BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Selain merupakan sumber energi bagi kelangsungan hidup semua makhluk hidup, ternyata sinar matahari juga memberikan efek merugikan antara lain menyebabkan terbakarnya sel-sel kulit manusia, pigmentasi, dan penuaan diri pada paparan berlebihan (Widji dkk., 2005). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari sinar matahari, yaitu dengan menggunakan tabir surya (American Cancer Society, 2014). Sediaan tabir surya dimaksudkan untuk memantulkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari terutama pada daerah emisi gelombang ultraviolet dan inframerah, sehingga nantinya dapat mencegah gangguan kulit akibat paparan sinar matahari. Secara alami, tubuh sebenarnya telah memiliki sistem pertahanan seperti lapisan tanduk, melanin, dan antioksidan. Tetapi pada tingkat radiasi tinggi dan pemaparan yang terus menerus, antioksidan pada kulit berkurang. Paparan sinar matahari dapat menyebabkan radikal bebas di dalam tubuh meningkat, sehingga diperlukan antioksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat mencegah sel dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Dengan adanya antioksidan pada sediaan tabir surya, dapat memberikan efek perlindungan kulit yang lebih baik. Salah satu tanaman yang memiliki antioksidan tinggi adalah meniran (Phyllantus niruri). Meniran dapat ditemukan dengan mudah di Indonesia. Selain
1
2
memiliki aktivitas antioksidan, meniran juga memiliki aktivitas sebagai tabir surya karena mengandung flavonoid yang mempunyai kemampuan menyerap sinar UV. Seiring perkembangan teknologi, telah ditemukan suatu sistem nanoteknologi yang dapat diterapkan baik dibidang industri maupun bidang kosmetik. Kosmetik dalam bentuk nanopartikel memiliki kelebihan yaitu meningkatkan efektivitas tabir surya dan daya lekatnya pada permukaan kulit (Padamwar & Pokharkar, 2006). Mahdi dkk., (2011) memformulasikan meniran spesies Phyllantus urinaria dalam bentuk sediaan nanoemulsi dengan aktivitas antiaging. Aktivitas antiaging yang dimiliki Phyllantus urinaria dikarenakan Phyllantus urinaria memiliki antioksidan yang tinggi. Phyllantus niruri dan Phyllantus urinaria merupakan genus yang sama tetapi dari spesies yang berbeda sehingga memiliki kandungan antioksidan yang hampir sama. Fase minyak pada formulasi sediaan nanoemulsi Phyllantus urinaria adalah palm kernel oil (minyak inti kelapa sawit) karena mampu meningkatkan kestabilan, tidak mengiritasi kulit serta memiliki karakter fisik yang baik. Pada penelitian ini Rice Bran Oil (RBO) ditetapkan sebagai fase minyak karena memiliki kandungan vitamin E yang dapat meningkatkan aktivitas antioksidan pada sediaan nanoemulgel. Hal tersebut menjadi dasar pada penelitian ini. Maka dibuatlah sediaan nanoemulgel ekstrak meniran (Phyllantus niruri Linn.) dengan aktivitas tabir surya dan antioksidan. Kekurangan kosmetik dalam sediaan nanoemulsi yaitu sulit diaplikasikan pada kulit serta kurang stabil sehingga dibuat dalam sediaan nanoemulgel. Nanoemulgel memiliki daya lekat lebih lama sehingga interaksi terhadap kulit lebih lama pula, serta memiliki stabilitas lebih baik karena pada nanoemulgel antar
3
droplet tidak bertemu, lebih viskos dan tidak dipengaruhi gravitasi sehingga meningkatkan stabilitas. Keuntungan lain dari sediaan nanoemulgel adalah cocok untuk obat yang bersifat hidrofob, stabilitas baik, loading capacity baik, produksi mudah dan murah, dan pelepasannya terkontrol (Panwar dkk., 2011). Dengan memperhatikan kajian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk membuat nanoemulgel ekstrak meniran dalam rangka menggali potensi meniran sebagai zat aktif dalam kosmetika untuk antioksidan dan tabir surya.
