BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kecurangan (cheating) merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering muncul menyertai aktivitas proses pembelajaran dan dalam proses penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Perilaku curang pada dasarnya akan mengaburkan hasil kemampuan peserta didik. Perilaku curang dibagi dalam tiga kategori yaitu (1) memberi, mengambil, atau menerima informasi tertentu, (2) menggunakan suatu alat yang dilarang, (3) memanfaatkan kelemahan orang, prosedur, proses untuk mendapatkan keuntungan (Cizek, 2003). Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa kecurangan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan cara yang tidak baik untuk memperoleh keuntungan. Peserta didik yang biasa berbuat curang akan menjadi sebuah perilaku yang akan terus berulang karena nantinya peserta didik tersebut akan tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Hal itu akan memberikan efek yang buruk jika nantinya mereka menjadi orang-orang penting di dalam sebuah pemerintahan. Kecurangan akademik bukanlah masalah baru dalam dunia pendidikan. Teixeira dan Rocha (2006) menyatakan bahwa kecurangan akademik adalah fenomena global yang secara frekuensi semakin meningkat. Banyaknya tindakan
1
2
kecurangan akademik yang dilakukan di berbagai ranah akademik yang ada di Indonesia menunjukkan sedikit atau bahkan belum adanya pendidikan di Indonesia yang mampu mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya dari sisi pembentukan karakter individu mahasiswa. Pendidikan tinggi juga tidak terhindar dari adanya tindakan kecurangan akademik. Tindakan kecurangan akademik juga terjadi pada mahasiswa. Berbagai tindakan kecurangan akademik dilakukan mahasiswa yang merupakan calon lulusan dari perguruan tinggi, dengan berbagai alasan dan tujuan. Beberapa bentuk kecurangan akademik yang dilakukan mahasiswa antara lain adalah mencontek saat ujian, menyalin jawaban teman, copy paste dari internet tanpa menyebutkan sumbernya, tidak hadir kuliah tetapi titip tanda tangan, membuat contekan saat ujian, meminta bantuan teman saat ujian, bekerjasama dengan teman saat ujian. Kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa sebenarnya ada yang disadari namun ada pula yang tidak disadari bahwa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan sebuah tindakan kecurangan yang dapat dikenai sanksi. Adanya keinginan untuk memperoleh IPK tinggi, kebanggaan, atau hanya sebatas karena harga diri terkadang membuat mahasiswa melakukan tindakan kecurangan akademik. Berbagai bentuk kecurangan inilah yang akan mengikis karakter mahasiswa sebagai individu yang akan mengemban amanah bangsa untuk menjadi generasi pengubah bangsa menuju ke arah yang lebih baik (Sagoro, 2013). Perilaku cheating terjadi hampir di semua tingkat satuan pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT). Berdasarkan survei yang telah dilakukan Survei Litbang Media Group pada 19 April 2007 terhadap 480
3
responden dewasa di enam kota besar di Indonesia, yaitu Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan menunjukkan mayoritas anak didik, baik di bangku sekolah dan perguruan tinggi melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek. Hampir 70 persen responden yang ditanya apakah pernah menyontek ketika masih sekolah atau kuliah, menjawab pernah. Bahkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti ditemukan adanya tugas akhir (skripsi) mahasiswa yang mengindikasikan adanya praktik copy paste atau plagiarism dari satu skripsi dengan skripsi yang lainnya (Nursalam, Bani, & Munirah, 2013). Akibat sering terjadinya kasus-kasus kecurangan akademik, maka tindakan tersebut semakin ditoleransi dan dianggap hal biasa yang tidak perlu dihindari. Kecurangan akademik biasanya dilakukan karena kurangnya percaya diri atas jawaban yang dimiliki, akhirnya lebih percaya jawaban orang lain. Alasan lain karena mahasiswa malas belajar dan lebih senang mencari jawaban di buku atau alat lain selama ujian berlangsung. Tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai yang baik. Bagi akademisi, kecurangan akademik dilakukan dengan tujuan mendapatkan gelar lebih atau kredit lebih dari hasil penelitian atau tulias yang diperoleh dengan plagiarisme (Muslimah, 2013). Kecurangan akademik muncul sebagai interaksi berbagai faktor, baik yang bersifat internal (ada di dalam diri pelaku) maupun yang bersifat eksternal (berasal dari lingkungan). Faktor internal mencakup kemalasan, kurangnya kesadaran pekerjaan sesama siswa, kualitas rendah, pengalaman kegagalan sebelumnya dan harapan sukses yang pasti. Faktor eksternal meliputi urutan tempat duduk, ujian
4
yang penting, tingkat kesulitan tes, tes yang tidak adil, penjadwalan dan pengawasan (Purnamasari, 2013). Roig (2006) percaya bahwa alasan utama tindak curang dilakukan karena adanya intervensi terutama dari variabel situasional. Agar dapat mengatasi masalah kecurangan akademik ini, hal yang sebenarnya harus dilakukan adalah mengubah perilaku dan persepsi mahasiswa karena kecurangan akademik yang terbiasa melakukan tindak curang dapat membentuk kepribadian negatif. Kepribadian negatif tersebut antara lain kebergantungan terhadap orang lain, ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri, dan juga ketidakjujuran. Disisi lain akibat dari perilaku kecurangan akademik akan mengakibatkan terbentuknya perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, dan tidak berprestasi. Hasil penelitian yang ditemukan oleh Kurniawan (2011) menyatakan bahwa seluruh responden yakni mahasiswa psikologi Unnes angkatan 2007 hingga 2010 pernah melakukan setidaknya satu macam perilaku kecurangan akademik yang berupa menggunakan materi yang dilarang digunakan saat proses assessment
