BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Paparan sinar matahari yang kuat dapat menyebabkan eritema dan sunburn (kulit terbakar), sedangkan paparan sinar matahari yang berlebihan dan berlangsung lama menyebabkan degenerasi pada kulit seperti penuaan dini dan beberapa kanker kulit (Hadinoto dkk., 2000). Penyakit kanker kulit dewasa ini cenderung mengalami peningkatan jumlahnya terutama di kawasan Amerika, Australia dan Inggris. WHO memperkirakan pada tahun 2008 di seluruh dunia ada sekitar 2 juta kasus baru setiap tahun untuk kanker kulit non melanoma, sedangkan kanker kulit jenis melanoma sekitar 132.000 kasus baru setiap tahunnya. Center of Diseases Control (CDC) memperkirakan pada tahun 2010 di Amerika Serikat ada sekitar lebih kurang 61.061 orang didiagnosa terkena kanker kulit melanoma dan sekitar 9.154 orang meninggal dunia (WHO, 2008; CDC, 2010; Suharyanto dan Prasetyo, 2004). Di Indonesia penderita kanker kulit terbilang lebih sedikit dibandingkan Amerika, Australia dan Inggris, namun demikian kanker kulit perlu lebih dihindari karena selain menyebabkan kecacatan (merusak penampilan) juga pada stadium lanjut dapat berakibat fatal bagi penderita. Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang khatulistiwa, yang berarti paparan sinar matahari cukup tinggi sepanjang tahun. Efek-efek tersebut tergantung pada intensitas matahari, frekuensi penyinaran, lamanya penyinaran, dan luas permukaan kulit yang
1
2
terpapar sinar matahari (Hadinoto dkk., 2000). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari sinar matahari, yaitu dengan menggunakan tabir surya (American Cancer Society, 2014). Kitosan termasuk biopolimer alam yang merupakan suatu amina polisakarida hasil proses deasetilasi kitin (Bhuvana, 2006). Kitosan dapat membentuk edible film yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit dirobek (Butler dkk., 1996), memiliki aktivitas antioksidan dan juga antimikroba (Friedman dan Juneja, 2010). Kemampuan kitosan dalam membentuk edible film biasanya dimanfaatkan dalam bidang pangan sebagai pengemas untuk mencegah terjadinya oksidasi, autolisis dan pertumbuhan bakteri (No dkk., 2007). Ketika digunakan sebagai pengawet makanan, aktivitas antioksidan kitosan dikaitkan dengan efisiensi khelasinya. Kitosan bertindak sebagai antioksidan sekunder dengan mengikat ion logam yang mencegah terjadinya inisiasi lipid (Guibal, 2004). Aplikasi edible film kitosan dalam bidang kosmetik sebagai tabir surya dan antioksidan belum banyak dilakukan. Adanya edible film ini diharapkan dapat membuat kitosan menjadi tabir surya fisika yang menghalangi sinar matahari menembus permukaan kulit. Faktor eksternal seperti sinar matahari, kelembaban udara dan suhu dapat mempengaruhi kadar air di permukaan kulit sehingga kulit menjadi kering, kasar, kendur dan berkerut yang menjadi tanda terjadinya penuaan dini (Jusuf, 2005). Kitosan yang memberi kelembaban kulit (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2003) dan kemampuan nya membentuk edible film yang akan mencegah berkurangnya kadar air pada permukaan kulit dapat dijadikan solusi untuk mencegah penuaan dini. Peremajaan kulit adalah salah satu upaya untuk
3
membuat kulit tampak sehat dan muda. Salah satu cara meremajakan kulit adalah dengan pemakaian sediaan topikal yang mengandung antioksidan (Jusuf, 2005). Seiring dengan perkembangan teknologi, telah ditemukan suatu sistem nanoteknologi yang dapat diterapkan di berbagai industri termasuk dalam bidang kosmetik. Kosmetik dalam bentuk nanopartikel memiliki kelebihan yaitu meningkatkan efektivitas tabir surya dan daya lekatnya pada permukaan kulit (Padamwar dan Pokharkar, 2006). Bentuk nanopartikel juga memberikan hasil formulasi tabir surya yang transparan, sehingga dapat diterima dengan lebih baik sebagai kosmetik (Newmann dkk., 2009). Umumnya sediaan tabir surya dan antioksidan terdapat dalam produk yang terpisah. Pada penelitian ini, akan dibuat sediaan krim o/w nanokitosan yang bermanfaat sebagai tabir surya dan antioksidan sehingga lebih praktis digunakan. Krim didefinisikan sebagai sediaan semipadat, yang terbuat dari campuran dua fase (minyak dan air) yang tidak dapat bercampur, yang untuk pencampurannya membutuhkan emulgator yang sesuai dan ditujukan untuk aplikasi pada kulit (Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008). Metode Simplex Lattice Design (SLD) digunakan untuk mendapatkan formula optimum dari krim o/w nanokitosan. Uji aktivitas tabir surya dan antioksidan secara in vitro dilakukan untuk memastikan potensi kitosan sebagai tabir surya dan antioksidan.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah nanokitosan dapat diformulasikan dalam sediaan krim o/w?
