BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Hutan wajib dilindungi karena hutan merupakan bentuk kehidupan yang
tersebar di seluruh dunia. Hutan dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan juga suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun lamanya. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingnkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Hal ini berarti segala tumbuhan lain dan hewanhewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tidak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non-kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budi daya tanaman pertanian dan lahan hutan. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan, hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta-juta tanaman. 1 Dikarenakan hutan berperan sebagai penyeimbang lingkungan, maka hutan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi, terutama bagi kehidupan generasi mendatang. Untuk mencegah kesalahan dalam pengelolaan hutan, maka fungsi hutan harus dipelajari dan dimengerti secara holistik (utuh). Begitu pula, perlunya dipelajari hutan secara merologik (melihat bagian-bagiannya) untuk mengantisipasi segi-segi yang mampu menimbulkan malapetaka bagi kehidupan. 2 Kehutanan adalah suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengurusannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Tujuan pembangunan kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan ke dalam pengelolaan yang terdiri atas, pengelolaan hutan produksi berfungsi ekonomi dan ekologi yang sama kuat atau seimbang, pengelolaan hutan koservasi yang berfungsi ekologi, dan pengelolaan hutan kebun kayu sebagai fungsi ekonomi. Saat sekarang telah ditetapkan bahwa pembangunan kehutanan dan perkebunan dititikberatkan pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kebun pada kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial secara seimbang. 3
1
Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Cet. Ke-8, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hal. 14. Ibid., hal. 14. 3 Ibid., hal. 14-15. 2
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan hutan bukan hanya menetapkan hutan sebagai perlidnungan tanah, iklim, sumber air, dan pemenuhan kebutuhan akan kayu dan produk lainnya. Tetapi, pengelolaan hutan harus ditujukan untuk mendayagunakan semua lahan demi kepentingan negara, bahkan negara lain juga. Dengan demikian, secara partial akan dimengerti tentang fungsi hidrologik penyangga hayati, kesuburan tanah, ekonomi, sosial, kebudayaan, rekreasi, dan estetika dari hutan secara keseluruhan. Sedangkan secara utuh atau menyeluruh perlu diperhatikan kaitan fungsi dan masalah yang satu terhadap fungsi dan masalah lainnya. 4 Hutan di Indonesia sangat luas dan dibutuhkan bagi penduduk dunia. Karena Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia, 5 hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi. 6 Namun, hijaunya alam Indonesia kian hari kian menyusut akibat pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Laju deforestasi hutan di Indonesia mencapai 610.375,92 ha (Enam Ratus Sepuluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Koma Sembilan Puluh Dua Hektar) pada tahun 2011, dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Masalahnya adalah kebakaran hutan di Indonesia yang mana suatu peristiwa dimana hutan yang digolongkan ekologi alamiah mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh aktifitas pembakaran secara besar-besaran. Pada dasarnya, peristiwa ini memberi dampak negatif maupun positif. Namun, jika dicermati dampak negatif kebakaran 4
Ibid., hal. 15. Statistik Kehutanan Indonesia, (Jakarta : Kemenhut, 2011) yang dipublikasikan pada bulan Juli 2012. 6 Harian Kompas, “Paru-Paru Dunia Adalah Indonesia”, kolom Opini, diterbitkan Senin, 09 Juni 2014. 5
Universitas Sumatera Utara
hutan jauh lebih mendominasi ketimbang dampak positifnya. Oleh sebab itu, hal ini penting untuk dicegah agar dampak negatifnya tidak merugikan manusia terlalu banyak. Salah satu upaya pencegahan yang paling mendasar adalah dengan memahami penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia. Di dalam Kamus Kehutanan yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan RI, disebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh alam dan manusia. Konteks alam mencakup musim kemarau yang berkepanjanganjuga sambaran petir. Sementara faktor manusia antara lain kelalaian membuang puntung rokok, membakar hutan dalam rangka pembukaan lahan, api unggun yang lupa dimatikan dan masih banyak lagi lainnya. 7 Kebakaran hutan di Indonesia perlu ditanggulangi secara tepat sebab peristiwa ini memiliki dampak buruk bagi kehidupan manusia, yaitu 8 : 1. “Kebakaran hutan akan menyebarkan sejumlah emisi gas karbon ke wilayah atmosfer dan berperan dalam fenomena penipisan lapisan ozon; 2. Dengan terbakarnya hutan, satwa liar akan kehilangan rumah tempat mereka hidup dan mencari makan. Hilangnya satwa dalam jumlah yang besar tentu akan berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem; 3. Hutan identik dengan pohon. Dan pepohonan identik sebagai pendaur ulang udara serta akarnya berperan dalam mengunci tanah serta menyerap air hujan. Jika pepohonan berkurang, dipastikan beberapa bencana akan datang seperti banjir atau longsor; 4. Kebakaran hutan di Indonesia akan membuat suatu bangsa kehilangan bahan baku industri yang akan berpengaruh pada perekonomian; 5. Jumlah hutan yang terus berkurang akan membuat cuaca cenderung panas; 6. Asap dari hutan akan membuat masyarakat terganggu dan terserang penyakit yang berhubungan dengan pernapasan;
7
Ibid. Ibid.
