BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan
1. Kualitas hidup orang dengan hipertensi Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang mengalami perubahan kondisi fisik,
psikis,
maupun sosial,
sehingga orang
perlu melakukan
penyesuaian diri agar tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Pernyataan tersebut sejalan dengan Xavier, Ferraz, Marc, Escosteguy, & Moriguchi (2003), yang menyimpulkan bahwa orang tua dengan kualitas hidup buruk, ekuivalen dengan rendahnya kesehatan, dan kualitas hidup yang baik, ekuivalen dengan baiknya kesehatan, lebih banyaknya ragam aktivitas, kehidupan sosial dan hubungan baik dengan keluarga. Oleh karena itu kesehatan merupakan salah satu indikator baik buruknya kualitas hidup. Bowling & Lliffe (2011) menemukan, bahwa orang tua yang mandiri , dapat diprediksi memiliki kualitas hidup yang baik. Keberhasilan kemandirian tersebut
tidak
hanya
mengenai
perawatan
kesehatan,
tetapi
juga
memaksimalkan sumber-sumber psikologis, seperti efikasi diri, resiliensi, meningkatkan tindakan
pencegahan, mengelola secara medis saat sakit,
mengubah gaya hidup dengan melakukan hal-hal yang memberi efek positif pada kesehatan dan umur panjang. Dengan bertambahnya usia, seseorang diminta untuk lebih memperhatikan keadaan fisik dan psikologisnya. Hal-hal yang secara signifikan mendukung kualitas hidup diantaranya adalah menindak lanjuti status kesehatan, adanya dukungan-dukungan dan aktivitas sosial, dan penilaian diri tentang aktivitas yang dapat dilakukan. Seseorang yang menganggap dirinya
1
2
dapat berfungsi secara optimal erat kaitannya dengan kualitas hidup. Kualitas hidup merefleksikan bagaimana seseorang memandang dirinya mengenai kepuasan hidupnya (Gihl, 2010, Philips et al, 2009). Lee, Simpson, King & Marial (2009), mengatakan bahwa kualitas hidup merupakan persepsi seseorang mengenai kesejahteraan dirinya, baik fisik, maupun mental. Kesejahteraan fisik mencakup keadaan tubuh, peran dan fungsi fisiologis terhadap kesehatan fisik secara umum, sedangkan kesejahteraan mental mencakup peran emosi dan fungsi sosial. Seseorang merasakan kualitas hidupnya rendah atau tinggi tergantung dari indikator yang digunakan, baik indikator fisik maupun indikator mental. Pada kenyataannya ada orang yang merasa hidupnya cukup berkualitas, dapat melakukan banyak hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun demikian ada yang merasakan kualitas hidupnya rendah, merasa tidak bahagia, tidak berguna, dan tidak dapat menikmati hidup seperti yang diharapkan. Disamping itu,
ada yang merasa kualitas hidupnya mengalami
perubahan. Perubahan kualitas hidup dapat terjadi akibat adanya perubahan fisik atau gangguan kesehatan, lingkungan fisik seperti terjadinya bencana alam, dan masalah sosial seperti terjadinya konflik. Kondisi kualitas hidup seseorang dapat diamati secara objektif melalui perilaku atau kegiatan yang dilakukan dalam kehidupannya sehari-hari, atau secara subjektif dirasakan sendiri oleh individu, yang dapat diketahui melalui laporan diri. Apabila hidupnya cukup bermakna, atau berguna, baik bagi diri maupun orang lain, maka individu merasakan hidupnya berkualitas, demikian sebaliknya. Penurunan fungsi fisik lebih dirasakan oleh orang yang mengalami sakit kronis (Burckhardt, Kathryn, & Anderson, 2003; Dekkers, 2001; Glise & Wiklund,
3
2002; Kaltsouda, et al., 2011; Kimble, et al., 2011; Koertge, et al. 2003; Lame, Peters, Vlaeyen, Kleef, & Patijn, 2004; Tully, Baker, Tirnbull, Winefield, & Knight, 2009). Menurut Dekkers (2001), penyakit kronis memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup, cakupan permasalahan yang dialami juga sangat bervariasi. Menurut DeRidder, Geenen, Kuijer, & Van Middendorp (2008), setelah didiagnosa sakit kronis, pasien dihadapkan pada situasi baru, sehingga harus menyesuaikan diri. Sebagian dari pasien dapat menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian membutuhkan waktu yang lebih lama, bahkan ada yang tidak berhasil menyesuaikan diri. DeRidder et al. (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan penyesuaian psikologis, pasien sebaiknya melakukan aktivitas yang mungkin dapat dilakukan, menyadari dan mengekspresikan emosiemosinya dengan cara yang tepat, dengan mengontrol kehidupannya. Selain itu, pasien juga melakukan manajemen diri dan mencoba fokus pada hal-hal yang memiliki dampak positif terhadap sakit yang dialami. Selanjutnya dikatakan oleh de Ridder et al.(2008), pasien yang dapat menjalankan strategi tertentu akan berhasil menyesuaikan diri dengan baik dalam menghadapi sakit kronis yang dialami. Salah satu jenis penyakit kronis yang prevalensinya di Indonesia cukup tinggi adalah hipertensi. Menurut Almarita (2013), hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa hipertensi merupakan masalah kesehatan utama dengan prevalensi tinggi, yakni 25, 8 persen. Kepala Unit Stroke RSUP Dr. Sardjito (dikutip dari rilis humas UGM, 2011) mengatakan bahwa angka morbiditas berdasarkan jenis patologis stroke di RSUP Dr. Sardjito dilaporkan 70% adalah stroke iskemik akut dan 30% stroke perdarahan. Selanjutnya dikatakan juga, bahwa potensi terjadinya stroke salah satunya disebabkan oleh faktor risiko
4
