BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Nyamuk merupakan salah satu serangga yang memiliki peran sebagai vektor dari agen penyakit. Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang merupakan negara tropis. Penyakit tropis yang melibatkan nyamuk diantaranya adalah malaria, demam berdarah, filariasis dan cikungunya. Beberapa spesies nyamuk dapat menjadi vektor penyakit tertentu, seperti nyamuk Culex quinquefasciatus yang merupakan nyamuk pembawa penyakit filariasis. Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan dapat menyebabkan kecacatan (Eldridge, 2008). Angka kejadian penyakit filariasis di 83 negara adalah sekitar 1,3 milyar dan terutama terjadi di negara tropis. Sebanyak 60% kasus filariasis berada di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Kemenkes RI, 2010). Salah satu upaya pemberantasan penyakit tersebut adalah dengan memberantas vektor dari penyakit tersebut. Beberapa upaya pengendalian dampak negatif yang disebabkan oleh nyamuk yaitu dengan pengelolaan lingkungan dan pengendalian nyamuk secara kimia, fisika dan biologis. Pengendalian fisika dapat dilakukan dengan cara penyinaran radiasi dan pengendalian hayati (memakai predator atau parasit). 1
2
Pengendalian biologi adalah pengendalian vektor nyamuk menggunakan bakteri patogen B. thuringiensis (Komariah, dkk., 2010). Selain dilakukan pembasmian terhadap nyamuk sebagai vektor, upaya pengendalian juga dapat dilakukan dengan pembasmian terhadap larva di tempat perindukannya (pengendalian kimia). Pembasmian larva nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan berbagai macam larvasida. Saat ini, larvasida yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah temephos (Abate) dengan dosis (0,01– 0,025) gram/L. Temephos bekerja lebih efektif dan hasilnya lebih cepat terlihat dibanding dengan cara biologis. Bubuk temephos yang diaplikasikan di dalam reservoir air hanya efektif sampai satu minggu. Selain itu, sebagian masyarakat merasa tidak nyaman dengan pemberian bubuk temephos karena dapat membuat tempat penampungan air menjadi kotor dan ada perasaan tidak nyaman jika bubuk temephos akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan (Rosmini, dkk., 2006). Berkaitan dengan masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh larvasida kimia tersebut, maka perlu dikembangkan larvasida yang aman dan ramah lingkungan. Salah satu strateginya adalah dengan menggunakan larvasida nabati. Beberapa keunggulan larvasida nabati adalah mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dibandingkan dengan larvasida kimia, bahan yang digunakan harganya murah, serta mudah dijumpai dari sumber daya yang ada di sekitar (BPTP, 2011).
3
Hasil penelitian Choochote, dkk., (2004) menyebutkan bahwa ekstrak biji seledri (Apium graveolens L.) mampu membunuh larva nyamuk Aedes aegypti dengan LC50 sebesar 81,0 mg/L dan LC95 sebesar 176,8 mg/L. Penelitian lain oleh Abdillah, dkk., (2006) menyebutkan bahwa ekstrak daun seledri memiliki potensi sebagai insektisida terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Akan tetapi, efek larvasida ekstrak daun seledri terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus sejauh ini belum diketahui. Masalah lain yang muncul dari hasil penelitian tersebut adalah biji seledri sangat sulit diperoleh sehingga pembuatan larvasida nabati dari biji seledri kurang memungkinkan. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengembangkan pembuatan larvasida nabati dari daun seledri. Daun seledri mengandung flavonoid, tanin dan alkaloid (Depkes RI, 2001). Kandungan senyawa aktif yang diduga sebagai larvasida adalah alkaloid, tanin dan flavonoid (Dermawan, dkk., 2014). Tanin berfungsi untuk menghambat sintesis protein sel yang mengakibatkan larva kelaparan dan mati (Hopkins dan Huner, 2008), sedangkan flavonoid dapat mempengaruhi sistem pernafasan larva yang mengakibatkan larva tidak bisa bernafas dan akhirnya mati (Dermawan, dkk., 2014). Alkaloid memiliki rasa pahit yang dapat mengakibatkan larva tidak dapat makan (Hopkins dan Huner, 2008). Menurut Iswantini, dkk., (2012) kandungan kimia yang terdapat di dalam ekstrak etanol herba seledri yaitu tanin, alkaloid, steroid, triterpenoid dan flavonoid. Flavonoid, tanin dan alkaloid dapat ditarik dengan pelarut yang bersifat polar (etanol). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan etanol sebagai
4
pelarut. Selain itu, etanol merupakan pelarut yang aman dan tidak toksik dibandingkan dengan pelarut polar lain seperti metanol dan aseton. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menguji aktivitas larvasida ekstrak etanol daun seledri (Apium graveolens L.) pada larva nyamuk Culex quinquefasciatus beserta identifikasi kandungan kimianya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah ekstrak etanol daun seledri mempunyai efek larvasida terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus?
