1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Irama dan arti dari perkembangan manusia terus berlanjut di masa dewasa akhir (lansia), setiap dari kita berdiri sendirian di jantung bumi dan tiba-tiba hari sudah senja. Kita melepaskan masa muda dan ditelanjangi oleh waktu sampai pada kebenaran. Kita belajar bahwa kehidupan dijalani dengan melangkah maju tetapi dipahami dengan memandangnya mundur kebelakang. Kita berusaha merunut hubungan antara akhir dan awal kehidupan serta berusaha memahami apa yang hendak disampaikannya sebelum kehidupan sendiri itu usai. Akhirnya kita mengetahui bahwa kita adalah apa yang tertinggal (Santrock, 2002). Perjalanan hidup seseorang pada akhirnya akan sampai pada fase terakhir dari keseluruhan rentang sepanjang hayat perkembangan manusia. Fase ini sering disebut dengan istilah lanjut usia (lansia). Fase lansia ditandai dengan berbagai macam penurunan fungsi tubuh baik biologis, psikologis, maupun sosial yang kemudian akan mempengaruhi pribadi dari setiap individu (de Lange, Taris, Paul, Smulders, Houtman & Kompier, 2006). Menurut Hurlock (1999) tahap perkembangan seorang individu dimulai dari periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Hurlock (1999) dan Santrock (2002) mengatakan bahwa usia lanjut merupakan suatu fase kehidupan ketika seseorang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Usia 60 kerap digunakan sebagai garis pemisah antara usia madya dan usia lanjut, meskipun demikian perbedaan karakter pada masing-masing negara atau daerah dapat menimbulkan berbagai macam variasi batasan umur pengelompokan lansia. Batasan pengelompokan umur lansia dapat dipengaruhi
2
oleh berbagai macam hal seperti: Faktor demografis, ekonomi, asupan gizi, dan kesehatan yang dapat mempengaruhi angka harapan hidup di suatu daerah atau negara. Dalam kehidupan bermasyarakat, usia lanjut merupakan sosok yang kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan kelompok usia muda. Lansia diasumsikan tidak lagi produktif terkait dengan keterbatasan yang dapat berdampak pada penurunan produktifitas kerja. Menurut Hedge, Borman & Lammlien (2006) dan Nelson (2002) menurunnya produktifitas disinyalir berhubungan dengan menurunnya motivasi kerja yang disebabkan oleh menurunnya fungsi pada tubuh lansia. Hal semacam ini membuat seseorang yang telah memasuki masa lansia jarang terlihat kembali bekerja karena adanya stereotype bahwa pekerja tua memiliki kemampuan yang lebih rendah, kurang motivasi, dan kurang produktif dibandingkan dengan pekerja muda (Ng & Feldman, 2008; Posthuma & Campion, 2009). Hal semacam ini dapat terjadi karena pengaruh persepsi lansia yang renta dan kemudian banyak penelitian secara empiris difokuskan pada angkatan kerja muda (Locke & Latham, 2002; Wegge & Haslam, 2005). Lansia yang memutuskan kembali bekerja sebenarnya bukan perkara mudah karena terdapat sejumlah bidang pekerjaan yang tidak dapat lagi dimasuki. Bekerja pada umumnya banyak dilakukan oleh orang muda, namun beberapa kasus masih banyak ditemukan lansia yang bekerja baik di sektor formal maupun informal. Pada sektor formal biasanya sebuah perusahaan kembali mempercayakan pekerja yang telah pensiun untuk kembali bekerja dengan pertimbangan pengalaman dan kematangan, sedangkan pada sektor informal biasanya mereka bekerja sendiri (self−employment). Self−employment
3
mencakup
bidang
agrikultur
seperti:
Perikanan,
perkebunan,
pertanian,
pengolahan, atau memiliki bisnis keluarga skala kecil seperti toko ritel dan restoran (Raymo, Jersey, Hidero, Erika & Yoko, 2004). Kehidupan lansia sering dipersepsikan dengan keadaan yang renta, tidak berdaya, tidak fleksibel, kurang produktif, kapasitas rendah, dan kerap bermasalah dengan kesehatan (Taylor & Walker, 1998; Berger, 2006). Konstruksi semacam ini secara tidak langsung turut menjerumuskan lansia ke dalam situasi yang tidak berdaya. Hal semacam ini dapat berdampak pada kehidupan sehari-hari, sehingga tidak jarang dari mereka dianggap sebagai beban, baik oleh keluarga maupun lingkungan sekitar namun menurut Nelson (2002); Thornton (2002); Abrams, Eller & Bryant (2006); Wood, Wilkinson & Harcourt (2008), akan tetapi bila dicermati lebih dalam lansia juga memiliki sisi positif yaitu dapat diandalkan, berpengalaman, efisien, bijaksana, dan memiliki sikap kepemimpinan yang baik. Hal ini sejalan dengan mahzab eksintensial humanistik yang berpendapat bahwa