hipertensi. Sujana (2012) menyatakan ada sejumlah gejala yang dapat dialami oleh penderita hipertensi seperti sakit kepala, rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk, perasaan berputar serasa ingin jatuh, berdebar atau detak jantung terasa cepat, telinga berdenging, penglihatan kabur, mimisan, dan cepat lelah. Gejala-gejala tersebut dapat mengganggu kenyamanan, kesejahteraan dan aktivitas sehari-hari. Namun demikian seringkali individu tidak merasakan adanya gejala atau tidak menyadari walau tekanan darahnya sudah jauh di atas normal, dan datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan darurat karena stroke, atau keluhan lain seperti sakit jantung. Oleh karena itu hipertensi sering disebut sebagai “silent killer” (Hartono, dalam Kompas, 16 mei 2011). Soni, Porter, Lash, & Unruh, (2010) juga mengatakan bahwa pasien hipertensi seringkali tidak menunjukkan tanda-tanda saat tekanan darahnya tinggi. Peningkatan prevalensi hipertensi ini juga meningkatkan minat peneliti untuk memahami bagaimana kualitas hidup orang dengan hipertensi. Cayne, Davis, Frech & Hill (2014) melakukan review penelitian tentang kualitas hidup pasien hipertensi, yang dipublikasikan antara tahun 1990-Januari 2000. Subjek penelitian-penelitian tersebut adalah pasien hipertensi esensial yang menggunakan obat, terdiri dari subjek laki-laki dan perempuan, namun tidak ada keterangan tentang usia dan sudah berapa lama subjek mengalami hipertensi. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek pasien hipertensi, menunjukkan gejala-gejala menurunnya kesejahteraan umum seperti: a. terjadinya kecemasan, b. depresi, c. persepsi kesehatan secara umum baik fisik maupun mental, d. mood, e. fungsi fisik, seperti memori, perhatian, kemampuan berpikir, kemampuan bicara, penglihatan, keterampilan ruang bidang, ketrampilan motorik, dan f. simtom lain seperti mudah lelah dan sakit
5
kepala, g. sulit tidur, dan h. gangguan fungsi seksual. Kaunda, Menon, & Ngoma (2012) menyimpulkan bahwa hipertensi lebih berpengaruh pada kualitas hidup daripada
mempengaruhi fungsi neurokognitif. Yousseff, et al. (2005),
menegaskan peran kontrol tekanan darah terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi. Dengan mengontrol tekanan darah secara teratur, pasien dapat mengetahui kondisi tekanan darahnya dan dapat segera dilakukan tindakan tertentu untuk mencegah lebih parah. Menurut Liang et al.(2006), timbulnya simtom-simtom hipertensi dapat mengakibatkan menurunnya fungsi fisik pada individu, sehingga aktivitas menjadi terbatas. Penderita juga dapat mengalami kesulitan di dalam perawatan diri, berjalan, naik tangga, mengangkat sesuatu, dan hal lain yang membutuhkan tenaga. Intensitas rasa nyeri dapat mengganggu aktivitas yang berhubungan dengan peran atau tanggungjawab pekerjaan, baik di rumah maupun di dalam rumah. Akibatnya penderita akan mengerjakan pekerjaan tidak sesuai yang diharapkan. Shafazand, Goldstein, Doyle, Hlatky & Gould, (2004) juga menemukan menurunnya kualitas hidup penderita hipertensi selain ditunjukkan oleh menurunnya kondisi fisik yang lemah, juga adanya keterbatasan fungsional, isolasi sosial, kecemasan dan depresi. Keadaan akan lebih parah apabila hipertensi diikuti oleh munculnya penyakit lain atau komplikasi. Komplikasi pada pembuluh darah yang disebabkan oleh
hipertensi
dapat
menyebabkan
penyakit
jantung
koroner,
infrak
(penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan jantung), stroke, dan gagal ginjal (Colic & Vidrth, 2010; Kvolik, 2010; Orlic, Sladoje, Vuksanovic, Zivcic, & Racki, 2010; Pus Kom Publik Sekjen DepKes,15 Januari 2007; Soni, et al, 2010; Steiner, 2010). Nagy (2010) dalam penelitiannya juga menemukan
6
bahwa tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan prediktor yang kuat terhadap terjadinya stroke, penyakit pembuluh darah yang lain, dan penyakit ginjal kronis. Selain itu, hipertensi juga dapat merusak kerja mata, dan menimbulkan kelainan atau gangguan kerja otak, sehingga dapat menghambat pemanfaatan kemampuan inteligensia secara maksimal (Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Depkes, 2008). Bardage & Isacson (2001) dalam penelitiannya terhadap pasien hipertensi di Swedia, menemukan bahwa subjek yang pernah mengalami stroke, memiliki skor lebih rendah pada aspek fungsi fisik, kesehatan umum, vitalitas dan fungsi sosial yang ada dalam skala kualitas hidup SF-36. DeGusmão, Mion, & Pierin (2009), dalam penelitiannya membandingkan dua kelompok subjek penderita hipertensi, baik dengan komplikasi, maupun tanpa komplikasi, dengan cara kunjungan rumah, pengobatan, pertemuan dengan berbagai disiplin ilmu, dan pemantauan melalui telpon. Hasilnya ditemukan, bahwa penderita hipertensi tanpa komplikasi skor kualitas hidupnya lebih tinggi dibanding penderita hipertensi dengan komplikasi. Hasil tersebut didukung oleh Blumenau
(2010)
menemukan
bahwa
setelah
stroke
subjek
penelitian
menunjukkan beberapa simtom depresi dan introversi, yang diakibatkan oleh proses emosi. Soni et al (2010), juga menemukan bahwa penderita hipertensi dengan komplikasi memiliki kualitas hidup lebih rendah dibanding individu hipertensi tanpa komplikasi. Untuk mengkaji apakah masalah serupa terjadi di masyarakat, penulis melakukan wawancara awal terhadap 13 anggota masyarakat sebuah desa di kecamatan
Ngaglik,
Kabupaten
Sleman.