8
Universitas Sumatera Utara
7. Kebakaran hutan bisa berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke sebuah Negara; dan lain sebagainya”.
Selain dampak buruk kebakaran hutan di atas, ada juga dampak positifnya bagi pengusaha-pengusaha yang mempunyai perkebunan ataupun yang akan membuka lahan perkebunan kelapa sawit, yaitu : dapat melakukan pembersihan lahan (land
clearing)
tanpa
harus
mengeluarkan
anggaran
yang
besar,
waktu
pelaksanaannya relatif cepat. Kebakaran hutan disebabkan karena aktivitas masyarakat dan perusahaan perkebunan membuka lahan perkebunan baru skala besar. Membakar hutan tersebut dilakukan dengan sengaja. 9 Sebagai contoh : “Pada tahun 2014 di Riau, seluas 2.398 ha (Dua Ribu Tiga Ratus Sembilan Puluh Delapan Hektar) hutan cagar biofer dan 21.914 (Dua Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus Empat Belas) lahan pertanian dan perkebunan di Riau terbakar. Dampak kebakaran hutan di Riau, juga merugikan lingkungan hidup, politik, kesehatan dan lainnya. Asap hasil kebakaran hutan yang cukup parah mengakibatkan 58 ribu warga Riau terserang Ispa dan sekolah-sekolah diliburkan”. 10
Contoh lain dapat dilihat pada tahun 1997-1998, di Indonesia terjadi kebakaran hutan yang dahsyat. Kebakaran hutan di Indonesia pada waktu itu, terjadi bersamaan dengan fenomena El-Nino.
11
Dari hasil pemantauan CRISP (The
9
Harian Republika, “BNPB : Kerugian Kebakaran Riau Capai Rp. 20 Triliun”, diterbitkan Jum’at, 19 September 2014. 10 Ibid. 11 El-Nino adalah sebuah peristiwa alam yang menunjukkan adanya proses-proses pemanasan permukaan air laut di kawasan ekuator di Samudera Pasifik sebelah timur, memang diyakini oleh para pakar di dunia sebagai dalang terjadinya bermacam bencana. Perubahan muka air laut di Pasifik tersebut dapat mempengaruhi pola cuaca dunia. Akibatnya, di beberapa negara bisa terjadi hujan di atas normal sementara di negara lainnya terjadi kekeringan parah. El-Nino pada tahun 1997-1998 lebih
Universitas Sumatera Utara
Singapore Center for Remote Sensing) tercatat bahwa di tahun 1997, diperkirakan ada 1,5 juta ha areal telah terbakar di Sumatera dan 3 juta hektar ketika itu di Kalimantan. Menurut kesimpulan CRISP sebagian besar kebakaran terjadi di daerah hutan dataran rendah yang berdekatan dengan sungai dan jalan, hutan di areal pegunungan tidak tersentuh api pada tahun itu. 12 Hasil deteksi satelit pada tahun 1997 menunjukkan, titik-titik itu di atas 90% berasal dari hutan yang dikonversi. Dari ketiga lokasi kebakaran yang ditangkap oleh titik-titik hot spot yang terjadi di Kalimantan, yaitu di lokasi hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan rawa-rawa (wetland), dan hutan dataran rendah, WWF menemukan bahwa sebagian besar titik hot spot tersebut ditemukan dilokasi hutan dataran rendah. Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran perkiraan 1,5 juta hektar di Sumatera, dan Kalimantan kurang lebih 675 ribu hektar adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hot spot kebakaran berada di lokasi perkebunan, terutama di perbunan sawit & HTI. Kebakaran diduga kuat terjadi sebagai akibat pembukaan lahan (land clearing) perkebunan sawit. Ada 176 perusahaan, di antaranya 133 perkebunan yang dianggap bertanggung jawab. Selain 28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka lahan transmigrasi. 13
dahsyat dibandingkan dengan persitiwa besar terkahir 15 tahun lalu dan sekaligus yang terbesar yang pernah dicatat. Peristiwa El-Nino dapat diprediksi 2-15 tahun akan kembali lagi. Fenomena El-Nino pernah tejradi pada tahun 1982-1983, bersamaan dengan peristiwa kebakaran hutan pada waktu itu. Sumber : Harian Suara Pembaruan Daily, “El-Nino Dahsyat 1997-1998 : Dalang Berbagai Bencana”, diterbitkan Jum’at, 13 Maret 1998. 12 Charles Victor Barber dan James Schweithelm, Trial By Fire, Forest Fire and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Kerjasama World Resources Institute dengan WWF Indonesia dan Yayasan Telapak, 2000, hal. 11. 13 Eric Wakker, Forest Fire & The Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, AID Environment & WWF, 1998.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data-data di atas, menunjukkan bahwa perkebunan sawit dianggap sebagai pihak pemberi kontributor terbesar pada kejadian kebakaran hutan 1997-1998 tersebut. Selain itu, terdapat hubungan yang kuat antara kebakaran hutan dengan perkebunan sawit. Keterkaitan itu mengarah pada aktivitas perkebunan sawit yang banyak berhubungan dengan tindakan pembakaran. Pembakaran merupakan proses pembukaan lahan yang umum dilakukan oleh perusahaan perkebunan saiwt. Biasanya perusahaan mengerjakan perusahaan kontraktor atau pekerja individu yang dianggap berpengalaman untuk melakukan pembukaan lahan. Sebelum pembakaran, pekerja melakukan pengukuran dan memberi batas yang jelas. Untuk pembakaran utama, pohon berdiameter di atas 40 cm ditebang, maka dibutuhkan waktu seminggu untuk mengeringkannya. Kemudian setelah itu dilakukan pembakaran pada minggu berikutnya. 2 minggu setelah pembakaran, buldozer dikerahkan untuk mengatur/ menyingkirkan kayu-kayu yang belum terbakar seutuhnya lalu dilakukan pembakaran kedua. 14 Selain itu juga, ternyata diketahui bahwa penjalaran pembakaran hutan dapat melalui jalan atau batas perkebunan sawit. Sebab jalan/batas tersebut ditumbuhi rumput yang menjadi media pembakaran yang cepat selama musim kering terjadi. 15 Setelah kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 yang sangat hebat tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk merespon kebakaran hutan dan lahan tersebut. Sedikitnya terdapat beberapa kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespon kebakaran hutan dan lahan, yakni Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang14
Ibid. Lesley Potter dan Justin Lee, Oil Palm in Indonesia : Its Role in Forest Conversion and the Fires of 1997/98, (Jakarta : WWF Indonesia Forest Fires Project,1999), hal. 24. 15
Universitas Sumatera Utara
Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta turunan kebijakan nasional yakni Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Salah satu contoh kasus kejadian kebakaranhutan dan lahan terjadi di Propinsi Riau dan melibatkan salah satu perusahaan terkemuka di Inodnesia untuk duduk dalam meja pengadilan. Pada tanggal 09 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, menghukum Terdakwa Danesuvaran KR Singam dan Terdakwa PT. Adei Plantation and Industry yang diwakili oleh Tan Kei Yoong karena kelalaiannya lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 ha dari 541 ha pada 2013 yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut dikutip di bawah ini 16 : “PT. Adei Plantation and Industry diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana denda Rp 1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong dan memulihkan lahan yang rusak seluas 40 hektar dengan pengomposan menelan biaya Rp 15.1 Miliar. Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, denda Rp 2 miliar subsider 2 bulan kurungan. Putusan hakim bertetangan dengan tuntutan Penuntut Umum. PT Adei Plantation and Industry dituntut Denda Rp 5 M, dan Pidana Tambahan Rp 15,7 M. Danesuvaran KR Singam 5 tahun Penjara dan Denda Rp 5 Miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Hakim juga menilai pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Selain sebagai regulator, pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa 16
Harian Tribun Pekanbaru, “Pengadilan Tinggi : GM PT. Adei Tetap Dihukum 1 Tahun dan Denda Rp. 2 M”, diterbitkan Kamis, 29 Januari 2015.
