BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut WHO, negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang diterima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006). WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif, dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat herbal (WHO, 2003). Kebijaksanaan Obat Nasional (1983) menyatakan bahwa penyediaan obat merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya pembangunan di bidang kesehatan. Obat tradisional yang terbukti berkhasiat dikembangkan dan digunakan dalam upaya kesehatan. Dalam rangka memacu perkembangan obat tradisional tersebut, pemerintah menetapkan bahwa fitofarmaka dapat digunakan dalam sistem pengobatan formal bersama-sama dengan obat kimia. Untuk mencapai hal
1
2
tersebut perlu dilakukan standardisasi guna menjamin mutu produk yang dihasilkan (Ivan, 2002 cit Arini, 2004). Standardisasi dalam kefarmasian adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu bahan baku berupa simplisia maupun ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum (non spesifik) dan parameter standar khusus (spesifik). Pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen untuk tegaknya trilogi “mutu-keamananmanfaat”. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu. Salah satu tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di dalam masyarakat adalah Ficus septica (Burm.f) yang dikenal dengan nama awarawar. Tanaman awar-awar termasuk suku Moraceae. Secara empiris tanaman ini berkhasiat untuk mengatasi infeksi kulit, radang usus buntu, bisul, gigitan ular berbisa dan sesak nafas (Sekti et al, 2008). Penelitian tentang aktivitas farmakologi tanaman awar-awar juga banyak dilaporkan, antara lain sebagai obat anti-kanker yang poten. Sudah banyak penelitian saat ini melihat efek sitotoksik terhadap sel kanker dan sebagai imunomodulator. Ekstrak etanolik daun awar-awar terbukti memberikan efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara T47D dengan IC50 sebesar 13 µg/ml (Nurcahya,
3
2007) dan dapat menghambat proliferasinya (Mubarok et al., 2008). Uji sitotoksik juga telah diujikan pada sel kanker payudara MCF-7 dan terbukti potensial dengan IC50 sebesar 6 µg/ml (Sekti et al., 2008). Ini mengindikasikan bahwa ekstrak tanaman tersebut bersifat poten terhadap sel kanker payudara baik sel MCF-7 dan T47D. Di samping itu, ekstrak etanolik awar-awar juga menunjukkan efek imunomodulator pada tikus yang dipejani doxorubicin (Setyarini et al., 2009). Pada penelitian Nugroho et al (2011 & 2012) telah dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak etanolik daun awar-awar dan dilakukan uji aktivitas antikanker (sitotoksik).
Dengan
menggunakan
metode
bioassay-guided
fractination,
ditemukan fraksi aktif yaitu fraksi larut etil asetat dan menunjukkan penghambatan pertumbuhan sel kanker payudara (sel T47D) yang poten. Lebih jauh dilaporkan, bahwa yang bertanggungjawab sebagai agen antikanker adalah adanya senyawa alkaloid golongan fenantroindolisidin. Alkaloid fenantroindolisidin dalam daun awar-awar memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Aktivitas sitotoksik komponen fenantroindolisidin menunjukkan nilai poten yang tinggi pada cell lines carcinoma KB-VI (multidrugs resistance cell) dan KB-3-1 (sensitive cell). Salah satu komponen fenantroindolisidin berupa 6-Odesmethylantofine dari Tylophora tanakae mempunyai IC50 7 ± 3 nM untuk sel KB-3-1 dan IC50 10 ± 4 nM untuk sel KB-VI (Staerk et al., 2002). Batang awarawar yang terbukti mengandung alkaloid fenantroindolisin mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker nasofaring HONE-1 (human nasopharyngeal carcinoma) dan sel kanker lambung HUGC (human gastric cancer) (Damu et al., 2005). Penelitian Yang et al. (2005) menyebutkan daun tanaman ini memiliki efek
4
anti inflamasi melalui penghambatan inducible nitic oxide synthase (iNOS) dan enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Meskipun telah dilaporkan berbagai aktivitas senyawa yang terkandung dalam tanaman awar-awar, tetapi belum dilakukan standardisasi yang menjamin mutu penggunaan tanaman ini. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam rangka standardisasi simplisia daun awar-awar sebagai bahan baku obat herbal, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman pengawasan mutu simplisia daun awar-awar sebagai bahan baku utama. Sampel daun awar-awar diambil dari tiga lokasi yang berbeda guna menentukan rentang dari berbagai nilai parameter standar baik parameter spesifik maupun non spesifik. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan obat tradisional dari bahan baku daun awar-awar. Dengan demikian penggunaan daun awar-awar sebagai bahan baku obat tradisional dapat lebih diterima terutama pada pengobatan modern. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapa rentang nilai parameter spesifik simplisia daun awar-awar? 2. Berapa rentang nilai parameter non spesifik simplisia daun awar-awar? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujun untuk melakukan standardisasi terhadap simplisia daun awar-awar yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional sehingga didapatkan data nilai parameter standardisasi simplisia daun awar-awar, baik parameter spesifik maupun non spesifik.