Wawancara
bertujuan
untuk
memperoleh gambaran aktivitas yang biasa dilakukan oleh masyarakat yang memiliki tekanan darah tinggi. Subjek yang diwawancara adalah orang dewasa
7
penderita hipertensi berusia 50-79 tahun, dan sebagian dari mereka mengalami komplikasi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka merasakan adanya penurunan kesehatan akibat penyakit kronis yang dialami, sehingga seringkali tidak dapat beraktivitas secara optimal. Ada pula seseorang yang membutuhkan bantuan orang lain dalam merawat dirinya; bepergian harus ada yang menemani, dan tidak dapat bekerja lagi karena kondisi tubuh atau motoriknya terganggu karena sakit yang dialami. Sebagian dari mereka menyadari adanya penurunan fisik pada usianya yang sudah tua dan dengan segala keterbatasannya, namun demikian mereka masih bisa melakukan berbagai kegiatan yang berguna, baik untuk keluarga maupun orang lain, seperti menjaga cucu, menghadiri undangan sebagai “sesepuh” yang sangat diharapkan kehadirannya. Bardage & Isacson (2001) dalam penelitiannya terhadap kualitas hidup dengan mengontrol faktor sosiodemografi, usia dan jenis kelamin, menemukan bahwa orang dengan hipertensi kualitas hidupnya lebih rendah dibanding orang tanpa hipertensi. Perubahan atau penurunan fisik yang telah dikemukakan merupakan Indikator kualitas hidup dari segi fisik. Indikator lain dalam kualitas hidup adalah indikator psikologis. Menurut Campbell & Rodgers (1972, dikutip dari Renwick, Brown, & Nagler, 1996), indikator psikologis menunjuk pada reaksi subjektif individu terhadap pengalaman hidup dan bagaimana individu menerima kehidupannya. Contohnya bagaimana mereka memandang kebahagiaan, kepuasan, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan pada umumnya. Taylor (2012) mengatakan bahwa salah satu hal penting untuk mengevaluasi kualitas hidup adalah pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan yang sering dialami oleh pasien dengan penyakit kronis. Menurut Taylor (2012), individu yang sakit kronis lebih besar kemungkinannya mengalami
8
depresi, kecemasan, dan perasaan yang tidak menyenangkan. Taylor (2012) menemukan, dalam beberapa kasus, kondisi kesehatan mental seperti depresi, merupakan faktor risiko timbulnya penyakit jantung koroner. Pada kasus lain, kondisi kesehatan mental ini merupakan akibat dari kondisi kesehatan fisik yang sifatnya kronis (Christensen, Moran, Wiebe, Ehlers, & Lawton, 2002). Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa hipertensi mempengaruhi fungsi fisik, psikis, dan sosial. Apabila hipertensi tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan terjadinya komplikasi yang rentan terhadap penurunan kualitas hidup. Keadaan tersebut mengakibatkan individu tidak dapat menjalankan fungsi dalam hidupnya secara optimal. Sebaliknya apabila hipertensi dikelola dengan baik, individu masih dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Mengingat prevalensi penderita hipertensi di Indonesia masih tinggi, maka diperlukan partisipasi semua pihak baik di bidang medis, maupun non medis. Dengan demikian timbul pertanyaan, apa yang dapat dilakukan bidang psikologi, untuk bersama-sama melakukan upaya, agar hipertensi bisa dikendalikan? 2. Pentingnya regulasi emosi untuk mendukung kualitas hidup Dalam hubungannya dengan kesehatan, emosi erat kaitannya dengan komponen fisiologis. Pada saat emosi seseorang meningkat, misalnya marah, maka akan terjadi perubahan fisiologis pada tubuh. Beberapa bagian dari otak, sistem saraf otonom dan sistem indokrin akan berperan secara signifikan (Passer & Smith, 2008). Strongman (2003), mengemukakan, bahwa respon emosi berkaitan dengan sistem saraf dan perubahan fisiologis pada tubuh. Contohnya pada saat seseorang marah, dapat merasakan mukanya panas, jantung berdebar-debar. Pada saat takut, badan dan bibir gemetar. Disamping itu
9
juga disebutkan bahwa sistem limbic mengontrol ekspresi emosi dan perilaku emosi serta motivasi. Cannon Bard (dikutip dari Passer & Smith, 2008) mengatakan bahwa ketika Individu menghadapi
situasi, sensor informasi
mengirimnya ke
hipotalamus yang secara simultan mengirim pesan itu ke cerebral cortex dan organ tubuh bagian dalam. Pesan yang dikirim ke cerebral cortex tadi menghasilkan pengalaman emosi, dan yang ke organ tubuh bagian dalam menghasilkan reaksi fisiologis. Sementara Guyton (2012) mengemukakan emosi berkaitan dengan perangsangan pada susunan saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Perangsangan pada saraf simpatis yang terjadi saat seseorang marah, dapat menyebabkan
meningkatnya
kekuatan
dan
kecepatan
denyut
jantung,
menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan darah. Disamping itu, emosi juga dapat dijelaskan dengan menggunakan teori kognitif. Menurut Lazarus (2000, dikutip dari Passer & Smith, 2008), emosi tergantung pada penafsiran atau pemaknaan mengenai informasi stimulus yang diterima, baik disadari atau tidak disadari saat melakukan penilaian tersebut. Reaksi emosional antara satu orang dengan orang lain dapat berbeda karena perbedaan penafsiran terhadap stimulus. Bagi penderita hipertensi, terjadinya peristiwa tertentu, konflik dalam hubungan interpersonal yang
sosial
membangkitkan emosi, baik di tempat
kerja maupun di masyarakat dapat meningkatkan tekanan darah. Oleh karena itu perlu dilakukan cara untuk mengelola emosi agar tekanan darah terkendali dan kesehatan tetap terjaga. Adanya hubungan antara emosi dan tekanan darah diperkuat oleh pendapat Lipp, Prereira, Justo & de Matos (2006), bahwa
10
hipertensi dapat dipicu oleh emosi. Bila seseorang berusaha untuk tidak mengekspresikan emosi (menahan), atau sebaliknya emosi diekspresikan secara berlebihan, keduanya dapat meningkatkan tekanan darah. Hal tersebut dimungkinkan karena saat seseorang marah atau menekan kemarahan, maka kerja saraf simpatis meningkat. (Lipp et al, 2006). Hal tersebut akan memicu pengeluaran hormon adrenalin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan mempercepat denyut jantung. Pendapat tersebut diperkuat oleh Keranovic, et al. (2010), yang menemukan hubungan antara tekanan darah diastol dengan denyut jantung. Semakin tinggi tekanan darah diastol, diikuti pula dengan meningkatnya frekuensi
denyut
jantung.
