara 31,4–33,1 °C dan minimum berkisar antara 22,2–22,8 °C. Temperatur tertinggi terjadi pada bulan oktober dan terendah pada bulan januari. Kelembaban rata-rata yang relatif tinggi antara 79,80 - 80,90 % dengan kecepatan angin ratarata berkisar 5-7 knots dan kecepatan angin maksimum mencapai 40 knots. Kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi sporulasi dan daya tahan ookista menjadi lebih baik.
7
Penanggulangan penyakit zoonotik tidak hanya dari aspek kesehatan manusia, tetapi juga perlu memperhatikan faktor dari hewan dan lingkungan. Penularan penyakit zoonotik selain kontak langsung dengan hewan, juga disebabkan faktor ekologi yakni perubahan cuaca, iklim dan lingkungan (Artama, 2010). Lingkungan mencakup hal yang ada di luar organisme yangbersangkutan seperti sinar matahari, suhu, kelembaban, topologi, vegetasi, curah hujan dan kompetitor (Indriyanto, 2005). Ecohealth merupakan kajian terhadap perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi serta menguhubungkan perubahan lingkungan tersebut dengan
dampaknya
terhadap
kesehatan
manusia
(Rapport,
2006).
Ekosistem adalah suatu tatanan dan kesatuan yang secara utuh dan menyeluruh di antara segenap komponen lingkungan hidup. Komponen ini saling berinteraksi dan pada akhirnya membentuk kesatuan yang teratur dan dinamis. Masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem dimana masyarakat tersebut tinggal, demikian juga parasit T. gondii yang merupakan bagian dari ekosistem tersebut dimana manusia tinggal di dalamnya (Achmadi, 2010). Hubungan antara T. gondii dengan manusia, hewan dan lingkungannya merupakan
hubungan
saling
ketergantungan
untuk
mempertahankan
kehidupannya agar tetap bertahan secara berkesinambungan (Meerburg and Kiljstra, 2009). Toxoplasma gondii memerlukan kucing untuk bertahan hidup. Kucing mempunyai peran besar dalam penyebaran toxoplasmosis pada hewan ternak, satwa liar dan manusia. Toxoplasmosis dapat terjadi karena adanya ookista
8
yang dikeluarkan oleh kucing bersama tinjanya, sehingga dapat mencemari lingkungan sekitarnya (Chahaya, 2003; Fihiruddin, 2012). Ookista akan tetap bertahan hidup tergantung pada kondisi tanah, kelembaban, sinar matahari dan kestabilan ekologis di sekitarnya termasuk keberadaan hospes definitif dan hospes intermediate dari T. gondii (Meerburg and Kiljstra, 2009). Faktor
risiko yang paling dominan terhadap infeksi toxoplasma
sampai saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Prevalensi toxoplasmosis di suatu daerah, biasanya dikaitkan dengan kondisi lingkungan, geografi, kebiasaan makan daging, pekerjaan kontak dengan tanah atau daging serta usia. Perubahan kondisi lingkungan termasuk suhu, topografi wilayah, keberadaan hewan ternak serta distribusi penduduk dapat berpengaruh terhadap prevalensi toxoplasmosis sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok melalui pendekatan ecohealth. Analisis
prevalensi
kasus
toxoplasmosis
dapat
dilakukan
menggunakan teknologi pengindraan jauh (remote sensing) dan pemetaan dengan pendekatan Geografic Information System (GIS) untuk mendeteksi populasi dan lingkungan yang rentan penyakit. Pemetaan dengan metode GIS dapat menyediakan data spasial yang menggambarkan distribusi dan pola penyebaran penderita suatu penyakit serta dapat mengetahui prevalensi dan populasi yang berrisiko terhadap suatu penyakit yang diamati berdasarkan konsep ecohealth (Pramono, 2010).
9
B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang diuraikan, dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Berapakah seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB ? 2. Bagaimanakah seroprevalensi toxoplasmosis berdasarkan ketinggian tempat dan lokasi di Pulau Lombok, Provinsi NTB melalui pendekatan ecohealth? 3. Apakah ada hubungan antara faktor risiko toxoplasmosis dengan seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB melalui pendekatan ecohealth. 2. Mengetahui perbedaan seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, pada berbagai ketinggian tempat geografis. 3. Mengetahui perbedaan seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, pada lokasi perbukitan dan dataran rendah di Pulau Lombok, Provinsi NTB 4. Mengetahui
hubungan
antara
faktor
risiko
toxoplasmosis
dengan
seroprevalensi toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB ?
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang prevalensi toxoplasmosis pernah dilakukan oleh Fihirudin pada tahun 2012, dengan judul analisis spasial toxoplasmosis di Kabupaten Sleman melalui pendekatan ecohealth dan diperoleh hasil penelitian
10
bahwa prevalensi toxoplasmosis menurun setelah terjadi erupsi merapi dan kedekatan jarak pemukiman dengan penampang sungai dan kandang ternak berpengaruh terhadap toxoplasmosis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fihirrudin terletak pada variabel bebas yaitu erupsi merapi, sungai dan kandang ternak. Penelitian seroprevalensi toxoplasmosis pada tahun 2009 oleh Sujono (2008), dengan judul seroprevalensi toxoplasmosis dan faktor-faktor risiko di DIY dengan metode ELISA menggunakan protein rekombinan GRA -1 takizoit isolat lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontak dengan kucing, konsumsi daging kurang matang, konsumsi sayuran yang disajikan di warung lesehan mempunyai hubungan bermakna dengan toxoplasmosis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sujono (2009), adalah jenis, besar sampel dan variabel penelitian yang diteliti, yaitu lokasi penelitian, pemetaan dan pendekatan melalui ecohealth.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi
ilmiah mengenai
pemetaan dan seroprevalensi
toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB melalui pendekatan ecohealth. 2. Mampu menjadi pedoman bagi Dinas Kesehatan Provinsi NTB dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan penanganan toxoplasmosis di Pulau Lombok, Provinsi NTB.