Universitas Sumatera Utara
AMDAL. BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah disetujunya telah dijalankan dengan baik”.
Dikarenakan pelaku yang membakar hutan tersebut untuk membuka lahanlahan perkebunan kelapa sawit diduga adalah perusahaan merupakan korporasi, maka berbicara masalah korporasi terkait pula pada persoalan pertanggungjawabannya. Dalam hal pertanggung jawaban korporasi ini dimungkinkan melalui doktrin strict liability yang mana dalam ajaran ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku. Tetapi ditekankan kepada hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan melawan hukum atau tidak melakukan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offenses of strict liability). 17 Pertanggungjawaban
pidana,
dalam
istilah
asing
disebut
juga
toerekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus pemidanaan pelaku 17
Mahmud Mulyadi dan Feri Antono Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta : Sofmedia, 2010) dalam Jimmy Tawalujan, “Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan”, Jurnal Lex Crimen, Vol. I, No. 3, Jul-Sep 2012, hal. 5. Bandingkan dengan : Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Medan : Softmedia, 2009), hal. 35, menyatakan bahwa : “Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau doktrin identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability). Bertolak dari doktrin “respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh atau karyawan dan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban atau kondisi atau situasi tertentu yang ditentukan Undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana secara langsung menurut Undang-undang atau strict liability, apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam izin itu”.
Universitas Sumatera Utara
dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana bahwa yang dilakukannya itu haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari kemampuan bertanggungjawab, maka seseorang yang mampu bertanggungjawab dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 18 Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subyek hukum pidana. Subyek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban). Kongres PBB VII pada tahun 1985, diantaranya membicarakan jenis kejahatan dalam tema “Dimensi Baru KejahatanDalam Konteks Pembangunan”, dan melihat gejala kriminalitas yang merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti : terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, penipuan iklan yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Melihat perkembangan dan pertumbuhan korporasi yang berdampak negatif tersebut, kedudukan korporasi mulai bergeser dari hanya subyek hukum perdata menjadi termasuk juga subyek hukum pidana. Dalam konteks tindak pidana dalam penelitian ini adalah kebakaran hutan yang merusak lingkungan hidup.
18
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Kencana, 2010),hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata klasik digunakan untuk memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba modern. KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam arti belummengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana. KUHP yang digunakan sampai saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijk persoon). Pasal 59 KUHP adalah : “Dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggotaanggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana”. 19 Makna tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. KUHP hanya mengatur perbuatanperbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu. Pembatasan pengertian inilah yang kemudian telah menutupi atau melindungi badan hukum dari segala tindak kejahatan yang telah dilakukan. Dengan mengatasnamakan badan hukum (korporasi) para pelaku menjadi aman dan terlindungi dari jerat hukum dan dapat bebas bertindak. Tidak ada sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut karena pada saat itu tidak ada pengaturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana bagi badan hukum. Tuntutan-tuntutan yang dapat dimintakan hanya berkaitan dalam lingkup keperdataan saja misalnya dengan meminta pembayaran ganti kerugian karena tindakan badan hukum keperdataan yang telah merugikan subjek hukum lain. Adanya tindak pidana yang tidak diatur didalam KUHP agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvaccum),maka untuk menghindarinya diberlakukan Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana Khusus merupakan undang-undang pidana yang memiliki penyimpangan dari Hukum PidanaUmum, baik dari segi Hukum Pidana Formil maupun dari segi Hukum Pidana Materiilnya. Hal tersebut diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Seperti Undang-Undang Darurat No. 7 Drt 1955 tentang tindak
Pidana
Ekonomi,
Undang-Undang
No.
15
Tahun
1985
tentang
Ketenagalistrikan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 19
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
tentang Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana korupsi. 20 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga merupakan undang-undang hukum pidana yang khusus mengatur tentang hutan. Perluasan subjek hukum di dalam Undang-Undang ini menjadi salah satu kekhususan tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana lain, yaitu dapat dipidananya korporasi (badan hukum) yang tidak terdapat dalam KUHP. Akan tetapi, badan hukum sebagai subjek hukum sudah diakui di dalam RUU KUHP yang baru. Kejahatan korporasi merupakan kejahatan bentuk baru dan akan menjadi tren di masa depan. Menurut Andi Nirwanto, sebagai Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus Kejagung RI), menyatakan bahwa 21 : “Dalam kerangka pemikiran, maka sudah tepat ketika pertanggung jawaban pidana korporasi ini dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Selain dimaksudkan ke dalam RUU KUHP, pidana korporasi juga harus diatur dalam Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Tapi tidak kalah pentingnya, hukum acaranya harus diatur dalam KUHAP, salah satu contoh, Pasal 143 KUHAP yang mengatur surat dakwaan, disana sebut identitas yang ada 9 item, mulai dari nama lengkap, umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Tetapi yang pertanyaannya ketika nanti tindak pidana ini dilakukan korporasi, maka hal itu belum ada. Guna mencegah kejahatan pidana korporasi di lembaga pemerintahan atau BUMN, agar setiap lembaga dan perusahaan harus bersikap transparan. Transparansi dan akuntabilitas mungkin dapat mencegah tindak pidana korporasi.