5
D. Faedah yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang parameter standar simplisia daun awar-awar yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, sehingga dapat dikembangkan lebih jauh menjadi bahan baku obat herbal terstandar (OHT) atau fitofarmaka. E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Awar-awar (Ficus septica Burm.f)
Gambar 1. Tanaman awar-awar (Ficus septica)
a. Taksonomi Menurut ilmu tumbuh-tumbuhan awar-awar termasuk dalam sistematika sebagai berikut (Van Steenis, 1975): 1) Divisi
: Spermatophyta
2) Sub-divisi
: Angiospermae
3) Kelas
: Dicotyledonae
4) Bangsa
: Urticales
5) Suku
: Moraceae
6) Marga
: Ficus
7) Jenis
: Ficus septica Burm.f
6
8) Sinonim
: Ficus hauili Blanco, Ficus casearia F. v. Mueller ex Benth, Ficus kaukauensis Hayata.
b. Nama daerah Ficus septica dikenal dengan nama Kiciyat (Sunda), Awar-awar (Jawa Tengah, Belitung), Barabar (Madura), Sirih popar (Ambon), Bei, Loloyan (Minahasa); Tobotobo (Makasar); Dausalo (Bugis); Bobulutu (Halmahera Utara); Tagalolo (Ternate) (Hutapea, 1991). c. Morfologi Pohon atau semak tinggi, tegak 1-5 meter. Batang pokok bengkokbengkok, lunak, ranting bulat silindris, berongga, gundul, bergetah bening. Daun penumpu tunggal, besar, sangat runcing, daun tunggal, bertangkai, duduk daun berseling atau berhadapan, bertangkai 2,53 cm. Helaian berbentuk bulat telur atau elips, dengan pangkal membulat, ujung menyempit cukup tumpul, tepi rata, 9-30 x 9-16 cm, dari atas hijau tua mengkilat, dengan banyak bintik-bintik yang pucat, dari bawah hijau muda, sisi kiri kanan tulang daun tengah dengan 6-12 tulang daun samping; kedua belah sisi tulang daun menyolok karena warnanya yang pucat. Bunga majemuk susunan periuk berpasangan, bertangkai pendek, pada pangkalnya dengan 3 daun pelindung, hijau muda atau hijau abu-abu, diameter lebih kurang 1,5 cm, pada beberapa tanaman ada bunga jantan dan bunga gal, pada yang lain bunga betina. Buah tipe periuk, berdaging , hijau-hijau abu-abu, diameter 1,5-2 cm. Waktu berbunga Januari-Desember. Tanaman ini banyak ditemukan di Jawa dan Madura; tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1200 m
7
di atas permukaan laut, banyak ditemukan di tepi jalan, semak belukar dan hutan terbuka (Van Steenis, 1975). d. Kandungan kimia
(1)
(2)
(3)
(5)
(4)
Gambar 2. Contoh beberapa struktur kimia senyawa kandungan Ficus septica. Kandungan alkaloid, Tylophorine (1), Tylocrebine (2), kandungan flavonoid, kaempferitrin (3), genistin (4), kumarin (5) (Anonim, 2010)
Daun
awar-awar
mengandung
senyawa
flavonoid
genistin
dan
kaempferitrin, kumarin, senyawa fenolik, pirimidin dan alkaloid antofin, 10S,13aR-antofin N-oxide, dehidrotylophorin, ficuseptin A, tylophorin, 2Demetoksitylophorin, 14α-Hidroksiisotylopcrebin N-oxide, saponin triterpenoid, sterol (Wu et al, 2002 cit Lanskey et al, 2008, Yang et al, 2005, Damu et al, 2005). Akar mengandung sterol dan polifenol (Hutapea, 1991). Alkaloid yang terkandung pada batang antara lain adalah fenantroindolisidin (ficuseptin B,
8
ficuseptin C, ficuseptin D, 10R,13aR-tylophorin N-oxide, 10R,13aR-tylocrebrin Noxide, 10S,13aR-tylocrebrin N-oxide, 10S,13aR-isotylocrebrin N-oxide, dan 10S,13aS-isotylocrebrin N-oxide (Damu et al, 2005). Daun dan akar mengndung stigmasterol
dan
β-sitosterol.