kemampuan
seseorang
merupakan
sebuah
potensi
yang
tidak
ditempatkan pada area yang sistematik (Woolfie, Windy & Sheelagh, 2003). Setiap orang, siapa pun itu memiliki potensi dalam diri mereka masing-masing, begitu juga dengan lansia, meskipun lansia merupakan kelompok yang diasumsikan kurang produktif, namun dibalik itu lansia menyimpan potensi dalam diri mereka berupa kompetensi, kognisi, streghtness, dan hardiness. Potensi semacam ini diperlukan sebagai bekal dalam menjalani masa tua dengan baik, berdaya-guna, dan bahagia agar dapat tercapai sucsessful aging. Di Yogyakarta terdapat penduduk lansia dengan jumlah besar karena menurut Komisi Nasional Lanjut Usia pada tahun 2012 (Komnas Lansia)
4
berdasarkan data rujukan dari hasil Susenas 2012 Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) mengenai jumlah lansia pada masing-masing provinsi di Indonesia, disebutkan bahwa Yogyakarta menempati urutan pertama dalam perolehan jumlah populasi lansia terbanyak.
Gambar 1. Jumlah penduduk lanjut usia berdasarkan provinsi (Sumber: Komisi Nasional Lanjut Usia 2012).
Pada grafik tersebut terlihat bahwa Yogyakarta merupakan provinsi dengan jumlah populasi lansia terbanyak. Provinsi dengan jumlah lansia terbanyak secara berurutan ditempati oleh provinsi Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Masing-masing dengan perolehan 13,04%, 10,4%, dan 10,34%. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa provinsi Yogyakarta bersama dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah menempati urutan tiga besar dalam kategori provinsi dengan jumlah lansia terbanyak. Jumlah lansia di Yogyakarta saat ini mencapai 15% dari total penduduk Yogyakarta yang berjumlah 3,7 juta jiwa. Secara nasional angka harapan hidup lansia di Indonesia adalah 68 tahun, namun di Yogyakarta angka harapan hidup lansia mencapai 74 tahun bagi laki-laki dan 76 tahun untuk perempuan. Hal ini disampaikan oleh Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB X pada acara hari lansia ke 17 yang diselenggarakan pada tanggal 19 Mei 2013.
5
Yogyakarta, selain menjadi salah satu dari tiga provinsi dengan jumlah lansia terbanyak, provinsi ini juga unggul dalam hal jumlah lansia yang masih aktif dan mandiri. Tingkat kesehatan memberi dampak pada jumlah angka harapan hidup dan keaktifan. Menurut Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo selaku direktur Center For Ageing Studies Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa di Yogyakarta pertumbuhan lansia mencapai angka 48.092 jiwa per tahun dan 90% diantaranya masih produktif (Widiyanto, 2012). Di Yogyakarta untuk menemukan lansia yang masih bekerja tidaklah sulit, pada beberapa ruas tempat seperti pasar, sawah, atau hampir di setiap sudut kota banyak ditemukan lansia yang bekerja. Pekerjaan yang mereka tekuni sangat beragam, tak jarang dari mereka bergelut dengan pekerjaan yang membutuhkan kondsi fisik prima seperti buruh gendong di pasar, petani, maupun penjaja barang dagangan. Hal ini tentu saja merubah pandangan yang selama ini timbul mengenai kehidupan lansia. Berikut kutipan wawancara beberapa lansia di Yogyakarta yang masih bekerja di usianya yang telah lanjut: “Lha iya daripada dirumah anu apa itu ngalamun, anu biasa kerja itu ndak.. lha iya untuk kesibukan... “ (SJ). “Ohh teng omah biasa, ning sok tilik sawah manggul pacul ngepit, tilik sawah ngepit, wes biasa” (LJ). “Lha teng omah ngopo?” (MJ). Hal ini menarik perhatian karena bagaimanapun juga terdapat perbedaan motivasi bekerja antara orang muda dengan lansia karena keduanya memiliki persepsi dan behavior yang berbeda (Van Ness, Kimberly, Cheryl & Charles, 2010). Menurut Paul dan Townsend (1993) motivasi bekerja lansia juga dapat dikatakan berbeda dengan pekerja usia muda. Berdasarkan penelitian yang
6