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah campuran Rice Bran Oil, tween 80, PEG 400 dan air dapat membentuk sistem nanoemulsi yang homogen, jernih, dan mempunyai kemampuan menyerap sinar UV?
2.
Apakah nanoemulsi optimum dapat diformulasikan menjadi sediaan nanoemulgel ekstrak meniran yang memiliki sifat fisik daya sebar, daya lekat dan viskositas yang baik?
3.
Apakah nanoemulgel ekstrak meniran optimum mempunyai aktivitas sebagai tabir surya dan antioksidan dengan metode DPPH?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui apakah campuran Rice Bran Oil, tween 80, PEG 400 dan air dapat membentuk sistem nanoemulsi yang homogen, jernih, dan mempunyai kemampuan menyerap sinar UV.
4
2.
Membuat sediaan nanoemulgel ekstrak meniran yang memiliki sifat fisik daya sebar, daya lekat dan viskositas yang baik.
3.
Mengetahui aktivitas tabir surya dan antioksidan dari nanoemulgel ekstrak meniran.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menggali potensi meniran (Phyllantus niruri Linn.) sebagai zat aktif sediaan kosmetik serta dapat memformulasikan ekstrak meniran dalam sediaan nanoemulsi yang lebih efisien dengan aktivitas antioksidan dan tabir surya.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Sinar Matahari Sinar matahari sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan bumi ternyata
tidak selalu memberikan dampak yang menguntungkan karena dapat menimbulkan berbagai kerugian pada kulit manusia (Zulkarnain dkk., 2013). Sinar matahari dapat menyebabkan terbakarnya sel-sel kulit manusia, pigmentasi, dan penuaan dini. Hal ini tergantung pada panjang gelombang sinar matahari, frekuensi paparan, intensitas yang dipaparkan serta sensitivitas masing-masing individu. Terjadinya pemanasan global memungkinkan intensitas sinar UV yang sampai ke bumi menjadi bertambah karena rusaknya lapisan ozon. Radiasi sinar matahari terdiri dari berbagai macam panjang gelombang mulai dari sinar ultraviolet (UV), sinar tampak dan sinar inframerah. Sinar UV diketahui
5
memiliki potensi bahaya terhadap kulit manusia. Sinar UV dapat merusak antioksidan yang secara alami dihasilkan oleh kulit sehingga antioksidan tidak dapat menetralkan radikal bebas. Spektrum UV terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan panjang gelombang UV C (200-290 nm), UV B (290-320 nm) dan UV A (320-400 nm) (Wilkinson & Moore, 1982). Menurut Zulkarnain dkk. (2013), sinar UV A dapat menyebabkan tanning karena pelepasan melanin, serta menstimulasi melanogenesis meskipun lebih lemah dari pada UV B. Hampir 50% sinar UV A berpenetrasi sampai ke dermis sehingga dapat menyebabkan penuaan kulit (Lee & Kaplan, 1992). Sinar UV B yang memiliki panjang gelombang 290320 nm juga dapat menyebabkan tanning, kulit terbakar (sunburn), dan pembentukan kanker kulit (Poskitt dkk., 1979). Sinar UV B mempunyai energi yang dapat menyebabkan kerusakan DNA sehingga disebut radiasi sinar UV yang paling merusak. Tidak semua radiasi sinar UV dapat mencapai permukaan bumi, sinar UV-C yang memiliki energi terbesar secara alamiah telah diabsorbsi di lapisan ozon, sehingga tidak dapat mencapai permukaan bumi.
2.
Kulit Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cerminan
kesehatan dan kehidupan. Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindungi tubuh terhadap berbagai rangsangan dan kerusakan dari luar. Kulit juga berfungsi sebagai thermostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula mengatur tekanan darah (Lachman dkk., 1994).