20
Chairil Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, tanpa tahun), hal. 48. 21 Detiknews, “Kejaksaan Agung Dukung Tindak Pidana Korporasi Masuk RUU KUHP”, diterbitkan Rabu, 30 Oktober 2013, http://news.detik.com/read/2013/10/30/181125/2399828/10/., diakses pada 01 Februari 2015.
Universitas Sumatera Utara
Kejagung RI sudah pernah menangani beberapa pidana korporasi salah satunya pidana yang dilakukan PT. Giri Jaladiwarna dan PT. IM2. PT. Giri Jaladiwarna sudah dihukum oleh Mahkamah Agung (MA) dengan membayar uang pengganti Rp. 1,3 miliar dalam kasus pembangunan pasar sentral di Banjarmasin. Ada lagi kasus PT. IM2 di Tipikor Jakarta, kepada PT. IM2 dikenakan pidana tambahan untuk bayar uang pengganti Rp. 1,3 triliun dan ini adalah satu contoh pengakan hukum pidana korporasi”.
Penetapan korporasi sebagai pelaku dan juga sebagai yang bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Di dalam delik korupsi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan pidana itu, adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Tujuan dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan suatu dampak penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar korporasinya berjalan sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut. Pemidanaan terhadap korporasi, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan hukum pidana pada umumnya, yaitu 22 : 1. “Untuk menghentikan dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang; 2. Mengandung unsur penghukuman yang mencerminkan kewajiban masyarakat untuk menghukum siapapun yang membawa kerugian; 3. Untuk merehabilitasi para penjahat korporasi; 4. Pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat diprediksi dan konsisten dalam prinsip hukum pidana secara umum; 5. Untuk efisiensi; dan 6. Untuk keadilan”.
22
Alvi Syahrin, Op.cit., hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan kebakaran hutan sangatlah terkait dengan pengelolaan hutan yang tidak menekankan pada asas keberlanjutan. Ada beberapa asas dikenal dalam bidang lingkungan hidup atau yang disebut sebagai asas-asas pengelolaan lingkungan hidup. Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas : a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah”.
Demikian pula yang terjadi dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam prakteknya perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak memperhatikan asas-asas pengelolaan yang berkelanjutan/kesinambungan. Usaha perkebunan kelapa sawit lebih banyak didasarkna pada kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok tertentu saja. Pemerintah sebagai pengelola utama sumber daya alam negara demi rakyat banyak, tidak memperhatikan asas-asas ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakan operasionalisasi, dan kerja monitoring-nya yang tidak mengarah kepada asas-asas tersebut. demikian pula dalam hal pengelolaan tindakan preventif kebakaran hutan. Usaha preventif/pencegahan kebakaran hutan yang partisipatif,
Universitas Sumatera Utara
strategi yang tepat, monitoring, dan resolusi konfliknya ada dalam institusi-institusi lokal yang mempunyai pengetahuan lokal dalam pencegahan kebakaran hutan. Pemerintah dapat mengakomodasi peraturan-peraturan yang disepakati tersebut dalam tingkat regional dan nasional untuk lebih mengefektifkan keputusannya. Tujuan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah menciptakan keseimbangan kemampuan lingkungan yang serasi (environmental harmony). 23 Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 24 Dengan demikian, sangatlah layak, penelitian dengan judul : “Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW)” untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut.
B.
Rumusan Masalah Berangkat dari uraian latar belakang di atas, adapun permasalahan yang
timbul dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
23
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta : Sofmedia, 2012). 24 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolana Lingkungan Hidup.
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana pengaturan tentang pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup? 2. Bagaimana pertanggung jawaban korporasi terhadap tindak pidana kebakaran hutan? 3. Bagaimana proses pertanggung jawaban korporasi terhadap kebakaran hutan dalam penerapan hukum lingkungan?
C.
Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini,
antara lain : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis pengaturan tentang pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup; 2. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis pertanggung jawaban korporasi terhadap tindak pidana kebakaran hutan; 3. Untuk mengetahui dan mengkaji secara yuridis proses pertanggung jawaban korporasi dalam penegakan hukum lingkungan.
D.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : 1. Secara Teoritis a. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
b. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan. c. Memperkaya khasanah kepustakaan. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi Penegak Hukum dalam menegakkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (Pelaku Usaha) khususnya korporasi perkebunan kelapa sawitagar mengetahui delik pidana apabila melakukan pembakaran hutan.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada
lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum USU, bahwa penelitian dengan judul : “Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW)” belum pernah dilakukan. Namun, ada satu penelitian yang mempunyai topik yang sama, akan tetapi, rumusan masalah yang berbeda, yaitu penelitian berjudul : “Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencemaran Sungai Belumai Kabupaten Deli
Universitas Sumatera Utara
Serdang Propinsi Sumatera Utara)”, penelitian ini berbentuk tesis, ditulis oleh Mahmud Mulyadi, pada tahun 2004. Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana pencemaran pada Sungai Belumai; 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan pencemaran pada Sungai Belumai; 3. Upaya-upaya yang dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi hambatan tersebut.
Bahwa dikarenakan belum ada yang membahas penelitian ini, maka penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Bilamana dikemudian hari ternyata judul dan permasalahan yang sama, maka penulis bertanggungjawab sepenuhnya dengan dicabutnya atau dibatalkannya gelar yang nantinya akan diperoleh setelah selesai penelitian ini.