2.
Berapakah konsentrasi ekstrak etanol daun seledri yang dapat membunuh 95% (LC95) dan 50% (LC50) larva nyamuk Culex quinquefasciatus?
3.
Apakah ekstrak etanol daun seledri mengandung senyawa aktif golongan tanin, alkaloid dan flavonoid yang diduga dapat memberikan efek larvasida terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Membuktikan efek larvasida ekstrak etanol daun seledri terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus
5
2.
Menetapkan konsentrasi ekstrak etanol daun seledri yang mampu membunuh 95 % dan 50 % larva nyamuk Culex quinquefasciatus (LC95 dan LC50)
3.
Mengidentifikasi senyawa aktif golongan tanin, alkaloid dan flavonoid dalam ekstrak etanol daun seledri yang diduga bertanggung jawab sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Culex quinquefasciatus.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1.
Memberikan informasi ilmiah mengenai pemanfaatan ekstrak daun seledri sebagai larvasida nabati.
2.
Membuka peluang kemungkinan pembuatan produk larvasida dari ekstrak etanol daun seledri dengan harapan bisa membantu menurunkan angka kejadian filariasis.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Nyamuk Culex quinquefasciatus Nyamuk Culex quinquefasciatus merupakan vektor penyakit kaki gajah
yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit kaki gajah bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik pada perempuan maupun pada laki-laki. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung pada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Depkes RI, 2009).
6
a. Klasifikasi Nyamuk Berikut ini klasifikasi nyamuk Culex quinquefasciatus menurut Myers, dkk., (2014) : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Subordo
: Nematocera
Famili
: Culicidae
Subfamili
: Culicinae
Genus
: Culex
Spesies
: Culex quinquefasciatus
b. Ciri-ciri dan Morfologi
Nyamuk genus Culex biasanya menetaskan telur di perairan tawar yang relatif kotor, seperti di got saluran air dan sumur yang tidak terpakai (WHO, 2013). Jumlah telur nyamuk Culex quinquefasciatus pada setiap rakitnya lebih dari 100 butir (Gerberg, 1979). Telur yang pertama ditetaskan berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam atau coklat (gambar 1) dalam waktu 12-24 jam (WHO, 2013).
Gambar 1. Telur nyamuk Culex quinquefasciatus (Hill dan Connelly, 2012)
7
Larva berkembang dalam empat tahap yang dikenal sebagai instar pertama, kedua, ketiga dan keempat. Larva nyamuk Culex quinquefasciatus instar keempat (gambar 2) berganti kulit untuk memungkinkan pertumbuhan lebih lanjut. Proses ini disebut moulting. Larva instar empat tidak memiliki kaki, tetapi memiliki kepala yang berkembang dengan baik. Kepala larva Culex quinquefasciatus pendek dan gemuk, mulut memiliki filamen panjang berwarna kuning yang digunakan untuk menyaring atau menyedot bahan organik (Sirivanakarn dan White, 1978). Perkembangan larva menjadi pupa memerlukan waktu 6–9 hari pada suhu 27°C (Gerberg, 1979).
