BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Adanya peningkatan populasi lansia pada suatu daerah, sejalan dengan meningkatnya potensi risiko untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit serebrovaskular, penyakit jantung, osteoartritis, penyakit muskuloskeletal, penyakit paru, dan lainnya. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkepanjangan dan jarang sembuh sempurna. Meskipun tidak semua merupakan penyakit yang mengancam jiwa, namun memberikan dampak ekonomi, psikologis, dan Quality of Life (QoL) yang cukup besar bagi penderita, keluarga, maupun lingkungan sekitarnya. Kelompok penyakit ini memerlukan perawatan dan rehabilitasi dalam waktu yang tidak singkat (Yenny & Herwana, 2006). Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) yang didalam undang-undang tersebut termuat prinsip-prinsip dasar pelaksanaan SJSN, kepengurusan badan penyelenggara jaminan kesehatan tersebut serta aturan bagi setiap warga negara untuk wajib ikut sebagai peserta SJSN. Pada tahun 2011 ditetapkan undang-undang dalam rangka menindaklanjuti konsep SJSN yang dirumuskan pada undang-undang sebelumnya, maka diterbitkanlah UU. No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan adanya
1
2
undang-undang baru tersebut diharapkan dapat tercipta suatu pelayanan kesehatan di Indoensia yang terintegrasi antara tenaga kesehatan satu dengan yang lainnya. Sebuah konsep pelayanan kesehatan yang relatif masih baru telah dirumuskan di Amerika Serikat. Konsep ini dikenal dengan istilah Medication Therapy Management (MTM) dan pertama kali diperkenalkan pada tahun 2003. Konsep ini sebetulnya dibentuk pada tahun 1990-an sebagai wujud bantuan dari apoteker untuk dokter dan pasien atas hal menejemen klinis, pelayanan, dan penanganan biaya pengobatan. Penelitian yang dilakukan Barnett dkk. (2009) mengukur kualitas MTM setelah 7 tahun berkembang, menggambarkan bahwa tingkat klaim untuk penyakit kronis semakin meningkat. Peningkatan tersebut ternyata juga sebanding dengan peningkatan pendapatan apoteker untuk sekali klaim hingga $12.28 tahun 2006. Oleh karena itu MTM dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih terintegrasi satu sama lain dan menekan biaya-biaya yang seharusnya dapat diminimalkan. Konsep ini diterapkan sesuai untuk melayani pasien dengan penyakit kronis. Komunikasi Informasi dan Edukasi atau yang sering disebut dengan istilah KIE merupakan suatu bentuk pelayanan dari farmasis/apoteker kepada pasien yang tidak lain merupakan konsumen apotek. Kegiatan KIE ini sudah diatur secara rinci dalam Juknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK Menkes No. 1027 Tahun 2004) dan didukung langsung oleh organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Apoteker Indonesia dalam Standar Kompetensi Apoteker Indonesia (IAI, 2011). Oleh karena itu KIE merupakan suatu bentuk pelayanan yang melekat pada diri apoteker dalam melakukan prakteknya.
3
Ketidakpatuhan menjadi salah satu hambatan/barrier dalam mencapai kesuksesan pengobatan terutama pada penyakit kronis. Oleh karena itu tenaga kesehatan dituntut untuk berkolaborasi dengan tujuan meningkatkan kepatuhan dalam berobat. Kolaborasi tersebut baik kerjasama antar sesama tenaga kesehatan di bidangnya, antara dokter-apoteker, maupun hubungan apoteker dan pasien itu sendiri. Suatu penelitian menunjukkan keinginan para dokter untuk bekerjasama dengan apoteker lebih lanjut untuk menangani masalah kepatuhan langsung dengan pasien (Laubscher dkk., 2009). Kota Yogyakarta yang merupakan ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di sebelah selatan pulau Jawa mempunyai kepadatan penduduk sebanyak 11.957,75 jiwa/km2 (BPS, 2010). Data menunjukkan bahwa pada Juni 2012, banyak pasien rawat jalan mengidap penyakit kronis yang mana penyakit kronis tersebut menyumbang jumlah kasus yang besar dan termasuk dalam penilaian 10 besar penyakit di Provinsi D.I. Yogyakarta versi Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) (Anonim, 2012). Banyaknya penyakit kronis inilah yang seharusnya menjadi perhatian untuk pelayanan obat yang dikemas dalam konsep KIE. Pelayanan KIE yang sudah ada selama ini nampaknya dirasa kurang maksimal
terlaksana.
Handayani
dkk.
(2006)
dalam
penelitiannya
mengungkapkan adanya suatu gambaran yang menyatakan pada diri apoteker bahwa mereka merasa kurang pengetahuan tentang obat dan farmakologi. Penelitian oleh Purwanti dkk. (2004) juga menyebutkan bahwa peran apoteker masih didominasi oleh Asisten Apoteker (AA) dalam pelayanan di apotek. Model-
4
model pola pelayanan tersebut dapat menghambat terlaksananya KIE di mana seorang apoteker-lah yang menjadi ahli obat dan dituntut untuk melakukan pelayanan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dari latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui lebih banyak lagi fakta dan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dalam bentuk sebuah penelitian mengenai kesiapan apoteker Kota Yogyakarta dalam memberikan KIE berkaitan dengan penyakit kronis, hambatan-hambatan di dalamnya. Apapun hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran evaluasi untuk pelaksanaan KIE sehingga ke depannya dapat terlaksana secara nyata dan aktif kepada pasien dengan penyakit kronis yang ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini: 1.
