BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Sektor pertanian dipandang sebagai sektor yang penting dalam perekonomian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbesar kontribusi sektor pertanian adalah meningkatkan kewirausahaan petani di perdesaan. Tersedianya sumberdaya manusia petani yang memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat, diharapkan menjadikan sektor pertanian menjadi usaha yang produktif dan menguntungkan. Upaya meningkatkan kewirausahaan petani sejalan dengan upaya pengembangan sektor pertanian di Propinsi Kalimantan Tengah. Hingga tahun 2013, dari 9 sektor pembentuk PDRB, sektor pertanian menjadi sektor utama karena memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB, yaitu mencapai Rp 17,22 trilyun (27,11% dari total PDRB). Salah satu kawasan di Propinsi Kalimantan Tengah yang memiliki sumberdaya manusia petani yang cukup besar adalah kawasan pengembangan lahan gambut (eks-PLG). Jumlah rumah tangga pertanian di kawasan eks-PLG mencapai 72.614 rumah tangga atau sebesar 26,8 persen dari total rumah tangga pertanian Propinsi Kalimantan Tengah). Kawasan eks-PLG meliputi tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Pulang Pisau dan satu kota yaitu Kota Palangka Raya. Kawasan ini menjadi penting karena meski hanya mencakup lebih kurang 10 persen dari total luas wilayah propinsi Kalimantan Tengah, tetapi
1
2
kawasan eks-PLG menjadi wilayah lumbung pangan padi untuk Propinsi Kalimantan Tengah. Produksi padi yang dihasilkan di kawasan eks-PLG mencapai 64,8 persen (395,27 ribu ton) dari total produksi padi Propinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar 610,24 ribu ton (BPS Kal-Teng,2013). Pembukaan hutan gambut di kawasan eks-PLG dengan skala besar, yaitu mencapai 1.457.100 Ha, hingga lebih dari satu dasawarsa terakhir masih menyisakan beberapa dampak negatif yang dirasakan masyarakat (terutama petani) pada lingkungan usahanya. Dampak tersebut berupa lahan usaha dan tanaman milik masyarakat yang terbakar hampir setiap tahun dan lahan usaha yang terkena banjir dalam jangka waktu lama (Anonim,2008), serta lahan usaha (terutama di kawasan eks-transmigrasi) yang dibiarkan menjadi bongkor karena kondisi lahan dengan tingkat kemasaman yang tinggi dan pengairan yang tidak memadai. Dampak sosial lainnya akibat kegagalan pengembangan kawasan eksPLG,
yaitu menimbulkan moral hazard bagi masyarakat berupa munculnya
tuntutan ganti rugi oleh masyarakat kepada pemerintah, yang nilainya sangat besar, yaitu meliputi 31.512 persil lahan dengan nilai mencapai Rp. 181,11 milyar (Suriadikarta,2009). Perubahan lingkungan usaha yang besar di kawasan eks-PLG secara tidak langsung dapat memunculkan petani yang memiliki karakteristik wirausahawan. Tekanan yang dihadapi petani akibat perubahan lingkungan usaha, mengharuskan petani di kawasan eks-PLG untuk mengatasi berbagai kendala dalam menjalankan usahanya. Petani yang dapat bertahan dalam mengembangkan usahanya dan mampu mengatasi berbagai kendala usaha secara kreatif dan inovatif, serta
3
memiliki keberanian mengambil resiko usaha pada kondisi lingkungan usaha yang berubah, menunjukkan adanya karakteristik wirausaha yang potensial di kalangan petani di kawasan tersebut. Besarnya sumberdaya manusia petani dan tersedianya berbagai peluang usaha di kawasan eks-PLG, memungkinkan bagi individu petani yang memiliki jiwa wirausaha yang kuat untuk dapat memanfaatkan berbagai peluang usaha yang tersedia. Namun demikian, terdapat beberapa hambatan yang menyebabkan petani mengalami kesulitan untuk menjadi petani yang memiliki jiwa wirausaha, antara lain: kemampuan kewirausahaan petani masih lemah (Hasyim dan Zakaria,2002); rendahnya kemampuan dalam membuat jejaring usaha, dan adanya hambatan kultural seperti kurangnya semangat untuk mencoba, bereksperimen, dan keberanian mengambil resiko (Iskandar,2010); adanya ketergantungan pada kemampuan pilihan rasional petani pada hasil pertanian (Zulianti,2010). Kewirausahaan seseorang dipengaruhi oleh proses kewirausahaan yang dilakukan.
