BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Minyak Masoyi merupakan minyak atsiri yang berasal dari kulit batang tanaman Masoyi (Massoia aromatica Becc.). Tanaman Masoyi merupakan tanaman yang berasal dari daerah Papua dan Maluku. Sejak dahulu, tanaman ini banyak digunakan oleh masyarakat lokal untuk pengobatan tradisional. Selain itu, minyak Masoyi juga telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan nilai MIC50 0,12% v/v. Aktivitas antimikroba tersebut berasal dari senyawa masoialakton yang merupakan komponen utama minyak atsiri Masoyi (Pratiwi dkk., 2015). Pseudomonas aeruginosa merupakan mikroba patogen oportunistik yang paling banyak ditemukan pada kasus infeksi nosokomial ataupun infeksi yang membahayakan jiwa pasien dengan ketahanan tubuh rendah (Obtrisch dkk., 2005). Bakteri ini dapat menyebabkan masalah pada infeksi luka, pneumonia, dan infeksi mata. Sedangkan S. aureus sering menyebabkan masalah pada infeksi saluran telinga, pneumonia, dan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan (Denyer dan Baird, 2007). Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap pada suhu kamar dan dapat mengiritasi kulit. Demikian halnya dengan minyak Masoyi. Minyak Masoyi dapat mengiritasi kulit dan membran mukus dengan penggunaan dermal pada konsentrasi 1
2
diatas 0,01% (Tisserand dan Young, 2014). Sifat minyak Masoyi tersebut dapat menjadi masalah apabila digunakan langsung sebagai antimikroba. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu bentuk sediaan antibakteri dari minyak Masoyi sehingga dapat mengoptimalkan aktivitas dan efektivitasnya. Nanopartikel merupakan partikel yang memiliki ukuran nanometer. Dengan ukuran nanometer maka partikel ini dapat menembus sel bakteri yang memiliki ukuran diameter hingga mikrometer (Brooks dkk., 2007) sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan, nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparent, tembus cahaya, dan merupakan disperse minyak air yang distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan atau molekul surfaktan, memiliki ukuran droplet 10-500 nm (Shakeel dkk., 2008; Azeem dkk., 2009). Nanoemulsi merupakan sistem yang stabil secara termodinamik, dapat meningkatkan solubilitas, dan bioavailabilitas molekul obat (Azeem dkk., 2009). Formulasi nanoemulsi terdiri dari empat komponen dasar, yaitu air, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan (Azeem dkk., 2009). Pembuatan nanoemulsi dilakukan dengan menggunakan water titration method. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari nanoemulsi minyak Masoyi, dilakukan uji aktivitas dengan metode mikrodilusi terhadap Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 dan Staphylococcus aureus 29213. Dengan memformulasikan minyak Masoyi menjadi nanoemulsi, diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan efektivitas minyak tersebut sebagai agen antimikroba.
3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini antara lain: 1.
Bagaimana komposisi minyak Masoyi, Tween 80, PEG 400, dan VCO yang dapat menghasilkan nanoemulsi minyak Masoyi yang baik?
2.
Bagaimana efektivitas nanoemulsi minyak Masoyi sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 dan Staphylococcus aureus ATCC 29213 dibandingkan dengan minyak Masoyi sebelum diformulasi?
C. Pentingnya Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan. Selain itu, adanya pemanfaatan tumbuhan ini untuk pengobatan dapat mendorong adanya kebijakan pelestarian tanaman obat. Serta, dapat digunakan sebagai pembanding maupun pelengkap bagi peneliti lain dalam penemuan agen antibakteri yang lain.
D. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1.
Menentukan komposisi minyak Masoyi, Tween 80, PEG 400, dan VCO yang dapat menghasilkan nanoemulsi minyak Masoyi yang baik.
4
2.
Menentukan efektivitas nanoemulsi minyak Masoyi sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 dan Staphylococcus aureus ATCC 29213 dibandingkan dengan minyak Masoyi sebelum diformulasi.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Uraian Tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Ranunculales
Suku
: Lauraceae
Marga
: Cryptocarya
Jenis
: Cryptocarya massoy (Oken) Kostrem.
