BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan di dunia, terutama di wilayah tropis. Bakteri penyebab penyakit yang paling sering ditemui diantaranya adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Saat ini terapi penyakit infeksi bakteri masih bergantung pada penggunaan antibiotik. Semakin meluasnya penggunaan antibiotik menyebabkan potensi terjadinya resistensi antibiotik semakin meningkat. Selain tingginya kejadian infeksi, masalah resistensi antibiotik juga penting untuk ditangani. Penelitian di India menyatakan S. aureus memiliki angka resistensi tertinggi (77%) disusul dengan E. coli (12%) (Wisplinghoff dkk., 2004). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan alternatif agen antibakteri. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan infeksi bakteri adalah tumbuhan Artemisia californica Less. Secara tradisional tumbuhan A. californica digunakan untuk masalah menstruasi, untuk memudahkan jalannya proses persalinan, untuk meringankan gejala menopause, dan sebagai ramuan untuk pilek, rematik dan batuk (Bean & Saubel 1972; Bocek 1984; Foster & Hobbs 2002). Marga Artemisia digunakan oleh penduduk Iran sebagai astringen, antidiare, antimikroba, antihelmintik, anti-toksin, dan antiparasit (Schlimmer, 1970; Zargari,1989; Ghorbani, 2005; Ghasemi Pirbalouti, 2010; Ghasemi Pirbalouti dkk., 2013). Artemisia mengandung monoterpenoid, sesquiterpenoid dan khususnya sesquiterpen lakton (Rustaiyan & Masoudi, 2011).
Adams (2012) meyatakan bahwa daun A. californica mengandung monoterpenoid, seskuiterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan antosian. Aktivitas antimikroba dari monoterpenoid dapat dijelaskan oleh sifat lipofilik yang terkandung dalam minyak atsiri (Cristani dkk., 2007). Berbagai jenis Artemisia dinyatakan sebagai agen antimalaria, antifungi, antiinflamasi, antibakteri, dan antivirus (Garcia & Adams, 2012). Aktivitas tersebut berkaitan dengan kandungan flavonoid (Giangaspero dkk., 2009; Yin dkk., 2008), monoterpenoid (Reddy dkk., 2006) atau seskuiterpenoid (Ishida, 2005). Tingtur A. californica mengandung monoterpenoid, lipid, flavonoid, seskuiterpenoid, dan alkaloid. Tingtur dari tanaman ini digunakan oleh masyarakat Chumash sebagai penghilang rasa nyeri topikal dan agen antiinflamasi, khususnya untuk terapi jangka panjang pada artritis dan nyeri kronik lainnya (Ishida, 2005).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Apakah ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat daun A. californica memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus ? 2. Berapakah nilai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) terhadap E. coli dan S. aureus ? 3. Golongan senyawa apakah yang terkandung di dalam daun A. californica berdasarkan analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat daun A. californica terhadap E. coli dan S. aureus, mengetahui nilai KHM dan KBM terhadap E. coli dan S. aureus serta mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya.
D. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tumbuhan a. Kedudukan Kategori Taksa A. californica Less. dalam Sistematika Tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Anak Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Artemisia
Jenis
: Artemisia californica Less.
Sinonim : Artemisia abrotanoides Nutt.; Artemisia fischeriana Besser; Artemisia foliosa Nutt.; Crossostephium californicum Less.
Gambar 1. Daun dan Bunga A. californica Less.
b. Morfologi Artemisia californica merupakan tumbuhan aromatik dengan tinggi mencapai 5 sampai 8 feet (1,5-2,5 m). Memiliki batang bercabang dan tumbuh ramping. Daun berwarna hijau muda keabu-abuan, biasanya 0,8-4,0 inci (2-10 cm) panjangnya, dengan 2 sampai 4 benang-seperti lobus yang kurang dari 0,04 inci (1 mm) lebarnya, dengan margin meringkuk di bawah (Hickman, 1993).