Ciputra
(dalam
Susanto,2009)
menyatakan
bahwa
proses
kewirausahaan dimulai dari pengenalan terhadap peluang-peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan secara optimal guna memperoleh nilai tambah yang maksimal. Dalam kenyataannya hanya sedikit orang-orang yang mampu memanfaatkan peluang usaha menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan, hal ini karena berkaitan dengan faktor internal (yaitu karakteristik personal seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan lain-lain serta karakter psikologis seperti sikap, persepsi, motivasi dalam usaha) dan faktor eksternal (yaitu peran pemerintah, peran kelompok, dukungan keluarga, tetangga, dan lain-lain) yang
4
dapat mempengaruhi perilaku wirausahanya. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi perilaku wirausaha petani di kawasan eks-PLG Kalimantan Tengah. Petani selaku pelaku usaha pertanian tidak dapat mengabaikan masyarakat dan pelaku sosial lain yang terlibat atau berdampak pada kegiatan usahanya. Granovetter (1978) menyatakan bahwa dalam membangun atau menjalankan usaha, keputusan individu tidak hanya tergantung pada keinginannya tetapi juga dipengaruhi oleh usaha apa yang dipilih orang lain. Individu mungkin belajar bagaimana menjalankan usaha dengan mengamati rekannya, oleh karena itu pembelajaran wirausaha penting dalam menciptakan sebuah usaha (Gompers et al.,2005). Demikian juga, petani tidak dapat bertumbuh hanya dengan mengandalkan sumberdaya yang dimilikinya sendiri, tetapi juga membutuhkan sumberdaya yang dimiliki petani lainnya. Kebutuhan akan sumberdaya menyebabkan terjadinya interaksi sosial dalam wirausaha diantara petani. Latar belakang petani yang heterogen (multietnik) dapat menghasilkan karakteristik wirausaha yang berbeda. Di kawasan eks-PLG Kalimantan Tengah, masyarakat petani yang menghuni kawasan tersebut terdiri dari petani warga lokal (umumnya etnis Dayak dan Banjar) dan petani warga pendatang (sebagian besar melalui program transmigrasi, yaitu etnis Jawa, Sunda, Madura, Bali, NTT, NTB dan lain-lain). Perbedaan orientasi dan budaya usaha pada masing-masing kelompok masyarakat tersebut, dapat menghasilkan perbedaan dalam perilaku wirausahanya.
5
Budaya berperan besar membentuk jiwa kewirausahaan seseorang (Susanto,2009). Lambing dan Kuehl (dalam Priyanto,2009) menyatakan bahwa tingkat kewirausahaan seseorang sangat bervariasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Ketika kewirausahaan dianggap mulia dalam sistem nilai sebuah budaya, maka budaya tersebut akan menempatkan seorang wirausahawan dalam tempat terhormat, dan akan menjadi “produsen” wirausahawan. Sedangkan dalam budaya lain yang menempatkan pekerjaan wirausaha kurang bergengsi, akan menjadi kurang produktif dalam menghasilkan wirausaha. Pilihan yang dibuat individu petani mengenai jenis usaha atau komoditi yang diusahakan karena adanya perubahan lingkungan usaha adalah bentuk perilaku wirausaha petani. Masih sedikitnya penelitian yang menghubungkan perilaku wirausaha petani dengan karakteristik lingkungan usaha yang mengalami perubahan, memungkinkan dilakukan penelitian untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku wirausaha petani, melalui pengembangan dan pengujian model yang diperluas berbasis pada salah satu teori psikologi sosial yang terkenal yaitu teori perilaku yang direncanakan (TPB) (Ajzen,1991). Teori ini memberikan kerangka yang komprehensif dan sistematis yang memungkinkan penilaian pengaruh personal, sosial dan psikologi perilaku wirausaha petani. Penduga dasar dari teori perilaku yang direncanakan (TPB) ini selanjutnya dimodelkan sebagai konstruk multikomponen dan diperluas dengan penambahan variabel lain yang dibutuhkan dalam memprediksi minat dan perilaku wirausaha petani. Penambahan kontrol perilaku yang dirasakan pada model TPB, disamping faktor sikap dan norma subjektif, memungkinkan untuk melihat apakah seseorang