Sinonim
: Massoia aromatica Becc.
Nama Indonesia
: Masoyi
(Soegihardjo, 1990)
Tumbuhan mesoyi atau Masoyi (Massoia aromatica Becc.) merupakan tumbuhan suku Lauraceae atau salam-salaman. Tumbuhan ini berasal dari Papua. Kayu dan kulit kayu Masoyi digunakan sebagai bahan ramuan jamu dan kosmetika tradisional. Dahulu kayu dan kulit kayu Masoyi merupakan komoditi ekspor untuk Cina dan Jepang. Kulit batang Masoyi (Massoia cortex) mengandung minyak atsiri yang berbau sedap, komponen minyak atsiri antara lain pinen, limonen, dipenten, eugenol, dan safrol. Komponen utama dalam
5
minyak kulit Masoyi adalah persenyawaan masoilakton (C10H16O2) (Guenther, 1985).
Gambar 1. Struktur Masoilakton
Kegunaan dalam pengobatan tradisional adalah sebagai pencahar, pengobatan pasca persalinan, penurun panas, dan perangsang kulit (Anonim, 1985). Selain itu juga digunakan untuk pengobatan tuberkulosis paru, pengobatan luka, dan otot kaku. Di semenanjung Malaysia juga ditemukan jenis lain, yaitu Cryptocarya griffithiana Wight dan di Kepulauan Solomon terdapat Cryptocarya multipaniculata Teschn. Nama daerah dari mesoyi antara lain mangsoi, masoiyi, Masoyi, dan masoji (Jawa), masuwi (Nusa Tenggara) (Anonim, 1985).
2.
Uraian Mikroba a.
Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 Pseudomonas aeruginosa tersebar luas di alam dan biasanya berada pada lingkungan yang lembab. Bakteri ini dapat berada pada orang yang sehat dan bersifat saprofit. Bakteri ini dapat bergerak dan berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 µm, merupakan Gram negatif dan terlihat sebagai bentuk
6
tunggal, ganda dan rantai pendek. Pseudomonas aeruginosa bersifat aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media, memproduksi pigmen kebiruan dan tidak fluoresen yang disebut piosianin yang larut dalam Agar. Selain piosianin, beberapa galur bakteri ini memproduksi pigmen fluoresen pioverdin yang memberi warna kehijauan pada Agar, pigmen merah gelap piorubin, dan pigmen hitam piomelanin. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada 37-42oC. Pseudomonas aeruginosa menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah warna hijau biru, meningitis, infeksi saluran kencing, pneumonia nekrotika, otitis eksterna ringan, infeksi pada mata, dan sepsis (Brooks dkk., 2007) Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 merupakan kultur bakteri yang berasal dari National Collection of Type Culture (NCTC). NCTC menyediakan kultur bakteri yang dijadikan standar penelitian pada bidang kesehatan, sains, dan veteriner (Anonim, 2010). b.
Staphylococcus aureus ATCC 29213 Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir setiap orang pernah mengalami berbagai infeksi Staphylococcus aureus, dari keracunan makanan hingga infeksi kulit. Stafilokokus tumbuh cepat pada beberapa tipe media dalam suasana aerobik atau mikroaerofilik dan dengan aktif melakukan metabolisme, fermentasi karbohidrat, menghasilkan asam
7
laktat dan katalase, tidak menghasilkan gas, serta menghasilkan bermacammacam pigmen dari putih hingga kuning gelap. Staphylococcus adalah sel Gram positif yang berbentuk bola dengan diameter 1 µm yang tersusun dalam kluster yang tidak teratur. Stafilokokus bersifat nonmotil dan tidak membentuk spora. Di bawah pengaruh obat seperti penisilin, stafilokokus mengalami lisis. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37oC namun pembentukan pigmen terbaik pada temperatur kamar (20-35oC). Staphylococcus aureus pada nasal adalah sebanyak 40-50% dari populasi. Kemampuan patogeniknya adalah pengaruh gabungan antara faktor ekstraseluler dan toksin, serta sifat daya sebar invasif. S. aureus yang patogenik dan bersifat invasif menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, empisema, endocarditis atau sepsis, dan nekrosis tulang. Stafilokokus dengan kemampuan invasi yang rendah mengakibatkan banyak infeksi kulit, seperti akne, pioderma atau impetigo (Brooks dkk., 2007). Staphylococcus aureus ATCC 29213 merupakan kultur bakteri yang berasal dari American Type Culture Collection (ATCC). Kultur ini dikhususkan untuk digunakan dalam penelitian sehingga tidak dapat digunakan untuk tujuan terapetik dan diagnostik terhadap hewan maupun manusia (Anonim, 2014).