Nyklicek,
Temoshok
&
Vingerhoets
(2004)
mengungkapkan bahwa marah dan benci adalah faktor risiko terjadinya hipertensi. Denollet, Nyklicek & Vingerhoets (2008) mengemukakan bahwa emosi marah dapat meningkatkan tekanan darah, detak jantung dan diikuti dengan ketegangan otot. Appelhans & Luecken (2006) menemukan variabilitas denyut jantung sebagai hasil dari pengukuran respon regulasi emosi.
Pernyataan ini
memperjelas hubungan teoretik dan empirik penggunaan HRV (heart rate variavility) sebagai suatu indeks perbedaan individu dalam respon regulasi emosi. Hasil ini memperkuat pendapat Prawitasari (2006), bahwa emosi tidak hanya merupakan proses psikologis saja, tetapi juga berkaitan dengan prosesproses fisiologis. Oleh karena itu, keduaproses tersebut sebaiknya diukur. Menurut Passer & Smith (2008), emosi memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu a) fungsi adaptif. Contohnya emosi takut merupakan alarm dari sistem emergensi ketika individu dihadapkan pada situasi yang berbahaya untuk dapat meningkatkan pertahanan, atau menghindar,
11
b) fungsi komunikasi. Emosi sangat penting fungsinya pada saat melakukan komunikasi sosial. Ekspresi wajah maupun perilaku yang ditunjukkan dapat mempengaruhi sikap orang lain pada individu. Bila yang ditunjukkan ekspresi sedih, maka orang lain akan berempati, atau memberikan pertolongan. Sebaliknya bila yang ditunjukkan ekspresi emosi senang, maka akan meningkatkan hubungan baik atau kerjasama. Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa emosi disamping memiliki fungsi adaptif, yaitu dalam komunikasi sosial, juga sangat erat kaitannya dengan proses fisiologis dalam tubuh, yang kemudian dapat mempengaruhi kesehatan. Semuanya itu berdampak pada kualitas hidup. Oleh karena itu, emosi hendaknya dikelola dengan baik, atau dilakukan regulasi emosi. Menurut Smyth dan Arigo (2009), regulasi emosi sangat penting implikasinya dalam kesehatan, terutama individu-individu dengan penyakit kronis. Menurut Gross (1998) regulasi emosi adalah suatu usaha individu untuk memberikan pengaruh atas emosi-emosi yang mereka miliki, bagaimana emosi tersebut dialami dan diekspresikan. Menurut Gross (1999), ada dua macam strategi regulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Cognitive reappraisal adalah strategi regulasi emosi dengan cara melakukan penilaian kembali terhadap stimulus yang membangkitkan emosi, sedangkan expressive suppression adalah mengekspresikan atau menahan untuk tidak mengekspresikan emosi yang dirasakan. Garfensi, Kommer, Kraaij, Teerds, Legerstee & Onstein (2010), meneliti penggunaan strategi regulasi emosi reappraisal dan problem-problem emosional pada kelompok klinis dan non klinis. Hasilnya ditemukan bahwa penggunaan regulasi emosi reappraisal lebih banyak dilakukan oleh subjek non klinis. Dari
12
hasil-hasil tersebut dikemukakan bahwa strategi regulasi emosi reappraisal menjadi sangat berguna untuk tujuan preventif dan intervensi. Ehring, Fischer, Schulle, Bosterling & Caffer (2008) dalam penelitiannya membuktikan bahwa individu-individu yang depresi menunjukkan penggunaan strategi regulasi emosi yang tidak fungsional. Bukti ini mendukung studi sebelumnya yang dilakukan oleh Dennis (2007), bahwa kerentanan depresi berhubungan dengan rendahnya regulasi emosi. Kecemasan dan depresi berhubungan dengan pola-pola interaksi yang unik dari regulasi emosi. Penggunan strategi reappraisal dapat menurunkan depresi, sementara tingginya penggunaan strategi suppression meningkatkan kecemasan. Implikasinya adalah perlu dilakukan intervensi strategi regulasi emosi reappraisal untuk individu yang mengalami gangguan klinis. Hasil penelitian lain tentang strategi regulasi emosi terkait dengan kesehatan mental juga dilakukan oleh Aldao, Hoeksema & Scheizer (2010); Amstadter (2008); Diamond & Aspinwall (2003); serta. Haga, Kraft, & Corby (2009) dalam penelitian yang dilakukan terhadap 489 orang mahasiswa Norwey, Australia, dan USA, menemukan bahwa secara umum strategi cognitive reappraisal diprediksi meningkatkan kebahagiaan, sementara expressive suppression meningkatkan emosi negatif. Dalam kaitan dengan kesehatan fisik, seperti hipertensi, penggunaan strategi regulasi emosi reappraisal juga lebih baik dibanding dengan suppresion. Hal ini dijelaskan, bahwa pada saat individu memperoleh kesempatan untuk melakukan penilaian kembali (reappraisal), berarti akan ada kemungkinan mengubah respon emosi, sehingga menurunkan aktivitas saraf simpatis, yang kemudian dapat melonggarkan pembuluh darah, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan kecepatan denyut jantung. Sementara penggunaan strategi
13
suppresion, atau expressive behavior, dapat merangsang aktivitas saraf simpatis, sehingga akan memicu kecepatan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan darah (Guyton, 2012). Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan emosi dan hipertensi. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi reappraisal untuk menjaga kesehatan merupakan hal yang penting diketahui oleh masyarakat, terutama orang dengan hipertensi. Penggunaan strategi regulasi emosi reappraissal dapat membantu mengelola kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dapat diajarkan dan dilatihkan? 3. Psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal dan kualitas hidup orang dengan hipertensi. Di bidang kesehatan, upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kesehatan seseorang, sering dilakukan dengan melakukan kegiatan yang dikenal dengan istilah promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah suatu proses memberdayakan manusia untuk membuat pilihan gaya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk menjadi manajer bagi diri mereka sendiri. Strategi promosi kesehatan dapat difokuskan pada pendidikan, konseling dan alat-alat bantu bagi pasien (Family Health Team, 2006). Taylor mengendalikan
(2012)
menyatakan,
bahwa
ada
banyak
tritmen
untuk
hipertensi. Pada umumnya pasien diminta untuk diet,