6
memiliki kontrol atas kemauannya sendiri (volisional) terhadap perilaku. Namun demikian untuk berwirausaha atau tidak, adalah tidak secara keseluruhan ada dibawah kontrol atas kemauan sendiri dari seseorang, terdapat sejumlah faktor kontrol yang mungkin mempengaruhi minat dan perilaku wirausaha seseorang, misalnya, kemampuan fisik, kendala modal, ketersediaan sumberdaya fisik , terbatasnya jaringan usaha, dan lain-lain. Hamilton dan Harper (Wijaya,2008) menyatakan bahwa penelitian mengenai perilaku wirausaha berkembang dari berbagai perspektif yaitu ekonomi, psikologi dan sosiologi. Perspektif ekonomi memandang perilaku berwirausaha berdasarkan kondisi kesiapan berwirausaha melalui instrumen ekonomi seperti kondisi ekonomi, modal, aturan pemerintah dan faktor ekonomi lainnya. Perspektif sosiologi menjelaskan hubungan relasi manusia, pola hidup masyarakat serta norma dan budaya bermasyarakat yang membentuk perilaku berwirausaha. Perspektif psikologi mengulas perilaku berwirausaha dilihat dari faktor-faktor psikologis berupa aspek personal dan motif berwirausaha. Dalam penelitian ini, kajian perilaku wirausaha petani akan dilihat dari ketiga perspektif tersebut. Kajian yang akan dilakukan adalah mengenai : “Perilaku Wirausaha Petani Lokal dan eks-Transmigran di Kawasan Pengembangan Lahan Gambut (eks-PLG) Kalimantan Tengah”. Dari kajian tersebut diharapkan akan didapatkan temuan dan keluaran yang dapat menggambarkan komprehensif.
kewirausahaan
petani
di
kawasan
PLG
secara
lebih
7
1.2. Perumusan Masalah. Peluang penumbuhan wirausahawan yang potensial di perdesaan masih terbuka, karena sumberdaya manusia petani tersedia dalam jumlah yang sangat memadai, namun demikian kuantitas petani tersebut belum diimbangi dengan kualitas kewirausahaan yang dimiliki. Salah satu kendala dalam pengembangan kewirausahaan adalah lemahnya kualitas sumberdaya manusia (Suryana (2001), . Masih banyak usaha pertanian rakyat yang motif usahanya belum sesuai dengan paradigma bisnis modern, tidak sedikit petani melakukan kegiatan usahataninya masih berorientasi semi komersial, bahkan beberapa diantaranya bersifat subsisten. Proses transformasi petani dari yang semula memiliki orientasi dalam usaha dengan motif usaha tradisional (semi komersial atau subsisten) menjadi paradigma bisnis modern (komersial) atau memiliki jiwa wirausaha, memerlukan kesadaran dan kesukarelaan dari petani itu sendiri. Berdasarkan pengamatan awal, kebanyakan petani di wilayah penelitian di kawasan eks-PLG belum menyadari potensi yang mereka miliki untuk dapat menjadi petani yang memiliki jiwa wirausaha yang potensial. Potensi sumberdaya lahan yang dimiliki (baik di desa Lokal maupun di desa eks-Transmigran) belum dimanfaatkan secara optimal untuk dijadikan lahan yang produktif, atau masih banyak lahan bero. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi penunjang, termasuk bantuan permodalan usaha, kebanyakan dinilai sebagai hibah dan tidak harus dikembalikan atau digulirkan. optimal.
