BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Fluorida adalah salah satu senyawa kimia yang terbukti dapat menyebabkan masalah kesehatan yang disebut fluorosis. Fluorosis merupakan gangguan degeneratif yang diakibatkan oleh paparan fluorida konsentrasi tinggi, baik yang diperoleh secara alami maupun dari penggunaan air atau bahan lain yang mendapat penambahan fluorida (Ozsvath, 2009; Basha dan Madhusudhan, 2010). Fluorosis gigi pertama kali diteliti oleh McKay tahun 1916, yang menemukan email berbintik (mottled email) pada gigi kebanyakan pasiennya. Penyebab timbulnya email berbintik tersebut baru diketahui akibat kadar fluorida dalam air minum yang tinggi (≥ 2 mg F/liter) pada tahun 1930-an (Dean, 1938; Edwina dan Joyston, 1991). Perkembangan ilmu pengetahuan telah meneliti efek menguntungkan dan merugikan dari fluorida terhadap manusia dan hewan coba. Fluorida diketahui sangat penting untuk pemeliharaan gigi dan tulang normal, seperti mencegah kerusakan gigi, memperkuat dan merangsang pertumbuhan tulang (Farley et al., 1983; Peterson, 2013). Efek menguntungkan ini dicapai dengan konsentrasi fluorida yang rendah dalam air minum dan mixing dengan pasta gigi (0,8-1,2 mg/l). Fluorida konsentrasi tinggi (>1,5 mg/l) dapat menyebabkan pitting email gigi yaitu gigi kuning dan retak pada orang dewasa dan anak-anak (Yadav et al., 2009). Studi epidemiologi juga menunjukkan bahwa karies gigi dan patah tulang terjadi pada orang-orang yang tinggal di daerah yang secara alami kadar
fluoridanya rendah (0,1-0,3 ppm). Sedangkan di beberapa daerah yang konsentrasi fluoridanya tinggi (> 2 ppm) banyak terjadi fluorosis (Dean, 1938; Bernstein et al., 1966; Edwina dan Joyston, 1991). Paparan yang berlebihan dan waktu yang lama ditemukan tidak hanya berbahaya pada gigi dan tulang tetapi juga pada jaringan lunak seperti jantung, otak, paru-paru, saluran pencernaan, hati, ginjal, darah, hormon, dan reproduksi (Ozsvath, 2009; Barbier et al., 2010; Perumal et al., 2013). Penelitian pada hewan coba dengan pemberian kronis NaF (2,1 ppm) pada air minum tikus mengakibatkan kerusakan hippocampus, sel Purkinje dan pembentukan plak beta-amyloid (Varner et al., 1998). Pemberian 10 mg/kgBB fluorida pada tikus selama 21 hari menyebabkan degradasi membran sel, pembesaran axon dan badan sel pyramidal pada cortex prefrontalis. Hasil ini menunjukkan fluorida bersifat neurotoksik karena mampu menginduksi eksitotoksisitas, stres oksidatif dan kerusakan pada sel saraf (Akinrinade et al., 2013). Mekanisme eksitotoksisitas terjadi karena fluorida dapat melintasi sawar darah otak (blood brain barrier). Akumulasi dalam jaringan otak dapat menstimulasi peningkatan aktivitas nitric oxide synthase (NOS) dan memicu peningkatan nitric oxide (NO) intraseluler. Selanjutnya nitric oxide berikatan dengan superoxide membentuk radikal peroxynitrite. Peroxynitrite dapat merusak produksi energi mitokondria, menghambat ambilan kembali glutamat dan menstimulasi peroksidasi lipid. Hal ini merupakan penyebab utama terjadinya penyakit neurogeneratif (Blaylock, 2004). Penelitian lain banyak menyebutkan fluorida dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif dan peroksidasi lipid,
serta penurunan aktivitas enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT), dan glutation yang ditemukan pada berbagai area otak tikus (Blaylock, 2004; Bhatnagar et al., 2006; Kaur et al., 2009; Basha et al., 2011). Penelitian ini menunjukkan bahwa induksi stres oksidatif dianggap para peneliti sebagai salah satu faktor pemicu toksisitas fluorida pada otak. Otak dan sel-sel saraf sangat rentan terhadap stres oksidatif karena banyak mengandung polyunsaturated fatty acid dan zat besi, serta memiliki kapasitas enzim antioksidan yang relatif rendah. Ketidakseimbangan produksi reactive oxygen species (ROS) dengan enzim antioksidan memicu kerusakan makromolekul (DNA dan protein), peroksidasi lipid membran, depolarisasi mitokondria dan penurunan