pernah dilakukan oleh Cherrington (1977) menyatakan bahwa pekerjaan sebagai tukang kayu (craftman) kurang memiliki arti bagi anak muda, sehingga mereka tidak temotivasi untuk bekerja lebih keras, hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada pekerja tua, pekerja tua cenderung mengambil makna dari setiap apa yang dikerjakannya. Bekerja merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan seseorang, bekerja bukan saja sebagai sarana untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga sebagai wadah pengembangan diri dan membina hubungan sosial. Pentingnya bekerja bagi seorang individu dapat menimbulkan penilaian mengenai nilai bekerja dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya bekerja bagi orang
muda
merupakan
suatu
yang
dapat
dijadikan
sebagai
sarana
pengembangan diri selain persoalan upah tetapi bagi pekerja tua, bekerja memberikan makna tersendiri mengingat usia mereka yang tidak lagi muda. Pada masyarakat Jawa kehidupan lansia dipersepsikan dengan keadaan yang tenang, biasanya mereka kembali berkumpul dan menikmati masa yang damai bersama dengan keluarga. Fase lanjut usia dalam budaya Jawa merupakan momen
dimana
seseorang
dipandang
berhak mendapatkan
penghormatan. Dalam kehidupan masyarakat Jawa dikenal istilah “urmat”, atau dalam bahasa Indonesia berarti “hormat”. Hormat dapat diartikan sebagai sikap menghormati seseorang yang lebih tua. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Jawa menganut paham relasi sosial yang bersifat hirarki (Geertz, 1961). Sejalan dengan pendapat Geertz, Koentjaraningrat (1994) mengatakan bahwa penghormatan dalam budaya Jawa dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang tinggi (bahasa Jawa halus) ketika berbicara kepada orang tua dan dalam keluarga priyayi tradisional, orang biasanya menyembah dahulu sebelum
7
berbicara, selain
itu menurut Geertz (1961) bentuk lain dari sebuah
penghormatan kepada lansia dalam kehidupan Jawa adalah menghormati lansia karena kelebihan pengetahuan yang mereka miliki mengenai permasalahan kebatinan dan masalah praktis. Kim (2001) mengatakan bahwa budaya dapat diartikan sebagai pola hidup menyeluruh dari suatu masyarakat yang bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dengan dasar pemikiran tersebut budaya memiliki nilai-nilai yang mendasari kepribadian dan mempengaruhi pola pikir seseorang. Dalam ajaran nilai hidup, orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa kehidupan manusia di dunia ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, sehingga timbul sikap rila, narima, dan sabar. Hal ini sekaligus menjadi landasan budi pekerti budaya Jawa yang mendasari kepribadian orang Jawa (Casmini, 2010). Dalam budaya Jawa selain konsep rila, narima, dan sabar juga terdapat konsep “mungkur”. Konsep mungkur diambil dari mocopat Pangkur yang isinya berupa nasihat untuk menyingkirkan hawa nafsu, dan angkara murka. Dalam budaya Jawa, lansia diibaratkan seperti melakukan gerakan mungkur atau membelakangi (kehidupan) dunia serta lebih bersiap untuk menghadapi kematian, dengan cara mengurangi kegiatan
yang bersifat keduniaan dan lebih
mempersiapkan diri dengan memperbanyak kegiatan mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa. Menurut Suardiman (1999) kehidupan lansia sudah sampai pada tahap kesadaran diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada budaya Jawa kesadaran diri tersebut termanifestasikan dalam pepatah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa yaitu “Wis tuwo golek dalan sing padhang”,
8
yang berati bahwa ketika sudah tua, sebaiknya mencari jalan yang benar/terang (Indriana & Ika, 2010). Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa di Yogyakarta masih banyak terdapat lansia yang bekerja dikala usia sudah tidak lagi tergolong produktif. Hal ini merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa sangat menjunjung tinggi dan menghormati orang tua serta terdapat berbagai macam falsafah hidup terkait dengan usia lanjut seperti istilah “mungkur” dalam mocopat Pangkur yang menggambarkan kehidupan lansia adalah membelakangi (mungkur) hal-hal yang besifat keduniaan dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Penelitian ini akan meneliti lebih dalam mengenai makna kerja bagi lansia yang masih memutuskan bekerja saat usia telah senja, jauh meningglkan masa produktif.