Sehingga pemanfaatannya juga kurang
8
Untuk meningkatkan potensi petani di kawasan eks-PLG, menjadi petani wirausaha yang potensial diperlukan kajian untuk mengetahui berbagai faktor (internal dan eksternal) yang dapat mempengaruhi minat dan perilaku wirausaha petani. Shane dan Venkataraman (2000) menyatakan bahwa kewirausahaan berkaitan dengan mempelajari sumber peluang berupa proses wirausaha yaitu pencarian, evaluasi, dan eksploitasi peluang usaha dan sekumpulan individu yang menemukan, mengevaluasi dan memanfaatkan peluang usaha. Proses wirausaha dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku wirausaha, dan menunjukkan adanya perubahan perilaku wirausaha dalam diri individu. Krueger et al., (2000) menyatakan bahwa keinginan seseorang untuk menjadi wirausahawan diawali dari adanya minat atau intensi yang kuat. Minat atau intensi wirausaha merupakan anteseden atau sebagai faktor penentu dari tindakan dan perilaku wirusaha. Minat wirausaha memperantarai pengaruh faktor internal dan eksternal pada perilaku wirausaha seseorang. Priyanto (2007) menyatakan bahwa faktor karakteristik individu dan faktor lingkungan mempengaruhi kewirausahaan seseorang. Dalam penelitian ini faktor internal yang dikaji meliputi karakteristik individu digambarkan dari aspek psikologis (yaitu, sikap wirausaha , norma subjektif/dukungan sosial wirausaha, kontrol perilaku wirausaha/self efficacy, motivasi wirausaha, persepsi, dan lainlain), sedangkan faktor eskternal digambarkan dari lingkungan bisnisnya (lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan lingkungan organisasi/kelembagaan) Karakter psikologis dapat mempengaruhi perilaku wirausaha petani. Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku melalui suatu
9
proses pengambilan keputusan. Dalam menjalankan usahataninya, petani selalu dihadapkan pada penentuan sikap apa yang akan diambil terkait dengan keputusan usahataninya, misalnya sikap terhadap inovasi usaha yang ditawarkan, sikap terhadap peluang usaha yang tersedia dan sikap yang ditunjukkan ketika menghadapi resiko dalam usaha. Norma subjetif atau tekanan sosial yang dirasakan juga dapat mempengaruhi perilaku wirausaha petani. Adanya dukungan/tekanan dari lingkungan sosial (misal, keluarga dekat, sesama petani ataupun orang dianggap berhasil) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan wirausaha tertentu. Norma subjetif ini merujuk kepada persepsi bahwa orang yang menjadi referensi akan menyetujui atau tidak keputusan untuk menjadi wirausahawan atau terhadap keinginannya untuk mengembangkan usaha baru atau mengembangkan usaha yang ada. Kontrol perilaku yang dirasakan merupakan persepsi dari keyakinan diri mengenai kemudahan atau kesulitan dalam memenuhi perilaku yang diinginkan (misal, menjadi wirausahawan, mengembangkan usaha baru atau meningkatkan usaha yang ada). Ajzen (2002) menyatakan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan termasuk tidak hanya perasaan mampu tetapi juga persepsi mengenai kemampuan mengontrol perilaku, yaitu sejauh mana melakukan atau tidak melakukan terjadi pada orang tersebut. Salah satu faktor yang dapat memicu munculnya minat dan perilaku wirausaha adalah ketersediaan modal. Priyanto (2006) menyatakan bahwa ketersediaan modal bagi petani mempengaruhi kewirausahaan petani. Meski demikian, tidak selalu ketersediaan modal dapat dimanfaatkan secara optimal oleh petani.
Persepsi petani menjadi salah satu faktor psikologis yang dapat
10
mempengaruhi petani untuk memanfaatkan modal yang tersedia. Petani yang memiliki persepsi positif terhadap sumber modal , akses modal , dan prosedur serta
persyaratan
meminjam
modal,
memiliki
kecenderungan
untuk
memanfaatkan modal yang tersedia untuk mengembangkan usahanya, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana persepsi petani, di kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) Kalimantan Tengah, terhadap penguatan modal usaha yang dapat mempengaruhi perilaku wirausaha petani. Keinginan untuk menjadi wirausahawan dipengaruhi oleh motivasi seseorang. Diniari (2012) menyatakan bahwa dorongan terkait kewirausahaan muncul karena adanya kebutuhan yang sifatnya psikologis, yang berkaitan dengan kesenjangan antara harapan dan kenyataan ketika melakukan kegiatan usaha. McClelland (dalam Steers,1996) menyatakan bahwa kebutuhan yang sepatutnya dimiliki oleh seorang wirausahawan yang ingin maju adalah kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan/pengaruh, kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kemandirian. Dengan memahami kebutuhan petani di kawasan eks-PLG, dapat diidentifikasi apa motivasi petani dalam melakukan berbagai keputusan wirausaha atau perilaku wirausahanya. Faktor internal lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku wirausaha petani adalah keterampilan wirausaha yang dimiliki petani. McElwee (2005) menyatakan bahwa ketrampilan wirausaha merupakan kompetensi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Kompetensi dalam usaha berkaitan dengan pengalaman usaha yang pernah atau sedang dilakukan dan kegiatan pelatihan usaha yang pernah
11
diikuti. Berdasarkan pengamatan awal, petani di kawasan eks-PLG tidak memiliki banyak variasi dalam pengalaman usaha, selain itu frekuensi pelatihan usaha yang pernah diikuti petani sangat sedikit sekali. Oleh karena perlu dikaji sejauh mana keterampilan wirausaha, pengalaman usaha yang dimiliki dan pelatihan usaha yang pernah diikuti oleh petani di kawasan eks-PLG mempengaruhi perilaku wirausahanya. Faktor kelembagaan internal (kelompok tani) dan kelembagaan eksternal (penyuluh, pemerintah daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) dapat mempengaruhi minat dan perilaku wirausaha petani. Faktor lembaga tersebut dapat berperan langsung maupun tidak langsung terhadap minat dan perilaku wirausaha. Dari pengamatan awal, diketahui bahwa sebagian besar kelompok tani di wilayah penelitian masih dalam kategori kelas kelompok tani pemula. Rendahnya kemampuan kelompok dan anggota ini dapat mempengaruhi tingkat kewirausahaan anggota. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana peran kelompok tani diwilayah penelitian terhadap pengembangan kewirauahaan anggotanya. Keberadaan penyuluh diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani untuk dapat menjadi petani yang memiliki jiwa wirausaha yang kuat. Berdasarkan pengamatan awal, sebagian besar desa di wilayah penelitian, telah ditempatkan satu orang penyuluh. Karena keterbatasan jumlah, penyuluh yang ditempatkan berfungsi secara umum dan bukan khusus untuk bidang tertentu, disamping itu, sebagian besar penyuluh yang ditempatkan masih berstatus honorer atau kontrak. Berdasarkan gambaran ini perlu diketahui
12
bagaimana peran penyuluh terhadap pengembangan minat dan perilaku wirausaha petani di wilayah penelitian. Pemerintah (khususnya pemeritah daerah) memiliki peran untuk dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi tumbuhnya ekonomi kerakyatan, mengembangkan kewirausahaan dan memfasilitasi pelaku usaha (termasuk petani) untuk dapat menjadi pelaku usaha yang memiliki keunggulan kompetitif, meningkatkan produktivitas dan mampu memperluas jaringan pemasaran dalam rangka peningkatan daya saing, mengembangkan kemitraan usaha antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi skala besar, serta mengembangkan industri kecil dan menengah. Oleh karena itu perlu dikaji seberapa jauh peran pemerintah daerah di kawasan eks-PLG dapat
menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
memfasilitasi pelaku usaha untuk dapat berkembang. Lembaga swadaya masyarakat sebagai lembaga non pemerintah memiliki peran cukup penting dalam pemberdayaan masyarakat , terutama di wilayah perdesaan. Perubahan lingkungan usaha yang besar di kawasan eks-PLG menimbulkan dampak pada lingkungan fisik juga berdampak kepada kurangnya bahkan hilangnya beberapa sumber mata pencaharian masyarakat. Sehingga perlu diketahui
bagaimana
LSM
sebagai
fasilitator,
motivator,
komunikator,
dinamisator berperan dalam pengembangan kewirausahaan masyarakat di kawasan eks-PLG. Kewirausahaan petani di kawasan pengembangan lahan gambut dapat berkembang apabila terjadi interaksi sosial dan pembelajaran sosial dalam wirausaha yang baik antar petani. Ketika terjadi interaksi sosial dan budaya yang
13
positif antara warga pendatang (eks-transmigrasi) dan penduduk lokal, maka akan terjadi dampak yang positif (sinergi), yang membawa perubahan pada pola hidup di kedua belah pihak, terutama dalam pengelolaan usaha pertanian di kawasan lahan gambut. Interaksi sosial dalam wirausaha dilakukan oleh petani (baik petani lokal maupun petani eks-transmigran) selain untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya, juga untuk memperluas jaringan usaha dan sebagai proses pembelajaran sosial dalam wirausaha.