F.
Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori
Dengan dipidananya korporasi, dapat dipandang sebagai suatuperkembangan pemikiran, dari yang semula dapat dipidananya suatuperbuatan hanya bertumpu pada subjek hukum orang (natuurlijke persoon)diperluas tidak hanya terbatas pada subjek hukum orang tetapi juga subjekhukum korporasi (rechtspersoonlijkheid).
Universitas Sumatera Utara
Dalam kepustakaan hukum pidana, dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana korporasi dikenal beberapa teori, antara lain : teori identifikasi, teori pertanggungjawaban
pidana
pengganti
(vicarious
liability)
dan
teori
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict liability).
a.
Teori Pertanggungjawaban Korporasi 1)
Teori Identifikasi
Di
negara-negara
Anglo
Saxon,
seperti
Inggris,
dalam
rangka
mempertanggung-jawabkan korporasi secara pidana telah dikenal konsep direct corporate criminal liability atau dikenal dengan doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. 25 Dalam penelitian ini, perusahaan dapat melakukan delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Teori ini dikenal dengan teori identifikasi. Terkait dengan perlunya mens rea dalam tindak pidana, maka hakim telah mengembangkan suatu sarana untuk mengaitkan pikiran dengan badan hukum ini, membenarkan pendapat bahwa perusahaan itu secara pidana bertanggungjawab dalam perkara semacam itu. Mereka telah berbuat demikian berdasarkan teori identifikasi. Karena perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, maka ia hanya dapat bertindak melalui agennya. Menurut teori identifikasi, agen tertentu dalam sebuah perusahaan
25
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung : Utomo, 2004), hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai directingmind atau alter ego. Mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan perusahaan. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan, maka mens rea para individu merupakan mens rea perusahaan itu. 26 Dalam teori identifikasi, perusahaan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi perusahaan.
2)
Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liablity) Pertanggungjawaban pidana pengganti secara sederhana dapat dikatakan
sebagai pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Relevan dengan permasalahan vicarious liability, telah berkembang prinsip employment principle. Dalam prinsip ini penanggungjawab utama dari perbuatanperbuatan para buruh/karyawan yang melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya. Di Australia ada keraguan, bahwa the vicar’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s guilty mind (kesalahan/sikap bathin jahat dalam delik vicarious) dapat dihubungkan dengan majikan atau pembuat (principal). Hal ini berlawanan dengan yang terjadi di Inggris a guilty mind hanya dapat dihubungkan (dengan majikan) apabila ada delegasi.
3)
Teori Pertanggungjawaban Pidana Yang Ketat Menurut UndangUndang (Strict Liability) 26
Cristopher Ryan, Criminal Law, 5th Ed., (London : Blackstone Press Limited, 1998), hal.
122.
Universitas Sumatera Utara
Bila dilihat dari sejarahnya, lahirnya pertanggungjawaban pidana atas dasar kesalahan atau liability on foult or negligence atau juga foult liability, merupakan reaksi atas model pertanggungjawaban mutlak atau strict liability yang berlaku pada zaman dahulu. Dalam perkembangannya, hukum mulai memenuhi perhatian lebih besar pada hal-hal yang bersifat pemberiaan maaf (execulpatory considerations) dan sebagai akibat pengaruh moral philosophy dari ajaran agama, cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral (moral culpability) sebagai dasar yang tetap untuk perbuatan melawan hukum, maka prinsip tanggungjawab mutlak sebagai suatu hukuman yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam kemudian berubah menjadi tanggungjawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan. Disamping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses perubahan sikap ini adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu kesalahan (negligence) tidak berarti kurang penting dari pada kerugian akibat dari suatu kesengajaan. Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan adalah baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian, maka dengan demikian yang semula merupakan tanggungjawab secara moral (moral responsibility) berubah menjadi tanggungjawab secara hukum (legal liability). 27 Strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.
27
JG. Fleming, The Law of Tort, dalam Dwidja Priyatno, Ibid., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
Strict liability pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens-rea tidak dapat dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila tetap berpegang teguh pada asas mens rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan undang-undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability terhadap kasus-kasus tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang. 28 Doktrin strict liability dalam hukum pidana dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang menyatakan 29 : “…dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktekpula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaanmenilai yang dapat menjadi syarat ditiadakanyya pengenaanpidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompokkejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strictliability. Yang dimaksud dengan ini adalah adanya kejahatanyang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalahtidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untukmelakukan suatu perbuatan pidana. Sungguhpun demikian, diadipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perbuatanyang terlarang itu, walaupun dia sama sekali tidak bermaksuduntuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalahkejahatan. Biasanya ini adalah untuk kejahatan-kejahatan kecilatau pelanggaran. Oleh beberapa penulis perbuatan pidana initidak dipandang sebagai perbuatan pidana dalam artisebenarnya. Ia telah harus dipertanggungjawabkan hanyakarena dipenuhinya unsur-unsur delik oleh perbuatannya, tanpamemeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapatmeniadakan pengenaan pidana”.
Dikaitkan dengan penelitian ini yang menitikberatkan pada strict liability karena menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan 28
Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pemabaharuan Hukum Pidana Nasional”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008), hal. 65. Lihat juga : Djoko Prakoso, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hal. 75. 29 Roeslan Saleh dalam Ibid., hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 67, menyatakan bahwa : “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Sementara itu, yang dimaksud dengan ‘orang’ diatur dalam Pasal 1 angka 32, menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. Pemikiran untuk menetapkan badan hukum sebagai subjek tindak pidana tersebut, tidak jauh berbeda dengan yang ada di dalam tindak pidana ekonomi dan hukum perdata. 30 Badan hukum dapat berupa perusahaan atau industri yang mempunyai kecenderungan untuk mencemarkan atau merusak lingkungan hidup. Menurut M.