mengurangi alkohol, membatasi minum kopi, mengurangi garam, menurunkan berat badan dan olahraga secara teratur, disamping minum obat sesuai anjuran
14
dokter. Semuanya itu dilakukan agar tekanan darah terkendali dan mencegah terjadinya komplikasi. Pernyataan Taylor (2012) tersebut diperkuat oleh Keranovic, et al. (2010); Miskulin, Dumanic, Rudan & Atalic (2010); dan Samovojska (2010), yang melakukan penelitian pengendalian hipertensi dengan mengurangi garam. Philip (2010) meneliti pengelolaan hipertensi dengan olah raga secara teratur. Zivko & Jelakovic (2010) menyatakan perlunya perhatian dan pengaturan pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang bukan pasien klinik. Dalam hal ini masyarakat memerlukan pendidikan tentang kesehatan dan aspek-aspek psikososial yang berhubungan dengan penyakit, sebagai upaya pencegahan. Zivko & Jelakovic (2010) menemukan
bahwa penanganan yang
dilakukan oleh para ahli yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda secara meyakinkan dapat meningkatkan kualitas hidup. Promosi kesehatan dapat diberikan secara langsung maupun tidak langsung terhadap pasien, atau melalui perawat. Contohnya, Hong (2010) melakukan review terhadap 115 artikel, 70 artikel yang terpilih, berhubungan dengan promosi kesehatan terhadap orang dengan hipertensi. Dari artikel-artikel tersebut ditemukan adanya bukti-bukti telah dikembangkannya panduan praktis untuk perawat, yang berisi proses perawatan terhadap orang dengan hipertensi. Di bidang psikologi juga sudah dilakukan upaya intervensi untuk mengendalikan hipertensi, diantaranya dengan cognitive-behavioral treatments. Metode
tersebut
menggunakan
relaksasi
yang
mencakup
biofeedback,
progressive muscle relaxation, hypnoses, dan meditasi, yang semuanya itu dapat membantu menurunkan tekanan darah (Taylor, 2012). Evaluasi terhadap tritmen cognitive behavior yang dilakukan sejumlah ahli seperti Davison, William,
15
Nezami, Bice, & DeQuattro (1991, dikutip dari Taylor, 2012) dinilai memberi pengaruh yang positif, meskipun pasien hipertensi tidak melakukan latihan sebanyak yang diminta (Hoelscher, Lichstein, & Rosenthal, 1986, dikutip dari Taylor, 2012) Menurut Brownley, West, Hinderliter, & Light (1996), self-reinforcement, self-calming talk, gool setting, dan time management, secara tipikal dapat ditambahkan dalam intervensi CBT. Selain itu latihan fisik juga dapat membantu mengendalikan tekanan darah. Kvolik (2010) menyatakan perlunya manajemen tekanan darah pada individu setelah dilakukan operasi, karena dalam keadaan beraktivitas tekanan darah lebih tinggi dibanding saat istirahat atau saat individu dioperasi. Buljubasic, Vizjak, & Barkic (2010) menemukan dampak kecerdasan emosi pada regulasi hipertensi. Pribic, Buljan & Gimajnic (2010) menyimpulkan bahwa intervensi yang dilakukan terhadap para manager yang menderita hipertensi dengan menggunakan materi edukasi, diskusi, pesan pendek, dan email, tetap melanjutkan terapi antihipertensi. Hal ini dilakukan terhadap para manajer yang sering menghadapi situasi stres, pengambilan keputusan, dan dalam hubungan interpersonal. Di bidang psikologi, upaya lain yang dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan regulasi emosi yang dilakukan melalui berbagai intervensi seperti terapi dan pelatihan. Salah satu diantaranya dilakukan oleh Inten (2007), meneliti efek terapi kognitif untuk meningkatkan kesadaran emosi pada penderita hipertensi esensial di Puskesmas Depok. Smyth & Argio (2009), menemukan efektivitas intervensi psikososial untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi dalam hubungannya dengan kesehatan. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara memberikan psikoterapi regulasi emosi secara kelompok,
16
pemberian tugas penulisan ekspresif, dan program-program prevensi berbasis sekolah. Azizi, et al (2010) menemukan bahwa pelatihan regulasi emosi lebih efektif dibanding dengan terapi kognitif untuk meningkatkan toleransi rasa sakit dan meningkatkan ketrampilan regulasi emosi. Secara umum hasil penelitian dari Smyth & Argio (2009) dan Azizi et al. (2010) tersebut menunjukkan bahwa berbagai variasi intervensi regulasi emosi dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup. Smyth & Arigo (2009) menyimpulkan bahwa regulasi emosi sangat penting implikasinya pada kesehatan, terutama bagi individu-individu dengan penyakit kronis. Telah
dikemukakan
sebelumnya
bahwa
strategi
regulasi
emosi
reappraisal dapat membantu menjaga kesehatan, yang pengaruhnya dapat meningkatkan kualitas hidup. Pertanyaannya adalah dengan cara bagaimana pengetahuan dan ketrampilan strategi regulasi emosi reappraisal diberikan kepada masyarakat? Mas, Plass, Kane, & Papenfuss (2003) menyatakan bahwa penyampaian pengetahuan tentang kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat, dapat dilakukan dengan kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah suatu proses mendidik orang tentang kesehatan (McKenzie & Jurs, 1993, dikutip dari Mas et al., 2003). Di bidang psikologi, edukasi dapat diberikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan psikologis, disebut psikoedukasi (Devine & Pearcy, 1996; Murran, et al., 2011; Pedneault, 2008; Sampson, Yeats, & Harris, 2012; Winkler, 2008). Psikoedukasi pada umumnya menunjuk pada pendidikan pribadi atau pendidikan sosial (Supratiknya, 2011), namun demikian, ternyata psikoedukasi dapat diberikan kepada petugas kesehatan, dan terbukti efektif meningkatkan pengetahuan
17
tentang HIV dan AIDS bagi pekerja kesehatan, sehingga dapat mengurangi sikap negatif terhadap penderita HIV-AIDS, dan dapat meningkatkan sosialisasi pasien melalui konsultasi. Liem & Adiyanti (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa program psikoedukasi „BIDAN CANTIK‟ dapat meningkatkan kualitas layanan di pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS). Berbagai penelitian tentang psikoedukasi untuk pencegahan hipertensi antara lain dilakukan oleh Reifschneider (1995), yang melakukan studi metaanalisis terhadap 102 penelitian, yang bertujuan mengetahui efektivitas psikoedukasi
untuk
menjaga
tekanan
darah.
