BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan di dunia, terutama di negara tropis. Bakteri penyebab penyakit yang paling banyak ditemui diantaranya adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Selain tingginya kejadian infeksi, masalah resistensi antibiotik juga penting untuk ditangani. Penelitian di India menyatakan S. aureus memiliki angka resistensi tertinggi (77%) disusul dengan E. coli (12%) (Wisplinghoff et al., 2004). Alternatif agen antibakteri diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Indonesia dengan kelimpahan sumber daya alamnya memiliki keunggulan untuk memanfaatkan berbagai tumbuhan obat sebagai antibakteri. Salah satu tanaman yang berpotensi untuk pengobatan infeksi bakteri adalah tanaman Randu (Ceiba pentandra (L.) Gaertn). Secara tradsional daun randu digunakan sebagai obat kudis, batuk, asma, radang usus, disentri, diare, radang kandung kemih dan amandel (Anonim, 2000). Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa baik ekstrak daun dan kulit batang daun randu sangat efektif untuk pengobatan diabetes melitus dan malaria. Daun randu juga telah digunakan dalam penyembuhan luka (Sandhya et al., 2011). Bagian pohon randu yang telah banyak diteliti kandungan dan aktivitas farmakologinya adalah bagian kulit batangnya. Kulit batang daun randu telah
1
2
terbukti
memiliki
aktivitas
antibakteri
dengan
senyawa
yang
diduga
bertanggungjawab adalah senyawa 1,4 naftokuinon, suatu senyawa dengan kerangka terpen yang memiliki gugus polifenol. Belum lama ini dilakukan penelitian oleh Oseni et al., (2012) tentang perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak etanolik kulit batang randu dan ekstrak etanolik daun randu terhadap beberapa strain bakteri menggunakan metode difusi padat dengan konsentrasi 30 mg/ml, 40 mg/ml, dan 50 mg/ml. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, daun randu juga memiliki aktivitas antibakteri yang tidak jauh berbeda dibandingkan kulit batang daun randu. Enechi et al., (2013) kemudian meneliti kandungan daun randu baik metabolit primer maupun metabolit sekundernya, menurut penelitian tersebut daun randu memiliki kandungan senyawa flavonoid, fenolik, terpenoid, saponin, dan alkaloid. Safitri et al., (2009) melakukan fraksinasi herba sapu jagad dengan metode perkolasi sehingga dieroleh 9 fraksi. Fraksi-fraksi tersebut diuji aktivitas antibakterinya dengan metode difusi padat dan dibandingkan dengan ekstrak etanol sapu jagad. Hasilnya, F1, F2 dan F6 memberikan diameter hambat terhadap bakteri yang lebih besar daripada ekstrak etanol dengan dosis yang sama, sedangkan keenam fraksi lainnya tidak memberikan diameter hambat sama sekali. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan daya antibakteri ekstrak suatu tumbuhan adalah melalui fraksinasi dan menentukan fraksi aktifnya. Dengan mengetahui fraksi aktif suatu ekstrak tumbuhan juga berarti semakin dekat dengan senyawa yang bertanggungjawab terhadap aktivitas antibakteri tumbuhan tersebut. Berdasarkan keterangan-
3
keterangan tersebut dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas antibakteri daun randu. Pada penelitian ini dilakukan fraksinasi ekstrak etanol daun randu sehingga diperoleh tiga fraksi yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri untuk mengetahui fraksi yang aktif sebagai antibakteri. Sebelum uji perbandingan ekstrak etanol daun randu dan fraksi-fraksinya dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji dilusi cair untuk mengetahui nilai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM) ekstrak etanol daun randu. Uji konfirmatif golongan senyawa ekstrak etanol daun randu dan fraksi-fraksinya dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui apakah kandungan kimia daun randu yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi informasi dasar penggunaan daun randu sebagai alternatif obat antibakteri secara tradisional maupun modern.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Berapakah nilai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak etanol daun randu terhadap E. coli dan S. aureus? 2. Apakah fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus?