4
2.
Apakah krim o/w nanokitosan memiliki sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik?
3.
Apakah krim o/w nanokitosan memiliki aktivitas sebagai tabir surya dan antioksidan dalam uji in vitro?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1.
Membuat sediaan krim o/w nanokitosan.
2.
Mengetahui sifat fisik dan stabilitas fisik krim o/w nanokitosan.
3.
Mengetahui aktivitas krim o/w nanokitosan sebagai tabir surya dan antioksidan dalam uji in vitro.
D. Tinjauan Pustaka 1. Kulit Kulit merupakan organ terbesar tubuh manusia. Kulit mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan yaitu sebagai barrier terhadap serangan fisika dan kimia. Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai thermostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula dalam mengatur tekanan darah (Lachman dkk, 1994). Secara umum, kulit tersusun dari beberapa jaringan tubuh seperti pembuluh darah, jaringan ikat, jaringan lemak, organ peraba dan syaraf, serta beberapa kelenjar tubuh lainnya. Permukaan terluar kulit terdiri dari tiga lapisan,
5
yaitu epidermis, lapisan dermis, dan subkutan. Sebagai lapisan terluar kulit, epidermis berperan penting dalam melindungi kulit dari pengaruh lingkungan eksternal, seperti dehidrasi, radiasi sinar UV, dan pengaruh fisik lainnya. Lapisan dermis yang terletak di bawah lapisan epidermis tersusun dari sejumlah pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf, dan beberapa bagian kulit lainnya seperti kantung rambut, kelenjar sebaceous, dan kelenjar keringat (Mitsui, 1997). Lapisan penyusun kulit paling dasar adalah lapisan subkutan. Lapisan tersebut merupakan jaringan lemak paling dalam yang terletak di bawah lapisan dermis. Fungsi utamanya adalah mengatur suhu pada kulit dan sebagai bantalan lapisanlapisan di atasnya, sehingga dapat bergerak secara fleksibel (Schottelius dan Schottelius, 1973). Kulit manusia secara alami memiliki sistem pertahanan terhadap paparan sinar matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah dengan penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Semakin gelap warna kulit (tipe kulit yang dimiliki ras Asia dan Afrika), maka akan semakin banyak pigmen melanin yang dimiliki, sehingga semakin besar pula perlindungan alami dalam kulit. Mekanisme perlindungan alami ini dapat ditembus oleh tingkat radiasi sinar UV yang tinggi, sehingga kulit tetap membutuhkan perlindungan tambahan (Lestari, 2011). 2. Sinar Matahari Paparan sinar matahari dapat memberikan efek menguntungkan maupun merugikan bagi manusia yang tergantung pada panjang gelombang sinar matahari, frekuensi paparan sinar matahari, intensitas sinar matahari yang dipaparkan, dan sensitivitas masing-masing individu. Radiasi sinar matahari terdiri dari berbagai
6
macam panjang gelombang mulai dari sinar inframerah, sinar tampak, dan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet terbagi dalam tiga jenis, yaitu UV A (320-400 nm), UV B (290-320 nm), dan UV C (200-290 nm) (Wilkinson dan Moore, 1982). Beberapa efek merugikan yang ditimbulkan sinar UV antara lain : a. Tanning Pigmentasi terjadi karena adanya paparan sinar ultraviolet pada panjang gelombang tertentu. Radiasi terebut akan mengaktifkan sel melanosit dan meningkatkan kandungan melanin pada sel-sel di membran basal, sehingga menyebabkan pigmentasi (Saul dan Robert, 1972). Mekanismenya dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1) Immediate tanning Mekanisme immediate tanning diawali oleh radiasi sinar UV dengan energi yang tidak dapat menyebabkan eritema dan melanosis, yaitu pada 300-660 nm (UV A). Dalam waktu yang singkat, radiasi tersebut menyebabkan kulit menjadi gelap dan pucat. Pigmentasi maksimum muncul 1 jam setelah terpapar sinar dan akan kembali normal 2-3 jam kemudian (Saul dan Robert, 1972). 2) Delayed tanning Proses pigmentasi tipe delayed tanning disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet pada rentang panjang gelombang 290-320 nm (UV B) atau dikenal dengan erythemogenic radiation. Radiasi tersebut menyebabkan granul melanin yang terletak di lapisan basal pada jaringan epidermis teroksidasi dan mulai bermigrasi menuju permukaan kulit. Akibatnya, warna kulit menjadi lebih gelap 1 jam kemudian dan mencapai pigmentasi maksimum 10 jam setelah terpapar sinar