Sumber informasi mana saja yang dipercaya apoteker untuk memperoleh pengetahuan sebagai acuan melakukan KIE tentang penyakit kronis?
2.
Informasi apa saja yang telah diberikan apoteker dalam pelayanan KIE obat terhadap pasien apotek dengan penyakit kronis?
3.
Hambatan apa saja yang dapat mempengaruhi apoteker dalam melakukan KIE obat tentang penyakit kronis kepada pasien?
4.
Berapa besar biaya jasa pelayanan (professional fee) yang diharapkan apoteker atas layanan KIE obat terhadap pasien apotek dengan penyakit kronis?
5
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui berbagai sumber informasi yang dipercaya apoteker untuk memperoleh pengetahuan sebagai acuan melakukan KIE tentang penyakit kronis.
2.
Mengetahui berbagai informasi yang telah diberikan apoteker dalam pelayanan KIE obat terhadap pasien apotek dengan penyakit kronis.
3.
Mengetahui bermacam hambatan yang dapat mempengaruhi apoteker dalam melakukan KIE obat tentang penyakit kronis kepada konsumen.
4.
Mengetahui besaran biaya jasa pelayanan (professional fee) yang pantasnya diharapkan apoteker atas layanan KIE obat terhadap konsumen apotek dengan penyakit kronis.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui informasi apa saja yang dibutuhkan oleh apoteker, sehingga mampu melakukan pelayanan kefarmasian berupa KIE obat pada pasien yang menderita penyakit kronis. Mengetahui hambatan apa saja yang mingkin terjadi ketika apoteker melakukan KIE kepada pasien, serta memberikan gambaran terhadap besaran biaya yang diharapkan oleh apoteker dalam melakukan pelayanan KIE tersebut. Bagi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dapat menjadi salah satu masukan untuk menetapkan kebijakan bersama yang lebih bermanfaat untuk pelayanan kefarmasian kedepannya. Untuk memberikan gambaran tentang pelayanan
6
terhadap pasien atau konsumen apotek dengan penyakit kronis yang selama ini terjadi di wilayah Kota Yaogyakarta. Bagi instansi pendidikan dapat sebagai bahan pembelajaran bagi segenap civitas akademika untuk terus mengembangkan keilmuannya sehingga dapat lebih dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Serta sebagai bahan latihan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian dan menggali fenomenafenomena yang terjadi di masyarakat. Bagi apotek maupun apoteker yang bekerja di dalamnya dapat menjadi bahan referensi dan evaluasi. Dalam rangka meningkatkan peran serta apoteker dalam pelayanan kefarmasian serta meningkatkan eksistensi apoteker di mata masyarakat. Dengan harapan masyarakat menjadi lebih paham terhadap tugas dan peran seorang apoteker di bidang kesehatan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Kronis Perubahan gaya hidup masyarakat sekarang ini menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat yaitu meningkatnya prevalensi penyakit kronis dan degeneratif yang ada di lingkungan masyarakat tersebut. Penyakit kronis maupun degeneratif memerlukan terapi seumur hidup yang disamping itu juga memerlukan perubahan pola hidup oleh masyarakat tersebut. Terapi seumur hidup menimbulkan beberapa risiko seperti timbulnya efek samping penggunaan obat, interaksi antar obat, maupun interaksi antara obat dengan makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh orang tersebut (Handayani dkk., 2006).
7
Seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta meningkatnya pelayanan kesehatan masyarakat mengakibatkan meningkatnya sejumlah besar konsumen selamat dari kondisi yang dapat mengakibatkan kematian. Fenomena ini mengakibatkan peningkatan angka harapan hidup masyarakat dan meningkatkan jumlah populasi lansia. Prediksi pada tahun 2025 mendatang diperkirakan akan ada sekitar satu milyar lansia yang hidup, dengan mayoritas mereka tinggal di negara berkembang. Peningkatan populasi lansia tentunya akan diiringi dengan meningkatnya permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan masalah penyakit kronis seperti diabetes mellitus, penyakit serebrovaskuler, penyakit kardiovaskuler, osteoartritis, penyakit muskuloskeletal, dan penyakit pernafasan (Yenny & Herwana, 2006). Organisasi Kesehatan Dunia/WHO melaporkan melalui publikasi resminya yang berjudul WHO Global Status Report on Non-communicable Disease 2011 bahwa non-communicable disease (NCDs) merupakan kasus terbanyak yang mengakibatkan tingginya angka kematian di seluruh belahan dunia. WHO melaporkan ada tahun 2008 terdapat lebih dari 36 juta orang di seluruh dunia meninggal karena NCDs, terutama diakibatkan karena penyakit kardiovaskuler (48%), kanker (21%), penyakit pernafasan kronis (12%), dan diabetes (3%). Lebih dari sembilan juta kematian diantaranya terjadi pada orang-orang yang berusia kurang dari 60 tahun, meskipun sudah melakukan tindakan pencegahan. Hasil publikasi tersebut menuntut praktisi kesehatan untuk lebih memperhatikan kemungkinan faktor risiko, outcome terapi
8
(morbiditas dan mortalitas), serta peningkatan sistem pelayanan kesehatan dan responnya (WHO, 2011).