Sinergitas dalam proses interaksi dan
pembelajaran sosial antara petani lokal dan petani transmigran yang ada di kawasan PLG diharapkan dapat menumbuhkan minat dan perilaku wirausaha pada kedua kelompok masyarakat tersebut. Namun demikian, belum diketahui sejauh mana proses interaksi dan pembelajaran sosial dalam wirausaha mempengaruhi minat dan perilaku wirausaha pada kedua kelompok masyarakat tersebut. Keberadaan
petani
yang
majemuk
dan
multietnik
di
kawasan
pengembangan lahan gambut (eks-PLG) Kalimantan Tengah, dapat menghasilkan perbedaan dalam perilaku wirausaha diantara mereka. Di kawasan eks-PLG, kelompok petani dapat dibedakan atas petani lokal yang berasal dari penduduk asli setempat (sebagian besar berasal dari suku Dayak dan Banjar), dan petani pendatang yang umumnya berasal dari program transmigrasi (terdiri dari berbagai suku seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Madura, dan lain-lain). Masing-masing kelompok petani tersebut memiliki budaya, norma atau nilai-nilai, dan adat atau kebiasaan tersendiri dalam orientasi dan perilaku usahanya. Sebagai gambaran, Wardi (2011) menemukan bahwa rumahtangga petani lokal memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani pendatang. Hal ini terjadi karena sumber
14
pendapatan warga lokal berasal dari aktivitas on-farm,off-farm, dan non-farm, sedangkan warga pendatang sebagian besar hanya berasal dari aktivitas on-farm atau off-farm saja. Tetapi dalam cara pengelolaan usahatani, ditemukan bahwa rumahtangga petani pendatang mempunyai sikap dan perilaku yang lebih baik terhadap keberlanjutan usahatani dibandingkan dengan rumahtangga tani lokal. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana faktor internal (karakteristik individu) dan faktor eksternal (lingkungan sosial, ekonomi dan kelembagaan) pada petani lokal dan petani eks-transmigran mempengaruhi perilaku wirausaha kedua kelompok petani tersebut. Berdasarkan gambaran latar belakang dan rumusan masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah sikap terhadap wirausaha, norma subjektif wirausaha, kontrol perilaku wirausaha, peran kelompok tani dan peran lembaga penunjang mempengaruhi minat wirausaha petani ? 2. Apakah sikap terhadap wirausaha, norma subjektif wirausaha, kontrol perilaku wirausaha, peran kelompok tani dan peran lembaga penunjang, minat wirausaha, persepsi terhadap modal, motivasi wirausaha, keterampilan wirausaha, pengalaman petani, pelatihan usaha, interaksi sosial wirausaha dan pembelajaran sosial wirausaha mempengaruhi perilaku wirausaha petani ? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
15
1. Menganalisis pengaruh sikap terhadap wirausaha, norma subjektif wirausaha, kontrol perilaku wirausaha, peran kelompok tani dan peran lembaga penunjang terhadap minat wirausaha petani. 2. Menganalisis pengaruh sikap terhadap wirausaha, norma subjektif wirausaha, kontrol perilaku wirausaha, peran kelompok tani dan peran lembaga penunjang, minat wirausaha, persepsi terhadap modal, motivasi wirausaha, keterampilan wirausaha, pengalaman petani, pelatiha usaha, interaksi sosial wirausaha dan pembelajaran sosial wirausaha terhadap perilaku wirausaha petani lokal dan petani eks-transmigran. 1.4. Kegunaan Penelitian. Penelitian mengenai perilaku wirausaha petani yang dikaitkan dengan latar belakang kelompok masyarakat yang berbeda (petani lokal dan petani ekstransmigran) diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis dalam pengembangan
kewirausahaan
petani
di
perdesaan..
Secara
praktis,
pengembangan kewirausahaan di perdesaan berbasis kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang orientasi dan budaya usaha, dapat diterapkan dalam mengembangkan
kewirausahaan
secara
spesifik
dengan
memperhatikan
keragaman kultur sosial pada masing-masing kelompok masyarakat tersebut. Keluaran dari penelitian ini juga diharapkan memberikan implikasi bagi pemerintah dalam penyusunan perencanaan pengembangan kewirausahaan secara khusus bagi masyarakat di wilayah perdesaan.