4
3. Golongan senyawa apakah yang terkandung dalam ekstrak etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui nilai KHM dan KBM ekstrak etanol daun randu terhadap E. coli dan S. aureus, mengetahui aktivitas antibakteri fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu terhadap E. coli dan S. aureus serta mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu.
D. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tumbuhan a. Nama Lain. Ceiba petandra (L.) Gaertn. dikenal sebagai Randu atau Kapok randu. b. Taksonomi. Menurut Heyne (1987) taksonomi tanaman randu adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malvales
Famili
: Malvaceae
Genus
: Ceiba
Spesies
: Ceiba pentandra (L.) Gaertn
5
c. Morfologi Pohon tinggi 25 - 70 m, diameter batang 100 - 300 cm. Batang silindris sampai menggembung. Tajuk bundar, hijau terang, daun terbuka, cabang vertikal dan banyak, condong ke atas, kulit halus sampai agak retak, abu-abu pucat, dengan lingkaran horisontal, lentisel menonjol terdapat duri-duri tajam pada bagian batang atas. Daun majemuk menjari, bergantian dan berkerumun di ujung dahan. Panjang tangkai daun 5 - 25 cm, merah di bagian pangkal, langsing dan tidak berbulu. Memiliki 5 - 9 anak daun, panjang 5 - 20 cm, lebar 1,5 - 5 cm, lonjong sampai lonjong sungsang, ujung meruncing, dasar segitiga sungsang terpisah satu sama lain, hijau tua di bagian atas dan hijau muda di bagian bawah, tidak berbulu. Bunga menggantung majemuk, bergerombol pada ranting; hermaprodit, keputih-putihan, besar. Kelopak berbentuk lonceng, panjang 1 cm, dengan 5 sampai 10 tonjolan pendek; mahkota bunga 3 – 3,5 cm, dengan 5 tonjolan, putih sampai merah muda, tertutup bulu sutra; benang sari 5, bersatu dalam tiang dasar, lebih panjang dari benangsari, putik dengan bakal buah menumpang, dekat ujung panjang dan melengkung, kepala putik membesar (Heyne, 1987). d. Distribusi Pohon randu banyak tumbuh di daerah rendah sampai 400 meter dari permukaan laut, di kebun, di tepi jalan, dan di tempat lain yang berhawa panas (Heyne, 1987).
6
e. Kandungan kimia Kulit batang randu dilaporkan mengandung senyawa senyawa glikosida, tanin, saponin, sesquiterpen lakton, flavonoid, poliuronoid, gula pereduksi, dan phlobatannin (Adebayo-Tayo & Adegoke., 2008; Fadeyi et al., 1989). Senyawa berikut telah diisolasi dari kulit batangnya; vavain 3’-O-B-Dglukosida, dan aglikonnya, vavain; flavan-3-ol, (+)-katekin (Ylva et al., 1998). Pentandrin dan glukosida pentandrin, beta-sistosterol dan 3-beta-Dglukopiranosida (Ngounou et al., 2000). Pada kulit batang daun randu senyawa
1,4-naftokuinon
baru
telah
berhasil
diisolasi
diduga
bertanggungjawab atas aktivitas antibakteri kulit batang pohon randu (Kishore et al., 2003). Menurut penelitian Enechi et al., (2013) daun randu mengandung senyawa fenolik, flavonoid, alkaloid, saponin, dan terpenoid. f. Manfaat Kulit batang randu biasa digunakan secara lokal untuk berbagai kondisi medis seperti penyembuhan luka, batuk, tekanan darah tinggi, diare, disentri, penyakit kuning, dan tumor. Daunnya biasa digunakan sebagai antidisentri, keputihan, anemia dan infertilitas. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa baik ekstrak daun dan kulit batang, sangat efektif untuk pengobatan diabetes mellitus dan malaria. Daun randu juga telah digunakan dalam penyembuhan luka (Sandhya et al., 2011).