c. Kandungan Kimia Artemisia californica mengandung 15 monoterpenoid, yaitu camphene, mentha-diene,
β-pinene,
eucalyptol,
isopropenylmethylcyclohexanol,
trimethylheptadienol, isopropylmethyl-bicyclohexanol, thujanone, thujone, chrysanthenone, camphor, borneol, carene, menthenol, dan menthadienol. Komponen utama monoterpenoid berupa eucalyptol (24%), camphor (18%), carene (14%), dan menthadienol (9%). Sesquiterpen, alkaloid, flavonoid, dan flavonoid lainnya juga terkandung di dalam A. californica (Adams, 2012). Komponen flavonoid utama adalah jaceosidin, 6-methoxytricin, chrysosplenetin, dan quercetin hexose. Komponen flavonoid lainnya yaitu luteolin
gentiobioside,
tamarixetin
(glycoside),
isoorientin,
dan
methoxyflavone hexose. Kandungan alkaloid yaitu usaramine, rupestine dan chromonar. Kandungan sesquiterpen berupa leucodin, pestalodiopsolide A, echinolactone B, tanapartholide A, dan secogorgonolide. Antosian, glikosida apigenin, kumarin (marmin) dan chalconoid (monoterpen) berupa xanthohumol disaccharide terdapat di dalamnya (Adams, 2012). d. Manfaat Daun A. californica dapat mengatasi sakit pada gigi, asma, arthritis (Garcia & Adams, 2012). Bau menyengat yang berasal dari jenis tumbuhan ini efektif sebagai obat nyamuk (Moore, 2003). Rebusan daun A. californica dapat mengatasi masalah menstruasi, untuk memudahkan jalannya proses persalinan, untuk meringankan gejala menopause, dan sebagai ramuan untuk
mengatasi pilek, rematik dan batuk (Bean & Saubel, 1972; Bocek, 1984; Foster & Hobbs, 2002).
2. Pembuatan Simplisia Tahapan pembuatan simplisia terdiri atas pengumpulan bahan baku, sortasi
basah,
pencucian,
perajangan,
pengeringan,
sortasi
kering,
pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Pengumpulan bahan baku dilakukan pada pagi hari bertujuan untuk mendapatkan daun dengan kadar metabolit sekunder tinggi. Hal ini dimaksudkan juga untuk mencegah paparan sinar matahari berlebih sehingga perubahan kandungan metabolit pada daun dapat diminimalisir. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan asing lainnya dari simplisia. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor-pengotor lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih. Simplisia dengan kandungan senyawa mudah larut di dalam air, pencucian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin (Anonim, 1985). Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Ketebalan bahan setelah dirajang harus diperhatikan. Simplisia dengan kandungan minyak atsiri tidak boleh terlalu tipis karena dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat. Irisan simplisia juga tidak boleh terlalu tebal karena dapat menyebabkan terjadinya face hardening pada proses pengeringan. Face
hardening adalah keadaan di mana bagian luar simplisia sudah kering, sedangkan bagian dalam masih basah. Face hardening dapat mengakibatkan kebusukan pada bagian dalam simplisia (Anonim, 1985). Pengeringan bertujuan utuk mengurangi kadar air dari simplisia agar dapat disimpan dalam waktu lebih lama. Proses pengeringan simplisia perlu memperhatikan hal-hal diantaranya adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan. Pengeringan idealnya dilakukan secara cepat dan pada suhu kurang dari 60°C. Pengeringan terlalu lama dapat menyebabkan tumbuhnya kapang. Pengeringan dengan suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan rusaknya senyawa-senyawa dengan sifat termolabil. Sortasi kering bertujuan untuk menghilangkan bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotorpengotor lain yang masih ada dalam simplisia (Anonim, 1985). Pembuatan serbuk simplisia dilakukan setelah sortasi kering. Tahap ini bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel simplisia agar permukaan simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas. Semakin halus serbuk simplisia maka semakin besar pula luas permukaan kontak serbuk simplisia dengan penyari. Hal ini berarti semakin baik penyariannya walaupun dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian. Proses penyarian juga tergantung pada sifat fisik dan kimia simplisia. Serbuk dengan ukuran terlalu halus dapat menyebabkan pecahnya dinding sel sehingga zat yang tidak diinginkan ikut ke dalam hasil penyarian (Anonim, 1986).