8
3.
Minyak Atsiri Minyak atsiri dikenal juga sebagai minyak eteris (essential oil) atau minyak terbang (volatile oil). Minyak atsiri mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik, dan tidak larut dalam air. Minyak atsiri dapat bersumber dari berbagai bagian tanaman, yaitu daun, bunga, buah, biji, batang atau kulit batang, dan akar atau rhizome. Komposisi minyak atsiri bervariasi , hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode ekstraksi, dan cara penyimpanan. Secara umum, minyak atsiri terdiri dari senyawa kimia campuran unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), dan belerang (S) (Guenther, 1985).
4.
Nanoemulsi Emulsi adalah suatu disperse di mana fase terdispers terdiri dari bulatanbulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur. Fase terdispers dianggap sebagai fase dalam dan medium dispers sebagai fase luar atau fase kontinu. Untuk membuat suatu emulsi yang stabil, diperlukan zat pengemulsi (emulsifying agent) (Ansel, 1989). Partikel dari fase terdispers ukurannya berbeda-beda, dari partikel yang dapat dilihat dengan mata telanjang hingga partikel halus. Dispersi yang
9
mengandung partikel dengan ukuran 1-500 nm disebut sebagai dispersi koloid. Dispersi kasar mengandung partikel dengan ukuran 1-100 mikron. Sedangkan dispersi dengan ukuran partikel lebih kecil dari 1 nm disebut dispersi halus (Ansel, 1989). Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparent, tembus cahaya, dan merupakan disperse minyak air yang distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan atau molekul surfaktan, memiliki ukuran droplet 10-500 nm (Shakeel dkk., 2008; Azeem dkk., 2009). Ukuran droplet nanoemulsi yang kecil membuat nanoemulsi stabil secara kinetik sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan creaming selama penyimpanan (Solans dkk., 2005). Formulasi nanoemulsi terdiri dari empat komponen dasar, yaitu air, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan (Azeem dkk., 2009). Perbandingan konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan sangat mempengaruhi ukuran fase internal dalam sistem emulsi (Kale dan Allen, 1989). Surfaktan berperan dalam menurunkan tegangan muka. Jenis dan jumlah surfaktan yang digunakan dapat mempengaruhi tipe emulsi yang dihasilkan, yaitu tipe minyak dalam air (O/W) atau tipe air dalam minyak (W/O). Pada umumnya, emulgator memiliki bagian hidrofilik dan lipofilik yang seimbang. Namun, untuk surfaktan non ionik mempunyai karakteristik spesifik, yaitu Hidrophilic-Liphophilic Balance (HLB) yang merupakan ukuran untuk menunjukkan keseimbangan antara gugus hidrofil dan lipofil. Nilai HLB untuk emulsi W/O berkisar pada 3-6, sedangkan untuk emulsi O/W berkisar pada 8-18 (Ansel, 1989). Nanoemulsi telah diterapkan dalam berbagai industri farmasi,
10
diantaranya untuk sistem penghantar transdermal, bahan atau unsur yang potensial dalam produk perawatan tubuh, dan pembawa obat yang baik sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh (Gutierrez dkk., 2008).
5.
Uraian Bahan-Bahan Formulasi a.