B. Rumusan Permasalahan Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah yang terjadi pada semua individu. Memasuki fase usia lanjut, seseorang dipandang tidak lagi produktif karena mengalami berbagai kemunduran baik biologis, psikologis maupun sosial yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Dengan berbagai macam kemunduran dan keterbatasannya lansia dianggap tidak lagi produktif seperti layaknya orang muda. Begitu juga dengan pandangan orang Jawa terhadap lansia, mereka menganggap bahwa kehidupan lansia adalah “tenang” dan tidak banyak terlibat dengan urusan keduniaan maupun hal yang bersifat material akan tetapi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Komnas Lansia terhadapa provinsi yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa di provinsi Yogyakarta masih banyak lansia yang bekerja.
9
Dari penjelasan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menjawab pertanyaan: Mengapa lansia di Yogyakarta masih banyak yang bekerja meskipun mereka telah berusia lanjut? Dengan data dan dasar pemikiran di atas maka penelitian ini mengangkat judul: Mengais rezeki di usia senja pada orang Jawa.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana lansia Jawa memaknai kerja sehingga dapat diketahui apakah kerja memberikan efek wellbeing pada kehidupan lansia, dengan begitu dapat memberikan masukan bagi lansia mengenai hubungan bekerja dan usia lanjut. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih terhadap ilmu psikologi mengenai lansia dan bekerja, khususnya lansia Jawa yang masih bekerja di usia lanjut, dan dapat digunakan sebagai bahan kajian pengetahuan psikologi mengenai kajian makna kerja pada lansia, karena makna kerja sebagai konstruk psikologis erat kaitannya dengan konsep dan nilai-nilai subyektif belum banyak diteliti terlebih terkait dengan budaya lokal. Dengan demikian diharapkan dalam penelitian ini dapat memunculkan dan mendukung konsep indigeneous psychology.
2. Secara praktis a) Bagi Masyarakat Luas:
10
Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa bekerja tidak hanya monopoli orang muda saja, mereka kelompok lanjut usia juga masih banyak yang beraktifitas dan berkarya di kala usia tidak lagi muda. Cara lansia memandang kerja merupakan hal yang menarik di tengah banyaknya penelitian yang berfokus pada produktifitas kerja orang muda. b) Bagi Lansia: Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat bagi lansia agar tidak terjadi penyianyiaan terhadap kehidupan mereka. Lansia dapat menjalani serangkaian aktifitas agar lebih berdaya baik secara fisik, psikologis, maupun sosial, sehingga pada usia tua mereka dapat menikmati hidupnya dengan lebih baik, berkualitas, dan bahagia. c) Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan salah satu sarana pembelajaran bagi peneliti, bukan saja pembelajaran mengenai cara melakukan penelitain tetapi juga pembelajaran dalam memaknai setiap fase dari sebuah kehidupan.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Lansia yang memutuskan tetap bekerja dapat dilandasi oleh berbagai macam faktor. Menurut penelitian yang dilakukan Lord (2002) terhadap engineer berusia lanjut di inggris didapatkan hasil bahwa engineer yang berusia lanjut dengan gaji yang tidak begitu cukup untuk pensiun mereka bekerja untuk
11
memenuhi kebutuhan dasar tingkat satu dan dua dari hirarki piramida kebutuhan Maslow yaitu physiological needs, dan safety needs. Penelitian
Kanfer
dan
Philip
(2004)
dengan
judul
Aging,
adult
development, and work motivation, memfokuskan perihal motivasi kerja pada perkembangan middle hingga old age. Penelitian ini mengemukakan bahwa motivasi kerja di usia pertengahan dan usia lanjut sama halnya dengan prinsipprinsip
dasar
motivasi
kerja
pada
orang
muda
yaitu:
Motivasi
untuk