6
Secara umum kulit terbagi atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan subkutan atau hypodermis. Epidermis merupakan lapisan kulit terluar yang berperan penting dalam melindungi kulit terhadap dehidrasi atau kehilangan air, pertahanan terhadap bakteri, iritasi oleh zat kimia dan radiasi sinar UV. Lapisan dermis merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jaringan serabut kolagen dan elastin. Lapisan dermis yang terletak di bawah lapisan epidermis tersusun dari sejumlah pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf, dan beberapa bagian kulit lainnya seperti kantung rambut, kelenjar sebaceous, dan kelenjar keringat (Mitsui, 1997). Lapisan ini berfungsi memberi nutrisi pada lapisan epidermis. Lapisan paling dasar yaitu subkutan. Fungsi utama lapisan subkutan adalah mengatur suhu pada kulit dan sebagai bantalan lapisan-lapisan diatasnya, sehingga dapat bergerak secara fleksibel (Schottelius & Schottelius, 1973). Secara alami kulit manusia memiliki sistem pertahanan terhadap paparan sinar matahari yaitu dengan mekanisme penebalan stratum korneum dan pembentukan pigmen (melanin) oleh sel-sel penghasil pigmen (melanosit) yang disebut pigmentasi kulit. Melanin akan menyerap sinar ultraviolet dan mencegah sinar masuk ke jaringan yang lebih dalam. Orang berkulit gelap memiliki lebih banyak melanin misalnya terdapat pada ras Negro dan Aborigin sehingga memiliki perlindungan alami dalam kulit lebih besar terhadap efek matahari yang berbahaya (termasuk luka bakar karena matahari, penuaan kulit dini, dan kanker kulit). Mekanisme perlindungan alami ini dapat ditembus oleh tingkat radiasi sinar UV yang tinggi, sehingga kulit tetap membutuhkan perlindungan tambahan (Lestari, 2002).
7
3.
Tabir surya Tabir surya adalah suatu sediaan yang dapat menyerap, menghamburkan atau
memantulkan sinar surya yang mengenai kulit sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi kulit dan struktur kulit manusia dari kerusakan akibat sinar surya. Tabir surya (Sunscreen) pertama kali dikembangkan oleh Franz Greiter tahun 1938. Zat-zat yang dapat bersifat sebagai tabir surya (screening agent) adalah zatzat yang dapat menyerap sinar matahari dengan panjang gelombang 2800-3200oA. Berdasarkan mekanismenya, tabir surya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tabir surya kimiawi dan tabir surya fisik. Mekanisme perlindungan tabir surya pemblok fisik (Physical blocker) adalah dengan menghalangi sinar UV menembus masuk lapisan kulit dengan cara menghamburkan sinar UV karena sifat fisisnya (Zulkarnain, 2013). Contoh tabir surya fisik adalah titanium dioksida, zink oksida, petroleum merah, kromium oksida dan kobal oksid (Shaath, 1990). Tabir surya kimiawi (chemical sunscreen) bekerja dengan cara mengabsorbsi radiasi sinar UV dengan mekanisme melalui reaksi fotokimia dengan mengabsorbsi sinar UV sehingga penetrasinya ke dalam epidermis kulit terhambat. Kemampuan menghambat gelombang tertentu dari cahaya matahari menyebabkan tabir surya dapat berperan sebagai filter penyaring dan mengurangi radiasi cahaya matahari pada panjang gelombang tertentu (Stanfield, 2003). Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai (Sun Protection Factor) SPF yang menggambarkan kemampuan produk tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). Eritema merupakan salah satu tanda terjadinya proses inflamasi akibat paparan sinar UV dan terjadi apabila
8
volume darah dalam pembuluh darah dermis meningkat hingga 38% di atas volume normal (Tahrir dkk., 2002). Penilaian SPF mengacu pada ketentuan Food Drug Administration (FDA) yang mengelompokkan keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wilkinson & Moore, 1982): a.
Tabir surya dengan nilai SPF 2 – 4, memberikan proteksi minimal
b.
Tabir surya dengan nilai SPF 4 – 6, memberikan proteksi sedang
c.