7
UV. Keadaan kulit akan kembali normal 4-8 hari kemudian (Wilkinson dan Moore, 1982; Saul dan Robert, 1972). 3) True tanning (melanogenesis) Melanogenesis disebabkan oleh sinar UV B. Sinar UV B akan mengaktifkan enzim tirosinase dan menginisiasi pembentukan melanin. Pigmentasi muncul dua hari setelah terpapar sinar ultraviolet dan mencapai pigmentasi maksimum tiga hari kemudian (Fitrie, 2004). b. Eritema Paparan sinar ultraviolet pada panjang gelombang 290-320 nm memicu reaksi inflamasi dan menyebabkan warna kulit menjadi merah atau eritema. Eritema muncul 2-3 jam setelah terpapar sinar matahari dan mencapai intensitas maksimum 10-12 jam kemudian dan tetap merah 24 jam kemudian. Tahapan eritema dibagi dalam tiga fase, yaitu memerahnya kulit, pengerutan kulit, dan pelepasan sel epidermis (Zubaidah, 1998; Ekowati, 1995). c. Kanker kulit Radiasi sinar UV-B pada tingkat seluler (membran, protein, DNA) secara terus-menerus dapat merusak DNA dan berkembang menjadi kanker kulit. Jenis kanker kulit dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Basal Cell Carcinoma (BCC), Squamos Cell Carcinoma (SCC), dan Cutaneous Malignant Melanoma (CMM). Gejala BCC ditandai dengan timbulnya benjolan transparan yang terletak di tepi seperti mutiara. Bagian tengah benjolan tersebut mencekung dan halus. Kanker BCC paling sering ditemukan di daerah wajah. Kanker SCC terjadi pada sel-sel skuamosa bagian epidermis kulit dan dapat bertumbuh dan berkembang lebih
8
cepat dibandingkan sel basal dan bermetastase sekitar 2%. Baik BCC maupun SCC dapat disembuhkan hingga 98%, sedangkan CMM merupakan jenis tumor ganas yang berkembang dalam sel melanosit di lapisan epidermis (Bunawas, 1999). 3. Nanopartikel Nanopartikel adalah struktur koloidal dengan rentang ukuran 10-1000 nm. Nanopartikel dibagi menjadi dua kategori yaitu, nanocapsule dan nonosphere. Nanocapsule merupakan sistem reservoir yang terdiri atas suatu selaput polimer yang melingkupi satu inti. Nanospheres dibuat dalam bentuk sistem matriks dan seluruh partikel obat terdispersi di dalam polimer (Rieux dkk., 2006). Partikel dengan ukuran nano dapat melewati membran dengan mudah karena ukuran kapiler lebih besar. Kelebihan nanopartikel lainnya adalah permukaan nanopartikel yang dapat dimodifikasi sehingga dapat spesifik pada ligan tertentu. Nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode, salah satunya dengan dispersi polimer. Polimer yang digunakan bersifat biodegradable yaitu mudah didegradasi oleh tubuh. Salah satu contohnya adalah kitosan (Bisht dkk., 2007). Nanopartikel dapat disiapkan dari berbagai bahan seperti protein, polisakarida, dan polimer sintetik. Ada beberapa metode dalam pembuatan nanopartikel diantaranya : 1) Pembuatan dispersi polimer; 2) Metode evaporasi pelarut; 3) Metode polimerasi; 4) Emulsion cross-linked nanopartikel; 5) Presipitasi atau koaservasi; 6) Metode ionik gelasi (Millotti dan Bernkopschnurch, 2009).
9
Keuntungan penggunaan nanopartikel dalam sediaan kosmetik yaitu 1) memperbaiki stabilitas bahan-bahan penyusun kosmetik seperti asam lemak jenuh, vitamin dan antioksidan 2) meningkatkan penetrasi bahan-bahan tertentu seperti vitamin dan antioksidan 3) meningkatkan efektifitas dan waktu lekat tabir surya pada permukaan kulit 4) menghasilkan produk kosmetik yang lebih memuaskan contohnya sunscreen dengan ukuran partikel mineral yang lebih kecil tidak meninggalkan bekas putih selama digunakan (Padamwar dan Pokharkar, 2006). 4. Kitosan Kitosan adalah polisakarida turunan kitin yang terdiri dari ikatan Dglukosamin dan N-asetil-D-glukosamin
yang berikatan (1,4)-β-glikosidik
(Wiyarsi, 2010). Kitosan (Gambar 1) mempunyai rantai tidak linier dan mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai [poli (2-amina-2deoksi-β-(1,4)-D-glukopiranosa] (Fernandez, 2004).
