1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Umumnya sinar matahari memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia seperti sebagai sumber cahaya dan energi, untuk mengubah provitamin D menjadi vitamin D, serta dalam proses fotosintesis. Namun, pemaparan sinar matahari (sinar UV) yang berlebihan dapat menyebabkan eritema, hiperpigmentasi, bahkan sampai menyebabkan kanker kulit. Sinar UV yang paling berpotensi menyebabkan eritema adalah sinar UV B (290 nm-320 nm), dan yang menyebabkan pigmentasi adalah sinar UV A (320 nm-400 nm). Sinar UV C (100 nm-290 nm) bersifat karsinogenik, namun sinar tersebut dapat disaring oleh lapisan ozon sehingga tidak sampai di permukaan bumi (Elmarzugi, dkk., 2013). Adanya dampak negatif sinar matahari tersebut maka kita perlu menggunakan pelindung kulit tabir surya. Tabir surya akan menyerap sinar UV dan menghalangi penetrasi sinar UV ke lapisan epidermis (Elmarzugi, dkk., 2013). Yuliani (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai tabir surya. Senyawa yang diduga berpotensi sebagai tabir surya adalah kurkumin yang mampu menyerap sinar UV A dan UV B. Berdasarkan dampak negatif dari paparan sinar matahari dan kandungan temu mangga yang berpotensi sebagai agen tabir surya, maka perlu dikembangkan sediaan kosmetika yang berfungsi sebagai tabir surya. Pada umumnya sediaan
2
tabir surya berupa sediaan lotion (Elmarzugi, dkk., 2013) dan termasuk dalam salah satu jenis skin care cosmetics. Lotion merupakan salah satu jenis produk kosmetik yang berupa emulsi minyak dalam air (o/w) yang dapat membersihkan dan menjaga kesehatan kulit. Pada dasarnya skin care cosmetics dapat melindungi kulit radiasi ultraviolet dan membersihkan kulit sehingga tetap indah dan sehat (Mitsui,1997). Umumnya, lotion o/w tabir surya berbentuk emulsi dengan substantivitas yang bagus untuk dapat mengoptimalkan aktivitas sun protection factor (SPF) (Shaath, 2005). Untuk menjaga kestabilan dan substantivitas lotion diperlukan pengaturan jumlah bahan pengental yang digunakan yaitu setil alkohol. Untuk mendapatkan emulsi yang stabil maka diperlukan pengaturan terhadap emulgator yang digunakan yaitu trietanolamin-stearat. Pengaturan emulgator perlu dilakukan untuk menjamin stabilitas emulsi, sehingga lotion yang dihasilkan dapat berfungsi secara optimal. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum? 2. Bagaimana sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)? 3. Bagaimana stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.)?
3
4. Bagaimana aktivitas formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui komposisi trietanolamin-stearat dan setil alkohol dalam formulasi lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) yang menghasilkan formula optimum. 2. Mengetahui sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). 3. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.). 4. Mengetahui aktivitas lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) sebagai tabir surya. D. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Temu Mangga Klasifikasi tanaman temu mangga adalah sebagai berikut: Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma mangga Val.
Nama dagang
: Temu mangga (Hutapea, dkk., 1993)
4
Gambar 1. Temu mangga (Curcuma mangga Val.)