7
2. Uraian bakteri Bakteri E. coli ditemukan biasanya pada usus manusia dan infeksi karena
bakteri
ini
biasanya
ditransmisikan
melalui
makanan
yang
terkontaminasi. Gejala-gejala infeksi E. coli berupa diare dan kram abdomen. Biasanya infeksi oleh karena E. coli tidak berbahaya, namun pada beberapa kasus infeksi tersebut bisa mengancam jiwa. E. coli paling banyak menyebabkan infeksi saluran kemih secara nosokomial (Jawetz et al., 1984). Bakteri S. aureus merupakan patogen oportunistik, berkolonisasi di permukaan kulit dan mukosa individu. Bakteri tersebut mampu menimbulkan penyakit-penyakit yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit seperti toxic shock syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit mematikan seperti septicemia, endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis (Hsu et. al., 2005; Nickerson et al., 2009). Kejadian infeksi oleh Staphylococcus baik secara nosokomial ataupun di komunitas telah meningkat 20 tahun terakhir ini. Hal itu disebabkan oleh karena meningkatnya pemakaian alat-alat kedokteran intravaskular seperti jarum infus, jarum suntik dan sebagainya. Sejak tahun 1990 sampai 1992, S. aureus merupakan penyebab tersering kasus pneumonia nosokomial, infeksi pada daerah luka pasca operasi, dan infeksi sistemik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian infeksi oleh karena S. aureus tinggi di negara berpendapatan rendah di Asia. Suatu penelitian di Thailand yang sampelnya berasal dari 1000 pasien rawat inap di rumah sakit menunjukkan bahwa S. aureus merupakan penyebab bakteremia
8
ketiga sesudah E. coli dan Burkholderia pseudomallei, dan memiliki angka mortalitas sampai 48%.
3. Uji antimikroba Antimikroba adalah senyawa pembasmi mikroba, khususnya bakteri merugikan. Sedangkan
antibiotik adalah substansi yang diproduksi oleh
mikroorganisme, dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Hugo dan Russel, 1987). Uji antibakteri merupakan pengukuran respon pertumbuhan populasi bakteri terhadap agen antibakteri. Menurut Pratiwi (2008) terdapat berbagai macam cara menguji daya antibakteri, antara lain dilusi cair, dilusi padat, Disk diffusion, Ditch-plate technique, E-Test, Cup-plate technique, dan Gradien plate technique. Pada penelitian ini digunakan metode dilusi cair untuk mengetahui potensi antibakteri ekstrak etanolik daun randu dan metode disk diffusion untuk membandingkan aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu.
4. Metode dilusi cair Agen antimikroba diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi antimikroba ditambah suspensi mikroba uji dalam media. Selain itu juga dibuat kontrol bakteri tanpa agen antimikroba untuk parameter viabilitas mikroorganisme uji dan dan kotrol media tanpa bakteri sebagai parameter keberhasian sterilisasi. Metode dilusi
9
cair adalah metode untuk menentukan konsentrasi minimal dari suatu antimikroba yang dapat menghambat atau membunuh mikroorgansime. Konsentrasi terkecil agen antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorgansme uji ditandai dengan berkurangnya kekeruhan secara visual ditetapkan sebagai kadar hambat minimal (KHM) dengan satuan mg/ml. Ketika menggunakan antibiotik seperti sulfonamida atau trimetoprim ada kemungkinan terjadi trailing effect. Oleh karena itu KHM seharusnya ditetapkan sebagai 80% penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri dibandingkan kontrol bakteri. Hal ini juga berlaku untuk obat-obat bakteriostatik seperti kloramfenikol dan tetrasiklin (Qaiyumi, 2007). Kadar Bunuh Minimal (KBM) ditetapkan sebagai kadar agen antimikroba yang mampu membunuh 99,99% inokulum bakteri. Metode yang digunakan adalah dengan melanjutkan uji dilusi cair yang telah digunakan untuk menentukan KHM dengan cara digoreskan ke media padat yang sesuai. Masing-masing konsentrasi antimikroba diambil sebanyak 50 μL dari tabung uji dan digoreskan ke media padat yang sesuai, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 °C. Jumlah koloni yang tumbuh pada setiap konsentrasi antimikroba dihitung dan dibandingkan dengan kontrol bakteri dalam %. kadar agen antimikroba yang mampu membunuh 99,99% inokulum bakteri disebut KBM (Qaiyumi, 2007).