Gambar 2. Larva Culex quinquefasciatus (Hill dan Connelly, 2012)
Stadium pupa Culex quinquefasciatus berkembang dalam air buangan. Pupa Culex quinquefasciatus (gambar 3) berbentuk seperti koma yang terdiri dari kepala dan dada yang menyatu (Hill dan Connelly, 2009). Trompet yang digunakan untuk bernafas adalah sebuah tabung yang terdapat di bagian atas kepala (WHO, 2013). Bagian perut memiliki tujuh segmen. Keempat segmen pertama berwarna gelap dan warna akan cerah pada segmen selanjutnya. Proses perkembangan pupa berlangsung selama 36 jam pada suhu 27°C (Gerberg, 1979).
8
Gambar 3. Pupa Culex quinquefasciatus (Hill dan Connelly, 2012)
Tubuh nyamuk terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Nyamuk Culex quinquefasciatus (gambar 4) berwarna coklat dengan belalai, dada dan sayap. Kepala nyamuk berwarna coklat muda, posisi antena dan belalai hampir sama, biasanya antena sedikit lebih pendek dari belalai (Hill dan Connelly, 2009). Flagela nyamuk dewasa memiliki tiga belas segmen yang sedikit bersisik (Sirivanakarn dan White, 1978). Panjang nyamuk dewasa Culex quinquefasciatus antara 3,69–4,25 mm (Lima, dkk., 2003).
Gambar 4. Nyamuk dewasa Culex quinquefasciatus (Hill dan Connelly, 2012)
c. Siklus Hidup Nyamuk Nyamuk Culex quinquefasciatus meletakkan telurnya di atas air kotor yang mengandung bahan organik, bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. Jika air menguap sebelum menetas, maka telur
9
akan mati. Setelah telur kontak langsung dengan air, telur akan menetas dalam waktu 1-2 hari kemudian menjadi larva. Pertumbuhan larva memerlukan waktu enam sampai sembilan hari untuk menjadi pupa pada suhu 27°C. Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di air. Stadium pupa terjadi pembentukan sayap hingga nyamuk dapat terbang. Nyamuk membutuhkan waktu kurang lebih 36 jam pada suhu 27°C untuk menjadi nyamuk dewasa (Gerberg, 1979). d. Perilaku Nyamuk Nyamuk Culex quinquefasciatus mempunyai tiga perilaku yaitu perilaku makan, istirahat dan berkembangbiak. Nyamuk jantan dan betina akan kawin dan nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah manusia. Menjelang malam, nyamuk Culex quinquefasciatus mencari makan dengan frekuensi gigitan tertinggi antara pukul 20.00-23.00 dan menjelang pagi antara pukul 02.00-03.00. Nyamuk Culex quinquefasciatus menyukai darah manusia sebagai bahan makanannya dibandingkan dengan darah hewan (sapi dan kuda). Nyamuk Culex quinquefasciatus menghabiskan waktu istirahatnya di dinding rumah dengan frekuensi tertinggi pada pukul 18.0019.00, setelah itu cenderung menurun dan meningkat lagi pada pukul 22.0003.00 hingga pukul 02.00-03.00 (Ramadhani dan Yunianto, 2009). Nyamuk Culex quinquefasciatus berkembangbiak pada tempat-tempat yang kotor seperti genangan air dan got terbuka. Umumnya, nyamuk Culex quinquefasciatus tidak dapat terbang jauh dari tempat perindukannya. Selama musim panas, nyamuk Culex quinquefasciatus hanya bertahan beberapa minggu. Nyamuk Culex betina muncul di akhir musim panas dan mencari tempat untuk berlindung atau beristirahat sampai musim semi (Crans, 2004).