Gambar 1. Struktur kitin dan kitosan
Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentasi gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan semakin sedikit sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya semakin kuat. Sebagai
10
polimer yang banyak ditemukan di alam, kitosan mempunyai derajat N-deasetilasi 49-98% (Hejazi dan Amiji, 2003). Kitosan termasuk basa lemah, tidak larut dalam air dan pelarut organik, dan larut dalam air asam (pH < 6,5). Unit glokosamin kitosan pada pH tersebut dikonversikan ke dalam bentuk amina terprotonasi (R-NH3+) atau disebut ammonium kuartener, sehingga dapat terlarut. Kitosan terendapkan dalam larutan alkali atau dengan polianion dan membentuk gel pada pH yang lebih rendah (Kunjachan dkk., 2009). Kitosan dalam pelarut asam, umumnya pada pH 4-6, gugus bebas diprotonasi dan membuat molekul kitosan menjadi mudah larut. Pasangan bebas pada gugus amina primer bersifat nukleofilik yang dapat menjadi akseptor proton, sehingga gugus amin ini dapat terprotonasi (Aranaz dkk., 2009). Berdasarkan ikatan polimer yang dimilikinya, kitosan tersedia dalam berbagai bobot molekul yaitu kitosan rantai pendek, rantai sedang dan rantai panjang. Ukuran rantai ini mempengaruhi kelarutan dan viskositas. Kitosan rantai pendek lebih mudah larut dalam pelarut asam organik seperti asam asetat, asam sitrat dan asam tetrat (Mao dkk., 2009). Pada tahun 1976, Gross, Konrad dan Mager telah menemukan bahwa beberapa garam-garam kitosan sangat efektif digunakan dalam bahan perawatan rambut, kulit dan basa serta dalam bahan yang mengandung deterjen yang bermuatan negatif. Sifat ini menjadikan adanya batasan penggunaan kitosan dalam bidang kosmetik, namun beberapa penelitian tentang sintesis kitosan telah menghasilkan turunan kitosan yang sesuai dengan deterjen bermuatan negatif sehingga dapat digunakan untuk semua jenis kosmetik (Skjak-Braek dkk., 1989).
11
Kitosan
dapat
mempengaruhi
kelembaban
kulit
serta
memberi
perlindungan terhadap kerusakan mekanik serta efek anti elektrostatik pada rambut, Kitosan dengan berat molekul tinggi akan meningkatkan resistensi air terhadap emulsi, sehingga memberi perlindungan terhadap iradiasi dan meningkatkan kemampuan membentuk film. Adanya lapisan film ini akan mencegah berkurangnya kadar air pada permukaan kulit dan menghalangi sinar UV menembus permukaan kulit. Krim kosmetik yang ditambahkan 1,0% kitosan akan meningkatkan bioaktivasi unsur-unsur lipofilik seperti vitamin, sehingga dapat meresap lebih baik pada permukaan kulit. Kapasitas pembentukan film dan sifat
antiseptik kitosan melindungi
dari kemungkinan infeksi
mikroba
(Synowiecki dan Al-Khateeb, 2003). 5. Tabir Surya Tabir surya merupkan sediaan kosmetik yang digunakan pada permukaan kulit untuk menahan pengaruh buruk dari sinar matahari. Zat-zat yang dapat bersifat sebagai screening agent (tabir surya) adalah zat-zat yang dapat menyerap sinar matahari dengan panjang gelombang 2800-32000A. Zat-zat tersebut harus mempunyai bau yang enak dan dalam konsentrasi yang digunakan tidak boleh memberi warna pada kulit (Hamdani, 2011). Menurut Mitsui (1997), persyaratan paling penting untuk penjerap UV pada kosmetik seperti tabir surya adalah : a.
Non toksik, dimana dengan keamanan tinggi dan tidak menyebabkan kerusakan kulit
b.
Absorbansi UV tinggi pada range panjang gelombang yang lebar
c.
Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh sinar UV dan panas
12
d.
Kompatibilitas bagus dengan sediaan material kosmetik Tabir surya berguna dalam melindungi kulit dari sinar UV A dan sinar UV
B yang dapat membahayakan kulit. Ada dua macam jenis tabir surya, yaitu: 1.
Tabir surya kimia Tabir surya kimia bekerja dengan cara menyerap sinar matahari dan
melalui proses kimiawi merubahnya menjadi panas (Iskandar, 2008). Tabir surya jenis ini mengandung senyawa kimia yang memiliki gugus kromofor dengan suatu gugus karbonil (Wilkinson dan Moore, 1982). 2.
