BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Undhuh-undhuh adalah bagian dari ritual memanen dalam kehidupan masyarakat agraris Jawa yang kemudian diberi makna Kristiani oleh pendahulu masyaraka Mojowarno. Menilik dari kata dasarnya undhuh (jawa), Undhuh-undhuh memiliki arti memanen atau memetik hasil ladang atau sawah. Kegiatan memanen bagi masyarakat agraris merupakan bagian kehidupan yang penting dan membahagiakan, karena di saat itu masyarakat merasakan hasil kerja kerasnya menanam padi di sawah. Mengingat pentingnya tradisi Undhuh-undhuh tersebut, banyak komunitas-komunitas yang masih merayakannya secara turun-temurun dan memaknainya dengan lebih modern. Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno, Jombang merupakan salah satu
TIDAK ADA BAB 5
komunitas yang masih mempertahankan tradisi Undhuh-undhuh tersebut. Jemaat ini selalu mengadakan tradisi Undhuh-unduh ini tiap tahun. Dari masa ke masa mereka tetap merayakannya dengan konsep telah diturunkan oleh para pendiri desa, yaitu dengan tetap mengarak bangunan padi dan dimasukkan pada lumbung. Ada hal yang menarik dari tradisi Undhuh-undhuh di Mojowarno ini, yakni tradisi tersebut telah mendapatkan pemaknaan secara Kristen yang berkenaan dengan ungkapan syukur. Hal ini dikarenakan para pendiri desa adalah juga pengikut ajaran Kristen yang masih dekat dengan tradisi Jawa. Mengenai Sejarah dan asal usul perayaan ini akan dibahas pada bab selanjutnya. Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno senantiasa dirayakan dengan cara besarbesaran dan berbeda dengan jemaat GKJW yang lain. Pada Mei 2013, Undhuh-undhuh GKJW Jemaat Mojowarno dilangsungkan selama tiga hari tiga malam dengan menggelar berbagai macam acara dan tontonan. Selama tiga hari itu pula diadakan pasar malam di lapangan milik gereja. Ada pula kesenian kartoloan/ludruk1 yang dipertunjukkan guna memeriahkan kegiatan. Pada hari Minggu, gereja mengadakan ibadah khusus Undhuh-undhuh
1
Kesenian ini merupakan kesenian Khas Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya dan sekitarnya. Kesenian terbsebut mengangkat persoalan aktual dan cenderung berisi lelucon-lelucon kritis. Saat itu kesenian tersebut ditampilkan dan di konsep oleh warga jemaat sendiri.
1
yang sangat meriah, saat itu banyak penampilan dari gereja-gereja dari daerah-daerah lain, bahkan dari Solo. Sebelum ibadah, diadakan arak-arakan bangunan dari padi yang menggambarkan kisah-kisah dari Alkitab. Tidak hanya bangunan padi saja, tetapi di dalamnya disertai beraneka ragam buah-buahan, hewan ternak, makanan, sembako dan benda-benda lain yang merupakan persembahan dari warga. Bangunan-bangunan tersebut diarak menuju ke gedung gereja. Sebelum masuk ke halaman gereja, arak-arakan tersebut dinilai oleh panitia. Penilaian tersebut menentukan bangunan mana yang dinyatakan sebagai juara dari segi bobot dan keindahan. Kemudian isi dari bangunan tersebut dilelang seusai ibadah. Padi dari bangunan tersebut dimasukan ke lumbung gereja. Pada malam harinya, susunan kegiatan ditutup dengan pagelaran wayang. Keikutsertaan warga di dalam perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno sungguh luar biasa. Pada setiap penyelenggaraan Undhuh-undhuh, warga mendukung dengan sekuat tenaga, baik itu tenaga fisik maupun dana. Dukungan fisik warga sungguhlah penting dalam mempersiapkan perayaan tersebut, misalnya saat pembuatan ‘bangunan’ padi. Mereka membuat bangunan padi tersebut dalam waktu sekitar dua minggu. Acara besar tersbut tidak