Derajat halus serbuk dinyatakan dengan nomor pengayak. Pengayak dibuat dari kawat logam atau bahan lain dengan penampang melintang sama diseluruh bagian. Jenis pengayak dinyatakan dengan nomor yang menunjukkan jumlah lubang tiap cm dihitung searah dengan kawat. Jika derajat halus suatu serbuk dinyatakan dengan satu nomor, dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor tersebut. Jika derajat halus suatu serbuk dinyatakan dengan dua nomor, dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor terendah dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan nomor tertinggi (Anonim, 2009). Lubang pengayak baku dan klasifikasi serbuk berdasarkan derajat halus dapat dilihat pada Tabel I dan Tabel II. Tabel I. Lubang Pengayak Baku
Nomor pengayak
Lebar nominal lubang (mm)
Garis tengah nominal kawat
2 3 4 6 8 10 12 14 18 24 34 40 48 60 68 80 120
3,35 2,00 1,68 1,20 0,710 0,600 0,500 0,420 0,355 0,250 0,180 0,150 0,125 0,105 0,090 0,075 0,053
1,73 0,998 0,860 0,614 0,445 0,416 0,347 0,286 0,222 0,173 0,119 0,104 0,087 0,064 0,059 0,052 0,032
Perbandingan kira-kira jumlah luas lubang terhadap luas pengayak (%) 43 45 44 44 38 35 35 35 38 35 36 35 35 39 36 35 39
Penyimpangan rata-rata maksimum lubang (%) 3,2 3,3 3,3 3,6 3,9 4,2 4,4 4,5 4,8 5,2 5,6 6,3 6,5 7,0 7,3 8,1 9,1
(Anonim, 2009)
Tabel II. Klasifikasi Serbuk Berdasarkan Derajat Halus Nomor pengayak
Ukuran (µm)
8 20 40 60 80
2360 850 425 250 180
Untuk mendapat derajat kehalusan Serbuk sangat kasar Serbuk kasar Serbuk agak kasar Serbuk halus Serbuk sangat halus
(Anonim, 2009)
3. Ekstraksi Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan zat terlarut sehingga terpisah dari zat tak larut dengan pelarut cair. Faktor yang sangat mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat terlarut untuk melalui lapisan batas antara bahan dengan cairan penyari. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, dan koefisien difusi (Anonim, 1986). Senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, dan lain-lain. Jika senyawa aktif sudah diketahui, cairan penyari dan cara penyarian secara tepat akan lebih mudah untuk ditentukan (Anonim, 1986). a. Cairan Pelarut Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan berkhasiat atau aktif. Hal ini bermakna bahwa senyawa aktif tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan senyawa terkandung lainnya (Anonim, 2000). Kriteria-kriteria pelarut adalah murah dan mudah diperoleh; stabil secara fisika dan kimia; bereaksi
netral; tidak mudah menguap dan terbakar; selektif (hanya menarik zat aktif yang dikehendaki); tidak mempengaruhi zat berkhasiat; dan diperbolehkan menurut peraturan. Pelarut yang banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisional adalah air, etanol atau etanol air (Anonim, 1986). Jenis pelarut lain seperti metanol (alkohol turunannya), heksana (hidrokarbon aliphatik), toluen (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari penggunaannya karena sifat toksiknya, namum demikian metanol sebenarnya merupakan pelarut dengan sifat lebih baik dari etanol (Anonim, 2000). Air atau akuades banyak digunakan karena murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan alami. Penggunaan air dalam proses penyarian memiliki kerugian, yaitu tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak dan proses penguapan memerlukan waktu yang lama (Anonim, 1986). Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari karena merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan berbagai senyawa, kapang maupun kuman sulit untuk tumbuh pada etanol dengan konsentrasi 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu relatif lebih cepat. Digunakan etanol 70% sebagai penyari untuk
meminimalisir tersarinya senyawa-senyawa pengotor (Voigt, 1994). Etanol sering dicampurkan dengan air dalam berbagai perbandingan dengan tujuan meningkatkan selektivitas penyarian (Anonim,1986). Kerugian penggunaan etanol sebagai penyari adalah etanol lebih mahal harganya dibandingkan dengan air atau akuades. Tabel III berikut memperlihatkan jenis cairan penyari dengan jenis senyawa yang terlarut di dalamnya. Tabel III. Pelarut dan golongan kandungan kimia yang terlarut Jenis cairan penyari Heksan, Petroleum eter, benzen, toluen
Kloroform, diklorometana
Dietil eter Etil asetat Etanol, metanol, isopropanol, butanol Air panas
Jenis/golongan kandungan kimia Mono dan seskuiterpen (komponen minyak atsiri), di dan triterpen, steroid, flavon polimetoksi, lemak, resin, klorofil Semua yang larut diatas, aglikon antrakinon, kumarin, alkaloid bebas, kurkuminoid, fenol bebas Semua yang diatas, aglikon flavonoid polihidroksi, asam fenolat Semua yang diatas, flavonoid monoglikosida, kuasinoid, glikosida lain Semua yang diatas, flavonoid diglikosida, tanin, saponin Semua yang diatas mulai dari dietil eter, flavonoid poliglikosida, garam alkaloid, mono dan disakharida, asam amino dan protein.