Tabir surya fisika Tabir surya fisika bekerja dengan cara memantulkan cahaya matahari
(Iskandar, 2008). Tabir surya fisika mengandung senyawa yang tidak tembus cahaya dan memantulkan kebanyakan radiasi UV (Wilkinson dan Moore, 1982). Efektivitas suatu tabir surya digambarkan dengan parameter Sun Protection Factor (SPF) dan UV A Protection Factor (UV A-PF). Tahun 1962, Frans Greiter mengenalkan konsep SPF sebagai standar internasional dalam menggambarkan efektivitas suatu sediaan tabir surya yang diaplikasikan pada kulit dengan dosis 2 mg/cm2. Konsep inilah yang kini dijadikan standar uji efektivitas tabir surya oleh Food and Drug Administration (FDA) (Osterwalder dan Herzog, 2009). SPF menggambarkan kemampuan suatu tabir surya dalam memberikan perlindungan terhadap radiasi sinar UV B. Nilai SPF diperoleh dari perbandingan nilai Minimal Erythema Dose (MED) pada kulit terlindungi tabir surya dengan nilai MED pada kulit yang tidak terlindungi tabir surya (Wilkinson dan Moore, 1982).
13
Parameter UV-A PF mengindikasikan kemampuan suatu tabir surya dalam memberikan proteksi terhadap radiasi UV pada panjang gelombang 320-400 nm. Hal tersebut didasarkan pada nilai Persistent Pigment Darkening (PPD) effect. Mulanya, metode tersebut merupakan standar yang digunakan di Jepang, namun kini diaplikasikan di Eropa dan Amerika. Perhitungan nilai UV-A PF adalah dengan membandingkan energi yang diperlukan untuk menimbulkan minimal pigmentation pada kulit terlindungi tabir surya dengan kulit yang tidak terlindungi tabir surya (Osterwalder dan Herzog, 2009). Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA yang mengelompokkan keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wilkinson dan Moore, 1982) : 1.
Tabir surya dengan nilai SPF 2-4, memberikan proteksi minimal
2.
Tabir surya dengan nilai SPF 4-6, memberikan proteksi sedang
3.
Tabir surya dengan nilai SPF 6-8, memberikan proteksi ekstra
4.
Tabir surya dengan nilai SPF 8-15, memberikan proteksi maksimal
5.
Tabir surya dengan nilai SPF ≥ 15, memberikan proteksi ultra
6. Antioksidan Radikal bebas dan reaksi oksidasi dapat dihambat oleh suatu zat yang disebut antioksidan. Zat ini dapat menunda, memperlambat, dan mencegah terjadinya proses oksidasi. Antioksidan adalah zat yang digunakan untuk mengawetkan bahan makanan dengan jalan menunda kerusakan, ketengikan atau perubahan warna sebagai akibat oksidasi (Winarno, 1982). Salah satu organ tubuh yang rentan terhadap adanya radikal bebas adalah kulit. Radikal bebas menyebabkan kulit menjadi keriput yang disebabkan
14
hilangnya ketegangan kulit. Enzim SOD (Superoxyde dismutase), glutation peroksidase, dan konsumsi nutrisi yang bersifat antioksidan seperti vitamin E dan C, selenium, dan jenis karotenoid dapat membantu tubuh melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas (Pangkahila, 2007). Di dalam sistem biologi sudah terdapat antioksidan alami sebagai fungsi pertahanan, diantaranya 1) enzim (superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase) 2) molekul besar (albumin, seruplasmin, ferritin, dan protein lain) 3) molekul kecil (asam askorbat, glutation, asam urat, tokoferol, karotenoid dan polifenol) 4) beberapa hormon seperti esterogen, angiostensin, melatonin dan sebagainya (Prior dkk., 2005). Senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dengan mekanisme transfer atom hidrogen atau transfer satu elektron dan kemudian menstabilkannya (Prior dkk., 2005). Suatu antioksidan memiliki aktivitas dengan cara sebagai berikut, yaitu menurunkan konsentrasi oksigen, mencegah inisiasi rantai pertama dengan menangkap radikal penginisiasi seperti radikal hidroksil, mengikat ion logam dalam bentuk yang akan menurunkan spesies penginisiasi seperti radikal hidroksil dan tidak mendekomposisi peroksida lipid menjadi radikal peroksi atau alkoksi (Halliwell dan Gutteridge, 2000). 2,2-Diphenyl-1-Pikryhydrazyl (DPPH) adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik, berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat pada λ maksimum 517 nm (Pokorny dkk., 2001). Elektron atau radikal hidrogen akan diterima oleh senyawa ini dan membentuk molekul diamagnet yang stabil.