TIDAK ADA BAB 5
lepas dari dukungan dana yang besar juga. Panitia Unduh-undhuh tahun 2014 ini, menganggarkan lebih dari seratus juta demi terwujudnya perayaan ini. Di dalamnya termasuk anggaran untuk pagelaran wayang, konsumsi tamu dan biaya pelengkapan. Sedangkan dana pembuatan bangunan padi dibebankan di masing-masing blok / pepanthan. Pendeta yang bertugas di jemaat tersebut mengatakan bahwa terselenggaranya perayaan tersebut terlaksana, salah satunya karena berkat peran warga jemaat dan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memberikan subsidi dana yang kemudian digunakan untuk menggelar pertunjukan Wayang. Pemerintah dirasa patut membantu panitia kegiatan ini karena Undhuhundhuh Mojowarno sudah masuk dalam agenda pariwisata Jawa Timur. Kegiatan ini pun merupakan salah satu sarana pelestarian budaya-budaya Jawa Timur yang sudah mulai luntur. Mau tidak mau Undhuh-undhuh masuk dalam bentuk pelestarian budaya jawa yang dilakukan oleh gereja secara nyata. Meskipun demikian, subsidi dari pemerintah hanya bersifat membantu, warga tetap memegang peranan penting demi terselenggaranya acara ini. Anggota jemaat tersebut terdiri dari berbagai elemen yang berjuang bersama mewujudkan acara tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah petani, tetapi banyak juga yang bekerja sebagai guru dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karena itu penghasilan warga sungguhlah beragam. 2
Sementara itu, orang Mojowarno hidup di tengah nuansa keberagaman agama Kabupaten Jombang. Jombang terkenal dengan sebutan ‘Kota Santri’, karena banyaknya santri (murid) yang menimba ilmu agama di pondok-pondok pesantren yang banyak tersebar di wilayah Kabupaten Jombang. Pondok-pondok tersebut memunculkan ulama-ulama Muslim yang terkenal. Banyak pendiri pondok pesantren di Jawa Timur, pernah mondok di Jombang. Karena demikian kuat pengaruh pendidikan pondok-pondok di Jombang, maka lahirlah sebuah organisasi sosial agama terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang. Salah satu di ulama NU yang tersohor adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang adalah Presiden keempat Indonesia. Gus Dur dimakamkan di Pondok Pesantren Tebu Ireng yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari Mojowarno. Konon, Jombang berasal dari kata ijo (hijau) dan abang (merah). Hal tersebut memiliki makna bahwa ada keharmonisan antara kaum ulama (ijo) dengan kaum nasionalis atau kejawen (abang). Rupanya, banyaknya pondok pesantren di Jombang tidak lantas menjadi pemisah antara kaum ulama dengan kaum nasionalis dan kejawen. Semangat harmoni ijoabang menjadi pondasi dalam membangun kehidupan bersama.