mengalokasikan sumber daya pribadi, bekerja dilakukan atas dasar kompetensi, mengembangkan rasa self−efficacy maupun self−concept, dan membuka kesempatan untuk mencapai hasil yang diharapkan, meskipun begitu menurut penelitian ini terdapat perbedaan motivasi kerja pada berbagai tingkatan usia. Usia berdampak pada perubahan yang berhubungan dengan motivasi kerja. Perubahan usia mempengaruhi kompetensi dan motif dalam memproses komponen-komponen motivasi dalam bekerja. Pada penelitian ini disajikan pokok bahasan dengan model teori untuk melihat efek dari perkembangan usia tua terhadap motivasi kerja. Kanfer dan Philip (2004) melihat bahwa terdapat pengaruh life−span pada perubahan motivasi. Mereka memberikan opini bahwa perubahan usia pada seseorang akan memberikan dampak pada motivasi kerja kemudian memberikan pengaruh terhadap variabel psikologi seperti loss, growth, reorganization, dan exchange dalam memproses suatu motivasi. Pada tahap perkembangan usia lanjut, seseorang termotivasi dan bertahan dengan berbagai cara yang mungkin berbeda dari cara biasanya untuk melindungi self−concept mereka. Selain untuk melindungi self−concept, lansia yang bekerja juga termotivasi oleh insentif yang diberikan organisasi tempat orang
12
tersebut bekerja atau tergantung juga pada lingkungan kerja, apakah dapat digunakan untuk mewujudkan harapan-harapan baru. Penelitian yang dilakukan oleh Kooij, Annet, Paul, dan Josje (2007) yang berjudul Older Workers’s Motivation to Continue to Work: Five Meaning of Age a Conceptual Review, penelitian ini memfokuskan motivasi pada lansia yang kembali bekerja menggunakan pendekatan lima makna usia berdasarkan konseptualisasi usia seperti chronological age, functional or performance based age, psychosocial or subjective age, organizational age refers, the life span concept of age. Penelitian ini mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Apakah kelima konsep usia tersebut dapat mempengaruhi motivasi lansia untuk kembali bekerja? Didapatkan hasil bahwa kelima komponen usia tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap kembalinya lansia bekerja. Di Jepang, penelitian yang pernah dilakukan oleh Williamson dan Masa (2009) mengungkapkan bahwa di negara tersebut banyak sekali lansia yang masih bekerja. Banyak alasan yang melatar belakangi hal ini, beberapa diantaranya adalah: Tingginya angka harapan hidup, peran pemerintah yang turut andil dalam kesejahteraan lansia, dan juga permasalahan budaya. Di Jepang berlaku budaya dimana mereka menempatkan nilai tinggi terhadap orang yang bekerja sepanjang hidupnya. Penelitian mengenai lansia yang masih bekerja pernah dilakukan di negara Taiwan oleh Lu (2011). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa lansia di Taiwan juga masih banyak yang terlibat dengan pekerjaan di kala usia mereka telah tua, kebanyakan dari mereka bekerja guna memenuhi kebutuhan ekonomi, tercatat 78,1% dari mereka bekerja untuk memenuhi standar hidup, baik pribadi maupun keluarga.
13
Di Indonesia terdapat beberapa penelitian yang mencoba mengungkap lansia yang bekerja. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) (2009), pada tahun 2006 Komnas Lansia mengadakan penelitian terhadap lansia di Indonesia mengenai alasan bekerjanya lansia. Dalam penelitian tersebut diketahui terdapat lima provinsi di Indonesia dengan jumlah (terbanyak) lansia yang masih bekerja. Kelima provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, dan Yogyakarta. Dari hasil penelitian tersebut, alasan paling umum banyak lansia yang masih bekerja adalah perihal masalah ekonomi, sedangkan alasan ingin tetap aktif dan mandiri banyak ditemukan pada lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Tengah. Lansia yang tidak bekerja menurut hasil dari penelitian tersebut dapat disebabkan karena kesehatan yang memburuk, ingin menikmati pensiun, dan alasan norma. Penelitian selanjutnya, Hanna dan Basri (2011) melakukan penelitian dengan judul: Faktor-faktor yang mempengaruhi lanjut usia bekerja di kelurahan Simpang Baru, kecamatan Tampan, Pekanbaru, menunjukkan hasil bahwa lansia yang masih bekerja dilandasi oleh berbagai macam faktor. Faktor utamanya adalah aspek ekonomi, dan kemudian beberapa faktor pendukung seperti tidak ingin bergantung kepada anak, mengisi waktu luang dan terhindar dari rasa bosan, keinginan memanfaatkan keahlian, dan pengalaman masa muda. Penelitian di Padang, Sumatera Barat yang dilakukan oleh Khaeroti, Aulia, dan Krisnova (2012) mengenai lansia yang bekerja, diapatkan hasil bahwa pada dasarnya kembalinya lansia bekerja didasari oleh dua motivasi, yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi intrinsik yang meliputi tanggung jawab, kemajuan, pencapaian, dan pengakuan sedangkan motivasi ekstrinsik yaitu gaji, kondisi
14
lingkungan kerja, hubungan dengan teman sejawat, dan perihal pekerjaan itu sendiri.