Dwinugraheni (2013) menyebutkan bahwa ciri-ciri makroskopis rimpang temu mangga adalah berbentuk bulat dan memanjang, berwarna coklat dengan sayatan kuning seperti yang terlihat pada gambar 1. Selain itu temu mangga memiliki bau dan rasa seperti mangga muda. Berdasarkan pengamatan secara mikroskopik rimpang temu mangga memiliki amilum dan sel minyak berwarna kekuningan. Temu
mangga
mengandung
senyawa
flavonoid,
kurkumin,
demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, asam galat, katekin, epikatekin, epigalokatekin, epigalokatekingalat, dan galokatekingalat (Setyaningrum A., dkk., 2013; Abas, dkk.., 2005; dan Pujimulyani, 2013). Ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. mengandung kurkumin sebesar (0,19 ± 0,0131) % (Sumarny, dkk., 2012) dan mengandung total flavonoid sebesar (0,15 ± 0,00) mg Eq kuersetin/kg bk (Setyaningrum, A., dkk., 2013). 2. Sinar Paparan sinar matahari dapat memberikan efek menguntungkan maupun merugikan bagi manusia. Efek menguntungkan dari sinar matahari antara lain untuk forosintesis, sintesis vitamin D, dan fototerapi. Akan tetapi, paparan sinar
5
matahari dapat merugikan manusia berupa radiasi sinar UV yang tergantung pada waktu penyinaran, letak geografis, cuaca, dan lingkungan. Radiasi UV tidak dapat dirasakan dan dilihat, serta tidak bergantung pada suhu dan masih memiliki intensitas yang tinggi walaupun cuaca berawan (WHO, 2003). Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian: a. Ultraviolet A ialah sinar dengan panjang gelombang antara 320-400 nm, menginduksi kerusakan kulit, seperti kulit terlihat lebih kering, pigmentasi tidak merata, peradangan pada kulit, dan UVA lebih mudah menembus kaca jendela (Elmarzugi, dkk., 2013). b. Ultraviolet B ialah sinar dengan panjang gelombang antara 290 – 320 nm yang dapat menimbulkan sunburn. Sunburn merupakan eritema akut yang terjadi dalam hitungan jam dan mencapai maksimum kira-kira 12-24 jam setelah paparan sinar UV B. Kerusakan DNA setelah radiasi UV B menghasilkan eritema (Arakane, 2016). c. Ultraviolet C ialah sinar dengan panjang gelombang di bawah 100-290 nm, bersifat paling karsinogenik, tetapi sebagian besar telah tersaring oleh lapisan ozon dalam atmosfer (Elmarzugi, dkk., 2013). Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kulit mengalami beberapa perubahan. Respon pertama adalah terjadinya immediate pigment darkening (IPD) yaitu perubahan warna kulit menjadi kecoklatan sampai abu-abu setelah paparan sinar UV A. IPD dapat terjadi setelah 1 menit paparan sinar UV A dan dapat berlangsung selama 30 menit. Respon yang kedua adalah persistent pigment darkening (PPD) yaitu respon tahan lama dari individu terhadap pigmentasi
6
setelah terpapar radiasi sinar UV. Dalam respon ini juga terjadi pembentukan melanin baru. PPD terjadi dalam hitungan jam dan mungkin bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Terjadinya PPD terutama disebabkan oleh paparan sinar UV A dan bisa dimungkinkan paparan sinar UV B juga berpengaruh (Nelson, 2005). Radiasi sinar UV dapat menyebabkan kerusakan akut dan kronis pada kulit. Apabila terjadi kerusakan DNA maka dapat menyebabkan kanker kulit. Akan tetapi kulit memiliki mekanisme untuk melindungi diri dari kerusakan akibat paparan sinar UV. Bentuk perlindungan yang dilakukan adalah dengan pigmentasi dan penebalan lapisan epidermis kulit. Sehingga kulit dengan pigmen lebih banyak atau kulit gelap tidak lebih sensitif terhadap sunburn daripada kulit putih. Namun, pada beberapa manusia mekanisme pertahanan kulit kurang bekerja dengan baik. Hal ini terjadi pada pasien penderita lupus (Bakker, 2012). 3. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan komponen aktif dari jaringan tanaman menggunakan pelarut cair (solven) yang sesuai prosedur. Poses ekstraksi digunakan untuk memisahkan metabolit yang larut dan yang tidak larut dalam solven yang digunakan. Ekstrak yang dihasilkan terdiri dari campuran metabolit yang kompleks dalam bentuk cair, semisolid, atau serbuk yang dapat digunakan secara oral maupun eksternal (Handa, 2008). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus meemnuhi kriteria sebagai berikut: a. Murah dan mudah diperoleh
7
b. Stabil secara fisika dan kimia c. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki d. Tidak memengaruhi zat yang berkhasiat (Depkes RI, 1986) Salah satu metode ekstraksi yang dapat dilakukan adalah maserasi. Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan
4-10
hari.
