BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidur adalah aktivitas vital yang diatur oleh mekanisme sistem neuronal dan neurotransmiter yang kompleks. Tidur dibutuhkan untuk mempertahankan regulasi sistem saraf pusat serta memastikan fungsi tubuh berjalan dengan normal. Secara spesifik, tidur berguna untuk menyegarkan tubuh, mengembalikan kewaspadaan, serta menghindari terlelapnya seseorang secara tidak sengaja selama periode terjaga (Sinton & McCarley, 2004; Markov & Goldman, 2006). Sebagian besar orang dewasa membutuhkan waktu tidur selama 7 - 8 jam dalam sehari. Regulasi durasi waktu tidur dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik memiliki peran penting untuk menentukan durasi waktu tidur yang dibutuhkan dan mempengaruhi kemampuan seseorang mengurangi durasi waktu tidur yang dikehendaki. Faktor lingkungan memiliki dampak yang bervariasi terhadap durasi dan pola tidur seseorang (Sinton & McCarley, 2004; Markov & Goldman, 2006). Berkurangnya waktu tidur (sleep deprivation) telah lama menjadi masalah di dunia kesehatan. Diperkirakan 50 - 70 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami masalah ini (Institute of Medicine, 2006). Laporan dari Behavioral Risk Factor Surveillance System (BRFSS) pada tahun 2009 yang dilakukan di 12 negara bagian di Amerika menunjukkan 35,3% orang dewasa menyatakan durasi tidur hariannya di bawah tujuh jam. Indonesia belum memiliki data resmi prevalensi kasus 1
kekurangan waktu tidur, namun United States Census Bureau dalam laporan International Data Base memperkirakan pada tahun 2004 saja ada sebanyak 35 juta kasus yang terjadi di Indonesia (Centers for Disease Control and Prevention, 2011). Kekurangan tidur tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya kuantitas tidur, namun
juga
akibat
berkurangnya
kualitas
tidur.
Kekurangan
tidur
akut
mengakibatkan tubuh mengalami gangguan fungsi yang bervarisi saat periode terjaga (Markov & Goldman, 2006). Manifestasinya dapat berupa penurunan performa kognitif dan fungsi tubuh secara umum yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari (Mirescu, et al., 2006). Kekurangan tidur kronis menyebabkan deteriorasi pada berbagai fungsi dasar tubuh. Perubahan yang terjadi secara fisiologis serupa dengan perubahan yang terjadi saat seseorang mengalami kondisi stres berulang. Perubahan fungsi dasar tubuh tersebut akan mengakibatkan gangguan yang sifatnya lebih permanen, seperti kelelahan (fatigue), penurunan daya tahan tubuh, obesitas dan perubahan indeks massa tubuh (IMT), gangguan tidur, retardasi pertumbuhan dan perkembangan anak, diabetes melitus tipe II, fibromyalgia, psikosis, depresi, gangguan bipolar, penurunan fungsi kognitif, stroke, serangan jantung, bahkan dapat menyebabkan kematian (Bhatnagar, et al., 2006). Kekurangan tidur juga berimbas pada terganggunya hubungan interpersonal, baik perkawinan maupun hubungan antar anggota keluarga yang lain (Papp, et al., 2004). Sistem kerja dengan pembagian jadwal kerja berdasarkan pola shift (sistem kerja dengan pola bergeser) akan menyebabkan gangguan pada irama sirkadian 2
tubuh. The International Agency for Research on Cancer of The World Health Organization pada tahun 2007 menyatakan pola shift kerja berperan terhadap kejadian karsinogenesis (Strait, et al., 2007). Shift malam dikaitkan dengan peningkatan risiko sebesar 40% menderita kanker payudara (Megdal, et al., 2005). Akumulasi hutang tidur pada pekerja dengan sistem kerja shift membuat mereka rentan terhadap kecelakaan maupun cedera. Kecelakaan kerja meningkat sesuai waktu shift kerja, dan sering berlangsung pada malam hari. Kekurangan tidur dapat menjelaskan kaitan penyebab “human error” di balik kecelakaan yang terjadi, seperti kejadian di Three Mile Island, Chernobyl, Bhopal, dan, Exxon Valdez. Insidensi kecelakaan kerja meningkat 15% saat shift siang bila dibandingkan shift pagi, dan melonjak hingga 28% saat shift malam. Insidensi kecelakaan kerja meningkat 13% pada durasi shift kerja 8 jam dibandingkan dengan durasi 10 jam, dan melonjak menjadi 28% pada durasi shift kerja 12 jam (Folkard & Lombardi, 2006). Kelelahan (fatigue) dapat dialami oleh individu yang mengalami kekurangan tidur kronis. Penelitian pada pasien yang ditangani oleh delapan puluh sembilan dokter umum di Irlandia, dengan kunjungan pasien sebanyak 1.428, menunjukkan prevalensi kasus kelelahan sebesar 25%, dengan 6,5% pasien menyatakan kelelahan sebagai sebab utama kunjungan ke dokter (Cullen, et al., 2002). Studi kohort epidemiologis pada populasi usia produktif di Belanda menunjukkan prevalensi kelelahan sebesar 21,9% dengan insidensi kelelahan yang terjadi kronis selama setahun sebesar 12% (Kant, et al., 2003). Belum ada data resmi di Indonesia tentang besarnya insidensi maupun prevalensi kasus kelelahan. 3