(43%),
tindak
plagiasi
atau
pemalsuan
(22%),
melakukan
misrepresentation (13%) dan kolaborasi dengan teman lain saat ujian (10%), sedangkan perilaku absen berkontribusi dalam tugas kelompok dan sabotase dilaporkan sangat jarang terjadi, berdasarkan data penelitian bahwa seluruh responden berada pada kriteria rendah. Buruknya dampak yang ditimbulkan dari tindakan kecurangan akademik memicu berbagai pihak untuk segera mengatasinya, harapan untuk menjadi
5
bangsa yang lebih baik akan terwujud jika sejak dini berbagai tindakan kecurangan yang ada, khususnya di dunia pendidikan harus segera dicegah. Mahasiswa sebagai kunci utama pencegahan kecurangan akademik memegang peranan penting agar kecurangan akademik tindak muncul dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Banyaknya faktor yang berasal dari mahasiswa yang mempengaruhi munculnya tindakan kecurangan akademik harus mampu diatasi oleh mahasiswa baik secara individu maupun secara berkelompok. Beberapa penelitian terdahulu mengenai kecurangan akademik dilakukan oleh Rizki (2009) mengenai hubungan prokrastinasi akademik dan kecurangan akademik pada mahasiswa dengan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan prokrastinasi akademik dengan kecurangan akademik serta ada perbedaan kecurangan akademik ditinjau dari jenis kelamin dan tidak ada perbedaan kecurangan akademik ditinjau dari usia dan IPK. Ungusari (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk ketidakjujuran akademik yang muncul pada situasi mengerjakan tugas, ulangan, serta ujian yaitu berperilaku curang, mengcopy dari internet, mengcopy pekerjaan teman, meminjam tugas teman, bertanya pada teman, memberi jawaban teman, berbohong, membuat contekan serta memanfaatkan kesempatan. Wibowo,
Herlina
dan
Kristyassari
(2011)
dalam
penelitiannya
menunjukkan bahwa perilaku kecurangan akademik berbeda antara pria dan wanita, sedangkan tidak ada perbedaan prokrastinasi akademik ditinjau dari jenis kelamin. Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa mahasiswa memiliki kecurangan akademis yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswi. Hal ini
6
sejalan dengan pernyataan Hendricks (2004) bahwa mahasiswa lebih banyak melakukan kecurangan akademis daripada mahasiswi, hal ini karena wanita dalam bersosialisasi lebih mematuhi peraturan daripada pria. Wibowo, Herlina, dan Kristyassari (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pria memiliki pengendalian diri (self control) yang rendah sehingga mendorongnya memiliki kecenderungan untuk melakukan kecurangan akademik, sedangkan wanita memiliki rasa malu yang lebih tinggi sehingga mencegahnya untuk melakukan kecurangan akademik. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan kecurangan akademik mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta berdasarkan gender dan bidang ilmu, hal ini karena kecurangan akademik sudah menjadi cara bertindak umum di kalangan mahasiswa. Ada beberapa perbedaan individual dalam kecurangan akademik. Woolfolk (2009) dalam studinya terhadap remaja dan mahasiswa menemukan bahwa laki-laki lebih banyak yang menyontek daripada perempuan dan siswa-siswa yang berprestasi rendah lebih banyak yang menyontek dari pada mereka yang berprestasi tinggi. Karakteristik
individu
merupakan
variabel
yang
mempengaruhi
kecurangan akademik (Fiqueroa, 2010). Gerdeman (2000) mengemukakan bahwa faktor karakteristik individu yang berpengaruh terhadap kecurangan akademik salah satunya adalah program studi. Wibowo, Herlina dan Kristyassari (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa asal program studi tidak memiliki perbedaan dalam persepsi sikap dan perilaku kecurangan akademik. Hal ini bisa
7
terjadi karena tingkat kecurangan yang dilakukan kedua kelompok tersebut relatif sama. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :”Perbedaan Kecurangan Akademik ditinjau dari Jenis Kelamin Dan Bidang Ilmu Pada Mahasiswa”
B. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kecurangan akademik berdasarkan jenis kelamin dan bidang ilmu pada mahasiswa.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi gender terhadap perilaku kecurangan akademik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Perguruan Tinggi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
tentang
kecurangan akademik sehingga perguruan tinggi dapat mengambil tindakan untuk meminimalisir perilaku kecurangan akademik tersebut, misalnya adalah dengan penggunaan aplikasi bagi mahasiswa yang copy paste dari internet, ataupun dengan tidak memberikan nilai bagi mahasiswa yang hasil tugasnya sama persis dengan mahasiswa lain.
8
b. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar ataupun referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian di bidang yang sama di masa datang.