15
Karakter radikal bebas dari DPPH akan dinetralkan oleh interaksi antioksidan dengan DPPH yang baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dari ungu gelap dan berubah menjadi kuning terang (Suratmo, 2009). Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri. 7. Krim Krim didefinisikan sebagai sediaan semipadat, yang terbuat dari campuran dua fase (minyak dan air) yang tidak dapat bercampur, yang untuk pencampurannya membutuhkan emulgator yang sesuai dan ditujukan untuk aplikasi pada kulit (Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008). Krim memiliki aliran pseudoplastik ketika digunakan (Siegel dan Ecanow, 1984), umumnya krim dibuat dengan melelehkan komponen-komponen secara bersamaan. Apabila zat padat tidak larut dan akan disuspensikan, maka cara yang akan dilakukan adalah melalui proses penggerusan, sehingga zat padat tersebut dapat benar-benar terdispersi. Sifat umum krim adalah mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama sebelum sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan (Lachman dkk., 1994). Krim tipe minyak dalam air (o/w) merupakan krim dengan fase terdispersi minyak dan fase pendispersi air. Adanya zat-zat polar yang bersifat lemak seperti setil alkohol dan gliseril monostearat cenderung menstabilkan emulsi o/w dalam sediaan semipadat (Lachman dkk., 1994). Fase minyak dalam air di bidang kosmetik lebih nyaman dan mudah diterima oleh penggunanya karena tidak lengket dan mudah dicuci dengan air. Keuntungan lain krim dengan fase minyak
16
dalam air adalah sebagai pelembab kulit sehingga mencegah timbulnya dehidrasi di stratum korneum, sebagai pelicin, atau pembersih (cleansing). Sebaliknya, penggunaan krim fase air dalam minyak sangat terbatas, kecuali untuk obat yang larut dalam lemak (Ansel, 1989). Sifat Fisik Krim a.
Organoleptis Organoleptis yang meliputi warna, bau, dan konsistensi dapat digunakan
sebagai indikator kualitatif ketidakstabilan fisik suatu sediaan yang bersifat subjektif (Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008). b.
Viskositas Viskositas merupakan besaran yang menyatakan tahanan dari cairan untuk
mengalir. Viskositas juga sebagai perbandingan antara shear stress dan shear rate yang dinyatakan dalam persamaan (Radebaugh,1996): Ƞ = σ / γ ...............................................................................................
(1)
Keterangan : ƞ = viskositas σ = shear stress γ = shear rate Viskositas dipengaruhi oleh temperatur, dimana viskositas suatu cairan akan menurun bila temperatur dinaikkan (Martin dkk., 1993). Penelitian shelf life emulsi terhadap viskositas berhubungan dengan perubahan
viskositas
selama
penyimpanan.
Penurunan
viskositas
pada
penyimpanan berhubungan dengan kenaikan ukuran tetesan karena terjadi koalesen dan menunjukkan emulsi yang kurang stabil (Martin dkk., 1993).
17
c.
Daya sebar Salah satu syarat sediaan krim ialah mudah dioleskan pada kulit tanpa
membutuhkan takaran yang terlalu besar untuk merata. Kemudahan dalam pengolesan tersebut dapat diketahui melalui uji daya sebar krim. Sejumlah tertentu krim diletakkan di pusat antara dua lempeng gelas, lempeng sebelah atas dalam interval waktu tertentu dibebani oleh anak timbangan. Luas penyebaran yang dihasilkan dengan naiknya pembebanan menggambarkan suatu karakteristik untuk daya sebar (Voight, 1995). d.
Daya lekat Krim harus dapat melekat pada kulit dalam waktu yang cukup untuk
memungkinkan terjadinya kontak dengan kulit. Waktu kontak yang cukup akan memungkinkan krim bekerja efektif terhadap kulit sehingga kegunaan krim dapat dirasakan sebagaimana seharusnya (Betageri dan Prabhu, 2002). e.
Rasio volume pemisahan Rasio volume pemisahan merupakan parameter yang penting dalam
mengevaluasi
kestabilan
emulsi.
Rasio
volume
pemisahan
(F)
adalah
perbandingan antara volume emulsi yang masih homogen dengan volume emulsi mula-mula. Bila luas penampang wadah yang digunakan sama maka rasio volume pemisahan dapat dinyatakan sebagai perbandingan tinggi emulsi mula-mula dengan tinggi emulsi yang masih homogen pada waktu tertentu, dinyatakan dalam persamaan (Mollet dan Grubenmann, 2001): F
=
Keterangan : F = Vu =
............................................................................ rasio volume pemisahan volume emulsi yang homogen setelah waktu tertentu
(2)
18
Vo L Hu Ho
= = = =
volume emulsi mula-mula luas penampang wadah yang digunakan tinggi emulsi yang masih homogen setelah waktu tertentu tinggi emulsi mula-mula
Semakin besar nilai F (semakin mendekati 1) maka semakin baik stabilitasnya (Mollet dan Grubenmann, 2001). f.