Kantuk dan kelelahan menjadi perhatian utama pengendalian angka kecelakaan kerja terutama saat shift malam. Tingginya risiko kesalahan dan kecelakaan kerja merupakan akibat dari gangguan dan hutang tidur, yang juga diakibatkan kombinasi faktor alamiah (irama sirkadian tubuh), lingkungan, dan sosial (Buxton, 2003). Kombinasi dari kekurangan tidur, pengaturan shift kerja yang tidak sesuai irama sirkadian, durasi shift kerja yang panjang, dan kelelahan menyebabkan kerugian sebesar $116 milyar, atau setara dengan $2.000 untuk setiap pekerja dalam setahunnya. Kerugian itu akibat menurunnya produktivitas, meningkatnya kesalahan (errors), absensi, peningkatan biaya kesehatan dan medis, pengundurkan diri dari pekerjaannya, disabilitas, bahkan kematian (Rosekind, et al., 2010). Era pelayanan kesehatan yang bertumpu pada keamanan dan keselamatan pasien (patient safety) menuntut tenaga medis untuk memberikan layanan yang optimal. Penurunan angka kesalahan medis (medical error) menjadi target utama. The Institute of Medicine pada tahun 1999 menerbitkan laporan yang berjudul “To Err is Human”. Laporan tersebut menjelaskan bahwa kejadian kesalahan medis terjadi pada setiap satu dari sepuluh pasien yang ditangani di seluruh dunia, menjadikan kondisi ini suatu kewaspadaan yang bersifat global. Sebanyak 44.000–98.000 kematian sebenarnya dapat dicegah setiap tahunnya. Kematian yang dapat dicegah ini terjadi oleh karena kesalahan medis yang terjadi di rumah sakit. Kesalahan oleh pihak medis sendiri bertanggung jawab pada 7.000 kasus kematian dari total angka kematian tersebut (Kohn, et al., 2000).
4
Penelitian terbaru menunjukkan peningkatan drastis angka kematian pasien rumah sakit terkait dengan kesalahan medis yang dapat dicegah di Amerika Serikat. Peningkatan lebih dari 4,5 kali lipat menjadi 210.000 kasus setiap tahunnya. Angka kematian meningkat pesat menjadi 440.000 kematian yang dapat dicegah setiap tahunnya dikaitkan dengan kesalahan diagnostik, admisi di ruang gawat darurat, dan kegagalan dalam menjalankan prosedur (guidelines). Hal ini membuat kejadian kesalahan medis sebagai penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker (James, 2013). Pekerja di bidang medis memiliki risiko tinggi mengalami kekurangan tidur dan kelelahan. Studi epidemiologis terhadap penduduk Amerika Serikat National Health Interview Survey dari tahun 1985 – 2007 menunjukkan peningkatan persentase pekerja yang mengalami tidur kurang dari atau sama dengan enam jam seharinya. Peningkatan persentase meningkat dari 28% menjadi 32% (Luckhaupt, et al., 2010). Dokter residen sebagai pelayanan terdepan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring dituntut untuk selalu berada dalam kondisi prima, meskipun publik dan pendidikan kedokteran mengetahui bahwa durasi waktu kerja yang panjang memiliki efek kontraproduktif. Durasi kerja yang panjang menyebabkan berkurangnya waktu tidur yang berkaitan dengan terganggunya proses pembelajaran dan peningkatkan risiko kesalahan medis. Kondisi ini sulit dibenahi karena sebagian kalangan medis meyakini bahwa durasi kerja yang panjang penting untuk menciptakan standar masuk pendidikan residensi yang tinggi. Kondisi ini juga digunakan untuk menekan pembiayaan fasilitas kesehatan (Philibert, et al., 2002). 5