30
Putusan Mahkamah Agung RI No. 047K/Pdt/1988 tertanggal 20 Januari 1993, yang menyatakan bahwa : “Putusan ini mempertimbangkan, seseorang Direktur Perseroan tidak dapat digugat secara perdata atas perjanjian yang dibuat untuk dan atas nama perseroan, yang dapat digugat adalah perseroan yang bersangkutan, karena perseroan adalah badan hukum tersendiri, sehingga merupakan “subjek hukum” yang terlepas dari pengurusnya (Direksi). Oleh karena itu, perseroan “memikul tanggung jawab” (aansprakelijkheid, liability) atas segala tindakan atau perbuatan yang dilakukannya terhadap pihak ketiga. Ditinjau dari segi hukum perdata, terdapat beberapa tanggung jawab yang melekat pada diri setiap perseroan sebagai badan hukum yang terpisah (separate) dan berbeda (distinct) dari pemegang saham dan pengurus perseroan. Tanggung jawab perdata, disebut “tanggung jawab hukum perdata” (civielrechtelijke aanspraakelijkheid, liability under civil law), yakni tanggung jawab perseroan yang menyangkut domain bidang hukum perdata dalam bidang luas. Pada dasarnya tanggung jawab bidang hukum perdata, tidak menimbulkan problema hukum, diakui memiliki “kapasitas” melakukan perbuatan hukum seperti membuat “kontrak” atau “transaksi” dengan pihak ketiga sepanjang hal itu sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang ditentukan dalam Anggaran Dasar. Selain daripada mempunyai kapasitas membuat kontrak atau transaksi dengan pihak ketiga, berdasar “persetujuan yang digariskan Pasal 1315 Jo. Pasal 1320 KUH Perdata, Perseroan dapat juga melakukan perikatan yang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan dari perseroan berdasar Pasal 1352 KUH Perdata. Bisa berupa perbuatan yang halal “sesuai” ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata seperti mewakili urusan merupakan “perbuatan melawan hukum” (Onrechtmatigedaad, Wrongful Act) yang merugikan orang lain, seperti yang ditentukan pada Pasal 1365 KUH Perdata”.
Universitas Sumatera Utara
Yahya Harahap, perseroan merupakan badan hukum yang hidup karena undangundang menghendaki. 31 Korporasi termasuk ke dalam bentuk badan hukum, akan tetapi, badan hukum belum tentu sebuah korporasi. Menurut Hansmann dan Kraakman, hal yang sangat sentral dalam mendefinisikan korporasi dan membedakan dengan bentuk organisasi lain adalah prinsip separate legal personality dan limited liability.
32
Maka
dari
itu,
badan
hukum
dan
korporasi
harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan jika memang terbukti melanggar hukum lingkungan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Teori Strict Liability adalah pertanggung jawaban tanpa ada kesalahan. Dikaitkan dengan teori pertanggung jawaban pidana pengganti (Vicarious Liability) yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, maka orang lain yang mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain tersebut belum tentu memiliki kesalahan. Oleh karena itu, Strict Liability yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban tanpa ada kesalahan merupakan teori yang digunakan untuk menarik pelaku, dalam hal ini Direktur sebuah perusahaan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi perusahaan belum tentu bersalah melakukan tindak pidana lingkungan hidup, namun, untuk menyeretnya ke depan persidangan,
31
M. Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26, No. 3, Tahun 2007, hal. 44. 32 “The feature which most define the company and distinguish it from all other types of organization are the principles of separate legal personality and limited liability”. Sumber : Hansmann dan Kraakman, “What is corporate law?”, Davies, Introduction, Chapter 1, dalam Ross Grantham, The Limited Liability of Company Director, The University of Queensland, TC. Beirne School of Law, Legal Studies Research Paper Series, Research Paper No. 07-03, 2007, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
maka harus digunakan teori pertanggung jawaban pidana pengganti (Vicarious Liability). Selanjutnya, tindak pidana lingkungan hidup yang diduga dilakukan oleh perusahaan, tidak mungkin dilaksanakan oleh Direksi perusahaan tersebut, pastilah dilaksanakan oleh orang suruhan yang mempunyai kontrak kerja atau hubungan kerja dengan perusahaan tersebut, sehingga orang suruhan yang menjadi bawahan Direksi perusahaan tadi dapat dimintai pertanggung jawaban pidananya berdasarkan teori strict liability.
b.
Teori Pertanggungjawaban Mutlak Teori pertanggung jawaban mutlak ini sebenarnya sama dan hampir mirip
dengan teori strict liability. Malahan menurut pendapat ahli hukum, E. Saefullah Wiradipradja, menyamakan teori pertanggung jawaban mutlak ini dengan teori strict liability. Teori ini digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami teori-teori apa saja yang berkaitan dengan pertanggung jawaban korporasi. Menurut E. Saefullah Wiradipradja, teori pertanggungjawaban mutlak atau no-foult liability or liability without foult atau juga dikenal dengan absolute liability atau strict liability, adalah tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan kata lain adalah suatu prinsip tanggungjawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. 33 Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound, menyatakan bahwa: 33
Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 107-108.
Universitas Sumatera Utara
“I … Use simple word ‘liability’ for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction”. 34 Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. Dikaitkan dengan penelitian ini, maka untuk menjawab rumusan masalah tentang penegakan hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap tindak pidana lingkungan berupa kebakaran hutan dalam hal pertanggungjawaban korporasi, maka setiap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dapat dipidana dengan sanksi pidana yang terdapat pada UndangUndang No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru tahun 2012 (RUU KUHP 2012), pada Pasal 47 menyatakan bahwa : “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. Tindak Pidana dilakukan oleh Korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. 35 Jika
34 35
Roscoe Pound, Introduction to The Philosophy of Law, (Jakarta : Bhatara, 1975), hal. 76. Pasal 48 RUU KUHP 2012.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggung-jawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 36 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
37
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. 38 Dengan demikian, berdasarkan Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 RUU KUHP 2012, pertanggungjawaban pidana dapat juga dikenakan kepada suatu korporasi, dan yang bertanggungjawab di dalam korporasi/pengurus korporasi tersebutlah yang menanggung akibatnya (menjalankan hukumannya).
c.