Tabir surya dengan nilai SPF 6 – 8, memberikan proteksi ekstra
d.
Tabir surya dengan nilai SPF 8 – 15, memberikan proteksi maksimal
e.
Tabir surya dengan nilai SPF ≥ 15, memberikan proteksi ultra
4.
Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang mampu menetralkan radikal bebas dengan
mekanisme mengikat atom dan elektron yang tidak berpasangan mendapat pasangan elektron. Antioksidan merupakan zat yang mampu melindungi sel melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas, seperti singlet oksigen, superoksid, radikal peroksid dan radikal hidroksi. Radikal bebas adalah molekul atau atom yang sangat tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Salah satu organ tubuh yang rentan terhadap efek negatif dari radikal bebas adalah kulit. Radikal bebas dapat menyebabkan kulit menjadi keriput akibat hilangnya ketegangan kulit. Antioksidan banyak terdapat dalam sayur mayur, buah-buahan segar dan rempahrempah. Bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti
9
rempah-rempah, coklat, biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran seperti buah tomat, pepaya, jeruk dan sebagainya (Prakash, 2001; Trevor, 1995). Antioksidan adalah bahan yang banyak digunakan dan inovatif dalam sediaan topikal pada bidang dermatologis. Antioksidan umumnya diperoleh dari vitamin E, vitamin C, tiol dan flavonoid. Tubuh secara terus menerus akan terkena radikal bebas yang berasal dari sumber endogen sebagai akibat dari jalur metabolisme normal. Radikal bebas eksogen umumnya berasal dari polusi lingkungan seperti asap kendaraan, asap rokok, radiasi UV dan diet sehingga diperlukan tambahan antioksidan secara sistemik yaitu mengikat spesies oksigen reaktif sehingga mencegah kerusakan makromolekul seperti lipid, DNA dan protein. Fungsi paling efektif dari antioksidan dalam menghambat terjadinya oksidasi adalah dengan menghentikan reaksi berantai dari radikal bebas (primary antioxidant), menurunkan konsentrasi oksigen, mencegah inisiasi rantai pertama dengan menangkap radikal penginisiasi seperti radikal hidroksil, mengikat ion logam dalam bentuk yang akan menurunkan spesies penginisisasi seperti radikal hidroksil dan tidak mendekomposisi peroksida lipid menjadi radikal peroksi atau alkoksi (Halliwell & Gutteridge, 2000). Pengujian kemampuan penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen alam seperti komponen fenolik yang digunakan secara luas adalah DPPH (2,2Diphenyl-1-picrylhydrazyl). Senyawa DPPH adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik, berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat pada λ maksimum 517 (Pokorny dkk., 2001). Metode DPPH berfungsi untuk mengukur elektron tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus untuk mengukur
10
aktivitas penghambat radikal bebas dengan reaksi: DPPH· + AH → DPPH-H + A·. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dari ungu gelap dan berubah menjadi kuning terang (Suratmo, 2009). Perubahan warna ini dapat diukur dengan sprektrofotometri.
5.
Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri Linn.)
a.
Morfologi tanaman Tanaman meniran (Phyllanthus niruri Linn) memiliki batang tegak, tinggi
mencapai 40-100 cm, berakar tunggang, batang bulat berkayu, permukaan bercabang dan kasar. Daun tersusun majemuk, duduk melingkar pada batang, anakan daun mengkilap, bentuk bulat telur dengan panjang 1,5 - 3 cm, lebar 1 - 1,5 cm, ujung daun runcing, pangkal tumpul dan tepi yang rata. Daun berwarna hijau. Bakal buah beruang enam, mahkota berbentuk tabung, ujung membulat berwarna kuning. Buahnya bulat, mempunyai 5-6 ruang, diameter 5-10 mm. Apabila masih muda buah berwarna hijau (Gambar 1) setelah tua menjadi coklat.
Gambar 1. Tumbuhan Meniran (Phyllantus niruri Linn.)