Daun
dan
batang
mengandung
alkaloid
isotylocrebrin dan tylocrebrin (Wu et al, 2002 cit Lanskey et al, 2008). e. Khasiat dan kegunaan Di dalam pengobatan tradisional, awar-awar sering digunakan untuk berbagai penyakit ringan di masyarakat. Daun digunakan untuk obat penyakit kulit, radang usus buntu, mengatasi bisul, gigitan ular berbisa, dan sesak napas. Akar dapat digunakan untuk penawar racun ikan dan penanggulangan asma. (Sekti et al, 2008) Secara tradisional perasan air dari akar awar-awar dan adas pulowaras dapat digunakan untuk mengobati keracunan ikan, gadung (Dioscorea hispida dennst), dan kepiting. Jika ditumbuk dengan segenggam akar alang-alang dan airnya diperas merupakan obat penyebab muntah yang sangat manjur. Untuk obat bisul dipakai ± 5 gram daun segar awar-awar, ditumbuk sampai lumat, kemudian ditempelkan pada bisul. Getah juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi bengkakbengkak dan kepala pusing, sedangkan pemanfaatan buah dapat digunakan untuk pencahar (Sekti et al, 2008). 2. Obat tradisional Obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
9
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Anonim, 2009). Undang-undang No. 23 Tahun 1992 mendefinisikan obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tanaman, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional baik berupa jamu maupun tanaman obat keluarga masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan semakin meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) (Sinaga, 2009). Obat tradisional awalnya digunakan berdasarkan warisan turun temurun dari nenek moyang secara konvensional. Pemakaiannya pun berdasarkan pengalaman dan kepercayaan secara empiris di kalangan masyarakat. Dalam perkembangannya obat tradisional telah mulai diteliti secara ilmiah guna membuktikan khasiatnya melalui uji praklinik dan uji klinik. Namun kedokteran modern sekarang ini masih terasa kuat peranannya dalam menempatkan obat tradisional sebagai pendamping obat modern. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI: 4-6), menyebutkan obat tradisional dapat dikelompokkan enjadi 3 jenis, yaitu: a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan, mengandung dari
10
berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah: aman, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu. b. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses pembuatan obat herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standardisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi pembuatan ekstrak yang higienis serta uji toksisitas maupun kronis. c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka telah terstandardisasi yang didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit. Menurut Suharmiati dan Handayani (2006: 2-3) dikutip oleh Sinaga (2009), obat tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa herbal terstandar atau fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan
11
lebih sederhana seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup. Bentuk sediaan obat tradisional seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup harus menjamin mutu yang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). 3. Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim, 1995). Dalam Materia Medika Indonesia simplisia dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Anonim, 1995). Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tanaman liar (wild crop) memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, temperatur tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil panen tanaman obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Anonim, 2000) : a. Genetik (bibit) b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim) c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)
12
d. Panen (waktu dan pasca panen) Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis maupun kadarnya, sehingga timbul jenis (spesies) lain yang disebut kultivar (Anonim, 2000). Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan (Anonim, 2000). 4. Ekstraksi Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Anonim, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara yaitu: cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu: maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi dalam empat jenis yaitu: refluks, soxhlet, digesti, infusa, dan dekokta (Anonim, 2000). Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar) (Anonim, 2000). Maserasi berasal dari bahasa latin macerase yang berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan telah tercapai, maka proses difusi segera berakhir (Voigt, 1994).
13
Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulangulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1994). Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Anonim, 2000). 5. Standardisasi Standardisasi adalah serangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saifudin et al., 2011). Standardisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standardisasi obat herbal meliputi dua aspek: a. Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggungjawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia
14
yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif. b. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Misal kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain-lain. 6. Standardisasi obat herbal Standardisasi obat herbal merupakan serangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum kemanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tanaman obat herbal (Saifudin et al., 2011). Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu yaitu faktor biologi dari bahan asal tanaman obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standardisasi terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Anonim, 2000).