TIDAK ADA BAB 5
Kabupaten Jombang sangatlah istimewa, sebab dari sinilah dua buah organisasi agama lahir, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan GKJW. Hingga kini, keduanya masih menjalin hubungan yang harmonis dan membuktikan adanya keharmonisan antara Islam dan Kristen tidak hanya di Kabupaten Jombang saja, tetapi juga di Jawa Timur. Ketika penulis bertanya kesannya tentang Undhuh-undhuh pada seorang warga, ia mengatakan bahwa orang Mojowarno sudah menganggap Undhuh-undhuh sebagai sebuah hari raya, disamping perayaan Paskah dan Natal. Karena itu tidak mengherankan jika banyak orang Mojowarno di perantauan atau di luar daerah berdatangan ke Mojowarno pada saat Undhuh-undhuh. Mereka yang datang dari jauh itu menyempatkan untuk mengunjungi rumah sanak saudara mereka. Pada kesempatan tersebut, keluarga-keluarga kembali berkumpul dalam suasana Undhuh-undhuh. Ada kemungkinan bahwa ada warga yang memberikan persembahan dengan harapan akan kembali dalam bentuk berkat yang berlipat-lipat. Di sisi lain, penyelengaraan perayaan ini didasari dengan keyakinan bahwa hal ini wujud identitas orang Kristen GKJW di Mojowarno, karena itu harus tetap didukung supaya tetap eksis. Sementara itu, dilombakannya bangunan padi dalam arak-arak, mengacu pada suasana persaingan dan kebanggaan di antara masing3
masing blok / pepanthan. Atau mungkin, ini adalah bentuk unjuk kekuatan di tengah-tengah isu pluralitas yang ada, seakan ingin mengatakan bahwa, “biarpun orang Kristen itu sedikit, tetapi kami bisa membuat kegiatan yang besar ini.” Dengan demikian akan sangat menarik melihat bagaimana motivasi teologi warga gereja dalam memberikan persembahan di hari raya undhuh-undhuh tersebut. Karena dari pemaparan ada beberapa asumsi motivasi warga dalam memberikan persembahan. Diasumsikan ada dua pembagian alasan warga, yakni alasan teologi dan non-teologis yang akan dikaji demi menjawab pertanyaan di atas. 1. Alasan Teologis Ulrich Beyer dan Evalia Simamora membahas tasfir dan teologi persembahan dengan berpedoman pada teks surat-surat Rasul Paulus dalam sebuah buku berjudul Memberi dengan Sukacita. Di akhir pembahasannya, yang menjadi dasar dan tujuan ucapan syukur dan terima kasih yang mempermuliakan anugerah Allah yang tak terkatakan adalah logika “kami memberi karena engkau telah beri.”2 Jadi bukan konsep “do ut des” atau pertukaran
TIDAK ADA BAB 5
pemberian yang berlaku dalam persembahan.
Jika mengingat Undhuh-undhuh adalah bagian dari ritual yang dilakukan oleh gereja, maka ada latar belakang teologis pelaksanaanya. Undhuh-undhuh di GKJW sering dikaitkan dengan perayaan Hari Pentakosta orang Yahudi. Undhuh-undhuh memiliki semangat yang serupa dengan perayaan Pentakosta bagi orang Yahudi, yakni hari raya persembahan korban dan ketika itu banyak orang berkumpul untuk merayakannya (Kis. 2). Perayaan Hari Pentakosta atau hari kelimapuluh setelah Paskah merupakan sebuah ketetapan Allah yang disampaikan kepada bangsa Israel melalui Musa (Keluaran 23:15-21 dan Ulangan 16:9-11). Pada kesempatan tersebut, orang Yahudi memberikan korban dan melakukan pertemuan kudus di Yerusalem. Karena peristiwa turunnya Roh Kudus bertepatan dengan perayaan tersebut, kekristenan merubah maknanya menjadi hari turun Roh Kudus. Kemunculan perayaan Undhuh-undhuh di Mojowarno berasal dari budaya masyarakat Jawa yang mayoritas saat itu bekerja sebagai petani. Para petani tersebut akan sungguh bersukacita ketika ada panen besar, maka layak dirayakan dengan meriah. Masyarakat mempercayai bahwa panen besar tersebut adalah bukti adanya kemurahan Allah yang diberikan pada jemaat 2
Ulrich Beyer dan Evalina Simamora, Memberi dengan Sukacita: Tafsir dan Teologi Persembahan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) h. 159.
