BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Staphylococcus
aureus
merupakan
salah
satu
penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar
virulensi
dari
bakteri
ini
terjadi
melalui
infeksi silang dari pasien ke pasien di rumah sakit dan tempat-tempat lain (Nurhani, 2010). Staphylococcus
aureus
(S.
aureus)
merupakan
spesies yang berperan sebagai patogen oportunistik pada manusia. bakteri
Walaupun ini
memiliki
dapat
virulensi
menyebabkan
yang
penyakit
rendah,
serius
pada
inang dengan pertahanan tubuh yang lemah atau terganggu (Nester
et
al.,
2004).
Infeksi
S.
aureus
ditandai
dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah, bisul, yang
jerawat, lebih
impetigo,
berat
dan
infeksi
diantaranya
luka.
adalah
Infeksi
pneumonia,
mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga
merupakan
penyebab
utama
infeksi nosokomial, 1
2
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Awal resistensi S. aureus muncul pada tahun 1942 yaitu
resistensi
terhadap
penisilin,
kemudian
eritromisin, streptomisin dan tetrasiklin pada 1950, diikuti metisilin pada 1961. Awal tahun 2000, S. aureus bermanifestasi
sebagai
super
patogen
multidrug-
resistant yang melebihi 50% dari seluruh S. aureus di Instalasi Rawat Intensif (IRI) atau Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia-Pasifik. resistensi
Hal
ini
yang
adalah
bertanggungjawab
elemen
genomik
terhadap
Staphylococcal
Cassette Chromosome (SCC) yang membawa gen mecA dan gen PBP2a
transpeptidase
dengan
afinitas
yang
berkurang
terhadap antibiotik beta-laktam (Stryjewski dan Corey, 2014; Lowy, 2013). Methicillin-resistant (MRSA)
merupakan
S.
aureus
Staphylococcus yang
aureus
resisten
terhadap
antibiotik beta-laktam yaitu penisilin dan turunannya (metisilin, lain-lain)
dikloksasilin, serta
diperkenalkan
nafsilin,
sepalosporin.
pada
tahun
oksasilin,
Antibiotik
1959.
dan
metisilin
Metisilin
adalah
3
antibiotik struktur
penisilin aslinya
penisilinase
semi-sintetik agar
yang
yang
resisten
dihasilkan
dimodifikasi
terhadap
oleh
enzim
Staphylococcus,
sehingga pada saat itu digunakan sebagai obat efektif melawan S. aureus yang resisten. Namun seperti yang sudah
disebutkan
sebelumnya,
resisten
pula
terhadap
Walaupun
metisilin
sudah
S.
metisilin tidak
aureus
akhirnya
pada
tahun
1961.
beredar
lagi,
namun
istilah MRSA masih terus digunakan (Newsom, 2004). Pada beberapa dekade terakhir, insidensi infeksi MRSA terus meningkat di berbagai belahan dunia. Asia merupakan salah satu regio dengan jumlah MRSA paling tinggi baik yang berasal dari komunitas ataupun rumah sakit. Pada awal tahun 2010, rumah sakit di Hongkong dan Indonesia memiliki angka estimasi MRSA sebesar 28%, sedangkan di Korea jauh lebih tinggi yaitu 70%. Untuk angka
infeksi
S.
aureus
terkait
komunitas
di
Asia
berkisar pada angka 5-35% (Chen dan Huang, 2014). Berdasarkan MRSA
secara
referensi
keseluruhan
di
lain, Asia
prevalensi kini
infeksi
mencapai
70%,
sementara di Indonesia pada tahun 2006 prevalensinya mencapai
angka
23,5%
(Sulistyaningsih,
2010).
4
Persentase
MRSA
juga
cukup
tinggi
di
negara
Asia
lainnya, seperti di Taiwan sebesar 60%, Cina 20%, Hong Kong 70%, Filipina 5%, dan Singapura 60% (Bell dan Turnidge, 2002). Kolonisasi S. aureus terdapat pada kulit, mukosa manusia,
dan
juga
beberapa
jenis
binatang.
Walaupun
terdapat di sebagian besar bagian tubuh manusia, bagian depan hidung merupakan lokasi dengan jumlah terbesar S. aureus pada karier sehat. Anak-anak dan remaja di bawah usia 20 tahun mempunyai persentase karier S. aureus lebih besar dari pada orang dewasa. Anak-anak usia 0-9 tahun
mempunyai
persentase
karier
S.
aureus
sebesar
10%, sedangkan anak-anak usia 10-19 tahun sebesar 24% (Lebon et al., 2008). Faktor-faktor risiko terjadinya MRSA antara lain lingkungan,
populasi,
kontak,
olahraga,
kebersihan
individu, riwayat perawatan, riwayat operasi, riwayat infeksi dan penyakit, riwayat pengobatan, serta kondisi medis
(Biantoro,
2008).