2. Perilaku Pasien Penyakit Kronis Ketika pasien tidak patuh terhadap terapi pengobatan yang dijalaninya mengakibatkan tujuan utama terapi tidak tercapai. Kondisi demikian dapat meningkatkan nilai morbiditas dan mortalitas pada kelompok pasien tersebut. Berdasarkan laporan tahunan keseluruhan rumah sakit di Amerika Serikat, beban biaya rumah sakit untuk pasien yang tidak patuh diperkirakan mencapai 13,35 milyar USD pada tahun 2000. Hal itu menggambarkan 1,7% dari semua pengeluaran belanja kebutuhan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pasien tersebut setara dengan suatu permasalahan ekonomi masyarakat yang serius di negara Amerika Serikat. Apoteker yang mempunyai ilmu dan kompetensi di bidang kesehatan dituntut secara aktif dan ikut terlibat dalam menyediakan pelayanan kefarmasian untuk pasien maupun untuk prescriber yang dalam hal ini adalah dokter, sehingga mampu menjadikan pelayanan kefarmasian lebih efisien dan hemat (van Wljk dkk., 2005). Handayani dkk. (2006) mengungkapkan, adanya perubahan gaya hidup juga diikuti oleh perubahan pola penyakit yang ada di masyarakat sekarang ini, terlebih dengan meningkatnya prevalensi penyakit kronis. Dalam hal tersebut peran apoteker dalam konsultasi informasi obat menjadi sangat penting. Namun apa yang ditemukan di kenyataan lapangan menunjukkan
9
bahwa saat tersebut informasi yang diberikan hanya sebatas cara dan aturan memakai obat, itu pun banyak yang diberikan oleh asisten apoteker daripada oleh apoteker langsung.
3. Peran Apoteker dalam KIE KIE merupakan sebuah singkatan dari Komunikasi, Informasi, dan Edukasi. KIE merupakan salah satu peran yang dijalankan oleh apoteker komunitas dalam pengabdiannya. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mendefinisikan komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima pesan sehingga tercapai suatu kesamaan makna tentang pesan yang disampaikan antara sumber dan penerima pesan tersebut. Edukasi adalah proses belajar mengajar yang sangat perlu diberikan kepada produsen, konsumen, dan pengambil kebijakan agar dapat mengubah perilakunya untuk menjadi lebih baik (BPOM, 2012). Badan POM menjelaskan Informasi dan Edukasi sebagai suatu unsur yang menyatu, yang dapat dilaksanakan dengan strategi tertentu untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada penerima pesan melalui suatu bentuk komunikasi. Dalam upaya KIE, apoteker hendaknya mampu menjalin komunikasi dengan tenaga kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Diantaranya seperti memberi informasi mengenai obat baru atau produk obat yang sudah ditarik dari pasaran. Dalam rangka menindak lanjuti konsep SJSN yang dirumuskan pada undang-undang sebelumnya, maka pada tahun 2011 diterbitkanlah sebuah undang-undang yaitu UU. Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
10
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Adanya undang-undang inilah semestinya semakin mendorong arah pelayanan kefarmasian untuk bisa lebih terintegrasi dengan berbagai disiplin ilmu kesehatan. Konseling pasien ataupun konsumen apotek termasuk dalam proses KIE, dimana dilakukan di tempat tersendiri yang terhindar dari gangguan lainnya. Konseling dapat dipermudah dengan menyediakan leaflet atau booklet yang isinya meliputi patofisiologi penyakit dan mekanisme kerja obat (Purwanti dkk., 2004). Apoteker juga sebaiknya aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang sedang digunakan.
F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan apoteker komunitas di Kota Yogyakarta dalam melakukan KIE terhadap konsumen apotek dengan penyakit kronis. Dalam melakukan KIE, apoteker membutuhkan berbagai sumber informasi untuk mendukung akurasi informasi yang diberikan serta meminimalkan hambatan yang mungkin dapat terjadi selaman proses KIE. Selain itu penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan biaya jasa KIE untuk apoteker yang dianggap pantas dan diharapkan oleh para apoteker. Menurut penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain menggambarkan kurang maksimalnya pelayanan KIE yang telah diberikan selama ini. Dari segi pasien juga nampak kesenjangan terhadap jati diri apoteker itu sendiri. Kepatuhan penggunaan obat oleh konsumen apotek dan ikatan mereka
11
dengan tenaga apoteker menjadi suatu jalan terang untuk mencapai sinergisme KIE demi peningkatan outcome terapi (Purwanti dkk., 2004; Handayani dkk., 2006; Abdullah dkk., 2010; Hutami, 2013).