(Pramono, 2013) b. Metode Ekstraksi Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan secara kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat (Anonim, 2000). Maserasi dilakukan selama 24 jam dalam bejana tertutup agar etanol tidak menguap dan terhindar dari kontaminasi serta menghindari terjadinya oksidasi pada senyawa-senyawa tertentu seperti senyawa fenol. Bejana maserasi disimpan dalam kondisi terhindar dari sinar matahari untuk mencegah terjadinya reaksi senyawa-senyawa tertentu atau rusaknya senyawa-senyawa tertentu akibat adanya sinar ultraviolet matahari. Selama proses maserasi bahan sesekali diaduk untuk meratakan pelarut yang telah jenuh oleh komponen terlarut. Dengan adanya pengadukan akan terbentuk kembali gradien konsentrasi antara komponen di dalam sel-sel bahan dengan komponen terlarut dalam etanol (cairan penyari), akibatnya terjadi difusi kandungan kimia dari sel-sel bahan menuju pelarut. Sari etanol dienapkan dengan tujuan mengendapkan zat-zat tidak larut dalam etanol dan serbuk-serbuk halus agar lebih mudah dipisahkan dari cairan. Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Proses terdiri atas tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 2000). Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari pada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 oC. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air dengan temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Anonim, 2000).
4. Fraksinasi Tujuan dari fraksinasi adalah menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak lebih murni. Sebagai contoh adalah senyawa tanin, pigmen dan senyawasenyawa lain yang akan berpengaruh pada stabilitas senyawa kandungan, termasuk juga dalam hal ini adalah sisa pelarut. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan penukar ion (Anonim, 2000).
5. Uraian Bakteri Bakteri E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek, kadang-kadang berderet seperti rantai, berukuran 0,5-3 µm, tidak membentuk spora (Dzen dkk., 2003). Bakteri E. coli ditemukan biasanya pada usus manusia dan infeksi karena bakteri ini biasanya ditransmisikan melalui makanan yang terkontaminasi. Gejala-gejala infeksi E. coli berupa diare dan kram abdomen. Biasanya infeksi oleh karena E. coli tidak berbahaya, namun pada beberapa kasus infeksi tersebut bisa mengancam jiwa. E. coli paling banyak menyebabkan infeksi saluran kemih secara nosokomial (Jawetz dkk., 1984). Sistematika bakteri E. coli adalah sebagai berikut : Divisi
: Proteobacteria
Kelas
: Schizcomycetes
Bangsa
: Enterobacteriales
Suku
: Enterobacteriaceae
Marga
: Escherichia
Jenis
: Escherichia coli (Salle, 1961)
Bakteri S. aureus merupakan patogen oportunistik, berkolonisasi di permukaan kulit dan mukosa individu. Bakteri tersebut mampu menimbulkan penyakit-penyakit yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit seperti toxic shock syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit mematikan seperti septicemia, endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis (Hsu dkk., 2005; Nickerson dkk., 2009). S. aureus adalah bakteri Gram positif, memiliki bentuk bola sampai lonjong, diameter 0,5-1,5 µm, tunggal atau berpasangan dan membelah diri
pada lebih dari satu bidang, sehingga membentuk gerombol yang tidak teratur. Kedudukan taksa S. aureus dalam sistematika bakteri sebagai berikut : Divisi
: Schizomycota
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus aureus (Salle, 1961)
Bakteri E. coli dan S. aureus adalah jenis bakteri dengan struktur berbeda, yaitu pada susunan dinding selnya. Dinding sel bakteri Gram positif mengandung lapisan peptidoglikan yang membentuk struktur tebal dan kaku, serta asam teikoat dengan kandungan alkohol dan fosfat. Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung satu atau beberapa lapis peptidoglikan dan membran luar. Dinding sel bakteri Gram negatif tidak mengandung asam teikoat. Dinding sel bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap kerusakan mekanis karena hanya mengandung sejumlah kecil peptidoglikan (Pratiwi, 2008).