Psikoedukasi
tersebut
menggunakan materi pengetahuan tentang hipertensi (n=30), menggunakan obat (n=23), mengelola berat badan (n=16). Reifschneider (1995) menyimpulkan bahwa
beberapa
tipe
psikoedukasi
yang
menggunakan
edukasi
saja,
pemantauan perilaku saja, dan relaksasi, efek nya terhadap tekanan darah kecil sampai sedang. Perlakuan yang menggunakan pengetahuan, pengobatan, dan perawatan kesehatan secara teratur, effeknya lebih besar. Selain itu, Sangprasert & Pradujkanchana (2010) meneliti tentang efektivitas program promosi kesehatan pada pasien-pasien hipertensi di Thailand; Cheng, Prabhakar, Kapila, Sukhai & Monzon (2003) melakukan promosi kesehatan terhadap penderita hipertensi, yang berusia 40-65, dengan tujuan mengurangi faktor-faktor risiko penyakit dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Proses intervensi yang dilakukan oleh Cheng et al. (2003) adalah menggunakan seminar dan pemberian pamflet. Indikator keberhasilan dari promosi kesehatan yang dilakukan oleh Cheng adalah pengetahuan tentang hipertensi, dan kebiasaan atau gaya hidup subjek, seperti aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi alkohol. Materi khusus promosi kesehatan dari Cheng et al. (2003) adalah perubahan
18
gaya hidup untuk menurunkan dan mengelola tekanan darah. Hasil penelitian membuktikan bahwa aktivitas promosi kesehatan ini dapat menurunkan faktor risiko terhadap gangguan penyakit jantung dan pembuluh darah. McGillion, Arthur, Victor, Watson, & Cosman (2008) mengemukakan hasil studi meta-analisis untuk menentukan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam meningkatkan
simtom
kualitas
kesejahteraan
psikologis
hidup
penderita
terkait
penyakit
dengan jantung.
kesehatan, Psikoedukasi
dan ini
menggunakan kombinasi teknik pengelolaan diri penyakit jantung dalam bentuk pengetahuan dan perilaku, seperti konservasi energi, manajemen stres dan konseling, latihan relaksasi, membuat rencana harian. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi psikoedukasi dapat menurunkan frekuensi gangguan penyakit jantung. Disamping penelitian tentang psikoedukasi yang telah dikemukakan, ada tiga penelitian intervensi yang menggunakan regulasi emosi dalam kaitannya dengan hipertensi, yaitu a) dilakukan oleh Joshua & Danielle (2009) yang menemukan bukti bahwa berbagai variasi regulasi emosi dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup pada populasi klinis. b) Azizi et al., (2010) menemukan bahwa training regulasi emosi lebih efektif dibanding terapi kognitif untuk meningkatkan toleransi rasa sakit dan meningkatkan regulasi emosi. c) Inten (2007) dalam penelitiannya melakukan terapi kognitif untuk meningkatkan kesadaran emosi pada penderita hipertensi Sejauh yang diketahui penulis, belum ada penelitian di Indonesia yang secara khusus menekankan pada psikoedukasi regulasi emosi reappraisal, padahal regulasi emosi reappraisal dianggap dapat membantu meningkatkan kesehatan, yang membawa dampak bagi kualitas hidup (Gross, 2007). Renwick
19
et al.(1996), mengemukakan bahwa kualitas hidup dipandang sebagai suatu hasil interaksi faktor-faktor penentu kualitas hidup dengan kondisi-kondisi yang mengontrol atau mempengaruhinya. Penentu kualitas hidup terdiri dari lingkungan makro seperti ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan mikro seperti keluarga, tetangga, lingkungan kerja, rumah, sekolah. Penentu pribadi yang berhubungan dengan individu, secara biologis seperti tubuh, otak, sakit fisik, dan keadaan lain yang sulit diubah, sedangkan secara psikologis seperti kebiasaan, kognisi, emosi, persepsi, dan pengalaman, yang merupakan representasi dari karakteristik seseorang dalam memandang suatu masalah yang dapat diubah. Menurut Renwick et al. (1996), promosi kesehatan terkait dengan dua hal, yaitu menciptakan baik iklim lingkungan yang sehat dan membantu menentukan perilaku sehat. Dengan kata lain, intervensi baik promosi kesehatan, maupun psikoedukasi yang dirancang, didisain untuk menciptakan lingkungan baru dan mengubah faktor personal. Pemberian pengetahuan dan ketrampilan strategi regulasi emosi reappraisal melalui
psikoedukasi pada orang dengan
hipertensi dan pengaruhnya pada kualitas hidup dapat dijelaskan dengan teori kognitif sosial dari Bandura (2004). Menurut teori Bandura (1986), terjadi saling pengaruh (reciproc triadic) antara individu, lingkungan dan perilaku. Psikoedukasi merupakan faktor Lingkungan (E), Orang dengan hipertensi (ODH) dengan karakteristik yang dimiliki merupakan faktor personal (P), dan perubahan perilaku (B) merupakan indikator kualitas hidup. Berdasar teori tersebut dapat dijelaskan bahwa subjek yang memperoleh psikoedukasi, memperoleh tambahan informasi berupa pengetahuan tentang hipertensi, emosi, strategi regulasi emosi untuk menjaga kesehatan, khususnya hipertensi. Melalui proses kognitif / proses berpikir, pengetahuan yang diterima dapat mengubah perilaku. Perubahan
20
perilaku yang mendukung kesehatan, khususnya hipertensi tersebut diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Dari beberapa penelitian, dikemukakan bahwa penyampaian materi psikoedukasi dapat dilakukan antara lain melalui ceramah atau seminar, penyuluhan, pelatihan. Metode tersebut dalam teori pembelajaran merupakan contoh dari metode direct instruction (Eggen & Kauchak, 2010; Klahr & Nigam, 2004). Di dalam direct instruction, guru atau instruktur memberikan pengantar dan review, mengembangkan pemahaman, memberikan bimbingan saat praktek, dan siswa melakukan praktek sendiri. Apabila
ceramah dilanjutkan dengan
diskusi atau tanya jawab, maka dalam teori belajar disebut instructional guidance (Sweller, Kirschner, & Clark, 2007). Schmidt (2007, dikutip dari Sweller et al., 2007) menyatakan bahwa di sisi lain, ada
penyampaian pengetahuan yang
