BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai
infeksi yang diperoleh
seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama kematian. Length of stay pasien yang terkena infeksi nosokomial menjadi meningkat dan hal ini berkontribusi terhadap pembiayaan yang cukup besar (WHO, 2002). Kejadian pneumonia nosokomial menempati urutan kedua setelah infeksi saluran kemih. Angka kematian pada pneumonia nosokomial berkisar 20-50% dan terus meningkat bila lama rawat di rumah sakit ≥ 5 hari (PDPI, 2003). Pneumonia nosokomial atau biasa di sebut juga dengan hospital-acquired pneumonia (HAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48 jam masuk rumah sakit dan tidak ada inkubasi saat admisi (Grossman, 2009). Data yang paling representatif mengenai kejadian pneumonia nosokomial telah disediakan oleh Surveillance Nosocomial Infections Surveillance System (NNIs), Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan sistem surveilans lebih dari 150 rumah sakit. Pada tahun 1984, kejadian keseluruhan pneumonia nosokomial adalah 6,0 per 1000 pasien. Insiden bervariasi menurut jenis rumah sakit. Data lainnya mengenai pneumonia nosokomial dilaporkan dari NNIs 1990-1992 mengenai agen etiologi pneumonia nosokomial yang paling umum meliputi Staphylococcus aureus (20%), P. aeruginosa (16%), Enterobacter spesies (11%),
1
Klebsiella pneumoniae (7%), Candida albicans (5%), Haemophilus influenzae (4%), Escherichia coli (5%), Acinetobacter spesies (4%), dan S. marcescens (3%) (Fishman et al., 2008). Berbeda dengan di Indonesia data mengenai infeksi nosokomial belum terdokumentasi dengan baik dan diduga insidensi pneumonia nosokomial di negara berkembang lebih tinggi dibanding dengan negara maju (Darmadi, 2008) Pendapat yang sama oleh Marik (2001), agen etiologi yang umum menyebabkan pneumonia nosokomial adalah gram negatif basil/bakteria dan S. Aureus. Gram negatif basil/bakteria ditemukan hingga 71% pada pasien yang makan melalui Nasogastric Tube (NGT) dan 44% pada pasien yang makan melalui Percutaneous Enterogastric Tube (PEGT) dibandingkan dengan mereka yang makan melalui oral hanya sebesar 7,5% (Leibovitz et al., 2003). Menurut Fishman et al. (2008), Faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian pneumonia nosokomial digolongan menurut beberapa kategori: (1) Faktor host seperti usia, komorbiditas, imunosupresi dan status gizi, (2) Faktor rumah sakit, seperti operasi abdomen atau thoraks, penggunaan antibiotik, dan treatment pengobatan di ICU, (3) Peralatan dan perangkat yang digunakan, terutama intubasi dengan ventilasi mekanik, dan (4) Faktor faktor yang meningkatkan risiko aspirasi seperti kesadaran menurun. Usia bukanlah faktor independen untuk pneumonia nosokomial, peningkatan kejadian pneumonia nosokomial pada lansia dikarenakan peningkatan frekuensi dari faktor risiko host maupun faktor rumah sakit, seperti gizi buruk, penyakit neuromuskuler dan intubasi endotracheal. Disamping itu penggunaan NGT pun semakin diakui
2
sebagai faktor risiko untuk pneumonia nosokomial karena NGT dapat meningkatkan risiko sinusitis nosokomial, kolonisasi orofaringeal, refluks, dan migrasi. Pendapat tersebut didukung oleh Kate (2003) yang menyatakan bahwa organisme organisme yang menempel pada permukaan yang basah, mereka akan menghasilkan zat, polisakarida berlendir dan lengket yang akan menjadi bagian dari biofilm yang berkembang pada permukaan NGT. Kolonisasi orofaring oleh flora patologis serta perkembangan biofilm telah tercatat sebagai dampak dari NGT. Keberadaan biofilm pada NGT memfasilitasi penyebaran gram negatif basili/bakteri ke lambung dan dari lambung. Orofaring terletak strategis di pintu masuk saluran pernapasan dan berhubungan dengan lambung. Kebanyakan pasien yang terpasang NGT tidak memiliki mekanisme protektif terhadap aspirasi antegrade dan retrograde. Selain itu, kehadiran NGT dapat menganggu sfingter gastro-esophageal yang mengarah pada refluks gastro-esophagus. Dengan demikian, perpindahan patogen dari kedua arah terfasilitasi (Segal et al., 2006). Pneumonia nosokomial menjadi suatu masalah yang penting pada saat ini, dan keterkaitannya dengan penggunaan NGT masih menjadi diskusi para ahli. Dengan mengetahui hubungan antara penggunaan NGT dengan kejadian pneumonia nosokomial diharapakan dapat memberi informasi bagi penanganan dan pencegahan pneumonia nosokomial yang bersifat multidisipliner oleh perawat, dokter, ahli gizi, dan fisioterapis. Kolaborasi antar multidisipliner tersebut dapat mewujudkan penatalaksanaan pasien yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul : Penggunaan Nasogastric Tube
3
(NGT) sebagai Faktor Risiko Penyebab Pneumonia Nosokomial di RSUP Dr. Sardjito, Sleman Yogyakarta.
B. Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu : 1. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan NGT terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap di RSUP Dr Sardjito, Sleman Yogyakarta? 2. Bagaimanakah Relative Risk terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap dengan NGT di RSUP Dr Sardjito?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan NGT terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui Relative Risk terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap dengan NGT di RSUP Dr Sardjito.
4
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dalam bidang ilmu keperawatan khususnya dengan menambah kepustakaan tentang penggunaan NGT sebagai faktor risiko pneumonia nosokomial. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Profesi Keperawatan Dapat memberi informasi kepada perawat tentang faktor risiko penggunaan NGT terhadap kejadian pneumonia nosokomial yang dapat digunakan untuk usaha pencegahan maupun penatalaksanaan infeksi. b. Bagi Profesi di Bidang Kesehatan Sebagai acuan dalam mengendalikan pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap yang terpasang NGT. c. Bagi Rumah Sakit Memberikan data terbaru tentang kejadian pneumonia nosokomial pada pasien rawat inap akibat penggunaan NGT serta memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kejadian infeksi kepada tim kesehatan. d. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan dan dasar pedoman untuk mengembangkan penelitian-penelitian berikutnya. e. Bagi Peneliti Dapat melatih kemampuan baik dari segi konsep maupun metodologi khususnya dalam melakukan penelitian dalam bidang keperawatan.
5
E. Keaslian penelitian Pada tahun 2002, sebuah penelitian di Jepang yang berjudul Prognostic factors of nosocomial pneumonia in generalwards: a prospectivemultivariate analysis in Japan dilakukan oleh Takano et al. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prognosis pneumonia nosokomial di bangsal umum, yang dilakukan secara studi klinis prospektif dengan menggunakan analisis statistik multivariat. Delapan puluh pasien dengan pneumonia nosokomial dievaluasi tingkat keparahannya dan lingkungan klinisnya serta dikumpulkan data laboratoriumnya. Kematian akibat pneumonia nosokomial terjadi pada 29 dari 80 pasien (angka kematian=36%). Analisis univariat menunjukkan faktor-faktor berikut ini yang dikaitkan dengan kematian: kehadiran anultimately, antibiotik yang digunakan, penggunaan antasida, risiko tinggi kehadiran mikro-organisme, sepsis, kegagalan pernafasan, kegagalan organ multipel, bilateral chest X-ray infiltrates, Simplified Acute Physiology Score (SAPS) index ≥ 11, albumin < 3.0 g dl -1, dan lactate dehydrogenase (LDH) ≥ 796 IUI-1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor host dan faktor keparahan pada penyakit yang mendasari merupaka faktor prognostik penting pneumonia nosokomial di bangsal umum. Perbedaan utama pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu terletak pada tujuan penelitian, pada penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prognosis. Perbedaan lainnya adalah mengenai analisis data, dan tempat penelitian. El Sohl et al. (2005) melakukan sebuah penelitian yang berjudul Nosocomial Pneumonia In The Elderly Patients Following Cardiac Surgery. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko pneumonia
6
nosokomial yang bisa dimodifikasi pada pasien lansia pasca operasi jantung. Desain penelitian yang digunakan adalah case control study bertempat pada Intensive Care Unit (ICU) pasca bedah jantung. Semua pasien yang menjadi responden penelitian adalah semua pasien yang berusia 65 tahun dan menjalani CABG, dan operasi penggantian katup, atau keduanya. Dengan kriteria ekslusi yaitu yang telah menajalani transplantasi jantung, menerima agen imunosupresif, menjalani operasi jantung bypass cardiopulmonary, hanya dirawat selama 48 jam dan yang telah teridentifikasi infeksi sebelum operasi. Diperoleh hasil kejadian pneumonia nosokomial pada lansia pasca operasi jantung sebesar 8,3%. Tiga variabel yang ditemukan secara signifikan terkait dengan perkembangan pneumonia nosokomial yang dianalisis dengan analisis multivariat, Charlson Indeks 42, dengan interval kepercayaan 95% adalah: (1) reintubation (AOR 6.2 , 95% CI, 1,1-36,1, P ¼ 00:04), (2) unit transfusi X4 PRBC (AOR 2,8, 95% CI, 1,2-6,3, P ¼ 00:01), dan (3) dosis harian rata-rata setara dengan morfin (AOR 4,6, 95% CI, 1,4-14,6, P ¼ 00:01). Perbedaanya adalah terletak pada subjek penelitian, variabel penelitian, dan metode penelitian. Pada penelitian ini subjek penelitian adalah lansia yang berumur 65 tahun atau lebih, variabel penelitian yang berbeda adalah tindakan operasi jantung dan metodologi yang digunakan adalah case control study.
7