16
1.5. Keaslian Penelitian Dalam
penelitian ini, peneliti
akan melakukan kajian terhadap
kewirausahaan petani, dengan menilai minat atau intensi terhadap wirausaha dan perilaku wirausaha petani lokal dan petani transmigran, khususnya yang berada di kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) di Kalimantan tengah. Keaslian penelitian yang dilakukan ini terletak pada beberapa hal, yakni : (a) Kajian mengenai perilaku wirausaha dilakukan pada dua kelompok petani yang berbeda (petani lokal dan petani eks-tranmigran) (b) Kajian perilaku wirausaha di dekati dari tiga perspektif secara simultan, yaitu perspektif ekonomi, psikologi sosial dan sosiologi; Beberapa kajian kewirausahaan sebelumnya, sebagian besar mengkaji dari satu perspektif secara terpisah (misal, hanya perspektif psikologi sosial saja), Keragaman perspektif ini diharapkan dapat memberikan gambaran kewirausahaan petani secara lebih komprehensif. (c) Penelitian perilaku wirausaha petani pada kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang sosial dan budaya, masih sedikit dilakukan. Penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana karakteristik wirausaha pada masing-masing kelompok petani yang ada di kawasan eks-PLG. (d) Penggunaan teori perilaku yang direncanakan (Ajzen,1991) sebagai basis untuk menyusun model perilaku wirausaha petani. Beberapa peneliti sebelumnya sebagian besar menggunakan pendekatan teori Ajzen (1991) dalam konteks kewirausahaan non pertanian.
17
Sebagai perbandingan, beberapa penelitian kewirausahaan yang telah dilakukan sebelumnya antara lain: Pambudy (1999) yang meneliti perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak, dan penyuluhan dalam sistem agribisnis peternakan ayam, menemukan bahwa perilaku berwirausaha peternak dipengaruhi oleh perilaku komunikasi peternak, karakteristik peternak dan fungsi agribisnis baik pada tingkat off-farm hulu, on-farm dan off-farm hilir. Perilaku berwirausaha peternak dibentuk dari tiga aspek, yaitu pengetahuan berwirausaha, sikap mental berwirausaha dan ketrampilan berwirausaha. Tawardi (1999) yang meneliti sikap kewirausahaan anggota kelompok belajar usaha (KBU) dan beberapa faktor yang mempengaruhinya, menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara minat berwirausaha dan persepsi terhadap sifat inovasi, dengan sikap kewirausahaannya. Terdapat hubungan yang nyata antara faktor pembinaan dan pemeliharaan kelompok dengan sikap kewirausahaan, artinya, semakin efektif dan intensif pembinaan dan pemeliharaan kelompok maka semakin tinggi tingkat sikap kewirausahaan. Diketahui,
semakin
tinggi
tingkat
sikap
kewirausahaan,
tingkat
minat
berwirausaha, tingkat pengalaman berusaha dan tingkat persepsi terhadap sifat inovasi kegiatan belajar usahanya, maka cenderung mempengaruhi semakin tingginya tingkat pencapaian anggota dalam belajar usaha, dan sebaliknya. Diniari (2004) yang meneliti strategi pemberdayaan korban pemutusan hubungan kerja dan kaitannya dengan penyuluhan kewirausahaan di wilayah Bogor, menemukan bahwa kebutuhan seorang pelaku wirausaha, motivasi dan
18
persepsi inovasi, serta faktor-faktor eksternal seperti peraturan/kebijakan dan dukungan keluarga mempengaruhi perubahan tingkah laku kewirausahaan secara signifikan. Zulianti (2010) yang meneliti pergeseran petani subsisten menuju petani wirausaha (Agricultural Entrepreneurship) pada Gapoktan Lestari Makmur, Desa Argo Mulyo, Kec, Sedayu, Kabupaten Bantul, menemukan bahwa telah terjadi pergeseran dari petani subsisten menjadi petani wirausaha pada anggota Gapoktan tersebut. Pergeseran petani disebabkan, selain
adanya keaktifan petani pada
kegiatan gapoktan, juga adanya pilihan rasional petani pada hasil pertanian. Munculnya pilihan rasional petani dipengaruhi oleh faktor keuntungan dan kerugian usaha, resiko usaha, pelopor (agen), dan jaringan sosial. Darmadji (2012) yang meneliti kewirausahaan petani dan kinerja usahatani cabe dan padi di Kabupaten Sleman Propinsi DIY, menemukan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh secara langsung terhadap kewirausahaan petani cabe adalah faktor lingkungan sosial dan ekonomi, sedangkan yang berpengaruh secara langsung terhadap kewirausahaan petani padi adalah faktor lingkungan fisik dan ekonomi. Secara tidak langsung faktor lingkungan sosial, ekonomi dan fisik berpengaruh terhadap kapasitas manajemen, proses teknis biologis dan kinerja usahatani.