produksi ATP. Kerusakan ini akan menyebabkan apoptosis dan kerusakan organ, yang merupakan penyebab terjadinya gangguan kognitif (Basha et al., 2011; Agalakova dan Gusev, 2012). Fluorida juga dapat menghambat aktivitas asetilkolinesterase (AChE) dengan pemberian NaF 500 ppm selama 60 hari (Ekambaram dan Paul, 2001) dan pemberian NaF 600 ppm selama 30 hari pada tikus dewasa (Basha dan Sujitha, 2012). Temuan ini menunjukkan bahwa fluorida dapat merusak neurotransmiter yang berfungsi pada proses pembelajaran dan memori. Mekanisme fluorida dalam menginduksi kerusakan aktivitas otak diperjelas oleh Shan et al. (2004) yang meneliti efek paparan kronis NaF pada reseptor asetilkolin (nAChRs) dengan konsentrasi fluorida yang berbeda. Hasilnya ditemukan penurunan signifikan reseptor asetilkolin (nAChRs) pada otak tikus yang terpapar fluorida 30-100 ppm selama 7 bulan. Reseptor nAChRs memainkan peran penting dalam proses
kognitif seperti belajar dan memori. Pembentukan memori terutama diperankan oleh reseptor nAChRs subtipe α7 dan α4 (Chan et al., 2007). Paparan fluorida konsentrasi tinggi secara signifikan menurunkan reseptor nAChRs subtipe α7 dan α4 pada sel-sel otak. Penurunan jumlah reseptor nACRs diduga merupakan faktor penyebab disfungsi otak, penurunan fungsi belajar dan memori (Chen et al., 2003; Pereira et al., 2011). Toksisitas fluorida juga menyebabkan perubahan patologis struktur sinaptik, seperti pelebaran celah sinaptik, penurunan ketebalan densitas post sinaps, dan kelainan crista mitokondria. Perubahan struktur sinaptik mengakibatkan terjadinya gangguan transmisi informasi pada sel-sel saraf. Selanjutnya perubahan ini menyebabkan penurunan kemampuan belajar dan memori (Zhang et al., 2008). Cortex prefrontalis pada manusia sangat penting dalam pengaturan memori kerja (working memory), berbahasa, kecerdasan, dan proses eksekutif (fungsi luhur) lainnya. Proses eksekutif sangat diperlukan dalam menyelesaikan masalah (problem solving), mengontrol dan merencanakan sesuatu di masa depan, serta mengatur perilaku atau sikap sosial-emosional (Fuster, 2001; Elston, 2003; Dalley et al., 2004; Forbes dan Grafman, 2010). Cortex prefrontalis pada tikus juga berperan dalam pengaturan memori kerja, habituasi, pengenalan spasial, keterampilan (skill), pencarian makanan, respon emosi, dan perilaku terhadap konflik atau stresor. Cortex prefrontalis pada tikus dapat dianalogikan dengan manusia karena memiliki kesamaan anatomi dan fungsi, sehingga cortex prefrontalis tikus dapat digunakan dalam penelitian (Uylings et al., 2003; Dalley et al., 2004).
Kerusakan sel pyramidal cortex prefrontalis medial tikus bermanifestasi pada gangguan memori kerja (working memory). Memori kerja adalah memori yang diperlukan untuk menggunakan informasi yang telah tersimpan untuk merencanakan dan mengatur tindakan yang akan dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Memori kerja dapat diuji dengan menggunakan Y-maze. Perilaku spontan tikus dalam memasuki lengan secara bergantian merupakan ukuran untuk menilai memori kerja spasial. Tikus dengan memori kerja yang baik tidak akan memasuki lengan yang sama sebelum mengeksplorasi lengan yang baru (Seaman, 2004; Tamura et al., 2006; Fuster, 2008; Detrait et al., 2010). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dosis natrium fluorida yang dapat menimbulkan efek neurotoksik khususnya terhadap perubahan jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial dan gangguan memori kerja (working memory). Penelitian ini dilakukan pada tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan
dewasa
dengan
memberikan
paparan
natrium
fluorida
per-oral
menggunakan sonde dengan dosis 5 mg/kg BB; 10 mg/kg BB; 20 mg/kg BB dan kontrol dengan pemberian air suling Reverse Osmosis (RO) selama 30 hari. I.2. Perumusan Masalah Fluorida dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan sel-sel saraf karena mampu
menginduksi
eksitotoksisitas
dan
stres
oksidatif.