Virgin Coconut Oil (VCO) Minyak kelapa diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L.) yang telah matang, dengan atau tanpa pemanasan, tanpa melalui proses penyulingan secara kimia, tanpa pemutihan, dan tanpa penambahan aroma, sehingga tidak dilakukan perubahan kimia terhadap minyak tersebut.VCO merupakan bentuk minyak kelapa yang paling murni. VCO tersusun dari rantai medium trigliserida yang resisten terhadap peroksidasi dan asam lemak jenuh rantai panjang. VCO tidak berwarna, bebas endapan, dengan aroma kelapa yang segar dan bebas dari bau serta rasa tengik (Bawalan dan Chapman, 2006). VCO mengandung beberapa macam asam lemak, salah satu kandungan terbesarnya adalah asam laurat. Asam laurat diketahui memiliki aktivitas
antibakteri
terhadap
S.aureus
(Tangwatcharin dan Khopaibool, 2012)
pada
KBM
0,32%
b/v
11
b.
Polietilen Glikol 400 (PEG 400) Polietilen glikol atau polioksietilen glikol (PEG) umumnya memiliki bobot molekul antara 200-300000. Penamaan PEG ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata. PEG memiliki konsistensi yang berbeda-beda tergantung dari bobot molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk cair, sedangkan PEG dengan bobot molekul diatas 1000 berbentuk padatan pada suhu ruang. PEG 200-600 merupakan cairan jernih, tidak berwarna, memiliki aroma khas yang lemah, dan sedikit terasa pahit (Rowe dkk., 2009). Berikut struktur molekul polietilen glikol :
Gambar 2. Struktur molekul PEG (Sumber: Rowe dkk., 2009)
m (jumlah oksietilen) = 8,7 Polietilen glikol larut air, dapat dicuci dengan air, tidak terpenetrasi ke dalam kulit, dan tidak mengiritasi kulit (Rowe dkk., 2009). Polietilen glikol dengan konsistensi cair dapat digunakan sebagai water-miscible solvent untuk membantu melarutkan senyawa yang tidak larut air. Sebagai
12
kosolven, polietilen glikol mampu meningkatkan kelarutan senyawa non polar dengan prinsip “like dissolves like”, polaritas air diturunkan dengan mencampurkan senyawa hidrofilik yang kurang polar dan meningkatkan polaritas senyawa non polar yang tidak larut air (Liu, 2008). PEG
400
diketahui
memiliki
aktivitas
antibakteri
terhadap
P.aeruginosa dan S.aureus. PEG dapat menyebabkan penggumpalan sel dan memperpendek fase log sehingga pertumbuhan bakteri terhambat (Chirife dkk., 1983).
c.
Tween 80 Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan ester asam lemak polioksietilen sorbitan dengan nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26. Struktur molekul polioksietilen sorbitan monoester :
Gambar 3. Struktur molekul polioksietilen sorbitan monoester (Sumber: Rowe dkk., 2009)
Dengan, w + x + y + z = 20
R = asam lemak
13
Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Tween 80 memiliki nilai HLB 15. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe dkk., 2009). Tween 80 dapat menurunkan permeabilitas sel bakteri dan meningkatkan aktivitas antibakteri berbagai macam antibiotik seperti chlorhexidine diacetate, benzalkonium chloride, dan polymyxin B sulfate terhadap P.aeruginosa (Toutain-Kidd dkk., 2009).
6.
Uji Stabilitas Uji stabilitas pada suatu bentuk sediaan diperlukan untuk menentukan konsistensi kualitas dari sediaan tersebut. Salah satu metode yang efektif adalah dengan melakukan uji stabilitas pada kondisi penyimpanan di bawah normal. Stabilitas dari emulsi ditentukan dari stabilnya fase internal terdispersi dalam fase eksternal tanpa terjadi perubahan antara kedua fase. Dengan kata lain, sistem emulsi yang terbentuk memiliki ukuran dan jumlah droplet fase terdispersi yang sama dalam medium dispersinya. Untuk mendapatkan hasil yang cepat dan akurat, dibutuhkan uji stabilitas dipercepat (Alam dkk., 2015). Berikut beberapa metode uji stabilitas dipercepat.
14
a.