11
b.
Klasifikasi Tanaman
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermathophyta
Sub division : Angiospermae Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Family
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Species
: Phyllanthus niruri Linn.
c.
(De Padua dkk., 1999).
Manfaat dan Kandungan kimia meniran Herba meniran mengandung metabolit sekunder flavonoid, terpenoid,
alkaloid dan steroid (Kardinan & Kusuma, 2004). Beberapa hasil penelitian menunjukkan senyawa terpenoid memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid (-) hardwicklic acid, phytol, triterpenoid saponin dan triterpenoid glikosida (Grayson, 2000; Bigham dkk., 2003; Lim dkk., 2006). Flavonoid dalam tanaman meniran diidentifikasi sebagai quercetin, quercitrin, isoquercitrin, astragalin dan rutin (Taylor, 2003). Mahdi dkk. (2011), telah memformulasikan ekstrak meniran dengan genus yang sama yaitu Phyllantus urinaria menjadi nanoemulsi yang memiliki aktivitas sebagai antiaging dengan palm kernel oil sebagai fase minyak. Kandungan utama pada Phyllanthus urinaria yang berperan sebagai antioksidan adalah polifenol. Phyllantus niruri memiliki kandungan flavonoid yang tinggi. Flavonoid sendiri adalah suatu polifenol. Sehingga dapat dikatakan bahwa Phyllantus niruri dapat digunakan sebagai zat aktif dalam sediaan kosmetik.
12
6.
Nanoemulgel Nanoemulsi adalah dispersi isotropok dan stabil secara termodinamik yang
terdiri dari minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan fase air. Biasanya dengan ukuran droplet dalam kisaran 10 – 100 nm (Aboofazeli, 2010). Gel adalah sediaan semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Depkes RI, 1995). Gel mempunyai kelebihan berupa kandungan air yang cukup tinggi sehingga memberikan kelembaban yang bersifat mendinginkan dan memberikan rasa nyaman pada kulit (Mitsui, 1997). Sedangkan emulsi mempunyai keuntungan dapat membentuk sediaan yang saling tidak bercampur menjadi sediaan yang homogen dan stabil. Emulgel berukuran nano dapat meningkatkan kestabilan sediaan dan mempermudah penetrasi zat aktif pada kulit. Nanoemulsi dapat membentuk gel dengan penambahan gelling agent, sehingga terbentuk nanoemulgel. Surfaktan sangat berperan penting dalam sistem nanoemulsi. Penambahan surfaktan pada nanoemulsi akan membentuk nanoemulsi dengan tegangan antarmuka yang rendah tetapi area antarmuka yang luas. Hal tersebut dikarenakan surfaktan dapat melingkupi partikel dalam bentuk lapisan tipis antarmuka air dengan minyak (Shafiq-un-Nabi dkk., 2007). Dalam sediaan nanoemulsi, stabilitas merupakan hal yang terpenting. Macam-macam ketidakstabilan nanoemulsi adalah: a.
Creaming dan sedimentasi Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana fase dispers
atau lapisan yang mengandung butiran-butiran tetesan lebih banyak dari pada
13
lapisan yang lain. Proses creaming adalah gerakan droplet ke permukaan karena densitasnya lebih kecil dari media, sedangkan sedimentasi adalah pergerakan droplet ke dasar karena densitasnya lebih besar dari media (Tadros, 2013). Emulsi yang menggumpal dapat didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dengan penggojokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bolabola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin dkk., 1993). b.
Flokulasi Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul
yang posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Flokulasi dan creaming dapat di perbaiki melalui pengojokan. Flokulasi terjadi ketika gaya tolak menolak antardroplet lemah (Tadros, 2013). c.
Ostwald Ripening dan Koalesensi Koalesensi adalah terpisahnya fase dalam emulsi yang bersifat irreversible.