15
7. Parameter mutu standard Parameter-paremeter mutu standar terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik. a. Parameter spesifik (Anonim, 2000) Penentuan parameter spesifik meliputi: 1) Identitas: meliputi deskripsi tata nama, nama simplisia dan/atau ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tanaman (sistematika botani), bagian tanaman yang digunakan (rimpang, daun dsb), dan nama Indonesia tanaman. 2) Organoleptis: parameter organoleptik meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana seobjektif mungkin. 3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu: melarutkan simplisia dan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, dan metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. b. Parameter non spesifik (Anonim, 2000) Penentuan parameter non spesifik yaitu penentuan aspek kimia, mikrobiologi, dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas (Saifudin et al., 2011). Parameter non spesifik menurut buku Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat, meliputi:
16
1) Bobot jenis Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume yang diukur pada suhu kamar tertentu (250C) yang menggunakan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya adalah memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari bahan dan kontaminasi (Anonim, 2000). 2) Kadar air Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Anonim, 2000). Syarat umum yang diperbolehkan untuk kadar air di dalam bahan adalah <10% (b/b) (Anonim, 2006). 3) Kadar abu Parameter kadar abu adalah bahan yang dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses bahan baku dibuat. Parameter kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu bahan. Semakin sedikit kadar abu yang terkandung menunjukkan sedikitnya mineral internal (anorganik) dalam bahan (Anonim, 2000).
17
4) Sisa pelarut Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada (Anonim, 2000). Pengujian sisa pelarut berguna dalam penyimpanan ekstrak dan kelayakan ekstrak untuk formulasi (Putri, E et al., 2012). 5) Cemaran mikroba Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis meliputi cemaran bakteri, cemaran kapang khamir, dan cemaran aflatoksin B1. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa bahan tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas bahan dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Anonim, 2000). Syarat umum yang diperbolehkan untuk cemaran bakteri di dalam bahan maksimal adalah 104 Cfu/g. Adapun untuk cemaran kapang khamir yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal adalah 103 Cfu/g (Anonim, 2006). Sedangkan aflatoksin B1 merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergilus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya
karena
dapat
menyebabkan
toksigenik
(menimbulkan
keracunan), mutagenik (mutasi gen), teratogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin), dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) (Rustian, 1993 dalam Arifin, H et al., 2006). Jika bahan positif
18
mengandung aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan koloni berwarna hijau kekuningan sangat cerah (Saifudin et al., 2011). Syarat umum yang diperbolehkan untuk cemaran aflatoksin B1 di dalam bahan maksimal adalah 20 µg/kg (Anonim, 2008). 6) Cemaran residu pestisida Parameter cemaran residu pestisida adalah penentuan kandungan residu golongan pestisida tertentu yang mungkin ditambahkan atau mengkontaminasi bahan pembuat simplisia ataupun ekstrak. Uji cemaran residu pestisida dapat memberikan jaminan bahwa bahan tidak mengandung pestisida melebihi batas yang ditentukan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan. Dalam penelitian ini dilakukan uji cemaran residu pestisida sesuai frekuensi penggunaan jenis pestisida di Indonesia, yaitu multiresidu pestisida karbamat, organoklorin, dan organofosfat. Syarat umum yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal untuk cemaran karbamat adalah 0,10 ppm, organoklorin 0,02 ppm, sedangkan organofosfat 0,05 ppm (Anonim, 2008). 7) Cemaran logam berat Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat dalam suatu bahan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa bahan tidak mengandung logam berat tertentu (Pb, Hg, Cd, dll) melebihi batas yang telah ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Anonim, 2000). Syarat umum yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal untuk
19
cemaran logam berat Pb adalah 10 mg/kg, Hg 0,03 mg/kg, sedangkan Cd 0,3 mg/kg (Anonim, 2006). c. Uji kandungan kimia 1) Pola kromatogram Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran
awal
komposisi
kandungan
kimia
berdasarkan
pola
kromatogram (KLT, KCKT) (Anonim, 2000). 2) Kadar kandungan kimia tertentu Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya yang ditargetkan memiliki efek farmakologis tertentu, maka secara kromatografi instrumental maupun instrumen dan metode lain dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan antara lain adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT, spektrofotometri, atau instrumen lain yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggungjawab pada efek farmakologis tertentu (Anonim, 2000). 8. Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang sesuai. Campuran atau sampel yang akan dipisahkan berupa larutan ditotolkan berupa
20
bercak atau pita di bagian awal. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Senyawa berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985). KLT digunakan secara luas untuk analisis kualitatif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis kuantitatif, dan isolasi skala preparatif (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Kelebihan metode KLT yaitu merupakan metode kromatografi yang paling sederhana dan alat yang diperlukan lebih murah serta memungkinkan melakukan analisis kromatografi pada beberapa cuplikan sekaligus. Selain itu hanya memerlukan sedikit pelarut dan cuplikan (Gritter et al., 1985). Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan dengan Rf atau hRf. Angka Rf berkisar antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985). Nilai Rf dapat berlainan pada percobaan tergantung pada kondisi kejenuhan di dalam bejana kromatografi, aktivitas lapisan adsorben, dan komposisi fase gerak (WHO, 1998). ...........................................................(1) Deteksi senyawa pada pelat KLT dibedakan untuk uji kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan KLT untuk tujuan uji kualitatif dapat menggunakan sinar ultraviolet atau pereaksi kimia atau gabungan keduanya. Kromatografi lapis tipis yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan
21
densitometer sebagai alat pelacak jika cara penotolannya dilakukan secara kuantitatif (Sumarno, 2001). 9. Uraian instrumen a. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) Spektrofotometri
UV-Vis
merupakan
salah
satu
teknik
analisis
Spektrofotometri yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja & Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang kualitatif (Mulja & Suharman, 1995). Spektrofotometer
terdiri
atas
spektrometer
dan
fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko, dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blanko ataupun pembanding (Khopkar, 1990). Cara kerja spektrofotometer dimulai dengan dihasilkannya cahaya monokromatik dari sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian menuju ke kuvet (tempat sampel/sel). Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap oleh larutan akan dibaca oleh detektor yang kemudian menyampaikan ke layar pembaca (Sastrohamidjojo, 1992).