Teori Pertanggungjawaban Berdasarkan Unsur Kesalahan Untuk mengkaji Teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan
diperlukan mengetahui teori kesalahan terlebih dahulu. Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa : “Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis mengatakan “Tidak ada pidana
36
Pasal 49 RUU KUHP 2012. Pasal 50 RUU KUHP 2012. 38 Pasal 51 RUU KUHP 2012. 37
Universitas Sumatera Utara
jika
tidak
ada
kesalahan”,
merupakan
dasar
dari
pada
dipidananya
si
pembuat/pelaku. 39 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian, menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 40 : 1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan 2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu korporasi yang diduga melakukan tindak pidana pembakaran hutan bersalah atau tidak maka harus diuji unsur kesalahannya. Apakah terpenuhi unsur pasal yang dipersangkakan atau tidak.
Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni 41 : 1. “Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi). 2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. 3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu”.
39
Ibid. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hal. 31. 41 Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 34. 40
Universitas Sumatera Utara
Telah
dimaklumi
bahwa
perbuatan
pidana
memiliki
konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan mengenai hakikat kejahatan, yaitu 42 : 1. “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya; 2. Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. 43 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuranukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan 42
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 41-42. 43 I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP, yang menyatakan bahwa : “1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. 3. Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa 44 : “Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : 1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; 2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat; 3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi”.
Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya. 45 Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu 46 : 1.
“Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
44
I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hal. 79. Ibid. 46 Loc.cit., hal. 83. 45
Universitas Sumatera Utara
2.
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2 (dua) faktor terpenting, yaitu : 1.
Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum; dan
2.
Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya. 47 Selain strict liability, ada dikenal juga teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan (faultliability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip
ini
menyatakan,
seseorang
baru
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. 47
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: a.
adanya perbuatan;
b.
adanya unsur kesalahan;
c.
adanya kerugian yang diderita;
d.
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)yaitu mengenai tidak ada pidana tanpa ada kesalahan mengisyaratkan bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan pastilah dapat dihukum. Seseorang yang melakukan pembakaran hutan, apabila dapat dibuktikan dirinya adalah pelakunya, maka pidana harus dijatuhkan kepadanya. Namun, sebaliknya apabila tidak ada satu bukti pun yang mengarahkan bahwa diri seseorang itu bersalah, maka dirinya harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Begitu juga dengan sebuah korporasi yang diwakili oleh seorang pengurus perusahaannya, apakah yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan ataukah orang yang menyuruh, membantu, ikut turut serta, dan memberikan perintah untuk itu, maka dirinya dapat dihukum dan dikenakan sanksi tindak pidana pembakaran hutan berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal mengajukan tuntutan hukum, Jaksa Penuntut dapat menggunakan baik itu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ataupun UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.
Kerangka Konsep Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut, sebagai berikut : 1. Korporasi adalah badan usaha (bisnis) yang disahkan/tiruan yang diciptakan oleh atau dibawah wewenang hukum negara atau bangsa, yang terdiri dalam beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu; 48 2. Pertanggungjawaban Pidana pada hukum pidana Belanda adalah harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu : a. Adanya suatu tindakan (commission atau ommission) oleh pelaku; 48
“Corporation an entity (usu. a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that its constitution gives it”. Lihat : Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, 8th Ed., (Minnesota : West Group, 2004), hal. 1032. Lihat juga : Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 110, menyatakan bahwa : “Korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakann yaitu terdiri dari ‘corpus’,yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur ‘animusi’ yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena bada hukum mempunyai kepribadian, karenanya badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.
Universitas Sumatera Utara
b. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dan undang-undang; c. Tindakan tersebut, melawan hukum (unlawful); dan d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban pidana ini, pada prinsipnya sama dengan Negara Inggris yang menganut sistem hukum common law system. Hukum pidana Inggris, mensyaratkan bahwa pada prinsipnya orang yang melakukan tindak pidana atau kejahatan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan dari pertanggungjawaban yang bersangkutan; 49 Pertanggungjawaban pidana pada istilah asing disebut juga toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak; 50 3. Pertanggungjawaban Korporasi adalah dapat dipidananya korporasi sebagai salah satu contoh riil dari perluasan pemikiran, dimana konsep dapat dipidananya suatu perbuatan yang semula bertumpu pada subjek hukum orang
49
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal. 112. 50 Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seorang terdakwa dipertanggungjawabkanatas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab maka dipidana. Kemampuan bertanggungjawab tersebut memperlihatkan kealahan dari petindak berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan. Selanjutnya, apakah tindakan terdakwa ada asalan pembenar atau tidak. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Sumber : Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-5, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal. 153-154.