10
e. Usaha Pencegahan dan Pengendalian Nyamuk Usaha pencegahan gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu menggunakan kelambu pada waktu tidur, penggunaan lotion atau repelan antinyamuk (Kemenkes RI, 2010). Gigitan nyamuk juga bisa dihindari dengan tidak keluar rumah pada waktu malam hari dan menempatkan kandang ternak di luar rumah (Ikawati dan Wijayanti, 2010). Pengendalian nyamuk Culex quinquefasciatus dapat dilakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan sarang nyamuk. Cara lain juga dapat dilakukan dengan penggunaan insektisida kimia atau insektisida nabati (Kemenkes RI, 2010). Nyamuk dapat menjadi vektor beberapa penyakit sehingga dapat mengancam
kesehatan penduduk. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengendalian vektor baik secara biologi maupun kimia. Usaha pengendalian nyamuk secara kimia diharapkan dapat menekan populasi nyamuk. Pengendalian kimia dapat dilakukan menggunakan insektisida buatan karena mudah didapatkan, efektif dan langsung dapat digunakan. Pengendalian kimia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk larvasida di dalam air untuk membunuh larva nyamuk. Pengendalian nyamuk juga dilakukan dengan pengasapan ke udara (fogging) sebagai kabut untuk membunuh nyamuk dewasa. Resiko penggunaan insektisida buatan kimia yang terus-menerus dapat menimbulkan sesak nafas, menyebabkan resistensi nyamuk, dan dapat merusak lingkungan karena bersifat toksik. Pengendalian biologis adalah pengendalian nyamuk yang menggunakan bakteri patogen B. thuringiensis (Komariah dkk., 2010). Pengendalian biologis juga dapat dilakukan dengan
11
memasukkan ikan pemakan larva nyamuk ke dalam tempat perindukannya (Kemenkes RI, 2010). 2.
Larvasida Cara yang biasa digunakan untuk membunuh larva adalah menggunakan
larvasida. Jenis larvasida yang sering digunakan adalah temephos dengan nama dagang
Abate
(O,
O,
O’,
O’-tetramethil
O,
O’-thiodi-p-phenylenebis
(phosphorothioate). Temephos adalah insektisida organofosfat non sistemik yang digunakan untuk mengontrol nyamuk dan larva. Umumnya, temephos digunakan di kolam, danau dan rawa. Temephos juga bisa digunakan untuk membasmi kutu pada anjing, kucing dan manusia. Temephos memiliki toksisitas yang rendah pada mamalia, tidak beracun pada manusia, dan mempunyai kemampuan pengendalian larva nyamuk yang sangat efektif. Dosis standar penggunaan temephos adalah 0,01 mg dalam 1 liter air (WHO, 2009). Penggunaan temephos dalam waktu yang lama akan menyebabkan larva resisten pada temephos (Kemenkes RI, 2010). 3.
Kaki Gajah Penyakit kaki gajah atau filariasis adalah penyakit yang disebabkan
infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Nyamuk sebagai vektor penyakit kaki gajah menjadi aktif karena menelan cacing dalam bentuk mikrofilaria. Cacing filaria di dalam tubuh manusia hidup di saluran getah bening (limfe). Cacing tersebut akan merusak saluran getah bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga terjadi pembengkakan pada tungkai dan lengan (Kemenkes RI, 2010).