4
petani itu. Maka sudah sepantasnya sebagai umat-Nya, para petani itu mewujudkan rasa syukurnya dengan mengadakan Undhuh-undhuh. Meskipun sekarang sudah tidak banyak warga yang berprofesi sebagai petani, tidak menyurutkan semangat warga jemaat untuk mengucap syukur dengan merayakan Undhuh-undhuh. Alasan ikut serta dalam memberikan persembahan dalam Undhuh-undhuh sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan masih kuat kemungkinannya. Meskipun demikian, ada kemungkinan bahwa warga turut ambil bagian dalam Undhuhundhuh karena memiliki sebuah pengharapan akan adanya berkat yang melimpah di kemudian hari. Ini seperti yang diungkapkan oleh Beyer dan Simamora, “do ut des atau pemberian timbal balik, merupakan suatu fenomena sosio-budaya yang mendasar di dunia ini dan daya tariknya besar dalam masyarakat manapun.”3 Meskipun bukanlah alasan yang ideal, tetapi tetap saja terbuka kemungkinan ada warga yang berpendapat demikian. Kemungkinan ini muncul karena mengingat bahwa masyarakat petani Jawa pernah memiliki tradisi upacara Dewi Sri atau yang disebut juga dengan Dewi Padi. Dipercaya jika tidak dilakukan ritual yang sesuai, maka Dewi Sri akan turut menghilang dari persawahan dan mendatangkan hama atau menggagalkan panen.4 Pemikiran ini berkembang lebih lanjut menjadi prinsip ‘dengan
TIDAK ADA BAB 5
memberi persembahan maka Tuhan memberi lebih banyak.’ Konsep tersebut turut mempengaruhi motivasi peran warga dalam merayakan Undhuh-undhuh. Meskipun memiliki dimensi sosio-budaya, pandangan ini mempengaruhi pola pikir teologis warga, sebab pandangan ini diperkuat dengan adanya teologi kemakmuran. Teologi kemakmuran adalah sebuah pemikiran bahwa orang kristen yang sungguh beriman kepada Kristus haruslah kaya dan sukses. 2. Alasan Sosial-Politis Dimensi sosial-politis perlu mendapatkan perhatian dalam fenomena ini karena mau tidak mau kegiatan ritus Undhuh-undhuh tersebut adalah bagian dari usaha gereja merespon konteks di sekitarnya. Perayaan keagamaan seakan menggoda orang memeluk romantisme
3 4
Beyer dan Simamora, Memberi dengan Sukacita, h. 44. Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, terj: B. A. Abednego (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994) h. 17. bdk. Handoyomarno Sir. Benih Yang Tumbuh 7: Gereja Kristen Jawi Wetan, (Malang: Gereja Kristen Jawi Wetan dan Jakarta: lembaga penelitian dan Studi Dewan gereja-gereja di Indonesia, 1975) h. 19.
5
masa lalu, tetapi juga perlu disadari bahwa orang harus memiliki komitmen kehadirannya dalam dunia ini.5 Karena Undhuh-undhuh sudah diadakan secara resmi dan agenda tahunan, ia melekat pada jemaat Mojowarno. Ketika sudah melekat, ia menjadi bagian dari identitasnya. Maka ada warga yang mengikuti kegiatan itu karena merasa memiliki identitas sebagai orang Kristen di Mojowarno. Kalau tidak mengikuti kegiatan itu, sepertinya ada yang kurang. Ada yang belum lengkap jika belum turut serta dalam perayaan tersebut. Erikson menyebutkan bahwa identitas adalah bersifat psikososial, karena merupakan “solidaritas batin dengan cita-cita dan identitas kelompok.”6 Meskipun pembentukan identitas ada dalam diri pribadi, tetapi komunitas di sekitarnya sangat mempengaruhi. Kembali soal Undhuh-undhuh, Identitas seorang Kristen di Mojwarno adalah Undhuh-undhuh sebagai bagian jemaat Kristen Mojowarno yang merayakan Undhuh-undhuh. Karena itu, mau tidak mau, mereka harus turut ambil bagian dalam merayakan Undhuh-undhuh. Bagaimanapun keadaanya, ia lakukan demi eksistensi dirinya dan kelompoknya.