Usaha untuk menstabilkan kembali emulsi yang terkoalesensi tidak dapat dilakukan dengan pengocokan, biasanya diperlukan pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali (Ansel, 1989). Ostwald ripening adalah proses dimana tetasan yang kecil bergabung menjadi tetesan yang lebih besar dan membentuk tetesan yang baru dan akhirnya terjadi koalesensi. Fenomena koalesens dan Ostwald ripening menyebabkan pemisahan sistem menjadi tiga fase, yaitu fase internal, eksternal, dan emulgator (Abdulkarim dkk., 2010).
14
d.
Inversi Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe o/w menjadi w/o
atau sebaliknya. Inversi dapat dipengaruhi oleh suhu. Kenaikan suhu dapat menyebabkan perubahan viskositas, mengubah sifat emulgator, dan menaikkan benturan butir-butir tetesan. Sedangkan pendinginan dapat menyebabkan terpisahnya air dari sistem emulsi.
7.
Simplex Lattice Design (SLD) Simplex lattice design merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menentukan formula optimum pada suatu formulasi. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam SLD adalah jumlah total variabel harus konstan (satu bagian) dan yang dikombinasikan merupakan variabel bebas. Persamaan matematika yang dapat menggambarkan simplex lattice design adalah linear, quadratic, dan special cubic model (Bolton, 1997). Bentuk persamaan tersebut yaitu: a.
Linear model
Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 …………………………………………………………(1) b.
Quadratic model
Y = β1X1+ β2X2 + β3X3+ β12X1X2+ β13X1X3 + β23X2X3 ……………………….(2) c.
Special cubic model
Y = β1X1+ β2X2 + β3X3+ β12X1X2+ β13X1X3 + β23X2X3+ β123X1X2X3 …………(3) Keterangan:
X1, X2, X3 = fraksi campuran homogen β1, β2, β3 = koefisien regresi
15
Implementasi dari SLD yaitu dengan menyediakan bermacam-macam formulasi yang mengandung kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Data percobaan dari kombinasi yang berbeda digunakan untuk memprediksi respon yang berada dalam simplex (simplex space). Hasil eksperimen digunakan untuk membuat persamaan polynomial (simplex) dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton, 1997). Optimasi formula menggunakan variasi tiga komponen digambarkan secara dua dimensi yang memiliki tiga sudut membentuk segitiga sama sisi. Tiga komponen yang divariasi disimbolkan dengan huruf X1, X2, dan X3. Setiap sudut dari segitiga menggambarkan komponen murni.
8.
Monografi bahan Bahan-bahan tambahan yang digunakan pada penelitian ini, adalah sebagai
berikut: a.
Tween 80 Nama kimia untuk tween 80 adalah polyoxyethylene 20 sorbitan monooleate
dengan rumus kimia C64H124O26 berbentuk cairan tidak berminyak berwarna kuning (Rowe dkk., 2009). Mekanisme kerja surfaktan yaitu menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang digunakan maka ukuran droplet akan semakin kecil (Abdelbary dkk, 2012). Struktur kimia tween 80 dapat dilihat pada gambar 2.
16
Gambar 2. Struktur kimia Tween 80 (Rowe dkk., 2009)
b.
Poli Etilen Glikol (PEG) 400 Poli Etilen Glikol (PEG) 400 merupakan senyawa yang stabil dan bersifat
hidrofilik dan tidak mengiritasi kulit. Poli Etilen Glikol (PEG) biasa digunaan dalam formulasi dalam bentuk sediaan topikal, parenteral, oral, ophthalmic dan rektal. Saat dikombinasikan dengan surfaktan lain, PEG dapat berfungsi sebagai penstabil emulsi. Struktur kimia PEG 400 dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3.Struktur kimia PEG 400 (Rowe dkk., 2009)
c.
Rice Bran Oil (RBO) Rice bran oil merupakan minyak yang diekstraksi dari sekam beras atau padi.