12
Penyakit kaki gajah dikategorikan dalam enam penyakit tropis paling penting. Penyakit kaki gajah banyak diderita pada usia produktif (15–44 tahun) (Soeyoko, 2002). Kaki gajah tidak mengakibatkan kematian, namun pada stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan mempunyai dampak sosial ekonomi yang besar. Dampak ekonomi yang diderita oleh penderita yaitu biaya berobat, hari produktif yang hilang karena sakit, hari produktif anggota rumah tangga yang hilang karena harus merawat orang yang sakit dan meninggal. Dampak sosial akibat filariasis berupa kegiatan sosial terganggu, rasa tidak nyaman karena sakit, dan duka kehilangan seseorang anggota keluarga (Kemenkes RI, 2010). Penanggulangan penyakit kaki gajah di Indonesia dimulai sejak tahun 1970 yang dilakukan melalui kegiatan pengobatan masal dengan dietil karbamazin (DEC) dosis standar seperti yang disarankan WHO. Di Indonesia, cara pengobatan tersebut menimbulkan efek samping berat dan ditolak penduduk. Selanjutnya, WHO menganjurkan pengobatan masal dosis tunggal 400 mg DEC sekali setiap tahun. Akan tetapi, dosis tersebut tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia karena masih menimbulkan efek samping yang tinggi. Perlu ada cara lain untuk mengatasi permasalahan penggunaan DEC yang salah satu caranya adalah pemberantasan vektor kaki gajah dengan larvasida. Penggunaan larvasida kimia menjadi hambatan tersendiri karena dapat menimbulkan permasalahan baru yang berkaitan timbulnya resistensi dan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Alternatif lain untuk pemberantasan vektor kaki gajah yang dapat dilaksanakan
13
adalah melalui penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) agar masyarakat di daerah endemik kaki gajah dapat mengurangi kontak dengan nyamuk vektor sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penularan (Soeyoko, 2002). a. Siklus Penularan Kaki Gajah Siklus penularan kaki gajah (gambar 5) terjadi melalui dua tahap, yaitu tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk dan tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan hewan perantara (hospes reservoir). Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk yaitu pada saat nyamuk (vektor) menghisap darah penderita. Beberapa mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa waktu kemudian, setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung kemudian menembus dinding lambung menuju ke rongga badan yang selanjutnya ke jaringan otot toraks. Larva stadium 1 (L-1) tumbuh menjadi larva stadium 2 (L-2) di dalam jaringan otot toraks, dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium 3 (L-3) yang infektif. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan dari L-1 menjadi L-3 Wuchereria bancrofti antara 10–14 hari. L-3 bergerak menuju alat tusuk nyamuk dan akan berpindah ke manusia pada saat nyamuk menggigit. Keberadaan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan tidak berkembangbiak sehingga dibutuhkan gigitan berulang untuk menjadi infektif (Depkes RI, 2009).
14
Gambar 5. Siklus penularan kaki gajah (Onggowaluyo, 2001)
Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan hewan perantara adalah L-3 akan menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina. Cacing betina menghasilkan mikrofilaria yang beredar dalam darah. Secara periodik, seekor cacing betina akan mengeluarkan sekitar 50.000 larva setiap hari. Perkembangan L-3 menjadi cacing dewasa dan menghasilkan mikrofilaria untuk Wuchereria bancrofti selama 9 bulan. Perkembangan seperti ini terjadi dalam tubuh hewan (Depkes RI, 2009). b. Cacing Filariasis (Wuchereria bancrofti) Kelenjar getah bening dan pembuluh limfatik merupakan tempat utama untuk perkembangan cacing dewasa Wuchereria bancrofti, Brugia
15
malayi dan Brugia timori. Efek patogen yang ditimbulkan oleh Wucheria bancrofti disebabkan oleh bentuk cacing dewasa yang masih hidup atau sudah mati. Bentuk dewasa dapat menyebabkan kelainan berupa reaksi inflamasi pada sistem limfatik. Mikrofilaria yang hidup di dalam darah belum diketahui patogenitasnya. Hasil metabolisme larva Wucheria bancrofti yang tumbuh menjadi dewasa pada individu yang sensitif dapat menyebabkan reaksi alergi seperti pembengkakan, nyeri, pembengkakan pada kulit dan pembengkakan kelenjar limfa. Gejala ini dapat timbul pada beberapa bulan setelah penularan. Pemeriksaan darah tepi untuk mencari mikrofilaria pada stadium ini biasanya negatif, tetapi pada biopsi kelenjar limfe mungkin dapat ditemukan cacing Wuchereria bancrofti muda atau dewasa (Mak, 2012). 4.