Secara
teoritis
pada
suatu
maserasi
tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1994). 4. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Berdasarkan konsistensinya ekstrak dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
8
a. Ekstrak encer Ekstrak jenis ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang. b. Ekstrak kental Ekstrak kental dalam keadaan dingin tidak dapat dituang dan kandungan airnya kurang dari 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan instabilitas sediaan obat (cemaran bakteri). c. Ekstrak kering Ekstrak kering memiliki konsistensi kering dan memiliki kandungan air kurang dari 5%. d. Ekstrak cair Suatu ekstrak cair dibuat sedemikian, sehingga 1 bagian jamu sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair (Voigt, 1994). 5. Kulit Kulit merupakan bagian tubuh manusia dengan luas pemukaan terbesar. Daerah permukaan kulit orang dewasa sekitar 2 m2 dengan berat 4,5 – 5 kg atau sekitar 16% dari total berat tubuh manusia. Sedangkan, ketebalan kulit tubuh mencapai 1-2 mm, kecuali pada kelopak mata yaitu 0,5 mm dan pada tungkai kaki setebal 4 mm. Kulit memiliki fungsi antara lain mengatur suhu tubuh, mengekskresi dan mengabsorbsi senyawa, melindungi tubuh dari lingkungan eksternal, dan sebagai indera peraba (Tortora, 2009). Menurut Tortora (2009), kulit terdiri dari 2 bagian utama, yaitu epidermis dan dermis.
9
a. Epidermis Lapisan epidermis berfungsi memperkuat pertahanan kulit dengan proses regenerasi permukaan kulit (keratogenesis) dan proses pigmentasi kulit (melanogenesis) (Couturaud, 2009). Dalam lapisan epidermis terdapat 4 lapisan yaitu: 1) Stratum basale Stratum basale merupakan lapisan yang paling bawah dari lapisan epidermis dan dikenal juga sebagai stratum germinativum. Pada lapisan ini, terdapat stem cell yang melalui pembelahan sel secara terus menerus menghasilkan sel keratinosit yang baru. 2) Stratum spinosum Keratinosit pada lapisan spinosum sama dengan keratinosit pada lapisan basale. Selain keratinosit terdapat pula sel Langerhans dan melanosit. 3) Stratum granulosum Pada lapisan granulosum, sel mulai mengalami degeneratif. 4) Stratum lusidum Pada lapisan lusidum terdapat keratinosit yang mati dengan jumlah keratin yang banyak. 5) Stratum korneum Pada lapisan korneum terdiri dari banyak sel keratin yang mati yang secara terus menerus akan diganti dengan sel yang terletak di lapisan bawahnya.
10
b. Dermis Lapisan dermis terdiri dari jaringan kolagen dan serat elastis. Lapisan ini berperan
dalam
pengaturan
elastisitas
dan
termoregulasi
kulit
dengan
menyediakan nutrisi bagi kulit (Couturaud, 2009).
Gambar 2. Struktur kulit (Tortora, 2009)
6. Lotion Lotion merupakan bentuk sediaan farmasi yang berupa larutan atau suspensi, digunakan secara topikal (Jones, 2008), dan biasanya berupa emulsi. Lotion lebih disukai pemakai karena memiliki daya sebar dan estetika yang lebih baik (Levy, 2009). Selain itu, lotion bersifat lebih ringan, tidak berminyak, dan dapat memberikan efek dingin dengan segera saat dioleskan pada kulit. Lotion memiliki sifat alir newtonian atau pseudoplastik (Buhse, dkk., 2005). Lotion ditujukan untuk pemakaian pada kulit sebagai pelindung atau sebagai obat karena sifat bahan-bahannya. Sifat cair yang dimilikinya memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Lotion dimaksudkan untuk dapat segera kering pada kulit setelah pemakaian dan
11
meninggalkan lapisan tipis pada permukaan kulit. Pada pemakaiannya lotio harus dikocok kuat-kuat saat akan memakainya supaya bahan-bahan yang telah memisah dapat terdispersi kembali. Hal ini dikarenakan, fase terdispersi pada lotio cenderung untuk memisahkan diri dari sistem dispersi (Ansel, 1989). Untuk pemakaian kulit lotion merupakan sediaan yang dipilih dalam menghidrasi kulit. Sediaan lotion berbentuk emulsi yang terdiri dari humektan, emolien, dan occlusive agent yang ketiganya berfungsi untuk mengatur kelembapan kulit. Occlusive agent mengatur kelembapan kulit dengan menghambat secara fisik penguapan air dari dalam tubuh. Humektan mengatur kelembapan kulit dengan menarik air di sekelilingnya. Emolien dapat menghambat penguapan air dari dalam tubuh, namun lebih efektif di dalam melembutkan kulit (Liverman, 2009). Untuk mencegah terjadinya penggabungan fase dispers satu dengan yang lain atau untuk mengurangi laju penggabungan tersebut, maka perlu ditambahkan zat pengemulsi yang akan membentuk suatu lapisan di sekeliling tetesan-tetesan fase dispers (Martin, dkk., 2008). Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antara fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. (Depkes RI, 1995).
12
7. Surfaktan Surfaktan memiliki sisi hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul. Berdasarkan bentuk ionisasinya, surfaktan diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Iwata, 2013). a. Surfaktan anionik Surfaktan anionik memiliki kemampuan menyabun, emulsifikasi, dan permeabilitas dengan baik. Pada umumnya, surfaktan anionik digunakan dalam formulasi sampo, sabun mandi, dan pembersih wajah. Surfaktan jenis ini, dikelompokkan menjadi 4 grup hidrofilik yaitu asam sulfonat, asam sulfat, asam karboksilat, dan fosfat (Iwata, 2013). Contoh dari surfaktan anionik adalah trietanolamin-stearat. b. Surfaktan kationik Surfaktan kationik mempunyai struktur dengan 4 atom hidrogen pada ion amonium yang digantikan oleh gugus alkil dan metil. Surfaktan kationik dapat memberikan efek lembut pada kulit (Iwata, 2013). Contoh surfaktan kationik adalah laurildimetilbenzilamonium klorida. c. Surfaktan nonionik Gugus lipofilik bertanggung jawab terhadap sifat emulgator dari surfaktan nonionik. Gugus hidrofilik yang paling banyak digunakan adalah gliserin dan polietilen (Iwata, 2013). Contoh surfaktan nonionik adalah ester asam lemak sorbitan dan lanolin alkohol.
13
d. Surfaktan amfoterik Struktur surfaktan amfoterik terdiri dari asam amino. Surfaktan jenis ini banyak digunakan dalam sampo dan sabun mandi untuk meningkatkan kemampuan menyabun dan mengurangi iritasi (Iwata, 2013). Surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air. Hal ini penting karena dapat meningkatkan stabilitas emulsi. Supaya dapat bekerja secara efektif maka surfaktan harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut. a. Surfaktan harus mampu menurunkan tegangan permukaan pada air dan minyak supaya proses emulsifikasi dapat terjadi. Sehingga harus ada keseimbangan antara gugus hidrofilik dan lipofilik. b. Pada permukaan air-minyak, surfaktan dapat bekerja secara sendiri atau bersama dengan molekul lainnya untuk membentuk lapisan tipis yang elastis, kuat, dan kental. c. Surfaktan harus mampu dengan cepat berada di antara permukaan minyakair untuk menurunkan tegangan permukaan selama proses emulsifikasi. d. Surfaktan harus menyesuaikan dengan polaritas fase minyak. Minyak yang sangat polar memerlukan surfaktan yang lebih hidrofilik daripada minyak dengan polaritas rendah (Dahms, 2005) . 8. Tabir Surya Tabir surya merupakan zat yang menghambat efek dari sinar matahari yang berbahaya. Tabir surya apabila digunakan sebagai lotion maka dapat mengurangi risiko kanker kulit, termasuk melanoma (Anonim, 2015).
14
Menurut Black (1997) , mekanisme kerja tabir surya antara lain: a. Senyawa mengabsorpsi atau menghalangi sinar UV. b. Senyawa akan berkompetisi dengan target molekul yaitu senyawa yang dapat dirusak oleh sinar UV. c. Senyawa yang dapat memperbaiki senyawa yang rusak oleh sinar matahari. d. Senyawa akan menekan respon inflamasi. Sehingga dapat menutupi manifestasi kerusakan akibat sinar UV. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan formula tabir surya adalah: a. Harus nyaman digunakan. b. Tabir surya harus dalam jumlah yang cukup agar efektif. c. Bahan tabir surya dan pembawa harus kompatibel. d. Harus dipertimbangkan sifat yang diinginkan dari bahan nonvolatil yang tertinggal di kulit (Wilkinsoon dan Moore, 1982). Tabir surya dibagi dalam 2 macam, yaitu yang bersifat kimia dan fisik. Tabir surya yang bersifat kimmia (contohnya PABA, salisilat, dan antranilat) yang dapat mengabsorbsi 95% sinar UVB yang dapat menyebabkan sunburn (eritema dan kerut), namun tidak dapat menghalangi UV A penyebab direct tanning, kerusakan sel elastin, dan timbulnya kanker kulit. Tabir surya yang bersifat fisik (contohnya titanium dioksida dan ZnO) yang dapat memantulan sinar serta menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).
15
Analisis aktivitas tabir surya dapat dilakukan dengan menghitung nilai SPF, % transmitasi eritema, dan % transmitasi pigmentasi (Khan, 2014; Cumpelik, 1972). a. Evaluasi SPF secara in vitro Sun Protection Factor (SPF) merupakan rasio yang menggambarkan respon terhadap paparan sinar UV pada kulit yang diolesi tabir surya dan yang tidak diolesi tabir surya (Nash, 2006). Penentuan nilai SPF dapat ditentukan secara in vitro dan in vivo. Pengukuran SPF secara in vitro merupakan uji yang menirukan pengukuran SPF secara in vivo menggunakan energi transmisi yang menembus tabir surya. Pengukuran SPF secara in vitro bertujuan untuk memprediksi nilai SPF produk di laboratorium dengan menggunakan spektrofotmeter. Apabila pengukuran SPF secara in vitro akurat, maka formulator dapat meminimalisir biaya yang digunakan dalam skrining formula baru untuk diuji selanjutnya. Apabila nilai SPF secara in vitro sesuai dengan nilai SPF secara in vivo, dapat diasumsikan bahwa hasil transmitasi pada pengukuran secara in vitro adalah benar (Stanfield, 2005). Penentuan nilai SPF secara in vitro dilakukan dengan spektrofotometer UV-Vis. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Mansur. Dalam metode Mansur, pembacaan absorbansi larutan sampel dilakukan pada panjang gelombang 290-320 nm dengan rentang 5 nm dan dibaca sebanyak 3 kali pada titik yang sama. Kategori proteksi suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini.
16
SPF ≥ 30 12-29 2-11
Tabel 1. Klasifikasi SPF (Murphy, 2005) Kategori Level Proteksi Proteksi tinggi Untuk kulit yang mudah mengalami sunburn Proteksi sedang Untuk kulit yang kemungkinan mengalami sunburn-nya sedang Proteksi minimal Untuk kulit yang sulit mengalami sunburn
b. Evaluasi nilai % TE dan % TP % TE dapat ditentukan dengan cara spektrofotometri yaitu dengan mengukur absorbansi larutan sampel pada rentang panjang gelombang yang menimbulkan eritema pada panjang gelombang 292,5 – 337,5 nm, sedangkan untuk % TP dilakukan pembacaan absorbansi larutan sampel pada panjang gelombang yang menimbulkan pigmentasi, yaitu pada panjang gelombang 332,5-372,5 nm. Pembacaan dilakukan dengan interval 5 nm. Dari nilai serapan yang didapat, dihitung nilai serapan untuk 1 g/L/cm dan T% 1 g/L dengan rumus A=- log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang gelombang 292,5 – 337,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor pigmentasi (Fp) pada panjang gelombang 332,5-372,5 nm (Cumpelik, 1972). Tabel 2. Kategori penilaian aktivitas tabir surya (Balsam, 1972) Rentang sinar UV yang ditransmisi Kategori penilaian % eritema % pigmentasi Sunblock <1 3-40 Proteksi ekstra 1-6 42-86 Suntan standar 6-12 45-86 Fast tanning 10-18 45-86
17
9. Metode Simplex Lattice Design (SLD) Metode SLD merupakan metode yang sangat tepat untuk digunakan dalam optimasi formula pada jumlah komposisi bahan yang berbeda-beda, akan tetapi jumlah total bahan adalah konstan. Untuk menentukan formula yang optimal digunakan persamaan sistematik (Bolton, 2010) Implementasi dari metode SLD adalah menyiapkan berbagai macam formulasi yang terdiri dari kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Kombinasi dipersiapkan dengan suatu cara yang mudah dan efisien seperti menggunakan data eksperimental untuk memprediksi respon yang berada dalam ruang simplex (simplex space). Data eksperimental digunakan untuk membuat persamaan polinomial yang digunakan untuk memprediksi profil respon (Bolton, 2010). 10. Kurkumin Kurkumin merupakan salah satu senyawa yang khas dari suku Zingiberaceae yang memberikan warna kuning. Kurkumin merupakan salah satu jenis antioksidan alami yang dapat mencegah pertumbuhan sel kanker secara sendiri maupun bila dikombinasikan dengan zat antioksidan lainnya (Fitria, 2008). Pada dasarnya kurkumin relatif stabil pada suasana asam, tetapi mudah terdegradasi pada pH basa (Kumavat, 2013). 11. Monografi a. Setil Alkohol Setil alkohol dapat berfungsi sebagai agen penyalut, agen pengemulsi, dan agen pengeras. Setil alkohol banyak digunkan dalam sediaan kosmetik dan
18
sediaan farmasetis seperti suppositoria, sediaan solid dengan pelepasan termodifikasi, emulsi, lotion, krim, dan ointment. Pada lotion, krim, dan ointment setil alkohol digunakan sebagai emolien, pengental, dan pengemulsi. Hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas, tekstur, dan konsistensi. Sifat emolien tergantung pada absorpsi dan retensi setil alkohol pada lapisan epidermis, yang mana memiliki sifat sebagai lubrikat dan pelembut kulit, tetapi juga meningkatkan konsistensi atau teksturnya. Pada emulsi o/w, setil alkohol diketahui mampu meningkatkan stabilitas apabila dikombinasikan dengan agen pengemulsi larut air. Kombinasi tersebut akan mencegah terjadinya koalesen dengan mekanisme pembentukan lapisan monomolekuler pada antarmuka minyak dan air ( Rowe, dkk., 2006). b. Asam Stearat Asam stearat banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis sebagai agen pengemulsi ketika direaksikan dengan alkali dan trietanolamin. Asam stearat berupa partikel padat, berwarna putih atau kekuningan, agak mengkilap, sedikit berbau, dan rasanya seperti ada lemaknya. Asam stearat memiliki titik lebur pada suhu 69o-70oC dan bagiannya larut dalam 15 bagian etanol, serta tidak larut dalam air (Rowe, dkk., 2006). c. Minyak mineral Minyak mineral berfungsi sebagai emolien, lubrikan, pembawa oleaginous, dan solven. Pada pembuatan emulsi o/w, minyak mineral digunakan sebagai solven. Minyak mineral bersifat transparan, tidak berwarna, cairan berminyak, tidak berfluoresensi di siang hari, tidak berasa, tidak berbau ketika dingin, tidak
19
larut dalam etanol 95%, gliserin, dan air, tetapi larut dalam kloroform, benzene, dan eter (Rowe, dkk., 2006). d. Propil paraben Propil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan dengan ester paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain. Propil paraben efektif melawan jamur dan kapang. Propil paraben berwarna serbuk putih, kristal, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe, dkk., 2006). e. Gliserin Gliserin berfungsi sebagai antimikroba, emolien, humektan, plasticizer, pelarut, dan agen pemanis. Pada formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin tidak berwarna, kental, tidak berbau, cairan higroskopik, dan memiliki rasa manis (Rowe, dkk., 2006). f. Trietanolamin Trietanolamin berfungsi sebagai agen pengalkalis dan agen pengemulsi. Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis terutama pada sediaan emulsi. Ketika dicampur dengan asam lemak, seperti asam stearat atau asam oleat, trietanolamin membentuk sabun anionik yang digunakan sebagai agen pengemulsi untuk membentuk emulsi o/w yang stabil. Trietanolamin tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat, berupa cairan kental yang sedikit berbau amoniak (Rowe, dkk., 2006).
20
g. Metil paraben Metil paraben berfungsi sebagai antimikroba dalam kosmetik, makanan, dan sediaan farmasetis. Dapat digunakan sebagai senyawa tunggal, dikombinasikan dengan paraben lainnya atau dikombinasikan dengan antimikroba yang lain. Metil paraben efektif melawan jamur dan kapang. Metil paraben berupa kristal putih atau kristal tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan memiliki rasa terbakar ringan (Rowe, dkk., 2006). h. Lanolin Lanolin dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal farmasetis dan kosmetik. Lanolin digunakan sebagai pembawa hidrofobik. Lanolin dicampur dengan air seberat dua kalinya untuk menghasilkan emulsi yang stabil (Rowe, dkk., 2006).
E. Landasan Teori Yuliani (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktiivitas sebagai tabir surya. Hal tersebut dibuktikan dengan pengukuran nilai SPF terhadap ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. menunjukkan nilai SPF sebesar 15,18. Suatu bahan bisa dikatakan memiliki aktivitas sebagai tabir surya jika memiliki nilai SPF minimal 2 (Murphy, 2005). Tabir surya dengan nilai SPF setidaknya 15 direkomendasikan untuk digunakan sebagai sunscreen dalam kehidupan sehari-hari. Temu
mangga diketahui mengandung kurkuminoid yang memiliki
kromofor dan gugus auksorom yang mampu menyerap sinar UV (Yuliani, 2010).
21
Dalam penelitian Sumarny, dkk (2012), kadar kurkumin dalam temu mangga diketahui sebesar (0,19 ±0,0131)%. Selain itu, kurkuminoid termasuk golongan polifenol yang memiliki sifat antioksidan. Sifat ini menjadi salah satu alasan utama digunakannya tanaman herbal sebagai bahan kosmetik (Kole, 2005). Pemilihan basis dalam formulasi sediaan lotion sangat mempengaruhi karakter lotion yang terbentuk. Teori emulsi tidak mampu untuk memprediksi komposisi yang sesuai untuk memperoleh emulsi dengan sifat fisik tertentu. Sehingga untuk mendapatkan formulasi yang sesuai diperlukan optimasi antara lain terhadap prosedur evaluasi, komposisi bahan yang digunakan, dan perumusan formulasi yang dimodifikasi (Lieberman, dkk., 1996).
Dalam penelitian ini,
optimasi dilakukan terhadap TEA-stearat dan setil alkohol. TEA merupakan salah satu komponen dalam lotion yang berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi (Kwan, 2014). TEA berfungsi sebagai pengemulsi dan pengatur pH pada konsentrasi (2-4)% (Rowe, dkk., 2006). Asam stearat berfungsi sebagai bahan pengemulsi dan solubilisasi pada konsentrasi (1-20)% untuk sediaan topikal (Rowe, dkk., 2006). Asam stearat dan TEA akan membentuk kompleks TEAstearat yang berfungsi sebagai emulgator (Fiume, 2013). Setil alkohol berfungsi sebagai penstabil dan pengental (Kwan, 2014). Bahan tersebut berfungsi sebagai bahan pengemulsi pada konsentrasi (2-5)% dan sebagai bahan pengental pada konsentrasi (2-10)% (Rowe, dkk., 2006).
22
F. Hipotesis 1.
Kombinasi TEA-stearat dan setil alkohol dalam formula lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val.) dapat menghasilkan formula yang optimum.
2.
Formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu
mangga (
Curcuma mangga Val.) yang optimum ditunjukkan oleh sifat fisik yang optimum. 3.
Formula lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu
mangga ( Curcuma
mangga Val.) yang stabil ditunjukkan oleh sifat fisik yang stabil. 4.
Lotion o/w ekstrak etanolik Curcuma mangga Val. memiliki aktivitas sebagai tabir surya.