Menurut
penelitian,
jenis
kelamin laki-laki, pemasangan alat-alat invasif serta durasi rawat yang lama (lebih dari 10 hari) menyebabkan
5
pasien lebih rentan terhadap kolonisasi MRSA (Barr et al., 2007). MRSA yang berkoloni pada pasien rumah sakit (baik yang berdampak infeksi maupun tidak) dapat berasal dari rumah sakit ataupun koloni MRSA di tubuh pasien yang dibawa Salah
sebelum satu
infeksi
masuk
bagian
MRSA
rumah
vital
adalah
sakit
rumah
ruang
(Thompson,
sakit
Instalasi
terkait Rawat
2004). dengan
Intensif
(IRI). Pasien yang dimasukkan ke IRI biasanya dalam keadaan rentan terinfeksi karena turunnya pertahanan imun pasien. Keparahan penyakit yang diderita, dejarat komorbiditas yang tinggi, pemasangan infus dan tabung endotrakheal juga berkontribusi besar terhadap infeksi MRSA di IRI. Oleh karena itu, IRI menjadi tempat yang penting dalam kontrol MRSA di rumah sakit. Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus dan MRSA pada pasien di rumah sakit khususnya di ruang IRI RSUP Dr. Sardjito.
Dengan
demikian
penelitian
ini
diharapkan
dapat menjadi pengetahuan baru khususnya untuk petugas kesehatan dan pelajar.
6
2. Rumusan Masalah a.
Berapakah frekuensi pasien dengan kolonisasi S. aureus
dan
MRSA
di
Ruang
Instalasi
Rawat
Intensif Rumah Sakit Dr. Sardjito periode AprilOktober tahun 2014? b.
Bagaimanakah profil pasien dengan kolonisasi S. aureus
dan
Intensif
MRSA Rumah
di
Ruang
Sakit
Dr.
Instalasi Sardjito
Rawat periode
April-Oktober tahun 2014?
3. Tujuan Penelitian 3.1
Tujuan Umum Mengetahui profil pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di Ruang Instalasi Rawat Intensif Rumah
Sakit
Dr.
Sardjito
periode
April-Oktober
tahun 2014. 3.2
Tujuan Khusus a. Mengetahui frekuensi pasien dengan kolonisasi S. aureus dan MRSA di Ruang Instalasi Rawat Intensif Rumah Sakit Dr. Sardjito periode April-Oktober tahun 2014.
7
b. Mengetahui
profil
pasien
seperti
usia,
jenis
kelamin, durasi hospitalisasi, diagnosis, riwayat pengobatan
dan
perawatan
pada
pasien
dengan
kolonisasi S. aureus dan MRSA di Ruang Instalasi Rawat Intensif Rumah Sakit Dr. Sardjito periode April-Oktober tahun 2014.
4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang MRSA sudah pernah dilakukan sebelumnya, antara lain: a. Penelitian
oleh
Fu
(2013)
dilakukan
untuk
mengetahui profil pasien dengan infeksi MRSA di RSUP
Dr.
Sardjito
selama
tahun
2011.
Profil
pasien yang dibahas adalah jenis kelamin, usia, durasi
hospitalisasi,
tipe
bangsal,
dan
intervensi medis. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian ini membahas pasien dengan kolonisasi
S.
aureus
dan
MRSA,
bukan
infeksi
MRSA. b. Penelitian
oleh
tentang
faktor
Qiang
et
risiko
al.
(2014)
yang
membahas
mempengaruhi
kolonisasi MRSA di nasal saat pasien masuk ke
8
IRI. Perbedaannya, penelitian tersebut dilakukan di Peking University Third Hospital China).
Selain
itu,
penelitian
(Beijing,
tersebut
juga
menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam uji deteksi MRSA. Pada penelitian ini, frekuensi dan profil pasien dengan S. aureus dan MRSA akan diteliti secara lebih mendalam khususnya di Ruang Instalasi Rawat Intensif RSUP Dr. Sardjito. Profil pasien yang dibahas yaitu usia, jenis kelamin, durasi hospitalisasi, diagnosis, riwayat pengobatan, dan riwayat perawatan.
5. Manfaat a. Memberikan
informasi
ilmiah
mengenai
kejadian
kolonisasi S.aureus dan MRSA di Instalasi Rawat Intensif
Rumah
Sakit
Dr.
Sardjito
sehingga
memberi tambahan pengetahuan untuk tenaga medis, pelajar, maupun masyarakat umum. b. Membantu
tenaga
kesehatan
di
Rumah
Sakit
Dr.
Sardjito dalam manajemen MRSA dengan diketahuinya profil dan karakteristik pasien yang cenderung memiliki MRSA.