Aktivitas utama dari RBO adalah antioksidan dengan komponen utamanya adalah γ-oryzanol dengan jumlah sebesar 2% dari total crude oil. Pada awalnya, banyak peneliti menduga γ-oryzanol sebagai sebuah komponen tunggal walaupun sebenarnya γ-oryzanol merupakan campuran fitosterol dan ester alkohol triterpen dari asam ferulat. Komponen lain yang juga banyak terkandung dalam RBO antara lain tokoferol dan tokotrienol (Patel & Naik, 2004).
17
d.
Karbopol . Karbopol adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksilnya
menjadi mudah terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama reaksi elektrostatik diantara perubahan rantai polimer (Flory, 1953). Karbopol dapat larut dalam air, etanol, dan gliserin. Sifat fisik dari karbopol yaitu berbentuk serbuk halus putih, higroskopis, berbau khas, memiliki berat jenis 1,76-2,08 g/cm3 dan titik lebur 260ºC selama 30 menit. Struktur kimia karbopol dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4.Struktur kimia karbopol (Rowe dkk., 2009)
e.
Akuades Akuades berupa cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau serta
mempunyai berat molekul 18,02 (Depkes RI, 1995). Pada sediaan nanoemulgel, akuades digunakan untuk mengembangkan basis gel yang digunakan.
18
F. Landasan Teori Nanoemulsi adalah dispersi isotropok dan stabil secara termodinamik yang terdiri dari minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan fase air. Biasanya dengan ukuran droplet dalam kisaran 10 – 100 nm (Aboofazeli, 2010). Sedangkan nanoemulgel adalah emulsi berukuran nanometer yang membentuk gel dengan penambahan gelling agent. Beberapa hasil peneliti terdahulu yang menjadi dasar penelitian ini adalah peneliti Bernardi dkk (2011) yang berhasil memformulasikan nanoemulsi menggunakan Rice Bran Oil (RBO) sebagai fase minyak. Campuran tween 80 dan PEG 400 pernah digunakan oleh Ardina (2015) untuk membuat nanoemulsi minyak manis jangan (Cinnanomun burmanni) dengan ukuran partikel 20,6 nm. Natalia, (2012) menggunakan karbopol dalam formulasi nanoemulgel dengan aktivitas sebagai antibakteri menggunakan minyak jintan hitam (Nigella sativa L.). Karbopol 0,5 % menghasilkan daya sebar 5,17±0,44 hingga 6,00±0,43, daya lekat 0,23±0,02 hingga 1,47±0,05, dan viskositas 4,00±0 hingga 230,00±0 dPa.s (Tanjungsari, 2012). Tanaman meniran spesies Phyllantus urinaria pernah diformulasikan menjadi nanoemulsi yang memiliki aktivitas sebagai antiaging dengan palm kernel oil sebagai fase minyak. Formulasi nanoemulsi P. urinaria memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 30,05% dengan metode DPPH (Mahdi dkk., 2011). Kandungan utama pada Phyllanthus urinaria yang berperan sebagai antioksidan adalah polifenol. Phyllantus niruri memiliki kandungan flavonoid yang tinggi. Flavonoid sendiri adalah suatu polifenol (Khadem & Marles, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa Phyllantus niruri dapat digunakan sebagai zat aktif dalam sediaan kosmetik
19
nanoemulsi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu tersebut, diperkirakan penggunaan Rice Bran Oil (RBO), tween 80, PEG 400, akuades dan karbopol dapat digunakan untuk formulasi nanoemulgel ekstrak meniran dan menghasilkan nanoemulsi yang baik.
G. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini: 1.
Campuran Rice Bran Oil, tween 80, PEG 400 dan air dapat membentuk sistem nanoemulsi yang homogen, jernih, dan mempunyai kemampuan menyerap sinar UV.
2.
Sediaan nanoemulgel ekstrak meniran memiliki sifat fisik daya sebar, daya lekat dan viskositas yang baik.
3.
Nanoemulgel ekstrak meniran memiliki aktivitas tabir surya dengan proteksi maksimal dan aktivitas antioksidan yang lebih kecil dibandingkan dengan vitamin C.