Regulasi di Eropa melarang seorang dokter untuk melakukan praktek lebih dari 13 jam berurutan dan/ atau memiliki jumlah waktu kerja 48 - 56 jam/ minggu (British Medical Association, 2004). Regulasi The Institue of Medicine (IOM) di Amerika Serikat mengatur durasi shift selama 16 jam dan waktu kerja mingguan maksimal 80 jam (Landrigan, et al., 2006). Belum ada publikasi tentang jumlah jam kerja dokter residen dalam seminggunya di Rumah Sakit Pendidikan dan Jejaring di Indonesia. Jam tugas resmi dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito rata-rata 9 - 10 jam/ hari, dan terpanjang selama 34-36 jam berurutan apabila mendapat tugas jaga. Durasi waktu tugas ini akan bervariasi untuk setiap bagian/ spesialisasi. Variasi juga terjadi untuk tiap tahapan atau tingkatan dalam residensi sesuai dengan beban tugas dan tanggung jawab klinis yang dimilikinya. Mengingat pentingnya peran tingkat kantuk dan faktor lainnya terhadap tingkat kelelahan dokter residen yang mempengaruhi kehidupan personal, sosial, dan profesional, maka penelitian ini perlu untuk dilakukan. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Kekurangan durasi waktu tidur yang terjadi secara akut maupun kronis akan menimbulkan masalah yang serius berupa penurunan performa fungsi kognitif dan performa fisik tubuh secara umum. 2. Kekurangan waktu tidur dan kelelahan sering terjadi secara simultan. 6
3. Jadwal waktu kerja dokter residen berkaitan dengan durasi waktu tidur, tingkat kantuk, dan tingkat kelelahan. 4. Dokter residen memiliki risiko tinggi mengalami kekurangan waktu tidur dan kelelahan yang mengakibatkan penurunan performa pada pelayanan pasien. C. Pertanyaan Penelitian Adakah pengaruh antara derajat keparahan tingkat kantuk terhadap tingkat kelelahan dibandingkan faktor sosiodemografi lainnya pada dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh derajat keparahan tingkat kantuk terhadap tingkat kelelahan dibandingkan faktor sosiodemografi lainnya pada dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito? E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat tentang dampak tingkat kantuk dan faktor sosiodemografi lainnya yang berperan
terhadap
timbulnya
derajat
tingkat
kelelahan
yang
selanjutnya
mempengaruhi performa dokter residen. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pemegang kebijakan di bidang pendidikan dan pelayanan di rumah sakit terkait, sehingga dapat mengevalusi sistem yang ada, mencegah sekaligus mengurangi dampak yang tidak diinginkan akibat tidak optimalnya kinerja dokter residen. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar guna penelitian lanjutan. 7
F. Keaslian Penelitian Penelusuran kepustakaan terkait penelitian-penelitian sebelumnya dengan dokter residen sebagai subjek penelitian dipaparkan pada tabel berikut. Belum pernah dilakukan penelitian serupa di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Yogyakarta. Tabel 1. Keaslian Penelitian No
Peneliti
Judul
Metode
Alat Ukur
Hasil
1
Beurskens, et al., 2000
Fatigue among working people: validity of a questionnaire measure
Cross sectional
Checklist Individual Strength (CIS)
CIS dapat membedakan subjek dengan kelelahan dan tanpa kelelahan.
2
Rodrigues, et al., 2002
Daytime sleepiness and academic performance in medical students
Cohort prospective
The Epworth Sleepiness Scale (ESS), school grades
Mahasiswa yang lebih mudah mengantuk memiliki nilai yang lebih rendah saat ujian akhir.
3
Woodrow, et al., 2008
Differences in the perceived impact of sleep deprivation among surgical and non-surgical residents
Cross sectional
The Epworth Sleepiness Scale (ESS), Sleep Deprivation Index (SDI) Scale
Dokter residen bedah memiliki jumlah jam kerja lebih panjang dan skor ESS lebih tinggi dibandingkan dengan residen non-bedah. Skor SDI residen bedah lebih rendah.
4
Pikovsky, et al., 2013
The impact of sleep deprivation on sleepiness, risk factors, and professional performance in medical residents
Cross sectional
The Epworth Sleepiness Scale, complete blood count, blood chemistry panel, lipid profile, and Creactive protein
Residen memiliki skor ESS lebih tinggi, level HDL lebih rendah, tren peningkatan LDL dan trigliserid dibandingkan mahasiswa kedokteran.
5
Olasky, et al., 2014
Effects of sleep hours and fatigue on performance in laparoscopic surgery simulators
Cross sectional
Fundamentals of Laparoscopic skills, questionnaire of fatigue levels and recent sleep hour
Jumlah waktu tidur dan kelelahan tidak mempengaruhi performa melakukan simulasi laparoskopi.
8