Mekanisme
eksitotoksisitas terjadi karena fluorida dapat melintasi sawar darah otak (blood brain barrier). Akumulasi dalam jaringan otak dapat menstimulasi peningkatan aktivitas nitric oxide synthase (NOS) dan memicu peningkatan nitric oxide (NO) intraseluler. Selanjutnya nitric oxide berikatan dengan superoxide membentuk
radikal peroxynitrite. Peroxynitrite dapat merusak produksi energi mitokondria, menghambat
ambilan
kembali
glutamat
dan
menstimulasi
peningkatan
peroksidasi lipid membran (Blaylock, 2004). Efek neurotoksik fluorida menyebabkan kerusakan di berbagai area otak termasuk cortex prefrontalis medial. Ketidakseimbangan produksi reactive oxygen species (ROS) dengan enzim antioksidan dapat memicu kerusakan makromolekul (DNA dan protein), peroksidasi lipid membran, depolarisasi mitokondria dan penurunan produksi ATP. Kerusakan ini akan menyebabkan kematian sel-sel pyramidal cortex prefrontalis medial dan gangguan memori kerja. Kematian sel pyramidal menyebabkan penurunan jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial dan persentasi alternasi pada uji Y-maze. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis menyimpulkan beberapa pertanyaan penelitan sebagai berikut: 1.
Apakah jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang diinduksi natrium fluorida dengan dosis tinggi akan mengalami penurunan yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis natrium fluorida yang lebih rendah?
2.
Apakah memori kerja tikus Wistar (Rattus novergicus) jantan dewasa yang diinduksi natrium fluorida dengan dosis tinggi akan mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan dosis natrium fluorida yang lebih rendah?
3.
Apakah ada hubungan antara jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial dengan memori kerja tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa?
I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan umum Untuk mengetahui perubahan jumlah sel pyramidal cortex prefontalis medial dan gangguan memori kerja tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa akibat paparan natrium fluorida. I.3.2. Tujuan Khusus 1.
Menghitung jumlah sel pyramidal cortex prefontalis medial tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang berbeda.
2.
Mengukur kemampuan memori kerja tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang berbeda.
3.
Mengkaji korelasi antara jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial dengan memori kerja tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dewasa yang terpapar natrium fluorida dengan dosis yang berbeda.
I.4. Keaslian Penelitian Akinrinade et al. (2013) meneliti tentang pengaruh pemberian 10 mg/kg fluorida dan 200 mg/kg aluminium klorida selama 21 hari terhadap kerusakan sel pyramidal cortex prefrontalis tikus. Analisis histologi menunjukkan degradasi membran sel, pembesaran axon dan badan sel pyramidal. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pemberian natrium fluorida dengan dosis 5 mg/kg BB, 10 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB selama 30 hari. Kerusakan sel pyramidal dinilai
dengan menghitung jumlah sel pyramidal cortex prefrontalis medial menggunakan metode Nv x V (ref) . Hamid et al. (2012) meneliti tentang pengaruh pemberian fluorida pada cerebrum tikus. Kadar fluorida yang diberikan pada air minum adalah 10, 100 dan 500 ppm selama 30, 60 dan 90 hari. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histologis dengan pewarnaan haematoxylin eosin (HE). Hasil dari penelitian ini menunjukkan perubahan histologis pada cerebrum tikus yang ditandai dengan neuronal swelling, chromatolysis, vacoulation, perubahan pycnotic, dan penurunan densitas neuron dengan peningkatan konsentrasi fluorida (100 dan 500 ppm) serta peningkatan durasi paparan (60 dan 90 hari). Perbedaan dengan penelitian ini adalah penghitungan kerusakan sel pyramidal cortex prefrontalis medial menggunakan metode Nv x V (ref) dan pemberian natrium fluorida dengan dosis 5 mg/kg BB, 10 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB selama 30 hari. Pereira et al. (2011) meneliti tentang pengaruh pemberian natrium fluorida terhadap memori dengan uji open-field habituation dan peningkatan monoamin, dengan pemberian NaF 1,54 ppm dan 100 ppm selama 15, 30, 45 hari. Hasilnya natrium fluorida dapat menyebabkan gangguan memori dan peningkatan noradrenalin (NA) dan serotonin (5-HT) pada striatum, hippocampus dan neocortex tikus. Perbedaan dengan penelitian ini kerusakan dilihat pada sel pyramidal cortex prefrontalis medial dengan metode Nv x V (ref) dan gangguan memori kerja diuji dengan Y-maze.
Chioca et al. (2008) meneliti tentang pengaruh pemberian NaF terhadap habituasi, dengan pemberian natrium fluorida dalam air minum dengan konsentrasi 1,54 ppm, 50 ppm dan 100 ppm selama 30 hari. Selanjutnya dilakukan uji open-field habituation dan two-way active avoidance. Hasilnya pemberian NaF dapat berpotensi merusak proses belajar dan memori pada tikus. Perbedaan dengan penelitian ini memori kerja dievaluasi dengan uji Y-maze.
I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Memberi informasi pada masyarakat, tentang pengaruh penggunaan fluorida dalam air minum terhadap kesehatan khususnya pada otak dan memori kerja.
2.
Menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan pengaruh fluorida terhadap cortex prefrontalis.
3.
Menjadi dasar teori untuk penelitian pada manusia terkait dengan pengaruh fluorida pada otak dan memori kerja.