Universitas Sumatera Utara
(natuurlijke persoon) diperluas tidak hanya terbatas pada subjek hukum orang tetapi juga subjek hukum korporasi (rechtspersoonlijkheid). 51 Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi adalah penjatuhan sanksi pidana kepada suatu badan hukum yang melakukan tindak pidana korporasi. Adapun yang bertanggungjawab terhadap penjatuhan sanksi pidana kepada korporasi adalah penanggungjawab ataupun pengurus dari suatu korporasi tersebut karena diri pelaku bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum korporasi dimana ia bekerja dan melakukan kejahatan korporasi; 52
4. Tindak Pidana Korporasi adalah tindak pidana yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat membantu berkembangnya kondisi-kondisi kondusif bagi tindak pidana korporasi. Anatomi tindak pidana yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas demikian bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin pada tujuan korporasi 51
Bandingkan dengan : Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 29, menyatakan bahwa : Secara lebih konkrit hal tersebut terlihat dalam Pasal 51 W.v.S (KUHP Belanda) yang telah diperbaharui pada tahun 1976, sebagai berikut : 1) “Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undangundang terhadap : Badan hukum atau; Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau; Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama; 3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan”. 52 Model pertanggungjawaban pidana korporasi dimana korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab berangkat dari realitas bahwa dengan hanya ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telahditerima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh sangan-saingannya, keuntungan dan atau kerugian-kerugian itu lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Sehingga dengan hanya dipidananya pengurus dipandang tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Sumber : Ibid., hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
(organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan berbagai pihak; 53
5. Kebakaran Hutan mempunyai 2 (dua) definisi oleh Departemen Kehutanan RI, yaitu 54 : a. Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena faktor-faktor : 1) Alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama); 2) Manusia (misalnya karena kelalaian manusia membuat api di tengah-tengah hutan dimusim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar. b. Bentuk kerusakan hutan yang disebabkan oleh api di dalam areal hutan negara.
6. Penegakan Hukum Lingkungan adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidan, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup; 55
G.
Metode Penelitian
53
“….konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh big business dan jangan dikaitkan dengan kejahan oleh small scale business (seperti : penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reperasi kendaraan bermotor dan sebagainya)”. Sumber : Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 390. Sementara itu menurut Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager : “Tindak pidana korporasi ialah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana”. Sumber : Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, (New York : The Free Press, 1980), hal. 1-2, dan 48. 54 Departemen Kehutanan RI, Kamus Kehutanan, Edisi Pertama, (Jakarta : Departemen Kehutanan RI, 1989). 55 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Jakarta : UI.Press, 1983), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. 56 Penelitian ini dilakukan untuk menelaah penelitian-penelitian sebelumnya tentang prinsip-prinsip hukum mengenai pertanggung jawaban korporasi terhadap tindak pidana lingkungan hidup berupa pembakaran hutan.
1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis analisis. Penelitian yuridis analisis
mempunyai sifat penelitian deskriptif analisis, yang mana, penelitian deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis
suatu
peraturan
hukum.
57
Penelitian
ini
mempergunakanmetodeyuridisnormatif,dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 58 Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. 56
Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman di antara para ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni : Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan; Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal; Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif; dan Ronny Hanitjo Soemitro, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal. Sumber : Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14; Soetandyo Wignjosoebroto, Ifdhal Kasim et.al. (Editor), Hukum : Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta : Elsam dan Huma, 2002), hal. 147; C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139; Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-V, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 10. 57 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press,1986), hal.63. 58 Soerjono Soekanto dam Sri Mamudji, Op.cit., hal.14.
Universitas Sumatera Utara
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan sistematis terkait gejala-gejala hukum mengenai pertanggungjawaban koporasi terhadap kebakaran hutan dikaitkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2.
Sumber Data Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasiinformasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang digunakan terdiri dari 59 : 1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dan tindak pidana lingkungan hidup, yaitu : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht); b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
59
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hal.192.
Universitas Sumatera Utara
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; e. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004; f. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagaimana telah dicabut berlakunya dan diganti dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; dan lain sebagainya. g. Putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan pengrusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi. 2. Bahan hukum sekunder, digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang relevan. 3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan kamu kehutanan. Kamus hukum yang digunakan adalah Black’s Law Dictionary. Kamus kehutanan yang digunakan adalah yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan RI (sekarang Kementerian Kehutanan RI).
Universitas Sumatera Utara
3.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitan ini menggunakan teknik library research
(studi dokumen), artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Selain itu, untuk melengkapi data pustaka, juga dilakukan analisis terhadap beberapa penanganan kasus tindak pidana lingkungan hidup berupa pembakaran hutan yang terjadi di Riau dan beberapa daerah lainnya, dan juga data dari Kepolisian RI, serta dari masyarakat sekitar tersebut. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
4.
Analisis Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasalpasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kejahatan pidana korporasi
khususnya
lingkungan
hidup
berupa
pembakaran
hutan
serta
penyalahgunaan perangkat hukum yang telah tersedia, kemudian membuat sistematikan dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi
Universitas Sumatera Utara
dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan jawaban terhadap permasalahan yang dikemukakan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. 60 Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana lingkungan hidup khususnya pembakaran hutan di beberapa wilayah Indonesia. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut apakah 61 : 1. “Hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi;
60
Dilihat dari tujuan analisis, maka ada 2 (dua) hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena. Sumber : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 153. 61 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.
Universitas Sumatera Utara
3. Apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan menggunakan teori baru”.
H.
Sistematika Penulisan Sebagai karya ilmiah, penelitian ini memiliki sistematika yang teratur,
terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan tujuannya. Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengikuti dengan apa yang telah ditetapkan oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang akan diperinci lagi dalam sub bab, adapun kelima bab itu terdiri dari :
BAB I
:
PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang mengapa judul penelitian tersebut diangkat dengan materi yang ditelilti dalam bentuk tesis, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, dilanjutkan dengan kerangka teori dan konsep, metode penelitian, keaslian penelitian serta sistematika penulisan penelitian ini.
BAB II
:
PENGATURAN TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Bab ini berisikan uraian mengenai bagaimana pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup dikaitkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
Universitas Sumatera Utara
bagaimana pula menentukan suatu tindak pidana lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh korporasi.
BABIII
:
PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA KEBAKARAN HUTAN
Pada bab ini diuraikan secara teoritis mengenai penegakan hukum terhadap pertanggung jawaban korporasi atas tindak pidana lingkungan berupa pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB IV
:
PROSES PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI DALAM PENERAPAN HUKUM LINGKUNGAN
Bab ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang ada dalam penelitian ini, khususnya permasalahan nomor 3 (tiga), yaitu tentang hambatan-hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam menegakkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
BAB V
:
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan dan saran dari penulisan penelitian ini. Dimana dalam bab ini ditemukan jawaban atas permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara