BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sinar matahari memberikan dampak positif dan dampak negatif untuk makhluk hidup tak terkecuali manusia. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain frekuensi dan lamanya sinar mengenai kulit, intensitas sinar matahari, serta sensitivitas dari seseorang. Apabila seseorang terkena paparan sinar matahari langsung pada jam tertentu dan dalam frekuensi yang lama maka kemungkinan besar akan banyak efek merugikan yang dialami. Beberapa contoh efek merugikan dari sinar matahari antara lain menyebabkan terbakarnya sel-sel kulit manusia, pigmentasi, dan penuaan dini dalam paparan yang berlebihan (Widji dkk., 2005) Kulit manusia secara alami memiliki fungsi proteksi terhadap bahaya sinar matahari, namun dalam beberapa kondisi tertentu diperlukan proteksi tambahan. Salah satu cara proteksi kulit adalah dengan menggunakan tabir surya sebelum beraktivitas. Tabir surya berfungsi membaurkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari terutama pada daerah emisi gelombang ultraviolet dan inframerah, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya matahari (Wilkinson dan Moore, 2000) Tabir surya dapat dibuat dari senyawa sintetis maupun bahan alam, namun sekarang ini lebih banyak ditemukan tabir surya dengan kandungan zat aktif sintetis. Hal ini sangat disayangkan, melihat kemampuan bahan alam dan senyawa sintetis dalam menyerap sinar matahari UV adalah mirip tetapi bahan
1
2
alam memiliki toleransi yang lebih baik sehingga tidak menimbulkan iritasi berat pada kulit yang sensitif. Beberapa contoh senyawa dari bahan alam yang memiliki aktivitas sebagai tabir surya adalah turunan asam amino benzoat (PABA), asam salisilat, antranilat, sinamat, dan benzofenon (Rai dan Srinivas, 2007). Curcuma mangga Val. and van Zijp diketahui mampu memberikan proteksi terhadap sinar matahari. Zat aktif yang diduga bertanggung jawab adalah kurkumin yang diketahui memiliki gugus auksokrom dan kromofor yang dapat menyerap sinar pada panjang gelombang UV. Berdasarkan penelitian Yuliani (2010) diketahui bahwa 1,25 mL ektrak Curcuma mangga Val. and van Zijp dalam 10 mL larutan stok dapat menghasilkan SPF sekitar 15. Pembuatan lotion yang baik, tidak cukup memperhatikan kandungan zat aktif dalam lotion. Komposisi bahan lain seperti emulgator, humectant, pengatur pH, dan stiffening agent juga perlu diperhatikan sehingga ini yang menjadi dasar dilakukan penelitian untuk mengoptimasi komposisi gliserin dan setil alkohol dalam lotion o/w. Gliserin dalam lotion o/w berfungsi sebagai humectant dan emollient yang berfungsi untuk mengatur kelembapan kulit (Nûnez dan Medina, 2009). Setil alkohol berfungsi sebagai emulgator dan stiffening agent dimana stiffening agent akan berpengaruh pada viskositas lotion (Unvala, 2009). Viskositas dari lotion o/w akan berpengaruh pada kestabilan dan kenyaman dari pengguna sehingga diharapkan lotion o/w memiliki viskositas yang tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental. Lotion o/w dipilih karena memiliki beberapa kelebihan yaitu mudah dicuci dengan air, nongreasy, memberikan efek dingin pada kulit, dan apabila zat
3
aktifnya larut dalam air maka akan mudah dilepaskan pada tempat aplikasi (Khan dkk., 2011). Optimasi formula dilakukan menggunakan metode Simplex Lattice Design (SLD) dimana metode ini lebih praktis dibandingkan metode lainnya karena tidak memerlukan prosedur trial and error. Selain itu, dilakukan uji aktivitas lotion o/w formula optimum untuk memastikan potensi Curcuma mangga Val. and van Zijp sebagai tabir surya setelah diformulasi menjadi sediaan lotion o/w. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan diselesaikan, antara lain : 1. Berapakah komposisi setil alkohol dan gliserin yang menghasilkan formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga menggunakan metode Simplex Lattice Design? 2. Bagaimanakah sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga sebagai tabir surya? 3. Bagaimanakah aktivitas formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga in vivo pada kelinci? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui komposisi setil alkohol dan gliserin yang menghasilkan formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga dengan metode Simplex Lattice Design.
4
2. Mengetahui sifat fisik formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga sebagai tabir surya. 3. Mengetahui aktivitas formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga sebagai tabir surya secara in vivo pada kelinci. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan informasi formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val. and van Zijp) dan aktivitasnya sebagai tabir surya sehingga diperoleh alternatif sediaan lotion o/w sebagai tabir surya yang berasal dari bahan alam. E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tanaman temu mangga (Curcuma mangga Val. and van Zijp) Klasifikasi tanaman temu mangga adalah sebagai berikut (Gusmaini, 2004) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Classis
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma mangga Val. and van Zijp
Nama umum : Temu mangga Tanaman temu mangga (Curcuma mangga Val. and van Zijp) merupakan tanaman semak berumur tahunan. Tanaman ini mempunyai tinggi 50-75 cm,
5
bentuk batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Temu mangga memiliki rimpang berbentuk bulat, renyah, dan mudah dipatahkan. Kulitnya dipenuhi semacam akar serabut yang halus hingga menyerupai rambut. Rimpang utamanya keras, bila dibelah tampak daging buah berwarna kekuning-kuningan di bagian luar dan putih kekuningan di bagian tengahnya. Rimpang berbau aromatis seperti bau mangga, dan rasanya mirip mangga sehingga masyarakat menyebutnya temu mangga (Syukur, 2003). Temu mangga dapat tumbuh dan berproduksi dengan pada tanah yang agak berpasir sampai bertekstur liat dengan ketinggian 5-750 mdpl, dengan curah hujan 150-4000 mm/tahun, suhu pertumbuhan tanaman berkisar antara 19-35°C. Umumnya di daerah Jawa, temu mangga akan tumbuh liar terutama di hutan jati, ladang yang sudah tidak digunakan atau tempat berbatu, namun yang paling baik di daerah panas yang ternaungi (Syukur dan Hernani, 2001). Temu mangga mengandung 11 senyawa, yaitu campuran stigmaterol dan βsitosterol, demetoksikurkumin, bismetoksikurkumin, 1,17-bis (4- hidroksifenil)1,4,6-heptatrien-3-on, 7-hidroksi-6-metoksi kaumarin, kurkumin, zerumin B, kurkumanggosida, asam-4-hidroksisinamik, labda-8(17),12-diene,15,16-dial dan kalkalatarin A (Abas dkk., 2005) dimana senyawa utamanya adalah kurkuminoid dan minyak atsiri. Menurut Yuliani (2010) senyawa kurkumin pada temu mangga diketahui memiliki kemampuan menyerap sinar pada panjang gelombang UV karena memiliki gugus auksokrom dan kromofor. Menurut hasil penelitian, volume ekstrak sebesar 1 ml; 1,25 ml; 1,50 ml; dan 1,75 ml dalam 10 ml larutan
6
stok secara berturut-turut dapat memberikan nilai SPF sebesar 9,94; 15,18; 21,88; dan 27,98. 2. Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 2011). Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman (Mukhriani, 2014). Metode ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu cara dingin dan cara panas (Anonim, 2000). Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi cara dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan (Istiqomah, 2013). Cara dingin termasuk perkolasi dan maserasi dimana maserasi memiliki prinsip pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Metode ini dipilih dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1985). Cara kedua adalah cara panas yang terdiri dari refluks, soxhlet, digesti, dan infus.
7
Ekstraksi pada dasarnya hanya dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Prinsip fase pembilasan adalah pelarut akan kontak langsung dengan material simplisia dan menarik kandungan senyawanya sementara fase ekstraksi, pelarut harus mampu mendesak masuk lebih dalam hingga menembus membran sel dan masuk ke dalam ruang sel (Voigt, 1994). 3. Sinar Matahari Sinar matahari memiliki beberapa dampak positif dan negatif. Dampak positif dari sinar matahari adalah sebagai sumber energi bagi kelangsungan makhluk hidup dan dampak negatifnya antara lain menyebabkan terbakarnya selsel kulit manusia, pigmentasi, dan penuaan dini pada paparan yang berlebihan (Widji dkk., 2005). Dampak negatif ini dapat diperparah oleh pemanasan global sehingga terjadi peningkatan intensitas sinar UV yang sampai ke bumi. Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia, sinar UV dibedakan menjadi 3 golongan, yakni (Dutra, 2004) : a. Ultraviolet A ialah sinar dengan panjang gelombang antara 320-400 nm yang dapat menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan sebelumnya. Apabila panjang gelombang lebih besar dari 340 nm, dapat terpenetrasi lebih dalam ke kulit yang menyebabkan kerusakan pada dermis. b. Ultraviolet B ialah sinar dengan panjang gelombang antara 290-320 nm yang menimbulkan eritema. c. Ultraviolet C ialah sinar dengan panjang gelombang di bawah 290 nm, dapat merusak jaringan kulit.
8
Sinar UV-A memiliki energi lebih kecil jika dibandingkan dengan UV-B dan UV-C, tetapi mempunyai intensitas sinar lebih banyak sampai ke permukaan bumi. Sinar UV-B memiliki energi yang lebih besar dari pada UV-A, tetapi intensitas sinar yang sampai ke permukaan bumi lebih sedikit. Sinar UV-C secara alami tidak akan sampai ke permukaan bumi karena akan dihalangi oleh lapisan atmosfer bumi (Soebaryo & Jacoeb, 2007). Berdasarkan kemampuan menembus kulit, sinar UV-A dapat menembus kulit hingga lapisan dermis sehingga dapat merusak connective tissue, kolagen, dan elastin sehingga mengakibatkan proses aging atau „penuaan‟, sedangkan UVB dapat menembus sampai bagian epidermis (Rai, 2007). 4. Kulit Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh dan menyumbang 15% dari berat badan orang dewasa. Kulit memegang peranan penting bagi tubuh, salah satunya yaitu melindungi dari bahaya luar baik fisik, kimia, maupun biologis. Selain itu, kulit juga mencegah hilangnya air dari dalam tubuh dan berperan dalam menjaga suhu tubuh (Kanitakis, 2002). Struktur kulit dapat dilihat pada gambar 1.
9
Gambar 1. Struktur kulit (Nakagawa, 2001)
Pembagian kulit secara garis besar yaitu : a.
Lapisan epidermis Merupakan lapisan terluar dan terdiri dari stratum korneum yang tersusun
dari sel mati tidak berinti dan mengandung keratin, stratum lusidum yang tersusun dari sel gepeng tanpa inti, stratum granulosum yang tersusun dari sel gepeng tanpa inti, stratum spinosum, dan stratum basale yang tersusun dari sel berbentuk silindris dengan inti lonjong (Setiadi, 2007). Lapisan epidermis ini yang secara alami akan melindungi efek berbahaya dari sinar matahari dengan mekanisme pigmentasi dan penebalan stratum korneum. Butir melanin yang terbentuk dalam sel basal kulit setelah penyinaran UV-B akan berpindah ke stratum korneum di permukaan kulit, kemudian teroksidasi oleh sinar UV-A (Martini, 2001).
10
b.
Lapisan dermis Lapisan dermis merupakan lapisan kulit yang elastis, supportive, dan
compressible. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari cedera mekanik, mencegah kehilangan air, dan berperan dalam menjaga suhu tubuh (Kolarsick dkk., 2011). Ketebalan dari lapisan dermis bervariasi tergantung lokasinya, seperti pada kelopak mata maka ketebalan lapisan dermisnya lebih tipis (Kanitakis, 2002). c.
Lapisan subkutis Lapisan subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel lemak dan diantaranya
terdapat serabut-serabut jaringan ikat dermis. Lapisan lemak ini berfungsi sebagai pegas dan penimbun kalori sera tambahan kecantikan pada tubuh (Setiadi, 2007). 5. Lotion Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat luar. Lotion dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok atau dalam bentuk emulsi (o/w atau w/o) dengan surfaktan yang cocok. Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispers terdiri dari bulatanbulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur (Ansel, 1985). Secara makroskopis, emulsi akan terlihat homogen namun bila dilihat secara mikroskopis maka emulsi tampak heterogen (Pichot, 2010). Emulsi terdiri dari dua fase yaitu fase hidrofil dan fase lipofil. Fase hidrofil adalah air atau suatu cairan yang bercampur dengan air sedangkan fase lipofil berupa suatu
11
minyak mineral atau minyak tumbuhan atau lemak atau bahan pelarut lipofil (kloroform, benzena) (Voigt, 1994). Emulsi dibagi menjadi dua tipe, yaitu emulsi oil in water (o/w) dan emulsi water in oil (w/o). Emulsi oil in water adalah emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air. Sifat fase luarnya adalah kontinyu sehingga suatu emulsi oil in water bisa diencerkan atau ditambah dengan air atau suatu preparat dalam air. Emulsi water in oil adalah emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak (Voigt, 1994). Emulsi oil in water memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak berminyak, mudah dicuci dengan air, dan memberikan efek dingin pada kulit. Selain itu apabila zat aktifnya larut air, maka akan lebih cepat dilepaskan di tempat aplikasi. Kekurangan emulsi tipe ini adalah perlu aplikasi berulang karena mudah tercuci. Kelebihan emulsi water in oil adalah memiliki sifat oklusif dengan cara menjaga kelembapan dari kulit dengan membasahi stratum corneum dan mencegah penguapan air pada kulit. Selain itu, apabila zat aktifnya larut lemak maka akan lebih cepat dilepaskan ke tempat aplikasi. Kekurangan emulsi water in oil adalah sifatnya yang berlemak dan tidak mudah dicuci sehingga mempengaruhi kenyamanan pemakai (Khan dkk., 2011). Ada beberapa teori emulsifikasi, diantaranya Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension), Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge), dan Teori Film Plastik. Teori Tegangan Permukaan menjelaskan bahwa emulsi dapat terbentuk bila ditambahkan suatu substansi yang menurunkan tegangan antar muka diantara dua cairan yang tidak bercampur. Teori Orientasi Bentuk Baji menjelaskan bahwa
12
emulsi terbentuk karena ada kelarutan selektif dan bagian molekul emulsifier, bagian hidrofil, dan bagian lipofil. Teori Film Plastik menjelaskan bahwa emulsifier mengendap pada permukaan masing-masing butir tetesan fase dispersi dalam bentuk film plastik (Ansel, 1985). Penggunaan emulsi dapat ditujukan untuk penggunaan per oral atau topikal. Penggunaan emulsi untuk pemakaian topikal dapat berupa lotion, krim, atau salep (Voigt, 1994). Lotion yang digunakan secara topikal biasanya dimaksudkan sebagai pelindung dan konsistensinya memungkinkan pemakaian secara merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas (Ansel, 1985). 6. Tabir Surya Tabir surya adalah sediaan kosmetika yang digunakan pada permukaan kulit untuk menahan pengaruh buruk dari sinar matahari (Dutra, 2004). Tabir surya dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu tabir surya kimia dan tabir surya fisik. Tabir surya kimia berfungsi untuk mengabsorbsi energi radiasi dari cahaya matahari. Tabir surya kimia mengandung senyawa kimia yang memiliki gugus kromofor dengan suatu gugus karbonil (Wilkinson dan Moore, 2000). Contoh tabir surya kimia adalah PABA, benzofenon, oksibenzon, dan avobenzone (Rai dan Srinivas, 2007). Tabir surya fisik berfungsi memantulkan sinar UV-A dan UV-B yang terkena ke kulit. Tabir surya fisika mengandung senyawa yang tidak tembus cahaya (Wilkinson dan Moore, 2000). Contoh tabir surya fisik antara lain titanium dioksida dan zink oksida (Rai dan Srinivas, 2007). Kombinasi antara tabir surya kimiawi dan fisik terbukti dapat meningkatkan atau mengoptimalkan dari efek tabir surya.
13
Beberapa syarat bagi preparat tabir surya yaitu nyaman dipakai, jumlah yang menempel mencukupi kebutuhan, bahan aktif dan bahan dasar mudah bercampur, serta bahan dasar harus dapat mempertahankan kelembutan dan kelembaban kulit. Syarat-syarat bahan aktif untuk preparat tabir surya yaitu efektif menyerap radiasi UV-B tanpa perubahan kimiawi, stabil bila terkena keringat, tidak mudah menguap, mempunyai daya larut yang cukup, tidak berbau atau boleh berbau ringan, dan tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menyebabkan sensitisasi (Tranggono dan Latifah, 2007). 7. Metode Simplex Lattice Design Simplex Lattice Design merupakan metode yang digunakan untuk menentukan formula optimum pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan (dinyatakan dengan berbagai bagian), yang jumlah totalnya dibuat sama yaitu sama dengan satu bagian. Profil respon dapat ditentukan melalui persamaan berdasarkan Simplex Lattice Design (Bolton, 2004). Persamaan matematika yang dapat menggambarkan simplex lattice design adalah linear, quadratic, dan cubic model. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut : a. Linear Model Y = β1X1+β2X2+ β3X3 b. Quadratic Model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23 X2X3 c. Cubic Model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23X2X3+ β123X1X2X3
14
Keterangan : X1,X2,X3 = fraksi campuran homogen β1 β2 β3 = koefesien regresi Prinsip dasar SLD adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap suatu parameter dengan dasar adanya dua variabel bebas A dan B. Respon yang diharapkan haruslah yang paling mendekati tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya baik maksimum atau minimum. Metode ini mempunyai keuntungan praktis dan cepat karena tidak memerlukan metode coba-coba untuk penentuan formula (trial and error) (Bolton, 2004). 8. Sun Protection Factor (SPF) SPF menggambarkan kemampuan suatu tabir surya dalam memberikan perlindungan terhadap radiasi sinar UV. Nilai SPF diperoleh dari perbandingan antara waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan eritema minimal pada kulit yang dilindungi tabir surya dengan waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan eritema minimal pada kulit yang tidak dilindungi tabir surya (Draelos dan Thaman, 2006). SPF memberikan petunjuk tentang berapa lama waktu yang tersedia untuk berada di bawah paparan sinar matahari langsung tanpa menyebabkan kulit terbakar. Nilai SPF pada tabir surya antara 0 sampai 100. Pembagian tingkat kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit yaitu proteksi minimal (SPF 2-4), proteksi sedang (SPF 4-6), proteksi ekstra (SPF 6-8), proteksi maksimal (SPF 815), dan proteksi ultra (SPF lebih dari 15) (Draelos dan Thaman, 2006). FDA (Food Drug Administration) sendiri mensyaratkan produk tabir surya harus
15
mencantumkan nilai SPF-nya, untuk memberikan arahan pada konsumen mengenai kekuatan relatif dari produk tersebut (FDA, 2012). 9. Monografi Bahan Bahan-bahan yang digunakan antara lain : a.
Setil alkohol Setil alkohol merupakan campuran alkohol padat, terutama terdiri dari setil
alkohol (Anonim, 1980). Titik didihnya antara 316 - 344°C dan titik bekunya sekitar 45 - 52° C. Kelarutan setil alkohol praktis tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol (95%) dan eter serta meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Biasanya banyak digunakan di bidang kosmetik dan formulasi sediaan suppositoria, lotion, krim, dan salep. Pada formulasi lotion, krim, dan salep setil alkohol digunakan sebagai emolien, water-absorptive, dan emulsifying properties. Pada emulsi air dalam minyak, setil alkohol digunakan sebagai water absorption properties. Sedangkan pada sediaan emulsi minyak dalam air, setil alkohol diketahui dapat meningkatkan stabilitas sediaan bila dikombinasi dengan water-soluble emulsifying agent (Unvala, 2009). b.
Trietanolamin Trietanolamin berwujud cairan kental yang tidak berwarna atau berwarna
kuning pucat dan sedikit berbau seperti amonia. Titik didihnya sekitar 335°C dan titik bekunya pada 21,6°C. Trietanolamin
sering digunakan pada formulasi
sediaan topikal terutama dalam formulasi emulsi namun juga bisa digunakan dalam preparasi sunscreen. Fungsinya adalah sebagai agen pengalkilasi dan emulsifying agent (Goskonda, 2009).
16
c.
Gliserin Gliserin merupakan cairan kental tak berwarna dan tak berbau yang berasa
manis tepatnya 0,6 kali lebih manis dari sukrosa. Biasanya digunakan dalam pembuatan sediaan oral, topikal, ophtalmic, dan parenteral. Pada formulasi sediaan topikal dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai humectant dan emollient (Nûnez dan Medina, 2009). d.
Propil paraben Propil paraben memiliki wujud berupa serbuk hablur yang berwarna putih,
tak berbau dan tak berasa. Titik didihnya sekitar 295°C. Biasanya digunakan sebagai penghambat pertumbuhan mikroba pada sediaan farmasi (Haley, 2009). e.
Akuades Akuades berupa cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau (Anonim,
1995). f.
Mineral oil Mineral oil berwujud cairan kental yang tak berwarna, tak berasa, dan tak
berbau dalam kondisi dingin. Namun, saat terkena panas akan sedikit berbau seperti petroleum. Mineral oil berfungsi sebagai emollient, lubrikan, solven, dan oleaginous vehicle (Sheng, 2009). g.
Asam stearat Asam stearat memiliki wujud serbuk yang berwarna putih sampai kuning
pucat. Sering digunakan sebagai lubrikan atau pengikat pada tablet atau kapsul. Pada sediaan topikal digunakan sebagai emulsifying dan solubilizing agent (Allen Jr, 2009).
17
h.
Lanolin Lanolin sering digunakan dalam berbagai sediaan topikal maupun kosmetik.
Apabila dicampurkan dengan minyak sayur atau soft paraffin, akan menghasilkan emollient creams yang dapat berpenetrasi ke kulit dan meningkatkan absorpsi obat di kulit (Bonner, 2009). i.
Metil paraben Metil paraben atau nipagin memiliki berat molekul 152,15. Metil paraben
memiliki bentuk hablur atau serbuk tidak berwarna, atau kristal putih, tidak berbau atau berbau khas lemah yang mudah larut dalam etanol dan eter, praktis tidak larut dalam minyak, dan larut dalam 400 bagian air. Fungsi dari metil paraben adalah sebagai pengawet dalam kosmetik, makanan, dan sediaan farmasi (Haley, 2009). F. Landasan Teori Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyatakan bahwa efektifitas tabir surya suatu zat dibagi atas lima kelompok berdasarkan harga SPF, yakni proteksi minimal (SPF 2 - < 4), proteksi sedang (SPF 4 - < 6), proteksi ekstra (SPF 6 - <8), proteksi maksimum (SPF 8 - <15) dan proteksi ultra (SPF>15). Yuliani (2010) menunjukkan bahwa temu mangga (Curcuma mangga Val. and van Zijp) dapat memberikan nilai SPF hingga mencapai proteksi ultra. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian dimana volume ekstrak sebesar 1 mL; 1,25 mL; 1,50 mL; dan 1,75 mL dalam 10 mL larutan stok secara berturut-turut dapat memberikan nilai SPF sebesar 9,94; 15,18; 21,88; dan 27,98. Temu mangga dapat memberikan aktivitas tabir surya karena memiliki kandungan kurkumin
18
yang memiliki gugus auksokrom dan kromofor sehingga mampu menyerap sinar pada panjang gelombang UV. Ekstrak dengan konsentrasi SPF 15 selanjutnya akan diformulasi menjadi lotion o/w dan dilakukan optimasi untuk mendapatkan formula optimal. Optimasi formula lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val. and van Zijp) dapat dilakukan menggunaka metode simplex lattice design dengan software Design Expert® versi 9.0.6 free trial. Penerapan simplex lattice design digunakan untuk menentukan formula optimum dari campuran bahan, dalam desainnya jumlah total bagian komposisi campuran dibuat tetap (Bolton, 2004). Metode ini dipilih karena lebih praktis dibandingkan metode lainnya yaitu tidak memerlukan prosedur coba-coba. Bahan yang dilakukan variasi adalah setil alkohol dan gliserin yang nantinya dapat memberikan pengaruh terhadap respon mutu dari lotion o/w. Menurut Unvala (2009) rentang kadar setil alkohol sebagai stiffening agent adalah 2-5 % dan menurut Nûnez dan Medina (2009) rentang kadar gliserin sebagai humectant kurang dari 30%. Hasil yang didapat lalu digunakan untuk membuat persamaan dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respon dan akhirnya didapatkan formula optimum (Bolton, 2004). Formula optimum yang didapat, lalu dilakukan uji aktivitas untuk menentukan nilai SPF lotion o/w sebagai tabir surya. SPF dihitung dengan membandingan waktu eritema minimal yang yang ditimbulkan dengan tabir surya dibandingkan dengan waktu eritema minimal tanpa tabir surya (Draelos dan Thaman, 2006). Pengujian ini dilakukan menggunakan kelinci Albino Australia
19
betina karena kelinci ini lebih sensitif sehingga lebih mudah untuk mengamati eritema yang muncul (Glaister, 1986). G. Hipotesis 1. Komposisi setil alkohol dan gliserin yang menghasilkan formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga dapat diketahui dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design. 2. Formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga memiliki sifat fisik yang baik dan stabil selama penyimpanan selama satu bulan. 3. Formula optimum lotion o/w ekstrak etanolik rimpang temu mangga memiliki aktivitas sebagai tabir surya.