TIDAK ADA BAB 5
Peran serta pemerintah dalam perayaan Undhuh-undhuh menunjukkan adanya unsur politik dalam perayaan Undhuh-undhuh. Adanya unsur politik dalam kehidupan bergereja mengingatkan pada sebuah buku karya Emanuel Gerrit Singgih yang berbicara tentang hubungan gereja dengan pemerintah. Dalam buku itu, Gerrit Singgih menyebut adanya masalah minority-complex, yakni memposisikan diri sebagai golongan minoritas dan perkuat dengan perasaan, sehingga menyandarkan diri pada pemerintah.7 Di buku yang lain, Gerrit Singgih memperjelas keadaan gereja Protestan sekarang yang takut karena melihat diri sebagai golongan minoritas dan parahnya, tidak dapat menerima keadaan yang minoritas itu.8 Adanya suasana psikologis ini, dapat membuat gereja manut-manut saja dengan pemerintah. Dengan adanya bantuan dari pemerintah, pihak yang berkuasa, mempertebal perasaan tidak lagi kecil, karena merasa ada kedekatan dengan pihak yang berkuasa yakni pemerintah. Seakan ingin berkata, “Pemerintah saja sudah membantu dan tentu mengakui keberadaan orang Kristen, maka kami juga memiliki kekuatan.” 5
Bdk. Paul Budi Kleden, Di Tebing Waktu: Dimensi Sosio-Politis Perayaan Kristen, (Maumere: Ledarero, 2009) h. xiv-xv 6 Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, terj. Agus Cremers, (Jakarta: Gramedia, 1989). H.188 7 Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) h. 31. 8 Emanuel Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi: Teologi Kristen dan Tantangan Dunia Postmodern. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) h. 213-214.
6
Kemungkinan ini muncul seiring keberadaan Jemaat Mojowarno yang menarik. Mojowarno adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang yang memiliki posisi yang berbeda dengan kecamatan lain. Ini nampak dalam penempatan pejabat-pejabat pemerintahan yang beragama Kristen di Kecamatan Mojowarno. Bahkan, hampir setiap kepala desanya beragama Kristen dan anggota GKJW Jemaat Mojowarno. Hal ini mengingatkan kita bahwa Mojowarno adalah sebuah wilayah yang dulunya dibuka oleh orang-orang orang-orang Kristen. Selain itu, Mojowarno adalah bagian dari Kota Santri, Jombang. Berada di tengah-tengah lingkungan pondok-pondok pesantren memunculkan nuansa pluralitas yang harus dihadapi. Sehingga sangat dimungkinkan ada warga yang ikut Undhuh-undhuh karena ingin menunjukkan betapa hebatnya orang Kristen di Mojowarno. Meskipun minoritas, mampu mengadakan kegiatan yang besar seperti Undhuh-undhuh ini. Ada rasa bangga bisa ikut mewujudkan kegiatan Undhuh-undhuh itu. Terlebih lagi, hal ini bisa menjadi sarana bersaksi yang kuat di tengah konteks pluralitas Jombang. Dari penjelasan di atas, nampak bahwa dimensi Sosial dan Politik turut ambil bagian dalam terbentuknya pemikiran teologis tentang Undhuh-undhuh. Baik atau tidaknya hubungan
TIDAK ADA BAB 5
jemaat dengan sekitarnya mempengaruhi pandangan teologi jemaat terhadap orang lain di sekitarnya. Kondisi Politik di suatu daerah dan waktu tertentu juga berpengaruh ketika jemaat membangun opini tentang hubungan gereja dengan insan politik, atau dengan pemerintah. Dua hal yang sepertinya tidak teologis ini, memberikan dampak yang luar biasa secara teologis tentang Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan ada motif-motif lain yang turut muncul dalam penelitian ini selain beberapa kemungkinan di atas. Motivasi-motivasi yang dikemukakan oleh warga menarik untuk dilihat untuk menunjukkan bagaimana sikap mereka dalam memberikan persembahan dalam erayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno. Motivasi-motivasi tersebut agaknya menyiratkan sebuah gambaran persekutuan yang sedang dijalani oleh warga Mojowarno. Oleh karena itu, motivasi-motivasi inilah yang ingin dipetakan dan dimunculkan lebih jelas sehingga dapat dibandingkan dengan pemahamaan eklesiologi tentang yang diajukan oleh Avery Dulles melalui teori Model-model Gerejanya.9 Dengan bantuan teori tersebut, penyusun ingin menemukan bentuk persekutuan yang sedang dihidupi oleh jemaat melalu perayaan Undhuhundhuh. 9
Avery Dulles, Model-Model Gereja, terj: George Kirchberger dan tim, (Flores : Nusa Indah, 1990).