Tanaman Seledri (Apium graveolens) Apium dalam bahasa latin berarti beraroma dan graveolens berarti
penyebar bau. Masyarakat Sunda mengenal seledri dengan sebutan saladri dan untuk daerah Jawa Tengah dan Sumatra tanaman ini dikenal dengan nama seledri. Habitus seledri berupa pohon yang tingginya mencapai 50 cm. Batang seledri tidak berkayu, bersegi, beralur, beruas, bercabang, tegak, dan hijau pucat. Daun seledri menyirip ganjil, anak daunnya 3–7 helai dengan lebar 2–7,5 cm dan lebar 2–5 cm, tangkainya 1–2,7 cm dan berwarna hijau keputih-putihan. Buah seledri kotak berbentuk kerucut, panjang 1–1,5 mm, dan juga berwarna hijau kekuningan. Akar seledri memiliki jenis akar tunggang dan berwarna putih kotor (Depkes RI, 2001).
16
a. Klasifikasi tanaman seledri Klasifikasi tanaman seledri adalah (Depkes RI, 2001) : Divisi
: Spermatophyta
Sub devisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Umbelliflorae
Suku
: Umbelliflorae
Marga
: Apium
Jenis
: Apium graveolens L. (gambar 6)
Gambar 6. Tanaman seledri (koleksi pribadi)
b. Manfaat Seledri Sebagai Tanaman Obat dan Kandungan Kimianya Masyarakat mempercayai bahwa herba seledri dapat digunakan sebagai obat tekanan darah tinggi dan penghilang rasa mual. Manfaat lain dari tanaman seledri yaitu antijamur, antiinflamasi, menangani ketidaknyamanan saat menstruasi dan antikanker (Fazal dan Singla, 2012). Beberapa kandungan
17
senyawa aktif dalam daun seledri adalah tanin, alkaloid dan flavonoid (Depkes RI, 2001). Herba seledri mengandung senyawa tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid dan alkaloid (Iswantini, dkk., 2012). Dermawan, dkk., (2014) dan Hopkins dan Huner (2008) mengungkapkan bahwa senyawa aktif tanin, flavonoid dan alkaloid diduga mempunyai efek sebagai larvasida. 5.
Penyarian a. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan aktif dari tumbuhan atau hewan menggunakan pelarut tertentu melalui prosedur ekstraksi. Berakhirnya ekstraksi akan menghasilkan ekstrak kental. Tujuan prosedur ekstraksi simplisia adalah untuk memperoleh bagian simplisia yang berfungsi sebagai terapi dan untuk menghilangkan bahan pengotor lain yang tidak diinginkan menggunakan pelarut (Handa, 2008). Ekstraksi bahan alam dapat dilakukan dengan cara panas dan cara dingin. Metode panas seperti sokletasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Prinsip sokletasi adalah penyarian yang berulang-ulang sehingga hasil yang didapat sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Apabila penyarian ini telah selesai, maka pelarutnya diuapkan. Cara kerja sokletasi yaitu cairan penyari dipanaskan sampai mendidih, kemudian uap penyari akan naik melalui pipa samping yang selanjutnya diembunkan
18
oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia, kemudian apabila cairan penyari mencapai sifron, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Proses ini terjadi terus menerus sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai dengan jernihnya cairan (Depkes RI, 2000). Metode sokletasi tidak dapat dipakai untuk mengekstraksi bahan tumbuhan yang mengandung senyawa yang tidak tahan panas dan pelarut yang digunakan harus mempunyai titik didih rendah. Waktu yang digunakan dengan metode sokletasi lebih efisien dan jumlah pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan dengan maserasi dan perkolasi (Handa, 2008). Maserasi berasal dari bahasa latin macerare yang artinya merendam. Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan yang ditempatkan dalam wadah tertutup pada temperatur ruangan (Handa, 2008). Ekstrak simplisia tidak boleh disimpan dalam waktu lama karena dapat mengakibatkan dekomposisi (Jones dan Kinghorn, 2006). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi ekstraksi sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan) dan pengulangan sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya 1-5 kali jumlah bahan (Depkes RI, 2000).