6. Uji Antimikroba Antimikroba adalah senyawa pembasmi mikroba, khususnya bakteri merugikan (Hugo & Russel, 1987). Uji antibakteri merupakan pengukuran respon pertumbuhan populasi bakteri terhadap agen antibakteri. Suatu senyawa dapat memilki sifat antibakteri dengan lima macam mekanisme aksi, yaitu penghambatan
sintesis
dinding
sel,
perusakan
membrane
plasma,
penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008). a. Uji Antimikroba dengan Metode Disk Diffusion Metode disk diffusion (Kirby-Bauer) menggunakan sebuah plate agar secara seragam diinokulasi dengan organisme uji dan disk kertas diresapi dengan konsentrasi tetap antibiotik ditempatkan pada permukaan agar. Diameter zona hambat adalah fungsi dari jumlah obat dalam disk dan kerentanan mikroorganisme. Ada atau tidak adanya pertumbuhan di sekitar disk adalah ukuran tidak langsung dari kemampuan senyawa untuk menghambat organisme. Kertas berdiameter 6 mm diresapi dengan senyawa antibakteri selanjutnya ditempatkan di cawan agar Mueller-Hinton (MH). Senyawa antibakteri berdifusi ke dalam agar sekitarnya. Laju difusi melalui agar tidak secepat laju ekstraksi keluar antimikroba dari disk, sehingga konsentrasi antimikroba paling tinggi yaitu paling dekat dengan disk. Laju difusi antimikroba melalui agar tergantung pada sifat difusi dan kelarutan obat dalam agar MH dan berat molekul dari senyawa antimikroba. Faktor-faktor ini mengakibatkan setiap antimikroba memiliki zona yang menunjukkan kerentanan terhadap senyawa antimikroba (Wanger, 2010). b. Uji Antimikroba dengan Metode Dilusi Cair Agen antimikroba diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi antimikroba ditambah suspensi mikroba uji dalam media. Kontrol bakteri tanpa agen antimikroba dibuat untuk
parameter viabilitas mikroorganisme uji dan kotrol media tanpa bakteri sebagai parameter keberhasilan sterilisasi. Metode dilusi cair adalah metode untuk menentukan konsentrasi minimal dari suatu antimikroba yang dapat menghambat atau membunuh mikroorgansime. Konsentrasi terkecil agen antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorgansme uji ditandai dengan berkurangnya kekeruhan secara visual ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dengan satuan mg/ml. Ketika menggunakan antibiotik seperti sulfonamida atau trimetoprim ada kemungkinan terjadi trailing effect. Oleh karena itu KHM seharusnya ditetapkan sebagai 80% penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri dibandingkan kontrol bakteri. Hal ini juga berlaku untuk obat-obat bakteriostatik seperti kloramfenikol dan tetrasiklin (Qaiyumi, 2007). Kadar Bunuh Minimal (KBM) ditetapkan sebagai kadar agen antimikroba yang mampu membunuh 99,99% inokulum bakteri. Metode ini melanjutkan uji dilusi cair untuk menentukan KHM dengan cara menggoreskan pada media padat. Masing-masing konsentrasi antimikroba diambil sebanyak 50 μL dari tabung uji dan digoreskan pada media padat, kemudian diinkubasi selama 1824 jam pada suhu 37°C. Jumlah koloni yang tumbuh pada setiap konsentrasi antimikroba dihitung dan dibandingkan dengan kontrol bakteri dalam % (Qaiyumi, 2007).
7. Sterilisasi Metode sterilisasi secara fisis dibedakan menjadi dua, yaitu pemanasan basah dan pemanasan kering (Schlegel, 1993). Pemanasan kering dapat dilakukan untuk sterilisasi alat-alat gelas, logam dan alat-alat lain yang tahan terhadap pemanasan tinggi dengan menggunakan oven. Pemanasan dilakukan pada suhu 60 oC selama 4 jam. Pemanasan basah dilakukan dengan otoklaf. Otoklaf bekerja dengan prinsip tekanan tinggi yaitu 1 atm dengan suhu 121 oC. Sterilisasi secara kimia adalah metode yang digunakan untuk sterilisasi ruangan kerja. Menurut Schlegel (1993) beberapa bahan kimia seperti detergen, alkohol dan formalin digunakan dalam proses kerja mikrobiologi.
8. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi digunakan secara umum sebagai teknik pemisahan senyawa untuk analisis secara kualitatif, kuantitatif maupun preparatif. Berbagai macam kromatografi telah dikembangkan saat ini dengan tujuan memudahkan pemisahan senyawa sehingga didapatkan komponen-komponen murni dan selektif. Kromatografi dapat dibedakan menjadi beberapa, yaitu Kromatografi Kertas (KK), Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Kromatografi Gas (KG) (Gritter dkk., 1991). Salah satu metode kromatografi sederhana dan masih dipakai hingga saat ini adalah kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam (sifat lapisan) dalam fase gerak (larutan pengembang). Fase diam dapat berupa serbuk halus, berfungsi sebagai permukaan penjerap
(kromatografi cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Empat penjerap yang paling umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome), dan selulosa. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter dkk., 1991). Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran ditotolkan dalam bentuk bercak maupun pita pada fase diam. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana dibiarkan hingga jenuh dan fase diam dimasukkan selanjutnya dielusi hingga jarak tertentu (Stahl, 1985). Deteksi senyawa dapat dilakukan secara kimia ataupun biologi. Deteksi senyawa secara kimia dilakukan dengan pereaksi penampak bercak. Deteksi senyawa secara biologi digunakan untuk mendeteksi komponen yang memilki aktifitas fisiologi tertentu. Sampel ditotolkan pada fase diam. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Masing-masing totolan sampel akan terelusi dengan jarak tempuh berbeda-beda karena perberbedaan afinitas dari masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak. Pengamatan visual dilakukan sebagai evaluasi hasil kromatogram dan dibandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak ini dikonversikan dalam nilai Rf (Retention factor), dengan rumus sebagai berikut : Rf =
Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Jarak yang ditempuh pelarut
Angka Rf berkisar antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua desimal. Pengertian hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Sherma, 1996).
E. Landasan Teori Tumbuhan marga artemisia digunakan oleh penduduk Iran sebagai astringen, antidiare, antimikroba, antihelmintik, anti-toksin, dan antiparasit (Schlimmer, 1970; Zargari,1989; Ghorbani, 2005; Ghasemi Pirbalouti, 2010; Ghasemi Pirbalouti dkk., 2013). Aktivitas antibakteri tersebut berkaitan dengan kandungan flavonoid (Giangaspero dkk., 2009; Yin dkk., 2008), monoterpenoid (Reddy dkk., 2006) atau seskuiterpenoid (Ishida, 2005). Artemisia californica merupakan tumbuhan suku asteraceae yang termasuk anggota dari marga artemisia. Berdasarkan penelitian Adams (2012) dinyatakan bahwa daun A. californica mengandung monoterpenoid, seskuiterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan antosian. Terpenoid dan flavonoid adalah senyawa yang dapat tersari dalam pelarut yang cenderung kurang polar. Pramono (2013) menyatakan bahwa senyawa terlarut dalam n-heksan adalah senyawa golongan terpenoid (minyak atsiri), triterpen, steroid, kumarin, dan flavonoid (polimetoksi flavon) yang memiliki gugus-gugus metil. Senyawa golongan flavonoid telah terbukti memiliki kemampuan antibakteri (Alan & Miler, 1996). Aktivitas antimikroba dari monoterpenoid dapat dijelaskan oleh sifat lipofilik dalam minyak atsiri (Cristani dkk., 2007).
Penelitian tentang pemanfaatan tunbuhan A. californica belum banyak dilakukan, khususnya akan aktivitas antibakterinya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan potensi antibakteri dari daun A. californica serta mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi dasar penggunaan daun A. californica sebagai alternatif agen terapi antibakteri secara tradisional maupun modern.
F. Hipotesis Berdasarkan landasan teori diatas diajukan suatu hipotesis yaitu ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat daun A. californica memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus. Golongan senyawa yang terkandung di dalam daun A. californica berdasarkan analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah flavonoid dan terpenoid.