dilakukan dengan memberikan informasi melalui media, baik cetak maupun elektronik, namun tanpa bimbingan. Fenomena tersebut juga dapat dilihat di Indonesia, contohnya, individu memperoleh pengetahuan kesehatan melalui berbagai media promosi kesehatan diantaranya melalui media cetak seperti leaflet, flyer (selebaran), flip chart (lembar balik), yang dapat diperoleh di bagian depan/meja receptionist di Apotek, Klinik kesehatan, Puskesmas, laboratorium kesehatan, dan rumah sakit. Pengunjung dapat mengambil secara cuma-cuma dan membacanya sendiri tanpa ada bimbingan. Metode ini dalam pembelajaran merupakan contoh dari discovery learning (Klahr & Nigam, 2004). Perbedaan pendapat antara belajar dengan bimbingan dan belajar tanpa bimbingan juga dikemukakan oleh Kirschner, Sweller, dan Clark (2006). Dijelaskan bahwa belajar dengan bimbingan instruksional sudah dilakukan lebih dari setengah abad. Belajar yang mendapatkan bimbingan secara langsung
21
(instructional guidance) ini, guru menyediakan informasi sebelum menjelaskan konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang dibutuhkan oleh siswa seperti strategi belajar, akan mendukung terjadinya bangunan kognitif. Schmidt (2007, dikutip dari Sweller et al., 2007) menguatkan pendapat tentang pentingnya bimbingan dalam belajar. Pendekatan belajar tanpa bimbingan atau dengan bimbingan minimal, disebut juga discovery learning (Kirschner et al. 2006). Dari penjelasan tersebut timbul pertanyaan, proses pembelajaran mana yang lebih efektif digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang kesehatan dan psikologi melalui psikoedukasi? Dengan metode instructional dengan bimbingan (guided learning) atau tanpa bimbingan (unguided learning). Renwick et al.(1996) mengemukakan bahwa karakteristik seseorang dalam memandang suatu masalah merupakan salah satu penentu kualitas hidup. Menurut Shapiro (1998), salah satu karakteristik seseorang dalam memandang suatu situasi atau masalah adalah optimisme. Optimisme merupakan kebiasaan berpikir positif. Cara berpikir positif dan realistis dalam memandang sebuah masalah, merupakan satu bentuk berpikir yang berusaha mencapai hal yang terbaik dalam keadaan yang terburuk. Individu yang berpola pikir positif, selalu dapat melihat sisi positif dari segala hal yang menimpanya (Vaughan, 2000). Di sisi lain Wrosch & Scheier (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor pribadi yang membedakan peningkatan kualitas hidup adalah optimisme. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap warga masyarakat pada bulan Juli 2013, dapat
diketahui
bahwa
ada
orang
yang
pesimis
dalam
menghadapi
permasalahan, namun ada pula yang dapat menerima kondisinya, dapat menghargai dan yakin bahwa ada hal-hal positif yang masih dapat dilakukan, sehingga tetap bahagia. Hal itu merupakan salah satu ciri dari orang yang
22
optimis (Shapiro,1998). Peran optimisme terhadap kualitas hidup didukung oleh sejumlah hasil penelitian, beberapa diantaranya adalah Alison, Guichard, & Gilain ( 2000); Alison, Guichard, Fung, & Gilain (2003); Carver, et al. (2005); DeMoor et al. (2006); Derhagopian (2005); Fournier, Riddeer, & Bensing (2002); Graci (2001); Harry (2012), Lilius, Julkunen, & Hietanen (2007); Kung et al. (2006); Purnamaningsih (2013); Segerstrom & Sephton (2010); Worsch & Scheier (2003); Yu, Fielding, & Chan (2003); serta Zenger, Brix, Borowski, Stolzenburg, & Hinz (2010). Carver, Scheier, & Segerstrom, (2010), menyatakan bahwa optimisme merupakan sifat bawaan yang relatif stabil dalam waktu yang lama. Dalam hubungannya dengan dampak kesehatan, pasien yang memiliki harapan hidup yang positif menunjukkan perjuangan dalam menghadapi kesehatannya. Studi meta-analisis tentang hubungan antara optimisme dan kesehatan fisik yang dilakukan oleh Rasmussen, Scheier & Greenhouse (2009) terhadap 83 studi, menemukan bahwa optimisme merupakan prediktor yang meyakinkan terhadap dampak positif dari kesehatan fisik. Belcher (2009) dalam disertasinya juga menemukan bahwa optimisme merupakan variabel penentu dari kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup. Dari berbagai sumber yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa optimisme berperan penting dalam menentukan kualitas hidup seseorang, sehingga dalam penelitian disertasi ini, optimisme diperhitungkan pengaruhnya. Dari paparan permasalahan yang telah dikemukakan, dapat menunjukkan bahwa kualitas hidup dapat dipandang dengan cara objektif maupun subjektif. Secara objektif dapat dilihat dari hasil observasi terhadap perilaku maupun hasil pemeriksaan kesehatan, sedangkan secara subjektif dapat dilihat dari hasil
23
laporan diri. Ada sejumlah indikator kualitas hidup, diantaranya adalah fungsi fisik, sosial dan psikologis. Fungsi fisik yang menurun lebih dirasakan oleh orang yang mengalami sakit kronis, diantaranya hipertensi. Menurut Guyton (2012), hipertensi dapat dipicu oleh emosi. Emosi berkaitan dengan perangsangan pada susunan saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Sebagai contoh, perangsangan pada saraf simpatis yang terjadi saat seseorang marah, dapat menyebabkan meningkatnya kekuatan dan kecepatan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan darah. Oleh karena itu ketrampilan mengelola emosi atau menggunakan strategi regulasi emosi yang tepat menjadi penting. Disertasi
ini
menggunakan
psikoedukasi
strategi
regulasi
emosi
reappraisal untuk meningkatkan kesehatan fisik, seperti hipertensi. Penggunaan strategi regulasi emosi reappraisal lebih baik dibanding dengan suppresion. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa pada saat individu memperoleh kesempatan untuk melakukan penilaian kembali (reappraisal), berarti akan ada kemungkinan merubah respon emosi, yang berpengaruh secara fisiologis diantaranya menurunkan aktivitas saraf simpatis, yang kemudian dapat melonggarkan pembuluh darah, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan kecepatan denyut jantung. Peningkatan keterampilan regulasi emosi reappraisal dapat dilakukan dengan memberikan psikoedukasi. Sejumlah peneliti menemukan bahwa kualitas hidup juga dapat dipengaruhi oleh optimisme. Orang yang optimis memiliki harapan hidup yang positif yang ditunjukkan dengan perjuangannya dalam menghadapi penyakit yang dialaminya. Disamping itu, optimisme juga akan berpengaruh pada sikap seseorang dalam menerima informasi berkaitan dengan kesehatannya, termasuk dalam menerima secara positif psikoedukasi.