22
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas, ataupun uap. Untuk sampel berupa larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain (Mulja & Suharman, 1995): 1) Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna. 2) Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis. 3) Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi (Khopkar, 1990): 1) Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah lampu wolfram. 2) Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. 3) Sel absorbsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. 4) Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. b. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Spektrofotometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrofotometri adalah Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur
23
secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Arifiani, 2012). Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel (Underwood & Day, 1998). Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang menghasilkan atom-atom gas bebas dalam keadaan dasarnya dan suatu sistem optik untuk pengukuran sinyal (Willard et al., 1998). Pada prinsipnya mekanisme kerja dari SSA ini adalah atom-atom suatu logam diuapkan dalam suatu nyala dan serapannya pada suatu pita radiasi sempit yang dihasilkan oleh suatu lampu katode rongga. Kemudian, dilapisi dengan logam tertentu yang sedang ditentukan, setelah itu diukur (Watson, 2009). Dalam metode SSA, sebagaimana dalam metode spektrometri atomik yang lain, sampel harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses pengubahan ini dikenal dengan istilah atomisasi, pada proses ini sampel diuapkan dan didekomposisi untuk membentuk atom dalam bentuk uap. Secara umum pembentukan atom bebas dalam keadaan gas melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Basset, 1994): 1) Penguapan pelarut, pada tahap ini pelarut akan teruapkan dan meninggalkan residu padat. 2) Penguapan zat padat, zat padat ini terdisosiasi menjadi atom-atom penyusunnya yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.
24
Pada cara emisi, interaksi dengan energi menyebabkan eksitasi atom yang mana keadaan ini tidak berlangsung lama dan akan kembali ke tingkat semula dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Frekwensi radiasi yang dipancarkan bersifat karakterisitik untuk setiap unsur dan intensitasnya sebanding dengan jumlah atom yang tereksitasi dan yang mengalami proses de-eksitasi. Pemberian energi dalam bentuk nyala merupakan salah satu cara untuk eksitasi atom ke tingkat yang lebih tinggi. Cara tersebut dikenal dengan nama spektrofotometri emisi nyala (Gandjar & Rohman, 2007). Pada cara absorbsi, jika pada populasi atom yang berada pada tingkat dasar dilewatkan suatu berkas radiasi maka akan terjadi penyerapan energi radiasi oleh atom-atom tersebut. Frekwensi radiasi yang paling banyak diserap adalah frekwensi radiasi resonan dan bersifat karakteristik untuk setiap unsur. Pengurangan intensitasnya sebanding dengan jumlah atom yang berada pada tingkat dasar (Gandjar & Rohman, 2007). Aplikasi dalam penetapan kadar dengan menggunakan SSA ini, terutama sering digunakan dalam uji batas untuk logam-logam di dalam obat sebelum dimasukkan kedalam formulasi. Sampel biasanya dilarutkan dalam asam nitrat 0,1 M untuk menghindari pembentukan hidroksida logam dari logam berat, yang relatif non volatil dan menekan hasil bacaan SSA (Watson, 2009). F. Keterangan Empiris yang Diharapkan Melalui penelitian ini diharapkan nilai parameter spesifik dan non spesifik simplisia daun awar-awar dapat ditetapkan. Kemudian dapat ditetapkan pula rentang kadar alkaloid total dari simplisia daun awar-awar.