10
5. Metode disk diffusion Metode disk diffusion (Kirby-Bauer) menggunakan sebuah plate agar secara seragam diinokulasi dengan organisme uji dan disk kertas diresapi dengan konsentrasi tetap antibiotik ditempatkan pada permukaan agar-agar. Diameter zona hambat adalah fungsi dari jumlah obat dalam disk dan kerentanan mikroorganisme. Ada atau tidak adanya pertumbuhan di sekitar disk adalah ukuran tidak langsung dari kemampuan senyawa untuk menghambat organisme. Kertas berdiameter 6 mm diresapi dengan senyawa antibakteri lalu ditempatkan di cawan Mueller-Hinton (MH) agar. Senyawa antibakteri berdifusi ke dalam agar-agar sekitarnya. Laju difusi melalui agar tidak secepat laju ekstraksi keluar antimikroba dari disk, sehingga konsentrasi antimikroba paling tinggi paling dekat dengan disk. Laju difusi antimikroba melalui agaragar tergantung pada sifat difusi dan kelarutan obat dalam agar-agar MH dan berat molekul dari senyawa antimikroba. Faktor-faktor ini mengakibatkan setiap antimikroba memiliki zona yang menunjukkan kerentanan terhadap senyawa antimikroba (Wanger, 2010).
6. Kromatografi lapis tipis Kromatografi digunakan secara umum sebagai teknik pemisahan senyawa untuk analisis secara kualitatif, kuantitatif maupun preparatif. Berbagai macam kromatografi telah dikembangkan saat ini dengan tujuan
11
memudahkan pemisahan senyawa sehingga didapatkan komponen-komponen murni dan selektif. Kromatografi dapat dibedakan berdasarkan alat yang digunakan,
yaitu:
Kromatografi
Kertas,
Kromatografi
Lapis
Tipis,
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan kromatografi gas (GC) (Gritter et al., 1991). Salah satu metode kromatografi sederhana dan masih dipakai hingga saat ini adalah kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam (sifat lapisan) dalam fase gerak (larutan pengembang). Fase diam dapat berupa serbuk halus, berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Empat penjerap yang paling umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome), dan selulosa. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter et al., 1991). Sampel senyawa ditotolkan pada fase diam. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Masing-masing totolan sampel akan terelusi dengan jarak tempuh berbeda-beda karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak. Pengamatan visual dilakukan sebagai evaluasi hasil kromatogram dan dibandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak ini dikonversikan dalam nilai Rf (Retention factor), dengan rumus sebagai berikut
12
Rf =
Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Jarak yang ditempuh pelarut
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua desimal. Pengertian hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Gritter et al., 1991).
E. Keterangan Empirik Data empirik yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat ditetapkannya nilai KHM dan nilai KBM (mg/ml) ekstrak etanol daun randu terhadap E. coli dan S. aureus, diketahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu berdasarkan data diameter hambat terhadap E. coli dan S. aureus, diketahuinya kandungan golongan senyawa yang ada di dalam ekstrak etanol daun randu meliputi senyawa fenolik, flavonoid, saponin, terpenoid dan alkaloid serta adanya perbedaan kandungan golongan senyawa pada fraksi heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi residu daun randu.