7
B. RUMUSAN MASALAH Dengan beragamnya dimensi yang mempengaruhi, Undhuh-undhuh semakin menarik untuk dilihat. Salah satu yang menarik adalah bagaimana cara pandang teologi jemaat secara pribadi tentang persembahan dan atau tentang Undhuh-undhuh sehingga sampai pada terwujudnya suatu perayaan Undhuh-undhuh itu. Motivasi keikutsertaan warga menjadi hal yang penting untuk didalami, sehingga nampak model gereja yang dipegang jemaat. Di atas telah disampaikan ada beberapa asumsi alasan yang mungkin akan diungkapkan oleh warga berkaitan dengan keikutsertaanya dalam perayaan Undhuh-undhuh, antara lain: ungkapan syukur, memancing berkat, kebanggan identitas, dan kekuatan meski minoritas. Tetapi penyusun sadar bahwa masih ada kemungkinan motivasi lain yang muncul setelah dilakukan penelitian. Dari kajian di atas, penulis berujung pada sebuah pertanyaan “bagaimana motifmotif warga jemaat dalam mengikuti dan berperan pada perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno berpengaruh dalam gambar gereja?” Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan kompleksnya latar belakang perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno. Pertanyaan tersebut dijabarkan lebih lanjut, antara lain:
TIDAK ADA BAB 5
1. Bagaimana pengalaman warga dalam merayakan undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno?
2. Motivasi warga jemaat apa saja yang muncul dalam perayaan undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno? 3. Bagaimana kaitan motivasi warga dalam merayakan undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno dengan gambar gereja menurut Avery Dulles melalui teorinya, Model-model Gereja?
C. JUDUL SKRIPSI Motivasi warga jemaat GKJW Jemaat Mojowarno dalam memberikan persembahan dan ikut serta dalam persiapan perayaan Undhuh-undhuh memiliki banyak sisi yang menarik untuk dipotret dan dipetakan. Karena itu, Judul Skripsi ini adalah: “Tinjauan Eklesiologis pada Motif-motif Warga dalam Memberikan Persembahan dalam Perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno” 8
Perayaan Undhuh-undhuh adalah sebuah perayaan hari persembahan. Persembahan yang dimaksud adalah pemberian jemaat kepada gereja. Penulis meilhat pemberian warga tidak hanya berupa uang atau benda, melainkan tenaga dan keikutsertaan warga dalam proses persiapan perayaan Undhuh-undhuh. Sedangkan Undhuh-undhuh merupakan sebuah tradisi ungkapan syukur masyarakat agraris Jawa atas baiknya hasil panen yang sampai saat ini dipertahankan oleh warga GKJW Jemaat Mojowarno. GKJW Jemaat Mojowarno adalah salah satu Jemaat di Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang masih mempertahankan tradisi tersebut dengan unik. Keunikan tersebut menuntun pada sebuah pertanyaan, bagaimana warga bisa mewujudkan perayaan tersebut? Apa yang melatarbelakangi mereka melakukan itu? Apa alasannya? Sehingga alasan-alasan / motif-motif yang muncul dapat dilihat dari teori modelmodel Gereja menurut Avery Dulles. Lalu muncul uaraian tentang wajah gereja (eklesiologi) yang sedang dihidupi oleh warga melalui perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno.