19
b. Cairan Penyari Suatu penyari yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah penyari yang sesuai untuk senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman, sehingga senyawa aktif tersebut dapat terpisah dengan baik dari bahan dan senyawa kandungan lainnya (Depkes RI, 2000). Macam-macam cairan penyari polar diantaranya adalah air, etanol, metanol, aseton, n-propanol dan iso-propanol. Penyari non polar antara lain n-heksan, klorometana, butanol, kloroform dan etil asetat (Seidel, 2006). Beberapa peneliti menggunakan etanol sebagai penyari karena etanol merupakan penyari polar yang dapat menarik senyawa aktif polar dan non polar yang terkandung dalam tanaman, sedangkan bahan pengotor dari cairan pengekstraksi sedikit dan memiliki titik didih rendah (Voigt, 1995). 6. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) didefinisikan sebagai proses pemisahan zat terlarut karena proses diferensiasi komponen sampel pada dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak yang digunakan berupa campuran cairan yang dipilih berdasarkan zat aktif yang akan dielusi. Fase diam berupa zat padat aktif yang bertindak sebagai zat penyerap seperti silika gel (Depkes RI, 2008). KLT merupakan metode yang sering digunakan untuk menganalisis dan mengisolasi produk alami karena lebih murah, mudah, dan cepat (Gibbons, 2006). Zat penyerap yang terdapat pada KLT merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata. Bahan penyangga yang biasanya dilapisi zat penyerap adalah lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan
20
pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi, atau kombinasi dari kedua efek. Pemisahan pada KLT tergantung jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis pelarut (polar atau non polar) yang digunakan. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga faktor retensi (Rf) yang identik dan ukuran yang hampir sama, dengan menotolkan bahan uji dan pembanding pada lempeng yang sama (Depkes RI, 2008).
F. Landasan Teori Saat ini tanaman seledri sedang dikembangkan sebagai larvasida nabati. Choochote, dkk., (2004) menyebutkan bahwa biji seledri dapat digunakan sebagai larvasida dengan LC50 81,0 mg/L dan LC95 176,8 mg/L. Abdillah, dkk., (2006) mengungkapkan bahwa daun seledri juga mempunyai potensi sebagai insektisida nyamuk Culex quinquefasciatus. Perolehan biji seledri sangat sedikit sehingga untuk penelitian digunakan daun seledri sebagai larvasida nabati karena daun lebih banyak dan mudah diperoleh. Herba seledri mengandung senyawa tanin, steroid, triterpenoid, alkaloid dan flavonoid (Iswantini, dkk., 2012). Kandungan senyawa aktif yang diduga sebagai larvasida adalah tanin, alkaloid dan flavonoid (Dermawan, dkk., 2014 dan Hopkins dan Huner, 2008). Senyawa flavonoid masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernafasan yang disebut spirakel, flavonoid dapat menimbulkan kerusakan pada sistem pernafasan larva sehingga mengakibatkan larva tidak bisa bernafas dan akhirnya mati (Dermawan, dkk., 2014). Alkaloid dapat bertindak sebagai racun perut. Alkaloid memiliki rasa pahit sehingga dapat menyebabkan
21
mekanisme penghambatan makan pada larva. Rasa pahit menyebabkan larva nyamuk akan kelaparan dan akhirnya mati. Tanin dapat mengganggu larva dalam mencerna makanan karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan larva untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu (Hopkins dan Huner, 2008).
G. Hipotesis Ekstrak etanol daun seledri mempunyai aktivitas larvasida terhadap larva nyamuk Culex quinquefasiatus. Ekstrak tersebut mengandung senyawa aktif golongan alkaloid, flavonoid dan tanin.