Tipe emulsi Inversi dapat menyebabkan koalesen, maka dapat dianggap sumber
ketidakstabilan emulsi (Anief, 1999). Suatu emulsi dikatakan mengalami inversi jika emulsi o/w (minyak dalam air) berubah menjadi w/o (air dalam minyak), atau sebaliknya (Swarbrick dkk., 2000). Atas dasar tersebut, maka tipe emulsi menjadi parameter apakah krim yang dihasilkan stabil selama jangka waktu tertentu. 8. Simplex Lattice Design (SLD) Simplex lattice design merupakan suatu metode yang digunakan untuk menentukan formula optimum pada suatu formulasi dengan menggunakan campuran bahan. Persyaratan yang dipenuhi dalam simplex lattice design adalah jumlah total variabel harus konstan (satu bagian), dan yang dikombinasikan merupakan variabel bebas. Menurut
Bolton
(1997),
persamaan
matematika
yang
dapat
menggambarkan simplex lattice design adalah linear, quadratic, dan special cubic model. Bentuk persamaan tersebut yaitu : a.
Linear model Y = β1X1+β2X2+β3X3
b.
Quadratic model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23X2X3
19
c.
Special cubic model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23X2X3+ β123X1X2X3
Keterangan : X1, X2, X3 = fraksi campuran homogen β1β2β3 = koefisien regresi Implementasi dari simplex lattice design dengan cara menyiapkan bermacam-macam formulasi yang mengandung kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Kombinasi disiapkan dengan satu cara yang mudah dan efisien, sehingga data percobaan dapat digunakan untuk memprediksi respon yang berada dalam simplex (simplex space). Hasil eksperimen digunakan untuk membuat persamaan polynomial (simplex) dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respons (Bolton, 1997). Optimasi formula menggunakan variasi tiga komponen digambarkan secara dua dimensi yang memiliki tiga sudut membentuk segitiga sama sisi. Tiga komponen yang divariasi disimbolkan dengan huruf X1, X2, dan X3. Setiap sudut dari segitiga menggambarkan komponen murni. Variasi tiga komponen campuran dapat ditunjukkan pada Tabel I. Tabel I. Formula variasi tiga komponen Formula
X1
X2
X3
X1
1,00
0,00
0,00
X2
0,00
1,00
0,00
X3
0,00
0,00
1,00
X1X2
0,50
0,50
0,00
X1X3
0,50
0,00
0,50
X2X3
0,00
0,50
0,50
X1X2X3
0,33
0,33
0,33
20
9. Spektrofotometri Ultraviolet-Visible Spektrofotometri UV-Visible adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang cahaya yang diserap. Sinar ultraviolet dan sinar tampak akan menyebabkan elektron tereksitasi ke orbital yang lebih tinggi. Sistem yang bertanggungjawab terhadap absorpsi cahaya disebut kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Rohman dan Gandjar, 2007). Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama, dan absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaan :
21
A = έ.b.C ............................................................................................ (3) Keterangan : A = absorbansi larutan έ = absorptivitas molar b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi larutan Grafik ini disebut dengan plot hukum Lambert-Beer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang diamati (Rohman dan Gandjar, 2007). 10. Monografi Bahan Bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : a.
Asam Stearat Asam stearat dalam sediaan topikal digunakan sebagai bahan pengemulsi.
Asam stearat dalam pembuatan basis krim netral (nonionik) dinetralisasi dengan penambahan alkali. Asam stearat mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform dan eter, larut dalam etanol, heksan dan propilenglikol, praktis tidak larut dalam air. Umumnya asam sterat tidak menyebabkan toksik ataupun iritasi. Titik lelehnya
540C. Konsentrasi yang umum digunakan dalam sediaan krim 1-
20% (Rowe dkk., 2006). b.
Setil Alkohol Setil alkohol digunakan sebagai bahan pengemulsi dan bahan pengeras
dalam sediaan topikal (krim). Setil alkohol dapat meningkatkan viskositas krim dan meningkatkan kestabilan sediaan. Konsentrasi umum setil alkohol sebagai bahan pengeras adalah 2-10% dan sebagai bahan pengemulsi digunakan konsentrasi 2-5%. Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol 95% dan eter,
22
kelarutannya akan meningkat jika suhu dinaikkan. Titik lelehnya 45-500C (Rowe dkk., 2006). c.
Trietanolamin (TEA) Trietanolamin (TEA) dalam sediaan topikal dalam farmasetika digunakan
secara luas dalam pembuatan emulsi. Trietanolamin digunakan sebagai bahan pengemulsi anionik untuk menghasilkan produk emulsi minyak-air yang homogen dan stabil. Trietanolamin sangat higroskopis. Titik leleh 20-210C. Konsentrasi yang umum digunakan sebagai emulgator 2-4% (Rowe dkk., 2006). d.