Centrifugal acceleration method 4 mL sampel nanoemulsi ditempatkan pada ependorf 5 mL dan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit dalam desktop centrifuge. 0,8 mL subnatan diambil dari dasar ependorf menggunakan pipet dengan perlahan. Kemudian sampel divortex selama 20 detik, dan 0,1 mL sampel dipindahkan ke dalam labu takar 50 mL lalu dilarutkan dengan deionized water sampai batas volume. Absorbansi nanoemulsi terlarut ditentukan secara spektrofotometri dengan panjang gelombang 500 nm. Konstanta stabilitas sentrifugal dihitung dengan rumus:
...............................................................................(1) Dimana Ao dan A adalah absorbansi nanoemulsi sebelum dan setelah disentrifugasi (He dkk., 2011). b.
Thermodynamic stability studies (Bali dkk., 2010; Jain dkk., 2013). Nanoemulsi berupa suatu sistem yang stabil secara termodinamik. Pada nanoemulsi yang stabil tidak akan terjadi pemisahan antarfase, creaming, maupun cracking. Termostabilitas tersebutlah yang membedakan sistem nanoemulsi dengan emulsi di mana memiliki stabilitas kinetik dan mudah memisah. Stabilitas termodinamik dapat diuji dengan sentrifugasi, heating-cooling system, dan freeze-thaw cycle.
15
1) Centrifugation study Formula yang akan diuji disentrifugasi pada 5000 rpm selama 30 menit, kemudian dilihat apakah terjadi pemisahan antarfase, creaming, atau cracking. 2) Heating-Cooling Cycle Uji ini digunakan untuk melihat pengaruh perbedaan suhu terhadap stabilitas nanoemulsi. Sebanyak 6 siklus dilakukan dengan menyimpan formula pada suhu 4oC dan 40oC secara bergantian selama tidak kurang dari 48 jam untuk setiap suhu penyimpanan. 3) Freeze Thaw Cycle Uji ini merupakan uji dipercepat dengan menyimpan formula pada suhu -21oC dan 25oC secara bergantian selama 24 jam untuk setiap suhu penyimpanan.
7.
Antimikroba Bakteri merupakan sel prokariotik yang khas, uniseluler, dan tidak mengandung membran inti. Bakteri berbentuk seperti batang, spiral, dan bola dengan diameter sekitar 0,5-1,0 µm dan panjangnya 1,5-2,5 µm. Selain berperan penting dalam memelihara lingkungan, bakteri dapat menimbulkan penyakit (Pelczar dan Chan, 1986). Antibakteri merupakan sifat dari suatu bahan yang menunjukkan efek penghambatan
pertumbuhan
bakteri.
Pengendalian
pertumbuhan
bakteri
16
bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971). Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikroba mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikroba (Madigan dkk., 2000), yaitu: a.
Bakteriostatik, memberikan efek menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh melalui penghambatan sintesis protein atau mengikat ribosom.
b.
Bakteriosidal, memberikan efek membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau pecah sel.
c.
Bakteriolitik, menyebabkan sel menjadi lisis sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikroba. Menurut Sulistyo (1971), mekanisme penghambatan antibakteri dapat
dikelompokkan menjadi lima, yaitu menghambat sintesis dinding sel, merusak keutuhan dinding sel, menghambat sintesis protein sel, menghambat sintesis asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia.
8.
Uji Aktivitas Antimikroba Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroorganisme sebagai indikator pengujian. Dalam hal ini mikroorganisme digunakan sebagai penentu konsentrasi komponen tertentu pada campuran kompleks kimia, untuk mendiagnosis penyakit tertentu, serta untuk menguji bahan kimia guna menentukan potensi mutagenik atau karsinogenik suatu bahan. Pada uji antibakteri, diukur respon
17
pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antibakteri. Terdapat bermacam-macam metode uji antibakteri, antara lain (Pratiwi, 2008): a.
Metode difusi 1) Metode disc diffusion (tes Kirby & Bauer) Untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan media Agar. 2) E-test Digunakan untuk mengestimasi KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami mikroorganisme. 3) Ditch-plate technique Sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan memotong media Agar dalam cawan petri dan mikroba uji digoreskan ke arah parit tersebut.