24
A. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah
ada
pengaruh
psikoedukasi
strategi
regulasi
emosi
reappraisal terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi, yang disampaikan dengan metode : a. Ceramah disertai bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? b. Pemberian booklet disertai bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? c. Pemberian booklet tanpa bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? 2. Apakah ada perbedaan pengaruh psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal yang disampaikan dengan menggunakan metode ceramah disertai bimbingan, dibanding menggunakan booklet disertai bimbingan dan booklet tanpa bimbingan? 3. Proses pembelajaran psikoedukasi yang mana yang lebih efektif terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi? a. apakah yang disampaikan secara langsung (direct instruction) disertai bimbingan (guided learning) atau b. direct instruction tanpa bimbingan (unguided learning)
25
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan masalah yang dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :: 1. Mengetahui, apakah ada pengaruh psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi, yang disampaikan dengan metode : a. Ceramah disertai bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? b. Pemberian booklet disertai bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? c. Pemberian booklet tanpa bimbingan, dengan mengendalikan optimisme? 2. Mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal yang disampaikan dengan menggunakan metode ceramah disertai bimbingan, dibanding menggunakan booklet disertai bimbingan dan booklet tanpa bimbingan? 3. Mengetahui proses pembelajaran psikoedukasi yang lebih efektif terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi a. apakah yang disampaikan disertai bimbingan (guided learning) ? atau b. yang disampaikan tanpa bimbingan (unguided learning) Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini, adalah: 1. Manfaat teoretis, yaitu menambah khasanah pengetahuan di bidang psikologi kesehatan tentang peran strategi regulasi emosi reappraisal dalam meningkatkan kualitas hidup orang dengan hipertensi.
26
2. Manfaat praktis, modul psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan regulasi emosi yang mendukung peningkatan kualitas hidup orang dengan hipertensi, baik dengan cara ceramah, maupun dengan menggunakan booklet. 3. Dapat diketahui cara penyampaian psikoedukasi yang lebih efektif, apakah disampaikan dengan bimbingan atau tanpa bimbingan.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kualitas hidup, regulasi emosi, dan hipertensi sudah pernah dilakukan dengan kelompok subjek yang berbeda, dengan pemberian perlakuan yang berbeda. Kallay, Incas & Benga (2009), meneliti dampak dari status mood dan strategi regulasi emosi kognitif pada depresi dan kualitas kehidupan mental yang dimediasi oleh afeksi, baik positif maupun
negatif.
Penelitian disertasi ini melihat pengaruh psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal, terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi. Kualitas hidup yang dilihat meliputi aspek psikhis, fisik dan sosial. Fitri (2010) meneliti peran nyeri, regulasi emosi dan dukungan sosial terhadap kualitas hidup penyintas Spinal Cord Injury (SCI) korban gempa bumi. Perbedaannya, penelitian disertasi ini dikenakan pada subjek yang berbeda, yaitu terhadap orang dengan hipertensi. Purnomo (2010), meneliti kualitas hidup orang dengan hipertensi ditinjau dari optimisme, representasi sakit dan kepatuhan. Optimisme, representasi sakit, dan kepatuhan dalam penelitian Purnomo sebagai variabel bebas, sedangkan dalam penelitian disertasi ini variabel bebasnya adalah psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal, dan
27
optimisme sebagai kovariabel. Penelitian Fitri dan Purnomo merupakan studi korelasional, sementara penelitian disertasi ini merupakan penelitian eksperimen. Disamping itu, Inten (2007) melakukan penelitian dengan judul: Terapi kognitif untuk meningkatkan kesadaran emosi pada penderita hipertensi esensial di Puskesmas Depok. Perbedaannya: (a) perlakuan yang diberikan Inten kepada partisipan adalah berupa terapi kognitif untuk meningkatkan kesadaran emosi, sedangkan penelitian ini subjek diberi psikoedukasi strategi regulasi emosi reappraisal untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan hipertensi. Cook, Billing, Hersch, Back & Hendrickson (2007) mengevaluasi efektivitas program promosi kesehatan berbasis Web-multimedia, dan menggunakan materi cetak dengan topik yang sama. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa ada keterbatasan penelitian, diantaranya adalah 1) semua pengukuran variabel tergantung menggunakan self report, dan 2) tidak ada kelompok kontrol. Disarankan penelitian selanjutnya untuk mengambil data pengukuran fisik dan memasukkan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan kelompok kontrol, dan dilakukan pula pengukuran fisik berupa tekanan darah dan frekuensi denyut jantung permenit secara berkala sebagai salah satu indikator kesehatan fisik. Sejauh pengetahuan penulis, di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh psikoedukasi regulasi emosi khususnya reappraisal terhadap kualitas hidup orang dengan hipertensi.