D. ALASAN DAN TUJUAN
TIDAK ADA BAB 5
Perayaan Undhuh-undhuh ini menarik untuk dipotret dari kaca mata teologi warga jemaat, karena ternyata ada berbagai kemungkinan alasan dalam memberikan persembahan berkaitan dengan dimensi teologis, sosial dan politis. 1. Dengan melakukan penelitian ini, dapat diketahui motivasi-motivasi yang sebenarnya dalam memberikan persembahan. Khususnya persembahan warga dalam rangka perayaan Undhuh-undhuh. 2. Temuan dalam penelitian dibaca melalui kajian Eklesiologis dalam teori Model-model Gereja milik Avery Dulles. Sehingga memunculkan bentuk gereja yang sedang dihidupi oleh warga berkaitan dengan motivasi perayaan Undhuh-undhuh. 3. Menghasilkan sebuah refleksi aktual terkait dengan motif-motif warga dan keterkaitannya dengan model-model gereja Avery Dulles.
E. METODE PENELITIAN Asumsi-asumsi di atas perlu dilihat di lapangan. Dengan mandapatkan data mengenai motivasi-motivasi warga, penyusun menggunakan metode wawancara. Metode ini diambil 9
karena dengan melakukan wawancara mendalam, dapat menggali informasi dari responden lebih banyak dan kuat. Penelitian berpedoman pada dua kelompok besar kelompok asumsi yang telah disebutkan sebelumnya dengan berbagai kemungkinan jawabnnya. Dengan demikian kiranya motivasi-motivasi warga dalam merayakan Undhuh-undhuh dapat terpotret dengan lebih detail. Penyusun akan melakukan wawancara dengan 11 warga seputar pengalamannya merayakan Undhuh-undhuh beserta hal-hal yang ada di sekitarnya. Warga yang dipilih adalah yang turut ambil bagian di dalam perayaan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno. Penyusun berusaha mencari narasumber yang mewakili setiap blok dan pepanthan di Mojowarno. Selain itu, narasumber haruslah mewakili jenjang usia yang ada, dari pemuda hingga lansia. Kemudian, hasilnya akan diolah dengan menggunakan penelitian literatur sehingga menjadi lebih utuh dan menghasilkan sebuah kajian teologis yang bermanfaat. Mengingat luasnya kajian Teologis, penyusun memilih untuk lebih fokus pada kajian eklesiologis. Sebab melalui kajian eklesiologis, dapat dilihat paham gereja yang bagaimana yang sedang dihidupi oleh jemaat
berdasarkan motif-motif merayakan Undhuh-undhuh di jemaat. Dalam melihat
TIDAK ADA BAB 5
melalui kajian Eklesiologis, penyusun meminjam uraian teori dari seorang Eklesiolog Katholik, yakni Avery Dulles dan bukunya “Model-model Gereja.”
F. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
BAB I : PENDAHULUAN Berisi Latar Belakang (adanya fenomena Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno), Rumusan Masalah, Metode Penelitian, Pemilihan Judul Skripsi, Alasan dan Tujuan, dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II : UNDHUH-UNDHUH GKJW JEMAAT MOJOWARNO Berisi uraian Sejarah Undhuh-udnhuh di GKJW Jemaat Mowarno, Cerminan Undhuh-undhuh di GKJW Jemaat Mojowarno masa kini dengan pemaparan hasil penelitian tentang motivasi warga dalam memberikan persembahan.
10
BAB III : KAJIAN EKLESIOLOGIS UNDHUH-UNDHUH GKJW JEMAAT MOJOWARNO Bagian ini berisi penjabaran teori Model-model Gereja milik Avery Dulles yang kemudian didialogkan dengan kondisi nyata Undhuh-undhuh dan hasil penelitian. Sehingga memunculkan suatu model gereja yang sedang dihidupi dalam jemaat.
BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan, refleksi, saran dan penutup.
TIDAK ADA BAB 5
11