18
4) Cup-plate technique Metode ini hampir sama dengan disc diffusion, di mana dibuat sumur pada media Agar yang telah ditanami dengan mikloorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba uji. 5) Gradient-plate technique Pada metode ini, konsentrasi agen antimikroba pada media Agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran dituang ke dalam petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua dituang di atasnya. Plate diinkubasi 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji digoreskan pada arah konsentrasi tinggi ke rendah. b.
Metode dilusi 1) Metode dilusi cair Metode ini untuk mengukur KHM dan KBM (kadar bunuh minimum). Caranya adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba ditetapkan sebagai KHM. Larutan tersebut dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, diinkubasi 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
19
2) Metode dilusi padat Metode ini hampir sama dengan dilusi cair, tetapi menggunakan media padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
9.
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik kualitatif, kuantitatif, maupun preparatif. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan berdasarkan perbedaan polaritas yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar yang dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Fase diam yang digunakan merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka efisiensi dan resolusi KLT semakin baik. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, dan mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi.
20
Untuk menentukan fase gerak pada KLT dibutuhkan optimasi terlebih dahulu agar pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut beberapa petunjuk memilih dan mengoptimasi fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007): a.
Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
b.
Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
c.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf.
d.
Solut-solut ionik dan solut-solut polar dapat lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya. KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter
pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Rf =
………………………..……..(2) (Stahl, 1970)
Bercak pemisahan KLT biasanya merupakan bercak tidak berwarna dan dapat dideteksi secara kimia, fisika, maupun biologi. Yang umum dilakukan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara
21
penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Selain itu, juga dapat digunakan fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan penjerapnya diberi indikator berfluorensi sehingga bercak akan kelihatan hitam dengan latar belakang berfluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2007).
F. Landasan Teori Minyak atsiri dari kulit batang Masoyi mengandung senyawa masoilakton yang diketahui mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (Pratiwi dkk., 2015). Minyak atsiri mempunyai sifat mudah menguap dan juga bersifat iritatif terhadap kulit dan membran mukus (Tisserand dan Young, 2014). Untuk dapat diaplikasikan sebagai obat antibakteri diperlukan formulasi minyak Masoyi. Nanopartikel merupakan partikel dengan ukuran yang sangat kecil (10-500 nm) sehingga mampu menembus ke dalam sel. Dengan memformulasikan minyak Masoyi menjadi emulsi yang berukuran nano dapat meningkatkan kelarutan obat, meningkatkan bioavailabilitas, meningkatkan waktu paruh obat, dan sistem penghantaran obat yang lebih tertarget (Mudshinge dkk., 2011). Nanoemulsi
dibuat
menggunakan
metode
water
titration
dengan
mencampurkan minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan air. Tween 80 merupakan surfaktan non ionik yang dapat digunakan sebagai emulgator bersama dengan PEG 400 yang membantu meningkatkan kelarutan senyawa tidak larut air (minyak)
22
sebagai kosolven dalam sistem emulsi. Minyak Masoyi yang digunakan dikombinasikan dengan VCO untuk membantu kelarutannya karena komponen minyak atsiri tidak mengandung asam lemak seperti pada minyak nabati (Liu, 2008; Rowe dkk., 2009). Formula optimal diuji aktivitas antibakterinya terhadap Pseudomonas aeruginosa NCTC 12924 dan Staphylococcus aureus ATCC 29213 dengan metode mikrodilusi. Efektivitas nanoemulsi diketahui dengan membandingkan persentase daya hambat nanoemulsi minyak Masoyi dengan persentase daya hambat minyak Masoyi sebelum diformulasi terlebih dahulu terhadap kedua bakteri.
G. Hipotesis 1.
Nanoemulsi minyak Masoyi dapat diformulasi menggunakan VCO sebagai campuran fase minyak, Tween 80 sebagai surfaktan, dan PEG 400 sebagai cosurfaktan.
2.
Nanoemulsi minyak Masoyi memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa lebih tinggi dibandingkan minyak Masoyi pada kadar yang sama.