Parafin cair Parafin cair dalam sediaan topikal digunakan untuk meningkatkan titik
leleh atau meningkatkan pengerasan (bahan pengeras). Parafin cair larut dalam kloroform, eter, campuran minyak, sedikit larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam etanol 95%, aseton, air. Parafin tidak menyebabkan toksik maupun iritasi (Rowe dkk., 2006). e.
Gliserin Gliserin biasanya digunakan sebagai emolien, humektan, dan juga bahan
pengawet dalam sediaan formulasi topikal dan kosmetik. Fungsi gliserin sebagai humektan adalah untuk mempertahankan tingkat kandungan air dalam produk, dengan mengurangi penguapan air selama pemakaian dan pembentukan kerak dalam wadah yang dikemas dapat dihindari. Gliserin sedikit larut dalam aseton, tidak larut dalam benzena dan kloroform, dapat bercampur dengan etanol dan metanol, serta tidak larut dalam minyak (Rowe dkk., 2006).
23
f.
Metil paraben Metil paraben dalam sediaan farmasi, produk makanan dan terutama dalam
kosmetik biasanya digunakan sebagai bahan pengawet. Metil paraben dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan jenis paraben lain. Konsentrasi yang umum digunakan dalam sediaan topikal adalah 0,02-0,3%. Kelarutannya dalam etanol 95% (1:3) dan eter (1:10) (Rowe dkk., 2006). g.
Propil Paraben Propil paraben digunakan sebagai bahan pengawet dalam sediaan
kosmetik, makanan dan produk farmasi. Penggunaan kombinasi paraben dapat meningkatkan aktivitas antimikroba. Konsentrasi propil paraben yang umum digunakan dalam sediaan topikal adalah 0,01-0,6%. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan eter, mudah larut dalam etanol dan methanol, sangat sedikit larut dalam air (Rowe dkk., 2006). h.
Akuades Akuades berupa cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau (Anonim,
1995).
E. Landasan Teori Sediaan tabir surya dan antioksidan menjadi pilihan masyarakat untuk meminimalisir efek berbahaya dari radiasi sinar ultraviolet. Umumnya, sediaan tabir surya dan antioksidan yang digunakan diformulasikan dalam bentuk krim. Krim merupakan sistem emulsi yang mudah dioleskan, memiliki penampilan jernih, dengan konsistensi dan sifat reologis tergantung pada jenis emulsi minyak
24
dalam air atau air dalam minyak, serta tergantung sifat dan konsentrasi zat padat yang terkandung dalam formula. Jenis krim yang banyak digunakan adalah krim o/w karena dapat digunakan pada wilayah kulit yang luas yang disebabkan bagian minyaknya yang kecil. Kelebihan krim o/w adalah lebih lembut, mudah diaplikasikan pada kulit, mudah dicuci dan dihilangkan dari permukaan kulit (Saifullah dan Kuswahyuning, 2008). Kitosan yang diformulasikan dalam sediaan gel efektif sebagai penutup luka. Gel kitosan bersifat biocompatible, biodegradable, hemostatic dan menyembuhkan luka, yang paling utama ialah mempercepat penyembuhan luka (Ishihara dkk., 2002). Gel kitosan juga melekat kuat pada kulit (Celebi dkk., 1993). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jridi dkk. (2014) kitosan dapat membentuk edible film yang memililiki aktivitas antioksidan dan antimikroba. Edible film yang dihasilkan bersifat transparan, lentur, dan tidak mudah ditembus air dan udara. Aktivitas antioksidan yang diperoleh dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH sebesar 1,24 mmol vit C equiv/g film. Kemampuan kitosan dalam membentuk edible film dapat dijadikan sebagai tabir surya fisika yang akan menghalangi dan memantulkan cahaya matahari menembus permukaan kulit. Selain itu, terbentuknya edible film akan mengurangi kecepatan oksidasi suatu senyawa yaitu dengan mencegah adanya kontak dengan oksigen (Georgantelis dkk., 2007). Aktivitas antioksidan kitosan dikaitkan dengan efisiensi khelasinya. Kitosan bertindak sebagai antioksidan sekunder dengan mengikat ion logam yang mencegah terjadinya inisiasi lipid (Guibal, 2004).
25
F. Hipotesis 1.
Nanokitosan dapat diformulasikan dalam sediaan krim o/w.
2.
Krim o/w nanokitosan yang dihasilkan memiliki sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik.
3.
Krim o/w nanokitosan memiliki aktivitas sebagai tabir surya dan antioksidan dalam uji in vitro.